Anda di halaman 1dari 41

Kesalehan dan Politik: Islam Indonesia

(Bagian 1)
29 Dec 2023, 04:00 WIB
Apakah kesalehan keislaman bakal meningkatkan kekuatan Islam politik?

Apa hubungan antara peningkatan kesalehan keagamaan (Islam) dengan politik?


Pertanyaan ini penting dan sering ditanyakan para ahli, pengamat, dan pengkaji Barat
serta kalangan masyarakat awam, baik Muslim maupun non-Muslim. Perdebatan baik
pada level akademik maupun publik menjadi sering berkepanjangan mengenai hal ini.

Penulis "Resonansi" ini juga sering mendapat pertanyaan tersebut dari berbagai pihak
tadi di dalam maupun luar negeri. Bagi mereka, ada korelasi cukup kuat di antara
peningkatan kesalehan keagamaan yang terlihat jelas dan luas di kalangan kaum
Muslimin Indonesia sejak akhir dasawarsa 1980-an. Indikasinya tampak secara kasat
mata, mulai dari kebangkitan kelas menengah Muslim, makin meluasnya pemakaian
jilbab, kian meningkatnya jumlah jamaah haji dan umrah, makin semaraknya berbagai
produk syariah atau halal, dan terus menguatnya filantropi Islam.

Dengan berbagai indikator yang menunjukkan peningkatan kedekatan pada Islam


(increased attachment to Islam), kemunculan pertanyaan tersebut seolah alamiah
belaka. Tapi, adanya pertanyaan itu dilatarbelakangi asumsi dan persepsi, kesalehan
secara cukup paralel memunculkan konsekuensi dan implikasi politik. Yaitu, bahwa
kesalehan keislaman bakal meningkatkan kekuatan Islam politik yang diwakili parpol-
parpol Islam.

Apa hubungan antara peningkatan kesalehan keagamaan (Islam) dengan


politik?
SHARE

Memang, bagi banyak kalangan ahli Islam dan politik Indonesia, misalnya, kian
meluasnya pemakaian jilbab atau makin banyaknya lembaga berlabel syariah di
kalangan kaum Muslimah memberikan momentum bagi kebangkitan politik Islam
atau Islam politik. Apakah benar demikian, perlu pengamatan dan penelitian yang
cermat.

Penulis "Resonansi" yang mengamati parpol Islam sejak Pemilu 1955 yang disepakati
para ahli sebagai landmark dalam demokrasi multipartai kompetitif dan juga pemilu
pada masa pasca-Orde Baru sejak 1999, sejak lama berargumen, hampir tak ada
korelasi positif di antara peningkatan kesalehan keislaman dengan aktualisasi politik
Islam. Tapi, argumen ini tidak didasarkan penelitian; hanya berdasarkan pengamatan
yang cukup intens.

Oleh karena itulah, perlu penelitian cermat untuk menjelaskan masalah ini. Dalam
konteks itu, kita sangat terbantu dengan penerbitan buku Piety and Public Opinion:
Understanding Indonesian Islam karya tiga ahli ilmu politik Thomas B Pepinsky, R
William Liddle, dan Saiful Mujani (Oxford: Oxford University Press, 2018). Karya
penting ini seyogianya dibaca bersamaan dengan Voting Behavior in Indonesia since
Democratization: Critical Democrats (Cambridge: Cambridge University Press,
2018). Kedua karya ini melengkapi satu sama lain.
Penerbitan kedua buku ini dalam waktu yang sama (2018) oleh dua penerbit
Universitas Oxford dan Universitas Cambridge—dua universitas paling top di Inggris
Raya—juga merupakan peristiwa akademik penting dan istimewa yang langka dalam
kajian Islam Indonesia. Belum pernah terjadi hal seperti ini sebelumnya. Oleh karena
itu, penerbitan kedua karya ini oleh penerbit universitas yang sangat terkemuka
mengisyaratkan kian pentingnya kajian Islam Indonesia.

