Anda di halaman 1dari 8

POLA KOMUNIKASI PARTAI POLITIK ISLAM DI ERA REFORMASI

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


ISLAM DAN KOMUNIKASI POLITIK

Dosen Pengampu: Dr. H. Kadri, S.Ag., M.Si

OLEH
 
MOH. TAFAUL JAHIDDIN
NIM. 190405012
LATAR BELAKANG
 Politik di Indonesia mengalami 3 (tiga) periodisasi, yaitu :
1. Era Orde Lama;
2. Era Orde Baru; dan
3. Era Reformasi
 Karakteristik komunikasi politik era Orde Lama sudah dilakukan oleh para aktor politik, misalnya dalam orasi-
orasi politik Presiden Sukarno serta slogan-slogan yang dikampanyekannya seperti; “Pemimpin Besar
Revolusi”, “Ganyang Malaysia”, “Nasakom” dll.
 Karakteristik komunikasi politik era Orde Baru, ditandai dengan keberhasilan Presiden Suharto memanfaatkan
ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinan sebelumnya, dengan isu “Bahaya Laten Komunis” dan
“Melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara Murni dan Konsekuen” merupakan kata kunci keberhasilan
komunikasi politik era Orde Baru, dalam meraih simpati dan dukungan rakyat.
“NOTE : Walaupun praktek komunikasi politik dijalankan oleh para aktor politik di era Orde Lama
dan Orde Baru, namun kajian komunikasi politik tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Menurut Alwi Dahlan (1989), itu terjadi karena ilmu komunikasi politik masih dianggap tidak perlu
ditelaah secara utuh. Kalau pun diajarkan, mata kuliah di bidang ini tidak dapat memberikan
pemahaman yang memadai mengenai proses komunikasi politik”.
 Reformasi 1998 membuka babak baru dalam praktek komunikasi politik di Indonesia, kemerdekaan
berpendapat dan demokrasi menjadi landasan bagi setiap orang untuk menyuarakan idenya, termasuk dalam
bidang politik. Pengolahan citra, persuasi dan retorika politik dilakukan dengan cukup baik oleh para aktor
politik untuk memperoleh simpati rakyat.
KOMUNIKASI POLITIK DI ERA REFORMASI
KARAKTERISTIK KOMUNIKASI POLITIK ERA REFORMASI

Secara umum komunikasi politik di Indonesia dipengaruhi oleh konsep dan pilihan masyarakat yang
disebabkan political level di Indonesia hanya sebatas cultural politic. Hal ini dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan warga negara Indonesia masih rendah, dan juga belum merata, masyarakat kita
sepertinya belum bisa lepas dari lingkaran kultural.
Sebagian besar politisi era reformasi, kerap mendengungkan demokrasi yang dibalut dengan
kesantunan dan kental dengan perjuangan untuk perubahan.
Pencitraan politik kemudian menjadi hal terpenting dalam membangun komunikasi politik di
Indonesia pasca reformasi. Pola komunikasi yang dipopulerkan oleh partai penguasa ini kemudian
seolah menjadi primadona politisi di dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya.
Politisi berusaha mencitrakan bahwa dirinya adalah perwakilan publik yang santun dengan tidak
memerhatikan aspek-aspek logika sederhana. Pada perkembangannya, komunikasi politik yang
dilakukan oleh para politisi tidak memberikan edukasi banyak bagi publiknya.
ISLAM DI ERA REFORMASI
KONDISI ISLAM DAN POLITIK ERA REFORMASI

 Pada era reformasi, terdapat banyak partai Islam atau partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti Partai
Persatuan Pembangnunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam (PUI), Partai Masyumi
Baru, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan yang lainnya.
 Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses
reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan
berkelompok yang selama 30 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.
 Dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh
karena itu, penggabungan p.artai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi UTOPIA.
 Eksistensi Islam di Indonesia sangat ditentukan oleh kondisi objektif yang dibangun umat Islam itu sendiri melalui
kualifikasi dan kapasitas politik yang berwawasan pembentukan intelektualitas umatnya. Kondisi umat Islam dewasa
ini memang telah mengalami kemajuan, namun secara institusi politik telah mengalami kemunduran. Oleh karena itu,
membicarakan persoalan Islam dan politik dirasakan semakin urgen oleh umat Islam itu sendiri. Rekayasa
pembicaraan dan implementasinya meliputi pemahaman Islam doktrinal yang kontekstual dengan pertumbuhan
politik bangsa, sistem pembinaan yang dapat membebaskan umat dari keterbelakangan material maupun spiritual,
serta kepemimpinan yang tidak saja kharismatik, melainkan juga dedikatif dan profesional.
POLITIK ISLAM DI ERA REFORMASI

