Anda di halaman 1dari 14

IDEOLOGI POLITIK FUNDAMENTALISME

AGAMA DALAM SISTEM POLITIK DI INDONESIA


Rofi’ah, Sumardjo, Sarwititi Sarwoprasodjo, Djuara P. Lubis
IPB University
Jalan Kamper, Babakan, Kec. Dramaga, Bogor, Jawa Barat 16680
Email: rofiahsiddiq@gmail.com

Abstract: This study analyzes the history of Islamic fundamentalism to date,


which has developed since Indonesia's independence. The series of events in the
development of this movement repeats the general scheme of religious
fundamentalist movements that serve the nationalist aims of political leaders. It
is argued that such groups cannot be reasonably conceptualized in terms of
individual psychology or personality, a trait, but as cultural movements that
unite people who share social class membership, sociocultural circumstances.
Such movements, in contrast to Islamic religious fundamentalism, do not form
stable groups that have established over time, but are more like growing and
diminishing political movements in which membership is determined by social
class and ethnic identity. Their politics triggers a high awareness of ethnic
identity, especially religious ideology

Keywords: Ideology, Indonesia’s Politic, Islamic Fundamentalism

Abstrak: Kajian ini menganalisis sejarah fundamentalisme Islam hingga saat


ini, yang berkembang sejak Indonesia merdeka. Rangkaian peristiwa dalam
perkembangan gerakan ini mengulangi skema umum gerakan fundamentalis
agama yang melayani tujuan nasionalis para pemimpin politik. Dikatakan
bahwa kelompok-kelompok seperti itu tidak dapat dikonseptualisasikan secara
wajar dalam istilah psikologi atau kepribadian individu, yaitu suatu sifat, tetapi
sebagai gerakan budaya yang menyatukan orang-orang yang berbagi
keanggotaan kelas sosial, yaitu keadaan sosiokultural. Gerakan-gerakan seperti
itu, berbeda dengan fundamentalisme agama Islam, tidak membentuk kelompok-
kelompok stabil yang mapan dari waktu ke waktu, tetapi lebih seperti gerakan
politik yang tumbuh dan berkurang di mana keanggotaan ditentukan oleh kelas
sosial dan identitas etnis. Politik mereka memicu kesadaran yang tinggi akan
identitas etnis, terutama ideologi keagamaan

Kata Kunci: Ideologi, Politik Indonesia, Fundamental Islam

PENDAHULUAN
. Islam menggambarkan perkembangan penting dalam lanskap ideologis
di Indonesia selama dua dekade terakhir, yaitu konvergensi konservatisme
agama dan nasionalis untuk menghasilkan merek baru nasionalisme agama.
Aliran pemikiran politik ini sekaligus nativis, religius dan nasionalis. Ia
memandang bangsa Indonesia dilahirkan sebagai lawan dari sekular-liberalis
dan memandang negara memiliki kewajiban historis yang unik untuk
melindungi dan menegakkan nilai-nilai agama. Meski jauh dari hegemonik,

1
nasionalisme agama semakin menempati posisi sentral dalam politik
Indonesia.
Untuk mengkaji bagaimana hal ini terjadi, artikel ini berfokus pada
ideologi pada tahun-tahun sejak jatuhnya Presiden Suharto. Jika kita
menyamakan ideologi dengan propaganda yang melegitimasi yang
dipromosikan oleh lembaga-lembaga negara- sebagaimana kajian ideologi di
Indonesia cenderung dilakukan, kita dapat mengatakan bahwa itu telah
menjadi kurang menonjol daripada selama era Suharto tahun 1966-1998. salah
satu dari Tindakan pertama pemerintah Habibie setelah jatuhnya Suharto pada
tahun 1998 adalah membongkar program indoktrinasi yang telah menjadi ciri
Suharto yang begitu merajalela (Geraldy, 2019).
Sementara kabinet pasca-Soeharto memiliki slogan dan programnya
masing-masing, mereka tidak memberikan prioritas untuk menegakkan
konformitas ideologis. Studi ideologi dalam sistem non-otoriter membutuhkan
lensa yang lebih luas, yang menganalisis persaingan “kontrol bahasa dan
kebijakan politik” Jika ideologi dalam arti yang lebih luas ini sebagai medan
pertempuran gagasan tentang demokrasi, budaya, hukum dan agama maka
jelaslah bahwa ideologi tetap menjadi bagian penting dari kontestasi politik.
Perselisihan yang paling sering dan paling hangat diperebutkan, terutama
dalam satu dekade terakhir, adalah tentang pertanyaan tentang hubungan yang
tepat antara negara dan Islam, yaitu sejauh mana negara harus bertanggung
jawab untuk menegakkan nilai-nilai Islam.
Tetapi penting untuk mengenali garis patahan ideologis lain yang
bersinggungan dengan perdebatan ini. Salah satunya adalah argumen antara
mereka yang berusaha untuk mempertahankan keuntungan demokratis dari
reformasi dan mereka yang mendukung kembalinya aturan gaya Orde Baru,
demokrasi versus otoritarianisme (Magdalena, 2018). Yang lainnya adalah
kosmopolitanisme versus nativisme, argumen antara mereka yang mengacu
pada prinsip-prinsip universal yang diduga seperti hak asasi manusia versus
mereka yang berpendapat bahwa hukum dan politik seharusnya diinformasikan
oleh “nilai budaya tradisional” seperti kerukunan, gotong royong (gotong
royong) dan musyawarah bersama (musyawarah). Perdebatan tentang masalah
ini terutama terlihat selama pemilihan presiden 2014 antara pendukung Joko
Widodo (dikenal sebagai Jokowi) dan Suharto mantan menantu Prabowo
Subianto.
Artikel ini menggunakan konsep-konsep tersebut untuk menggambarkan

2
perkembangan ideologis utama di era pasca-Soeharto. Karena produksi dan
konsumsi ideologi adalah ciri khas periode Suharto, artikel ini dimulai dengan
pemeriksaan singkat tentang bagaimana rezim Orde Baru menyebarkan
ideologi negara Pancasila atau “Lima Prinsip. Pancasila harus dipahami
sebagai kerangka di mana perdebatan ideologi berlangsung di Indonesia;
semua pertempuran ideologis dalam arti tertentu pertempuran atas interpretasi
Pancasila. Dengan menggunakan struktur yang sebagian besar bersifat historis,
artikel ini kemudian mengkaji reaksi terhadap aspek-aspek ideologi Orde Baru
sebelum melanjutkan untuk memetakan kontinuitas dan inovasi ideologis
terhadap situasi politik yang berubah pada masa demokrasi.
Sementara ideologi bukanlah hal yang mudah untuk dijabarkan, dapat
dikatakan bahwa pertempuran politik selama dua dekade terakhir telah
menggeser pusat gravitasi ideologis dari kosmopolitanisme demokratis pada
periode Habibie dan Abdurrahman Wahid. Definisi sebagai orientasi pada
norma-norma demokrasi liberal dan prinsip-prinsip universal hak asasi
manusia- menuju merek nasionalisme agama yang lebih tidak toleran dan
konservatif. Sementara nasionalisme agama terbentuk selama kepresidenan
Susilo Bambang Yudhoyono, ia telah mengumpulkan momentum dalam
beberapa tahun terakhir berkat aliansi antara Prabowo'gerakan otoriter populis
dan kebangkitan sektarianisme yang dipimpin oleh kelompok-kelompok
Islamis.
METODE
Penelitian ini menggunakan baik primer dan sumber data sekunder. data
primer sumber dikumpulkan melalui kuesioner sedangkan data sekunder juga
dibangun menggunakan studi literatur. Artikel ini diambil dari survei yang
dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dan ditugaskan oleh ISEAS-Yusof
Ishak Institute sebagai Proyek Survei Nasional Indonesia. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara tatap muka pada sampel yang dipilih secara acak
sebanyak 1.620 warga negara Indonesia. Prosedur pengambilan sampel, seperti
dalam mengikuti metode pengambilan sampel acak berlapis bertingkat dengan
desa sebagai unit pengambilan sampel utama. Desa, atau kota yang setara
(kelurahan), adalah unit administrasi terkecil di Indonesia, dan mereka dipilih
secara acak di setiap provinsi berdasarkan proporsi provinsi dari populasi
umum.
PEMBAHASAN

3
Peran Ideologi dalam Politik Indonesia
Pada masa Orde Lama, ketika politik Indonesia didominasi oleh sosok
Presiden Soekarno, partai-partai politik Indonesia terpecah menjadi dua kubu
utama. Di satu sisi, partai-partai sekularis seperti Partai Nasional Indonesia
(PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI)
mendapat banyak dukungan dariabangan orang Indonesia. Di samping itu,
orang Indonesia terbelah antara dua bentuk Islam politik, yaitu Islam
“tradisionalis” yang disebarkan terutama di pedesaan Jawa oleh Nahdlatul
Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan yang juga bertindak sebagai partai
politik pada 1950-an, dan Islam “modernis” yang lebih umum. di kota-kota
dan daerah-daerah di luar Jawa yang diwakili oleh Muhammadiyah dan Partai
Masyumi.
Kerangka kerja ini awalnya dirumuskan dengan referensi eksklusif ke
Pulau Jawa, dan hanya berlaku secara longgar, jika sama sekali, ke wilayah
Indonesia lainnya. Namun, dengan cepat berkembang sebagai paradigma
dominan untuk mempelajari afiliasi politik dan partisan di Indonesia.
Sementara pembantaian 1965–1966 membawaaliran politik berakhir tiba-tiba,
identitas budaya-politik ini bertahan selama tiga dekade otoritarianisme.
Meminta (2003) yang terkenal ditunjukkan dengan membandingkan hasil
pemilu historis dari pertengahan 1950-an dengan hasil pemilu 1999, aliran
afiliasi memainkan peran penting dalam pemilihan demokratis pertama setelah
runtuhnya rezim Orde Baru.
Namun dewasa ini, ideologi seringkali diyakini telah kehilangan
banyak relevansinya dalam penataan persaingan pemilu di Indonesia.
Penelitian kontemporer menunjukkan bahwa proses "dealignment" darialiran
afiliasi telah berkembang di Indonesia yang demokratis (Daven, 2016) dan
bahwa faktor-faktor seperti dukungan untuk para pemimpin politik, evaluasi
kinerja pemerintah, dan patronase adalah pendorong yang lebih kuat dari
perilaku memilih daripada aliran identitas atau ideologi (Aspinall dan
Berenschot, 2019; Mujani dan Liddle, 2010). Lebih jauh, para peneliti yang
berfokus pada elit politik sering menekankan bahwa perilaku kolusif daripada
kompetitif sering mendominasi hubungan antar partai. Singkatnya, pandangan
yang berlaku dalam penelitian ilmiah tentang masalah ini hanya
memungkinkan peran marjinal persaingan ideologis dalam politik Indonesia.
Sebuah pertanyaan lebih lanjut mengenai hubungan antara aliran

4
identitas dan dimensi ideologis yang diperkenalkan pada bagian sebelumnya,
yaitu Islam politik. Meskipun ada tingkat heterogenitas yang substansial dalam
posisi ideologis dalam Islam politik Indonesia. Orang Indonesia secara
tradisional lebih cenderung mendukung pemahaman Islamis tentang negara
Indonesia, sementara abangan telah mendukung pandangan yang lebih
sekuler/pluralis tentang hubungan negara-Islam. Implikasi utama dari
perbedaan ideologis ini adalah masyarakat harus mengekspresikan sikap yang
lebih sekuler daripada santri, seperti yang diukur oleh PII diperkenalkan di
atas. Adapun priyayi, budaya mereka biasanya digambarkan sangat
dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Buddha prakolonial daripada oleh ajaran
Islam; dengan demikian mereka harus didominasi oleh sekularis.
Demokrasi Pancasila Masa Pimpinan Soeharto
Sementara Suharto mengklaim mengingkari politik demi pembangunan, ia
mencurahkan sumber daya yang sangat besar untuk mempromosikan dan
menegakkan konformitas ideologis. Rezimnya mewakili dirinya sejak awal
sebagai juara champion Pancasila, ideologi negara yang diutarakan Sukarno
dalam debat konstitusi Juni 1945. Ini bukan tugas yang mudah karena
menyangkut pemberian penghargaan. Para ideolog awal masa Orde Baru
melakukan ini dengan cara archaising Pancasila, oleh redefimenganggapnya
sebagai esensi budaya asli rakyat Indonesia, tidak bersalah dari ideologi Barat,
termasuk komunisme, yang diizinkan Sukarno untuk “mengotori” politik
Indonesia. Sebagaimana dikemukakan di tempat lain, rezim Orde Baru
menggambarkan budaya tradisional sebagai budaya yang statis dan harmonis
telah disukai sejak tahun 1930-an oleh aliran nasionalisme aristokrat
konservatif dengan kepentingan menjaga stabilitas sosial. Ini berakar di
Indonesia berkat pengaruh pengacara yang dididik di Leiden School of Law
yang menganut pandangan romantis tentang kehidupan desa di Indonesia.
Awal dari akhir ideologi Orde Baru datang selama pencairan demokrasi
singkat tahun 1989-1990 dikenal sebagai arti atau keterbukaan. Ideolog negara
berada di bawah aktivis masyarakat sipil yang berpendapat bahwa Supomo
tidak hanya dikalahkan dalam debat 1945 tetapi klaim bahwa integralisme
adalah asli dibantah oleh Supom, pengakuan sendiri bahwa ia berasal dari
filsafat hukum Eropa dan selaras dengan totalitarianisme Jerman dan Jepang.

5
Keterbukaan juga melihat kritik militer dan sipil mengambil aspek kunci lain
dari otoriter Pancasila Sistem demokrasi yang telah berubah sedikit sejak tahun
1970-an.
Ada alasan tambahan bagi sebagian besar pemimpin nasionalis awal untuk
menolak jenis demokrasi parlementer Barat. Menerapkan perspektif Marxis,
Sukarno dan nasionalis terkemuka lainnya mengkritik demokrasi Barat untuk
asosiasi mereka dengan kapitalisme dan untuk mendorong individualisme dan
ketidakadilan dan ketidaksetaraan ekonomi. Bagi para pendukung prinsip
keluarga, apalagi, demokrasi parlementer diduga memungkinkan suara
mayoritas untuk menentukan apa yang benar di tempat prinsip-prinsip etika,
seperti apa yang 'baik' atau tidak'. Dalam pencarian mereka untuk alternatif
suara mayoritas sebagai suara utama prinsip untuk pengambilan keputusan,
nasionalis terkemuka beralih ke pribumi sistem politik tradisional untuk
menemukan model untuk membangun sistem politik nasional. Ternayat
terinspirasi oleh Sumatera Barat yang sangat Islami, Sukarno dengan demikian
memandang bahwa perbedaan pendapat harus diselesaikan melalui
musyawarah, musyawarah, untuk mencapai mufakat, mufakat.
Konsep dari musyawarah dan mufakat berasal dari Islam, dan sejauh
mana mereka yang umum digunakan di kepulauan Indonesia di luar Sumatera
Barat adalah tidak pasti (Nuswantoro Subekti, 2020). Namun, bagi Sukarno
dan nasionalis awal lainnya, gagasan tentang musyawarah dan mufakat
diangkat ke status mewakili budaya politik pribumi dengan akar sejarah dan
budaya yang mendalam – ‘penemuan tradisi', seolah-olah Sukarno
memasukkan prinsip keluarga dan cita-cita konsensual pengambilan keputusan
sebagai sila keempat Pancasila, lima sila yang dirumuskan pada bulan Juni
1945 dan diusulkan sebagai dasar negara Indonesia.
Mereka menyerukan reformasi demokrasi menyeluruh sementara kaum
intelektual mengkritik sapi suci ideologi Orde Baru termasuk penekanan pada
pengambilan keputusan melalui musyawarah dan mufakat komunal
(musyawarah danmufakat) tidak hanya tidak dapat dijalankan di negara industri
modern tetapi sebagai sumber ketidakadilan dengan alasan bahwa mereka

6
sering digunakan untuk menekan perbedaan pendapat dan menguntungkan
yang kuat atas yang lemah. Sementara itu para ideolog frustrasi dengan
Pancasila pendidikan muncul ke permukaan, bahkan dengan ideolog veteran
mengakui bahwa orang sudah muak dengan kursus. Jurang antara cita-cita yang
dipromosikan oleh Pancasila, korupsi dan nepotisme pemerintahan Orde Baru
telah menjadi terlalu jelas untuk diabaikan.

Gambar 1 Kelompok Masyarakat Memilih Ideologi di Indonesia

Angka-angka pada gambar 1 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia


terbagi dalam isu kunci peran Islam dalam kehidupan politik, tetapi mereka
juga menunjukkan dukungan yang lebih besar untuk peran Islam yang lebih
besar dalam politik daripada pemahaman yang lebih sekuler tentang hubungan
negara-Islam. Rata-rata, 46 persen dari populasi mendukung item dalam skala,
sementara hanya sepertiga yang tidak setuju dengan mereka. Untuk sebagian
besar pernyataan, jumlah responden yang setuju lebih besar daripada yang
tidak setuju, dan margin menjadi lebih lebar jika kita hanya
mempertimbangkan responden Muslim, bagaimanapun juga menunjukkan
variasi substansial di tujuh item. Bagi yang paling radikal, seperti butir yang
menyatakan bahwa Islam harus menjadi satu-satunya agama resmi di
Indonesia.
Dengan menghitung rata-rata sederhana di tujuh item yang dilaporkan
dalam gambar 1, kita selanjutnya dapat membangun indeks komposit, yang
dapat disebut Indeks Islam Politik (PII), yang menawarkan ukuran lengkap

7
posisi kebijakan atas peran Islam dalam politik. PII berkisar dari 1 hingga 5,
menghubungkan nilai-nilai yang lebih rendah kepada responden yang lebih
mendukung sekularisme dan nilai-nilai yang lebih tinggi kepada individu-
individu yang mendukung peran Islam yang lebih besar dalam kehidupan
politik Indonesia. Ketika responden dibagi menjadi lima kelompok menurut
skor mereka dalam indeks komposit ini, seperti pada Gambar 1, kita dapat
mengukur distribusi dukungan untuk sekularisme dan Islamisme di Indonesia.
Dengan memanfaatkan pertanyaan survei yang menanyakan kepada
responden partai apa yang akan mereka pilih jika pemilihan diadakan hari ini,
kita dapat menyelidiki hubungan empiris antara aliran identitas dan pilihan
partai. Mengingat hubungan historis yang dijelaskan di atas antara abangan
budaya dan sekularisme, harapannya adalah bahwa pemilih Indonesia saat ini
harus lebih cenderung melaporkan preferensi untuk PDI-P ketika mereka
mengidentifikasi diri sebagai abangan. Sebaliknya, santri pemilih harus lebih
cenderung melaporkan niat untuk memilih partaipartai Islam, baik tradisionalis
maupun modernis (Supratikno, 2018).
Dukungan untuk PDI-P memang bervariasi secara dramatis di kedua
kelompok, turun dari 33 persen diabangan menjadi 18 persen dalam santri
responden. Sebaliknya masyarakat jauh lebih mungkin daripada memilih
partai-partai Islam tradisionalis (25 persen vs. 10 persen) dan partai-partai
Islam modernis (16 persen vs. 9 persen). Priyayi responden juga tampaknya
secara substansial lebih cenderung memilih partai Islam dalam bentuk apa pun
daripada abangan pemilih dan lebih cenderung mendukung partai-partai Islam
modernis daripada yang lain aliran kelompok.
Reformasi demokrasi terobosan yang dikembangkan di bawah presiden
Habibie dan Wahid adalah untuk melihat Indonesia disambut ke dalam
komunitas global negara dan dianggap sebagai model demokrasi mayoritas
Muslim. Namun, (Shanti, 2016) secara persuasif berpendapat, transisi
demokrasi yang damai harus dibayar mahal. Akibatnya, kepentingan oligarki
yang mendominasi pemerintahan Orde Baru tidak dimintai
pertanggungjawaban. Tidak ada anggota klan Suharto yang diadili karena

8
pelanggaran hak asasi manusia atau korupsi. Dan sementara itu militer
kehilangan sebagian dari kekuasaan formal dan hak istimewa mereka, tidak ada
jenderal yang diadili di pengadilan karena keterlibatan mereka dalam
pelanggaran selama tahun-tahun Suharto. Alhasil, jaringan kelompok bisnis,
birokrasi, dan militer yang selama ini berkuasa pada masa Orde Baru dapat
beradaptasi dengan dispensasi demokrasi baru, menyalurkan tenaga dan
dananya yang sangat besar ke partai politik (Basyir, 2014).
Keagamaan Fundamental dan Politik Ekstremisme di Indonesia
Fundamentalisme adalah istilah yang sekarang begitu banyak
digunakan di berbagai macam konteks bahwa asal-usulnya telah dikaburkan.
Seperti istilah ilmiah lainnya bahwa telah memasuki penggunaan umum
('karisma', misalnya), popularitas telah menghasilkan degradasi makna, serta
aplikasi yang dipertanyakan. Ini khusus kesulitan di mana fundamentalisme
yang bersangkutan, karena asal-usulnya terletak pada Protestan Amerika.
Konteks aslinya lebih dari sekadar signifikansi etimologis, karena mengarah
langsung ke orientasi politik mereka yang kemudian disebut fundamentalis.
Fundamentalisme muncul dari konflik internal di Amerika Protestantisme
sering disebut sebagai Kontroversi Modernis, pada akhir kesembilan belas dan
awal abad kedua puluh. Ini menyangkut orientasi orang Kristen menuju
perkembangan intelektual seperti biologi evolusioner dan alkitabiah 'kritik
yang lebih tinggi'.
Yang pertama menantang kisah alkitabiah tentang penciptaan,
sementara yang terakhir menantang status ilahi dari Alkitab. Denominasi
Protestan secara bertahap dipisahkan menjadi dua kecenderungan: 'modernis'
atau 'liberal', yang berpendapat bahwa orang percaya perlu beradaptasi dengan
temuan ilmu pengetahuan dan kesarjanaan; dan 'tradisionalis' atau 'konservatif',
yang bersikeras mempertahankan pandangan lama tentang wahyu dan ineransi
alkitabiah. Proses polarisasi ini menyebabkan serangkaian kekuatan intra-
denominasi perjuangan. Saat mereka berkembang, pandangan anti-modernis
diartikulasikan dalam satu set pamflet yang diterbitkan antara tahun 1910 dan
1915. Mereka yang mendukung posisi buklet mulai menggunakan Fundamental

9
sebagai frase menangkap untuk anti-modernisme.
Kaum fundamentalis selalu percaya pada akhir zaman, meskipun
mereka tidak semua menganut ide-ide milenarian yang sama. Fundamentalis
berbeda juga pada perilaku keyakinan ini mensyaratkan. Bagi sebagian orang,
tidak ada tindakan khusus diperlukan, dan akhir sejarah tetap di tangan Tuhan.
Pada hari-hari awalnya, fundamentalisme menghindari kekerasan, tetapi pada
1980-an, kelompok kecil, untuk siapa hari-hari terakhir adalah waktu untuk
mengangkat senjata, telah memisahkan diri. Di antara yang terakhir adalah
penganut Identitas Kristen, yang melihat diri mereka mendekati ras Armagedon
melawan non-kulit putih. Alasan ketidak konsistenan ini adalah bahwa orang
percaya yang berpotensi melakukan kekerasan adalah terlibat dalam dua
proses. Pertama, ada interaksi dengan mereka yang dapat memberikan atau
menahan legitimasi agama dari perilaku.
Kedua, ada interaksi dengan kekuatan-kekuatan yang dianggap
bermusuhan atau jahat. Isu-isu kekerasan menghidupkan sebagian pemahaman
doktrin dan teks. Bahkan mereka yang menganggap dirinya sendiri literalis di
mana teks-teks suci yang bersangkutan, terlibat dalam interpretasi, meskipun
dalam cara-cara yang tidak diakui. Dalam tradisi keagamaan dengan
desentralisasi dan berpotensi otoritas yang bersaing, seringkali mungkin untuk
menemukan seseorang yang bersedia memberikan provide perintah agama
yang diperlukan untuk kekerasan.
SIMPULAN
Indonesia sering digambarkan sebagai negara demokrasi yang cacat
karena hubungan antara warga negara dan politisi cenderung didasarkan pada
patronase dan klientelisme daripada kompetisi terprogram. Berbeda dengan
demokrasi maju, di mana politik biasanya terstruktur di sekitar poros kirikanan
yang dapat diidentifikasi, partai politik di Indonesia tidak menawarkan
alternatif kebijakan yang diartikulasikan dan dibedakan dengan jelas kepada
pemilih, dan sebagian besar penelitian yang ada menunjukkan bahwa ideologi
adalah faktor yang agak marjinal dalam perilaku memilih. Mengingat
perkembangan politik terbaru dan temuan yang muncul dari penelitian

10
akademis baru-baru ini di Indonesia, konsensus (semu) tentang sifat politik
Indonesia ini mungkin berubah. Artikel ini bertujuan untuk berkontribusi pada
perdebatan ini dengan menarik perhatian para sarjana politik Indonesia tentang
peran ideologi dalam sistem politik yang beragam ini.
Temuan ini mengundang dua rangkaian refleksi tentang peran Islam
politik dalam politik Indonesia kontemporer. Yang pertama menyangkut
relevansi ideologi dalam penataan sikap publik dan penggerak perilaku
pemilih. Data yang dianalisis di sini menunjukkan bahwa perbedaan ideologis
antara sekularisme dan Islamisme bergema di masyarakat Indonesia. Sangat
sedikit orang yang tidak memiliki pendapat tentang masalah hubungan negara-
Islam, dan saya telah mendokumentasikan variasi substansial dalam sikap
tingkat individu, yang menunjukkan bahwa dimensi ideologis ini adalah
heuristik yang terkonsolidasi dan tersedia di benak banyak orang Indonesia.
Selanjutnya, saya telah mengidentifikasi hubungan antara Islam politik
dan preferensi kebijakan dalam dua domain kebijakan penting, yaitu kebijakan
ekonomi dan desentralisasi. Ini adalah temuan konsekuensial karena
menunjukkan bahwa, bagi banyak pemilih Indonesia, Islam politik
diasosiasikan dengan posisi kebijakan dan penonjolan isu. Namun hubungan
antara ideologi dan perilaku politik sangatlah kompleks. Sementara Islam
politik sangat terkait dengan evaluasi presiden Jokowi, hubungannya dengan
pilihan partai kurang jelas. Dan memang, partai politik Indonesia belum
merumuskan platform programatik yang koheren yang menghubungkan
perpecahan agama ini dengan posisi kebijakan di domain lain. Sebagai contoh,
kita belum melihat partai-partai Islam secara koheren dan konsisten
mengadvokasi tingkat redistribusi ekonomi yang lebih tinggi dan pemerintahan
yang lebih terdesentralisasi.
Kedua, temuan tersebut berimplikasi pada perdebatan tentang pergantian
konservatif dalam Islam Indonesia dan kebangkitan Islamisme sebagai
tantangan terhadap demokrasi liberal di Indonesia. Data survei ini
menunjukkan bahwa lembaga-lembaga demokrasi dianggap sah oleh kaum
Islamis seperti halnya oleh orang Indonesia sekuler. Jika ada, dukungan untuk

11
demokrasi dalam beberapa indikator lebih tinggi di kalangan Islamis, sebuah
temuan yang mungkin terkait dengan warisan marginalisasi yang dihadapi oleh
Islam politik selama Orde Baru yang otoriter. Namun, pendukung peran Islam
yang lebih besar dalam politik lebih cenderung mendukung perlunya
kepemimpinan yang kuat yang tidak terkekang oleh checks and balances
demokrasi liberal.
Ini menunjukkan bahwa jenis demokrasi yang sangat didukung oleh
orang-orang Islamis Indonesia mungkin sangat berbeda dari sistem politik
liberal dan sekuler dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan kesetaraan bagi
semua orang di depan hukum. Dalam hal ini, tantangan untuk konsolidasi
demokrasi liberal di Indonesia dapat meningkat karena kelompok-kelompok
Islam garis keras menjadi lebih berpengaruh dalam politik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Basyir, K. (2014). MENIMBANG KEMBALI KONSEP DAN GERAKAN


FUNDAMENTALISME ISLAM DI INDONESIA. Al-Tahrir, 14(1), 23–
45.
Daven, M. (2016). FUNDAMENTALISME AGAMA SEBAGAI
TANTANGAN BAGI NEGARA. JURNAL LEDALERO, 15(2), 276–281.
Geraldy, G. (2019). Ideologi dan Partai Politik: Menakar Ideologi Politik
Marhaenisme di PDIP, Sosialisme Demokrasi di PSI dan Islam
Fundamentalisme di PKS. Jurnal Ilmu Politik, 1(2), 134–157.
Magdalena. (2018). TRANSMISI IDEOLOGI PENDIDIKAN
FUNDAMENTALISME RELIGIUS DI SEKOLAH ISLAM TERPADU
SUMATERA UTARA. Jurnal Ilmu Komunikasi.
Nuswantoro Subekti, B. (2020). Aliansi Negara Komunis dan Fundamentalis
Agama dalam Melindungi Posisi Nicolas Maduro dari Tekanan Politik
Internasional Negara Barat. Nation State:Journal of International Studies,
3(1), 60–69.
Shanti, P. (2016). INTOLERANSI POLITIK PEMUDA HINDU BALI :
FUNDAMENTALISME AGAMA DAN AJARAN AHIMSA. Prosiding
Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan

12
Dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial Dalam Masyarakat,”
606–609.
Supratikno, A. (2018). Peran Politis Agama dalam Konteks Indonesia yang
Plural “Aspirasi atau Inspirasi.” WASKITA, Jurnal Studi Agama Dan
Masyarkat, 132–139.

13
14

Anda mungkin juga menyukai