Seperti dikemukakan ketiga penulis dalam awal buku Piety and Public Opinion, karya
ini bermula dari sejumlah percakapan pada 2004 tentang bagaimana memahami
demokrasi dan Islam Indonesia dan juga tentang saling memengaruhi (interplay) di
antara agama (Islam) dan politik. Dalam mengkaji subjek ini, ketiga ahli ilmu politik
ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan mengumpulkan data sebanyak
mungkin dari representasi seluruh warga Indonesia, baik Muslim maupun non-
Muslim.
Ketiga penulis menolak argumen bahwa Islam Indonesia secara fundamental
tidak bisa dibandingkan dengan Islam di wilayah-wilayah lain.
SHARE

Menurut para penulis, dengan pendekatan kuantitatif, mereka mendapatkan perspektif


relatif objektif mengenai berbagai hal terkait Islam, kesalehan, dan politik di masa
kontemporer Indonesia. Tak kurang pentingnya, berbagai hal terkait Islam Indonesia
juga dilihat dalam perspektif komparatif secara sosial, sejarah, dan politik dengan
negara-negara lain, khususnya berpenduduk mayoritas Muslim.

Ketiga penulis menolak argumen bahwa Islam Indonesia secara fundamental tidak
bisa dibandingkan dengan Islam di wilayah-wilayah lain; dan karena itu, kasus Islam
Indonesia tidak memiliki relevansi bagi negara-negara Muslim lain. Para penulis
menegaskan, secara alamiah mereka menerima kenyataan bahwa Islam Indonesia
memiliki fitur dan karakter khas. Dengan mempertimbangkan keragaman dunia
Muslim sejak dari Dakar ke Dhaka, dari Istanbul ke Tashkent, dan dari Baghdad ke
Dar es Salaam, Islam Indonesia juga tidak selalu lazim dalam konteks setiap tempat
tersebut.

Dalam kaitan dengan demokrasi, ketika data untuk karya ini dikumpulkan pada 2008,
Indonesia merupakan satu-satunya negara Muslim dengan sistem politik demokrasi.
Menurut penulis, jika data dikumpulkan pada 2012, misalnya, Tunisia, Pakistan, dan
Bangladesh juga dapat disebut sebagai negara dengan demokrasi yang tengah bangkit.
Dengan pertumbuhan demokrasi di beberapa negara Muslim, Indonesia tidak lagi
menjadi pengecualian sebagai negara Muslim demokrasi.

Ketiga penulis mengakui, Indonesia dengan demokrasinya sebagai kasus langka


negara berpenduduk mayoritas beragama Islam di dunia Muslim kontemporer. Lebih
jauh, Indonesia bukan hanya lebih demokratis dibandingkan negara-negara Muslim
lain, misalnya, di Timur Tengah, tetapi juga lengkap dengan kompetisi politik
demokrasi secara bebas.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 12 Juli 2018. Prof Azyumardi Azra
(1955-2022) adalah cendekiawan Muslim terkemuka dan mantan rektor UIN Syarif
Hidayatullah.

Kesalehan dan Politik: Islam Indonesia (2)


04 Jan 2024, 03:50 WIB
Islam Indonesia adalah bagian integral dari ortodoksi Islam secara keseluruhan.

Oleh AZYUMARDI AZRA


Secara substantif—sejauh menyangkut subjek kesalehan keislaman Muslim Indonesia
dalam kaitan dengan politik dan demokrasi—penerbitan buku Piety and Public
Opinion: Understanding Indonesian Islam karya tiga ahli ilmu politik Thomas B
Pepinsky, R William Liddle, dan Saiful Mujani (Oxford: Oxford University Press,
2918) sangat penting untuk memahami Islam Indonesia.
Pemahaman tentang subjek terkait menjadi lebih lengkap lagi dengan membaca
Voting Behavior in Indonesia since Democratization: Critical Democrats, karya Saiful
Mujani, R William Liddle, dan Kuskridho Ambardi (Cambridge: Cambridge
University Press, 2018). Kedua karya ini melengkapi satu sama lain.

Secara akademik, penerbitan kedua karya ini secara berbarengan (2018), juga sangat
penting dicatat. Kedua karya diterbitkan dua penerbit Universitas Oxford dan
Universitas Cambridge — dua universitas paling top di Inggris Raya.

Dilihat dari substansi yang dibahas, penerbitan kedua buku ini memberikan kontribusi
penting kepada studi Islam secara global menyangkut Islam Indonesia. Kedua buku ini
memperlihatkan, Indonesia memiliki merit-nya sendiri untuk dikaji serius dan dalam,
khususnya dalam kaitan antara Islam dan politik Indonesia.

Dalam waktu 30 tahun terakhir sebenarnya sudah mulai muncul kalangan


Islamisis dan Indonesianis yang mengoreksi mispersepsi dan distorsi itu.
SHARE

Dalam konteks kajian Islam umumnya, kedua karya secara membahas hubungan
antara Islam dan kesalehan keagamaan para pemeluknya dengan politik, demokrasi,
dan perilaku politik, khususnya ketika memilih dalam pemilu (voting behavior).
Subjek-subjek ini dibahas dengan mengangkat Indonesia sebagai negara Muslim
terbesar di jagat raya yang sekaligus merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di
dunia setelah India dan Amerika Serikat.
Signifikansi dan kontribusi kedua karya ini pada kajian Islam umumnya adalah
dengan mengangkat Indonesia sebagai showcase, terlihat adanya kompatibilitas antara
Islam dan demokrasi. Kaum Muslim Indonesia umumnya lebih menerima sistem
politik demokrasi daripada sistem politik lain, seperti teokrasi atau
totalitarianismeotoritarianisme militer atau sipil.

Padahal, kebanyakan negara Muslim lain di Asia Selatan, Timur Tengah, kawasan
Maghrib dan Afrika Hitam masih bergulat dengan demokrasi; sistem politik
demokrasi sulit mendapatkan akar-akarnya di dalam kehidupan politik masyarakat
Muslim lokal.

Oleh karena itu, kedua karya ini kembali menempatkan Islam Indonesia dalam kaitan
dengan dunia Islam global. Dalam banyak hal—terutama dari segi doktrin—para
penulis buku ini menegaskan, Islam Indonesia adalah bagian integral dari ortodoksi
Islam secara keseluruhan.

Dengan argumen, kedua buku ini membantah persepsi kalangan Islamisis dan
Indonesianis yang dalam waktu lama menganggap Islam Indonesia sebagai 'Islam
tidak sebenarnya', 'Islam sinkretik' atau 'Islam periferal'. Kalangan ini menganggap
'Islam sebenarnya' hanya ada di dunia Arab. Oleh karena itu, mereka menganggap
Islam identik dengan Arab.

Dalam waktu 30 tahun terakhir sebenarnya sudah mulai muncul kalangan Islamisis
dan Indonesianis yang mengoreksi mispersepsi dan distorsi itu. Sejumlah karya
akademis yang menempatkan Islam Indonesia sebagai bagian integral ortodoksi Islam
dan dunia Muslim telah diterbitkan. Namun, karya-karya itu masih belum mampu
menghilangkan mispersepsi dan distorsi tersebut.

Sebaliknya karya Saiful Mujani et al dalam menempatkan Islam Indonesia sebagai


bagian integral Islam dan dunia Muslim, juga menjelaskannya melalui perspektif
perbandingan. Dengan perspektif komparatif itu dapat terlihat distingsi Islam
Indonesia baik dalam hal keagamaan—seperti kesalehan (piety) maupun perilaku
politik, khususnya terkait demokrasi.

Namun, fenomena aktual kaum Muslimin tidak dapat dijelaskan hanya dengan
kajian dan pendekatan normatif dan teologis.
SHARE

Sekali lagi, dalam perspektif komparatif itu terlihat, Islam Indonesia dan kaum
Muslimin negeri ini mengikuti ortodoksi Islam seperti ada dalam Alquran, hadis Nabi
yang sahih, dan ijtihad ulama otoritatif. Oleh karena itu, dalam hal mengukur
kesalehan keislaman, ukuran dan parameter yang digunakan para penulis buku ini
bersifat doktriner dan normatif sesuai dengan ortodoksi Islam itu sendiri.