Pada masa reformasi banyak partai-partai Islam yang muncul diantaranya adalah PPP, PBB, Partai Keadilan,
Partai Persatuan, Masyumi, Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Abud Yatama (PAY), PSII-1905, PNU
dan Partai Cinta Damai (PCD), PKB, PAN, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Meskipun
partai-partai Islam ini tidak meraih suara terbesar, namun koalisi mereka melalui kaukus Poros Tengah dapat
menghalangi tampilnya aliran dan kelompok politikus nasionalis dan koalisinya serta memunculkan
beberapa tokoh utama pada posisi-posisi strategis di lembaga eksekutif dan legistatif. Seperti Amin Rais
sebagai ketua DPR-RI dan Gus Dur sebagai Presiden.
Era reformasi merupakan momentum yang sangat tepat untuk melahirkan ide, gagasan ataupun ekspresi dari
masing-masing organisasi Islam maupun dari partai Islam. Nadhatul Ulama dan Muhammadiyah tidak lagi
menjadi dwi-tunggal yang mengundang perhatian. Selain NU dan Muhammadiyah, realitasnya, ada banyak
organisasi massa Islam di Indonesia yang bersifat kedaerahan, misalnya Nahdlatul Wathan (NW), Persis
atau Perti, dan lainnya yang memang tidak sebesar NU dan Muhammadiyah.
Secara umum, parta-partai politik Islam pasca reformasi memiliki dua aliran berbeda yang saling
bertentangan. Aliran yang pertama menganut bahwa syariah Islam harus diterapkan dalam sistem
pemerintahan. Partai-partai besar yang menganut aliran ini adalah Partai Bulan Bintang (PBB), Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan aliran kedua menolak
pengimplementasian syariah Islam dalam sistem pemerintahan. Aliran ini dianut oleh dua partai Islam yang
cukup besar yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Lanjutan.............................................................

Selain Ulama-Ulama NU atau Nadhatul Ulama, ulama yang berasal dari Muhammadiyah dan
generasi muda Masyumi yang turut andil dalam pembentukan partai. Mereka ada yang bergabung
dengan PAN dan PBB. Pendukung PAN lebih banyak berasal dari Muhammadiyah,sedangkan
PBB ingin membangkitkan kembali perjuangan Masyumi. Para mahasiswa dan halqah kampus
turut mendirikan partai Islam, yaitu Partai Keadilan (belakangan PKS) yang menarik sebagian
ulama yang merupakan alumnus Timur Tengah. Belakangan, dua partai, PKB dan PAN
menyatakan diri sebagai partai yang berasaskan Pancasila dan bersifat nasionalis, tetapi basisnya
adalah massa Islam.
Kehadiran ulama dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam pengertian memberikan
sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena ulama adalah simbol
moral. Namun ketika Ulama sudah terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang
ulama dengan ulama lain saling berhadapan dan membela partainya masing masing. Kondisi ini
akan menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat, sehingga akan
memperlemah kekuatan umat Islam sendiri yang akhirnya sering di manfaatkan oleh golongan
partai lain
KESIMPULAN

FORMAT PARTAI POLITIK ISLAM ERA REFORMASI

 Menurut Bahtiar Effendy, arus utama Politik Islam di Indonesia bersifat Substansialis. Artinya, para pemikir dan
aktivis politik Islam berusaha untuk lebih mengedepankan hal-hal yang berkaitan dengan makna, isi, dari pada
bentuk dan simbol. Dengan begitu, strategi Islam politik telah terpolarisasi meniadi 2 (dua) kutub yakni
Substantivistik dan Formalistik. Kelompok pertama tetap konsisten dengan tidak memasuki politik ptaktis, dengan
format politik yang bertumpu pada substansialisme Islam. Adapun kelompok kedua yang menghendaki adanya
perjuangan politik, ternyata telah menjadi sumberdaya politik pelaku politik Islam.
 Menurut John L. Esposito dan John O. Voll, ada 4 (empat) posisi umum sebagai pilihan bagi gerakan kebangkitan
Islam (reformasi). Pertama, oposisi revolusioner terhadap sistem politik yang ada; Kedua, oposisi yang diakui atau
bekeria sama dengan beroperasi dalam sistem politik yang ada; Ketiga, parisipasi aktif dalam pemerintah melalui
aliansi atau koalisi dengan kekuatan-kekuatan politik lain, dan Keempat, kekuatan kontrol dalam sistem politik
yang ada.
 Setelah pemerintahan orde baru runtuh dan digantikan dengan pemerintahan reformasi yang lebih demokratis,
perlahan-lahan Partai Islam mulai sedikit menunjukkan hasil mulai dari pemerintahannya serta perkembangannya,
walaupun dalam kancah perpolitikan nasional partai Islam selalu mengalami kekalahan dan tidak pernah memegang
kendali pemerintahan
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai