Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

DEMOKRASI PEMILIHAN DAERAH, DAN DINASTI PARTAI POLITIK


DALAM POLITIK INDONESIA
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................2

BAB I.......................................................................................................................3

PENDAHULUAN...................................................................................................3

1.1 Latar Belakang Nasionalisme.................................................................3

1.2 Teori dan Konsep....................................................................................4

1.3 Metodologi................................................................................................5

BAB II.....................................................................................................................6

PEMBAHASAN.....................................................................................................6

2.1 Masalah Partisipatif Dalam Demokrasi Partai Politik........................6

2.2 Pembentukan Oligarki Lokal Dan Absennya Partisipasi Partai


Politik..................................................................................................................7

BAB III....................................................................................................................9

PENUTUP...............................................................................................................9

3.1 Kesimpulan..............................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Nasionalisme


Setelah hampir dua dekade jatuhnya Soeharto, demokratisasi liberal di
Indonesia terus berlanjut. Beberapa sarjana, seperti Peou (2014: 39), berpendapat
bahwa pengalaman demokrasi Indonesia, meskipun telah melewati banyak transisi
dan masalah politik, menunjukkan tren positif dibandingkan dengan negara
demokrasi muda lainnya, seperti Thailand, Filipina, Myanmar, dan Irak. Indonesia
telah mengalami peningkatan kinerja dalam demokrasi yang dapat diukur dari
penerapan desentralisasi dan otonomi daerah, munculnya dan kemampuan partai
politik untuk bersaing secara bebas dalam suatu sistem pemilu, partisipasi
masyarakat sipil dalam proses politik dengan menguasai negara, dan peran media
pers di ruang publik. Terlepas dari euforia demokrasi, dapat dikatakan bahwa
kemenangan paling signifikan dari demokratisasi di Indonesia saat ini adalah
pembentukan institusi dan prosedur demokrasi liberal sebagai satu-satunya cara
untuk mengartikulasikan kepentingan bersama.
Lanskap politik nasional tersebut kemudian diikuti oleh agenda
demokratisasi lokal. Melalui Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 32
Tahun 2004 yang memuat asas desentralisasi, masyarakat dapat memilih
pemimpinnya di tingkat daerah dengan mengikuti pemilihan umum secara
langsung. Partisipasi politik dalam pemilihan kepala daerah, karenanya, menjadi
isu sentral karena menentukan kualitas demokrasi lokal.
Bagi teori developmentalist, seperti Lipset, partisipasi masyarakat dalam
demokrasi sangat ditentukan oleh latar belakang ekonomi yang mereka miliki, dan
karenanya demokratisasi selalu bergandengan tangan dengan agenda
pembangunan (Tadjoeddin, 2012). Logika ini didasarkan pada asumsi bahwa
pertumbuhan ekonomi secara otomatis dapat memperkuat dan meningkatkan
partisipasi dalam proses demokratisasi. Lebih jauh lagi, demokratisasi lokal
berjalan seiring dengan gagasan pemerintahan yang baik, yang diperkenalkan oleh
Bank Dunia pada akhir abad kedua puluh, karena pemerintah pusat dapat

3
memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan
yang efisien dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi. , akuntabilitas,
partisipasi, dan sebagainya. Berdasarkan kerangka teoretis ini, para ahli teori
pembangunan sangat percaya bahwa masalah partisipatif yang kita hadapi
sekarang di Indonesia dapat diselesaikan seiring dengan pertumbuhan ekonomi
yang muncul dan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik diterapkan di
tingkat lokal.
Dengan menggunakan sudut pandang demokrasi partisipatif, artikel ini
mengemukakan dua argumen utama. Pertama, demokrasi liberal, terutama dalam
konteks tingkat lokal, mengalami keterbatasan karena tidak dapat benar-benar
mengatasi dinasti politik hasil pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, agenda
modernisasi dan pembangunan melalui lintasan desentralisasi tidak serta merta
dapat meningkatkan partisipasi masyarakat di tingkat lokal. Kedua, demokratisasi
liberal di tingkat lokal dikatakan tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks lokal,
bahkan dalam beberapa hal menjadi instrumen politik baru untuk mengebiri
partisipasi masyarakat.
1.2 Teori dan Konsep
Konsep Liberalisme
Tegasnya, dari sudut pandang demokrasi partisipatif, penyebab utama
mengapa masih muncul dinasti politik dalam masyarakat demokratis adalah
kegagalan tatanan demokrasi liberal untuk benar-benar mengakomodasi
partisipasi rakyat dalam demokrasi lokal, dan oleh karena itu, agenda modernisasi
dan pembangunan, yang yang diusung kuat oleh demokrat liberal, juga terbukti
gagal dalam meningkatkan partisipasi masyarakat di tingkat lokal.
Kekeliruan paradigmatik di sini tidak hanya ditemukan pada konsep yang
diterapkan oleh demokrat liberal, tetapi juga pada institusi dan prosedur
demokrasi liberal yang ada sebagai satu-satunya cara untuk mengartikulasikan
politik dalam demokrasi lokal. Oleh karena itu, dalam konteks pemilihan kepala
daerah, tidak ada jaminan politik bahwa wakil rakyat dalam sistem pemilu dapat
serta merta mewakili konstituennya dan mengambil keputusan untuk kepentingan
mereka. Partisipasi masyarakat tidak dapat dikurangi begitu saja dengan hanya
bergantung pada keterlibatan mereka dalam pemilihan kepala daerah dan

4
mengabaikan partisipasi dan kontrol langsung mereka di luar cakrawala
'proseduralisme'.
Dilihat dari sudut ini, konsep 'partisipasi', yang selama ini dianggap hanya
sebagai prosedur politik melalui pemungutan suara dan kemudian pencalonan
seorang wakil, kini berubah menjadi lebih politis. Partisipasi asosiasional
semacam ini pada akhirnya memungkinkan untuk mencegah perwujudan dinasti
politik karena mereka harus berhadapan dengan kontrol sosial yang dipegang
secara tulus oleh rakyat. Setiap asosiasi sosial dalam masyarakat lokal dapat
mengorganisir diri dan membuat badan otonom 'untuk menetapkan tujuan mereka
sendiri' (Hirst, 1988: 142). Untuk melakukan teori ini secara lebih praktis,
demokrasi lokal, termasuk sistem pemilihan lokal, harus dirumuskan kembali,
sehingga tidak akan terjebak dalam lembaga perwakilan yang sempit dan terbatas
serta mampu menampung partisipasi masyarakat secara lebih luas.
1.3 Metodologi
Penelitian ini menggunakan literature review sebagai metode untuk
menjelaskan kasus dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Kami mengumpulkan beberapa teori, perspektif, dan temuan dari literatur yang
sangat terkait dengan topik, seperti artikel jurnal peer-review dan buku-buku teori
politik utama. Dalam kerangka analisis, pertama-tama kita memulai kajian dengan
mengkonstruksi asumsi-asumsi teoritis, terutama dari teori partisipasi dalam
demokrasi dan demokrasi oligarki di negara demokrasi muda. Asumsi teoritis ini
penting untuk memandu analisis fenomena dinasti politik. Kedua, kemudian
mengamati fenomena dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia
dengan menelusuri beberapa laporan pers dan temuan literatur. Sebagai fokus
kajian, titik sentral kami adalah dinamika politik desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia pasca 2004.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Masalah Partisipatif Dalam Demokrasi Partai Politik


Membicarakan penyebab terjadinya dinasti politik dalam sistem demokrasi
bukan semata-mata karena lemahnya institusi demokrasi liberal, sebagaimana
dikemukakan oleh para ahli teori modernis. Hal ini juga tidak hanya disebabkan
oleh rendahnya pertumbuhan ekonomi yang dimiliki masyarakat lokal, seperti
yang dikemukakan oleh para ahli teori pembangunan. Sebaliknya, kami
berpendapat bahwa ada kekeliruan paradigmatik dalam cara kami mempraktikkan
dan menerapkan demokrasi liberal dalam konteks pengalaman Indonesia. Untuk
mengembangkan kritik ini, pertama-tama penting untuk melihat karya Pateman,
yang menekankan teori klasik partisipasi dalam demokrasi Rousseau.
Dengan demikian, dalam konteks dinasti politik, model demokrasi
Schumpeter di tingkat lokal dapat dengan mudah disalahgunakan oleh elit politik
karena instrumen politik secara institusional memisahkan partisipasi langsung
masyarakat dengan institusinya. Oleh karena itu, lanskap politik ini
memungkinkan keluarga dinasti mana pun untuk muncul dan memanfaatkan
sistem pemilihan untuk melanggengkan hubungan patronase mereka. Karena tidak
ada kesetaraan politik pada setiap elemen sosial untuk sama-sama berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan, elit politik yang tergabung dalam keluarga
dinasti dapat dengan mudah memanipulasi permainan demokrasi liberal dan
memonopolinya. Tegasnya, dari sudut pandang demokrasi partisipatif, penyebab
utama mengapa masih muncul dinasti politik dalam masyarakat demokratis adalah
kegagalan tatanan demokrasi liberal untuk benar-benar mengakomodasi
partisipasi rakyat dalam demokrasi lokal, dan oleh karena itu, agenda modernisasi
dan pembangunan, yang yang diusung kuat oleh demokrat liberal, juga terbukti
gagal dalam meningkatkan partisipasi masyarakat di tingkat lokal.
Kekeliruan paradigmatik di sini tidak hanya ditemukan pada konsep yang
diterapkan oleh demokrat liberal, tetapi juga pada institusi dan prosedur
demokrasi liberal yang ada sebagai satu-satunya cara untuk mengartikulasikan

6
politik dalam demokrasi lokal. Oleh karena itu, dalam konteks pemilihan kepala
daerah, tidak ada jaminan politik bahwa wakil rakyat dalam sistem pemilu dapat
serta merta mewakili konstituennya dan mengambil keputusan untuk kepentingan
mereka. Partisipasi masyarakat tidak dapat dikurangi begitu saja dengan hanya
bergantung pada keterlibatan mereka dalam pemilihan kepala daerah dan
mengabaikan partisipasi dan kontrol langsung mereka di luar cakrawala
'proseduralisme'.
2.2 Pembentukan Oligarki Lokal Dan Absennya Partisipasi Partai Politik
Demokratisasi lokal Indonesia memang tidak bisa dianggap sebagai hal
politik baru, karena telah berlangsung lebih dari satu dekade. Namun
implementasinya masih harus menghadapi beberapa tantangan agar politik lokal
lebih demokratis tidak hanya secara institusional tetapi juga secara substantif.
Mempertimbangkan ketidaksesuaian demokratisasi liberal yang disebutkan
sebelumnya, penting untuk memikirkan kembali demokrasi lokal Indonesia di
masa depan dan juga membayangkan prospeknya untuk mengatasi hambatan
demokrasi. Pada bagian ini, kami mencoba mengidentifikasi beberapa dampak
politik terkait krisis partisipasi dalam demokrasi lokal. Dengan begitu, para
demokrat Indonesia diharapkan dapat mengantisipasi tantangan tersebut dan pada
akhirnya proses demokratisasi di Indonesia pasca 1998 dapat relatif lebih baik.
Pertama, jika masalah partisipatif tidak ditanggapi secara serius dalam
demokrasi lokal Indonesia, maka tidak mengherankan jika akan ada
kecenderungan dinasti politik dan pembentukan oligarki lokal baru dalam jumlah
yang lebih besar dari pemilihan kepala daerah Indonesia, yang pada akhirnya
dapat membahayakan kepentingan bersama. Seperti yang dijelaskan oleh Tusalem
dan Pe-Aguirre (2013: 360), ‘beberapa ahli berpendapat bahwa dominasi dinasti
politik di arena politik memiliki efek merusak pada penyediaan barang publik.
Logika yang mendasarinya adalah bahwa konsentrasi kekuasaan dalam satu
keluarga meniadakan akuntabilitas kepada pemilih dan menghalangi tantangan
dari kandidat berkualitas tinggi yang berorientasi pada reformasi.’
Kedua, konsekuensi yang akan dihadapi oleh demokrasi lokal Indonesia
adalah hilangnya kontrol rakyat. Penataan demokrasi liberal dalam demokrasi
lokal, sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, membatasi aktor

7
politik hanya dengan bergantung pada sistem pemilihan dan lembaga perwakilan.
Mengingat ketidaksesuaian hakikat demokrasi Indonesia, partisipasi masyarakat
secara substansial berkurang bahkan secara politik dihilangkan dari proses
pengambilan keputusan.
Ketiga, demokrasi lokal pada akhirnya rawan korupsi. Beberapa kasus
korupsi yang menimpa politisi lokal Indonesia menunjukkan bahwa praktik
dinasti politik sangat erat kaitannya dengan tindakan koruptif dan sewenang-
wenang. Menurut pengalaman Banten, sebagaimana disampaikan oleh Hamid
(2014: 580), ada beberapa anggota keluarga dinasti yang menjabat sebagai Ketua
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan Asosiasi Konstruksi
Indonesia Cabang Banten. Perusahaan (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional
Indonesia Cabang Banten atau GAPENSI). Dengan posisi seperti itu, dinasti ayah
Chosiyah dapat memperoleh beberapa proyek pemerintah, dan 'melalui kelompok
kekerasan ia memupuk dan memperdalam lobi bisnis untuk proyek konstruksi
pemerintah' (Hidayat, 2007, dalam Hamid, 2014: 580).

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebagai penutup, artikel ini mencoba membahas penyebab munculnya
dinasti politik dalam politik lokal Indonesia dengan menggunakan sudut pandang
partisipatif dan mengkritisi agenda demokratisasi liberal yang sempit. Kami telah
menunjukkan dalam diskusi artikel ini bahwa meskipun demokratisasi liberal
berhasil membuat politik lokal secara kelembagaan lebih demokratis, masih
banyak kekurangan dan keterbatasan terutama dalam hal mengakomodasi
partisipasi di tingkat lokal. Sejalan dengan itu, gagasan modernisasi dan teori
pembangunan terbukti gagal karena oligarki lokal yang menjelma sebagai dinasti
politik akhirnya menangkap proses pengambilan keputusan. Kegagalan ini,
sebagaimana telah kami kemukakan, disebabkan oleh ketidaksesuaian demokrasi
liberal yang berpusat pada Barat dengan sifat dan realitas empiris politik lokal
Indonesia, yang membuatnya tidak dapat serta merta diadopsi.
Oleh karena itu, kita perlu merumuskan kembali demokrasi lokal kita
menjadi lebih partisipatif untuk memberantas struktur oligarki dan korupsi yang
meluas di tingkat lokal. Dalam kaitan ini, beberapa varian demokrasi partisipatif
telah diperkenalkan dan ditelaah untuk melengkapi keterbatasan demokratisasi
liberal, misalnya munculnya demokrasi desa setelah UU Desa disahkan pada
tahun 2014. Selain itu, kita harus memperkuat dan menata masyarakat sipil yang
progresif. untuk benar-benar berpartisipasi dalam proses politik dan pengambilan
keputusan, sehingga setiap potensi dinasti dapat dengan mudah dihilangkan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abdulbaki, L. (2008). Democratisation in Indonesia: From Transition to


Consolidation. Asian Journal of Political Science, 16:2, 151-172, DOI:
10.1080/02185370802204099

Artharini, I. (2017). Kasus suap bupati Klaten: Ada kaitan dinasti politik dan
korupsi? (The bribery case of Klaten regent: Is there relation between
political dynasty and corruption?). BBC Indonesia, accessed online on 6th
of February 2017. URL: http://www.bbc.com/indonesia/ indonesia-
38484498

Fukuoka, Y. (2011). Political change in Indonesia. Annual International


Conference on Political Science, Sociology and International Relations
(PSSIR 2011), p. 95-100. (2013). Oligarchy and Democracy in Post-
Soeharto Indonesia. Political Studies Review, Vol. 11, p. 52-64, DOI:
10.1111/j.1478-9302.2012.00286.x

Hadiz, V. R. (2001). Capitalism, oligarchic power and the state in Indonesia.


Historical Materialism, Vol. 8, Issue 1, p. 119-151. (2003). Reorganising
political power in Indonesia: A consideration of so called ‘democratic
transition’. The Pacific Review, 16:4, p. 591-611, DOI:
10.1080/0951274032000132272 (2004a). Decentralization and democracy
in Indonesia: A critique of neo-institutionalist perspectives. Development
and Change 35(4), p. 697-718. (2004b). Indonesian local party politics.
Critical Asian Studies, 36:4, p. 615-636, DOI:
10.1080/1467271042000273275

Hamid, A. (2014). A family matter: Political corruption in Banten, Indonesia.


Asian Politics & Policy, Vol. 6, Number 4, p. 577-593. Hirst, P. (1988).
Associational socialism in a pluralist state. Journal of Law and Society, Vol.
15, No. 1, Law, Democracy, 7 Social Justice, p. 139- 150

Pateman, C. (2014 [1970]). Participation and democratic theory. Cambridge:


Cambridge University Press.

Peou, S. (2014). The Limits and Potential of Liberal Democratisation in Southeast


Asia. Journal of Current Southeast Asia Affairs, 33, 3, pp. 19-47.

Sawitri, A. A. (2016). Ketua KPK Minta Publik Waspadai Korupsi Dinasti Politik
(Head of KPK to ask public to be aware of dynastic political corruption).

10
Tempo.co, accessed online on 6th of February 2017. URL: https://m.tempo.
co/read/news/2016/12/03/063825091/ ketua-kpk-minta-publik-
waspadaikorupsi-dinasti-politik

Trajano, J. C. I., and Yoes, C. K. (2013). Indonesia and the Philippines: Political
dynasties in democratic state. RSIS Commentaries, No. 018. Singapore:
Nanyang Technological University.

Tusalem, R. F., and Pe-Aguirre, J. J. (2013). The effects of political dynasties on


effective democratic governance. Asian Politics & Policy, Volume 5,
Number 3, p. 359-386

11

Anda mungkin juga menyukai