Anda di halaman 1dari 6

Nama: Salsabil Nahdah

Nim: 20190502104
Ilmu Komunikasi dipandang sebagai disiplin ilmu yang berkembang pesat
mulai pada abad 19. Ilmu Komunikasi dianggap sebagai ilmu yang meneguhkan
hakikat manusia sebagai makhluk sosial melalui konsep interaksi simbolik yang
tidak pernah lepas dari manusia. Interaksi simbolik menekankan pada hubungan
antara simbol dan interaksi serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah
individu (Soeprapto2007).
Dalam artian kajian yang membahas tentang ilmu komunikasi yakni
melingkupi anatar individu atau individu dengan kelompok atau antar kelompok
yang melalukan interaksi dengan bertukar lambang dan simbol untuk memahami
makna yang ada pada komunikator maupun komunikan. Konsep interkasi
simbolik inilah yang kemudian menjelaskan tentang batasan dan ruang lingkup
komunikasi sendiri. Namun hal ini juga masih belum menegaskan apakah ilmu
komunikasi sudah mensahihkan ilmu komunikasi sebagai ilmu, karena lingkup
kajian yang masih bias. Untuk itu, penting kiranya mendifinisikan dahulu apa itu
ilmu, apa syarat-syarat untuk menjadi ilmu, apakah komunikasi adalah ilmu dan
dimana letak ilmu dalam ilmu komunikasi.
Salah satu syarat ilmu adalah memiliki objek kajian, begitu juga dengan
komunikasi. Komunikasi dapat membuktikan bahwa komunikasi merupakan ilmu
pengetahuan karena komunikasi memiliki dua jenis objek meterial dan objek
formal. Dalam objek material, ilmu komunikasi mengkaji penyampaian pesan
melalui simbol antar manusia. Dengan kata lain, komunikasi mengkaji tidakan
oleh manusia dalam konteks sosial. Sedangkan dalam konteks formal, ilmu
komunikasi mengkaji tentang penyampaian pesa antar individu. Karena dari awal
sudah ditegaskan bahwa dalam konteks sosial, maka tindakan yang diluar
manusia bukan termasuk dalam objek kajian ilmu komunikasi. Dari sini ilmu
komunikasi sebagai ilmu dapat menegaskan garis batas ilmu komunikasi dengan
yang lain dalam ruang lingkup objek kajian.
Selanjutnya suatu ilmu harus memiliki sistem untuk bisa menjelaskan
secara suatu sebab akibat dalam fenomena itu terjadi. Bahwa objek kajian yang
tersusun dalam satu  rangkaian sebab-akibat yang sistematis. Ilmu komunikasi
melalui filsafat mencoba mencari sebab yang sedalam-dalamnya menyangkut
penyampaian pesan antar manusia. Craigh telah membagi kajian ilmu
komunikasi menjadi 7 tradisi untuk mendalami sistem komunikasi. Tujuh tradisi
itu antara lain adalah tradisi semiotika, fenomenologi, cybernetic, psikologi sosial,
budaya sosial, aliran kritis dan retorika. Dalam tradisi cyberbetic menjelaskan
tentang teori sistem yang memandang terdapatnya suatu hubungan yang saling
menggantungkan dalam unsur komponen yang ada dalam sistem. Bahkan dalam
perspektif second order cybernetic, sistem saling mempengaruhi dan
memperlihatkan bagaimana sebuah pengetahuan sebuah produk menjerat
antara yang mengetahui dan yang diketahui.
Kebenaran yang bersifat universal yang harus ditanggung ditanggung
oleh ilmu komunikasi juga dapat dibuktikan melalui konsep manusia sebagai
makhluk sosial yang selalu berinterasi. Dimanapun manusia berada ilmu
komunikasi tetap merupakan ilmu yang mempelajari usaha penyampaian pesan
antar manusia. Definisi ilmu komunikasi juga tidak berubah signifikan karena
secara universal, seluruh manusia selalu berinteraksi dan ilmu komunikasi
merupakan ilmu yang mengkaji tentang penyampaian pesan antar manusia.
Yang terakhir, bahwa ilmu komunikasi sebagai ilmu harus mempu
diverifikasi oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun. Bisa diuji kebenaran tidak
terbatas dalam satu konteks waktu. Syarat verikfikasi dibuktikan oleh ilmu
komunikasi dimanapun kita berada komunikasi merupakan proses penyampaian
pesan antara komunikator dan komunikan. Sedangkan interakasi merupakan inti
dari kehidupan manusia dengan manusia lainnya. Interakasi tersebut dapat
dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari karena ilmu komunikasi selalu digunakan
manusia dalam usahanya memperoleh informasi.
objek material ilmu komunikasi adalah kehidupan masyarakat, sedangkan
objek formalnya adalah relasi sosial yang termediasikan. Menurut Ashadi
Siregar, dengan objek formal demikian, pokok kajian ilmu komunikasi menjadi
jauh lebih jelas dibandingkan dengan lainnya. Meskipun demikian, perlu juga
dipahami bahwa relasi sosial yang termediasikan mencakup dimensi yang luas
karena, jika medium didefinisikan skala luas yang mencakup juga di antaranya
bahasa, hampir semua relasi sosial termediasikan. Di sisi lain, kehadiran media
yang menyesap ke dalam hampir seluruh dimensi kehidupan maka perbincangan
mengenai manusia tidak dapat dilepaskan dari media. Grossberg et.al (2006)
menyatakan bahwa kita hidup di dunia media.
Hal ini dimaksudkan bahwa kehidupan kita dikelilingi oleh media. Setiap
hari kita menonton televisi, mendengarkan radio, membaca koran atau
berselancar menggunakan internet baik untuk membuka Instagram, Facebook
ataupun Twitter. Pendeknya, kita selalu hidup dengan menggunakan media.
Dengan argumentasi demikian, topik-topik kajian dalam ilmu komunikasi
terbentang luas. Oleh karena itu, Jurnal Komunikasi edisi April 2021
menampilkan beragam kajian komunikasi kontemporer dengan topik, objek
kajian, dan juga metode yang beragam. Media baru telah menarik minat bagi
kajian-kajian komunikasi dan media, tapi media lama juga tidak kalah
menariknya. Kajian naratif atas novel karya Pram yang diangkat dalam edisi ini
membuktikan hal itu. Kajian-kajian media lama tetap sama menariknya dengan
media baru, tergantung pada perspektif dan pendekatan yang digunakan.
Dalam mewujudkan transformasi digital, kemampuan literasi menjadi
penting. Ini merupakan kecakapan yang sangat penting di era digital. Tanpa itu,
khalayak atau pengguna tidak akan mampu mendapatkan manfaat dari literasi
digital. Oleh karena itu, seseorang harus cukup digital literate. Kecakapan
ataupun keterampilan digital dilihat melalui level literasi. Artikel ketiga yang ditulis
oleh Hariyanti, Salim, dan Nabilah mengkaji persoalan ini. Melalui studi kuantitatif
terhadap grup MPASI, studi Hariyanti, Salim, dan Nabilah menemukan bahwa
literasi digital kelompok sebagian besar berada pada level sedang. Selebihnya,
berada pada level tinggi dan rendah. Literasi ini menjadi semakin penting ketika
muncul banyak kasus bullying di media sosial. Ini karena perundungan telah
mengancam kehidupan sosial seseorang, bahkan menimbulkan kematian.
Perundungan siber menjadi topik penelitian Adawiyah dan Munir. Penelitian
dengan judul “Respon Remaja tentang Kasus Cyberbullying Sulli dan Goo Hara”
berusaha mengungkap respon remaja terhadap bullying yang terjadi pada Sulli
dan Goo Hara. Respon dibedakan atas tiga klasifikasi, yakni penggemar,
pengikut, dan pengguna media sosial secara umum. Respon mereka juga
beragam tergantung pada keterikatan mereka pada tokoh yang diidolakan.
Artikel keempat merupakan pembacaan Tarsisty, Marta, dan Fernando
terhadap Kartini dari sudut pandang analisis naratif milik Propp. Pengungkapan
alur fungsi narasi yang represif, kontributif, dan inspiratif menunjukkan
liniearitasnya. Pembaca dapat memahami langkah metode tersebut pada judul
Menelusuri Sosok Kartini melalui Liniearitas Alur Naratif Propp dalam Novel
Biografi Karya Pram. Selain menganalisis secara naratif novel karya Pram
tersebut, artikel ini juga menggunakan perspektif feminis sehingga analisisnya
menjadi jauh lebih menarik. Artikel keenam mengungkap dimensi komunikasi
verbal dalam Al-Quran. Persoalan terkait pengiriman maupun penyampaian
informasi harus dapat dipertanggung jawabkan manusia. Afifi dan Kurniawan
melakukan studi pustaka untuk mengkaji kitab-kitab tafsir AlQur’an terkait dengan
prinsip-prinsip dan ragam komunikasi verbal. Melalui Ragam Komunikasi Verbal
dalam Al-Qur’an, pembaca dapat melihat konsep, konteks, dan penjelasan
mengenai Qaulan Sadidan, Qaulan Ma'rufan, Qaulan Maysuran, Qaulan
Kariman, Qaulan Balighan, dan Qaulan Layyinan. Kajian ini menarik terutama
karena kurangnya etika di media sosial
Objek yang terakhir adalah putusan atas kasus pencurian tiga buah
kakao (cokelat) yang dilakukan oleh seorang wanita tua bernama Min
(selanjutnya disebut Min). Mengingat kasus ini demikian menyita perhatian
khalayak ramai, sudah banyak tulisan yang diangkat terkait dengan putusan
tersebut. Namun, sampai saat ini belum ada kajian putusan yang cukup
komprehensif yang mencoba menggali sisi lain di balik putusan ini. Untuk
keperluan itu, penulis berusaha menggali latar belakang putusan dengan
melengkapi data/informasi melalui serangkaian wawancara mendalam dengan
ketua majelis hakim dan dengan terpidana.
Dalam rangka ikut menghormati etika profesi, wawancara dengan hakim
tidak dimaksudkan untuk meminta yang bersangkutan mengomentari
putusannya, melainkan justru lebih difokuskan pada filosofi pemidanaan yang
sangat mungkin tidak terlacak hanya melalui analisis tekstual atas putusan.
Kasus tersebut bermula pada suatu hari di bulan Agustus 2009, seorang nenek
tua dari Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah,
memanen kedelai di lahan garapannya. Berbatasan dengan sebuah kebun kakao
(di daerah itu lazim dinamai cokelat) milik PT RSA, ketika sedang memanen
kedelai, mata nenek Min itu melihat pohon-pohon cokelat yang banyak berbuah
dan ranum. Min memetik tiga buah cokelat yang ada di kebun itu, lalu
meletakkannya di tempat. Tak ada maksud padanya untuk menyembunyikannya
dan tidak pula ada maksud di benaknya untuk membawanya pergi.
Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai
seorang terdakwa kasus pencurian di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Min
yang disidang tanpa didampingi pengacara mengaku tidak tahu liku-liku acara
pengadilan, dengan prosedur-prosedur yang diatur secara formal dalam bahasa
Indonesia yang sepanjang hidup tinggal di desa dan hanya ,menggunakan
bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana
kasusnya cepat selesai. Karena jika tidak, ia harus pulang-pergi dari rumah ke
kantor jaksa dan kantor pengadilan berjarak 40 kilometer, sehingga terpaksa
mengutang uang angkot dan ojek Rp. 50 ribu kepada tetangga setiap kali
menjalani pemeriksaan.
Pada akhirnya, Min dinyatakan hakim terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah. Hakim menjatuhkan vonis pidana satu bulan 15 hari,
dengan masa percobaan tiga bulan. Putusan hakim lebih rendah dari tuntutan
jaksa yang mohon agar hakim memidana si nenek dengan pidana penjara enam
bulan. Nenek Minah menerima putusan hakim, bukan karena dia menganggap
putusan hakim itu adil atau tak adil, melainkan karena dia sudah lelah berurusan
dengan hukum yang berlaku di negeri ini, sebagaimana komentarnya,”
Dalam kasus Min, kita berada dalam situasi yang dilematis; terjadi
ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dengan keadilan. Hukum memang
tidak selalu identik dengan keadilan, meski mungkin saja keadilan bisa diperoleh
dari apa yang legal. Jika hukum diasumsikan identik dengan keadilan, maka
berbahaya, karena pencarian keadilan di luar hukum akan dihentikan. Keadilan
adalah suatu konsep yang jauh melampaui hukum. Keadilan itu berada dalam
wilayah nomena, dan hukum itu adalah fenomena. Hukum tanpa keadilan tidak
layak lagi disebut hukum, tetapi keadilan tanpa hukum tetaplah keadilan,
meskipun keadilan yang defisit.
Objek ini dapat dilakukan secara formal ataupun material. Di dalam
kegiatan interaksi yang dapat juga diartikan sebagai kegiatan komunikasi harus
memiliki setidak-tidaknya tiga unsur: yaitu komunikator (orang yang mengawali
melakukan komunikasi), komunikan (pihak yang dijadikan sasaran atau yang
diajak berkomunikasi), dan pesan atau informasi (bahan yang dikomunikasikan
atau diinteraksikan). Dalam realitasnya, hidup manusia tidak dapat terlepas dari
kegiatan interaksi. Setiap manusia selalu memiliki naluri untuk berinteraksi,
berhubungan dan bergaul dengan pihak lain.
Karena itu, agar keadilan tidak defisit, maka argumentasinya perlu
dijustifikasi dengan prinsip-prinsip hukum. Pertama, suatu perbuatan walaupun
telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dapat dinyatakan tidak
merupakan tindak pidana (maksimal tindak pidana ringan), apabila tidak
menimbulkan bahaya terhadap individu/publik atau tidak ada bahaya sosialnya.
Seharusnya kasus Min diselesaikan melalui proses restorative justice atau
penyelesaian secara damai di luar pengadilan. Terlebih lagi, dalam Rancangan
KUHP yang baru sudah diatur model penyelesaian restorative justice atau
penyelesaian secara damai di luar pengadilan untuk kasus-kasus yang implikasi
sosialnya kecil dan tidak membahayakan individu/publik.
Ada hubungan yang sangat erat antara filsafat, etika dan ilmu. Ilmu yang
bergerak otonom tidak boleh meninggalkan landasan filosofisnya. Landasan
filosofis ini menjadikan ilmu masih tetap pada hakekat keilmuannya. Ilmu
sebabagi bidang yang otonom tidak bebas nilai. Ia selalu berkaitan dengan nilai-
nilai etika terutama dalam penerapan ilmu. Etika sebagai salah satu cabang
dalam filsafat akan memberikan arahan (guiedence) bagi gerak ilmu, sehingga
membawa kemanfaatan bagi manusia.

Anda mungkin juga menyukai