Namun, fenomena aktual kaum Muslimin tidak dapat dijelaskan hanya dengan kajian
dan pendekatan normatif dan teologis. Sebaliknya, diperlukan kajian empiris,
termasuk pendekatan kuantitatif yang digunakan para penulis kedua buku. Data untuk
menjelaskan fenomena empiris itu dilakukan dengan mengumpulkan pendapat umum
sebagaimana direpresentasikan kaum Muslimin Indonesia sendiri maupun kalangan
non-Muslim yang mengamati dan terlibat interaksi dengan para penganut Islam
Indonesia.

Melalui pendekatan seperti itu dapat terlihat distingsi Islam Indonesia. Jadi, meski
Islam Indonesia dan kaum Musliminnya mengikuti ortodoksi Islam umumnya, pada
saat yang sama juga ada kekhasan yang tidak atau sulit ditemukan di negara-negara
penduduk mayoritas Muslim lain di bagian dunia manapun. Distingsi Islam Indonesia
itu tidak hanya menyangkut cara pandang dunia dan praksis sosial, budaya, dan
politik, tapi juga dalam kehidupan sosial dan kultural keagamaan (religio
sociocultural) serta politik, khususnya demokrasi.

Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 19 Juli 2018. Prof Azyumardi Azra
(1955-2022) adalah cendekiawan Muslim terkemuka dan mantan rektor UIN Syarif
Hidayatullah.
Kesalehan dan Politik: Islam Indonesia (3)
11 Jan 2024, 04:00 WIB
Kenyataan, pemahaman, dan praksis Islam tidak monolitik.

Oleh AZYUMARDI AZRA


Indonesia mengalami transisi dari otoritarianisme sejak 1998. Dalam dua dasawarsa
demokrasi, Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk juga terus mengalami
'kebangkitan' (resurgence). Berbarengan dengan Islamic resurgence yang bermula
sejak paroan kedua dasawarsa 1980-an, demokrasi juga sudah sampai pada titik yang
tidak mungkin dimundurkan lagi (point of no return).
Menyimak perkembangan Indonesia dan negara-negara Muslim lain, tiga ahli ilmu
politik Thomas B Pepinsky, R William Liddle, dan Saiful Mujani dalam buku Piety
and Public Opinion: Understanding Indonesian Islam (Oxford: Oxford University
Press, 2918) membenarkan argumen John Esposito dan John O Voll dalam Islam and
Democracy (1996). Esposito dan Voll menyatakan: "Kebangkitan agama dan
demokratisasi adalah dua perkembangan terpenting dalam dasawarsa-dasawarsa
terakhir abad 20."
Dalam Islamic Resurgence, agama ini terlihat kian menonjol di ranah publik. Untuk
menyebut beberapa contoh; terus meluasnya pemakaian jilbab dan busana
Muslim/Muslimah, terus berlipat gandanya jumlah calon jamaah haji dan umrah,
meningkatnya perbankan syariah. Karena itu: [Islam] "terus memainkan peran penting
baik di ranah pribadi maupun publik lebih dari satu miliar orang", tulis ketiga
penulis Piety and Public Opinion dalam pengantarnya.
Perubahan dan perkembangan ini tidak mudah dipahami banyak pengamat dan
peneliti baik Muslim maupun non-Muslim. "Mereka kesulitan memahami konsekuensi
kebangkitan Islam di dunia yang tengah mengalami demokratisasi. Apakah partisipasi
politik demokratis populasi yang semakin religius akan mengarah pada kemenangan
kaum Islamis di kotak suara pemilu?" Sejumlah pertanyaan terkait lain masih dapat
diajukan. Pastilah tidak mudah menjawab banyak pertanyaan semacam itu. Namun,
terkait dengan populasi yang kian religius, ada asumsi yang sedikit bertolak belakang
bahwa Muslim yang saleh tidak otomatis bakal memilih parpol Islam.
Perilaku politik mereka dapat dipengaruhi persepsi dan kepedulian pada parpol
Islam.
SHARE

Perilaku politik mereka dapat dipengaruhi persepsi dan kepedulian pada parpol Islam.
Apakah mereka peduli atau tidak pada parpol Islam; atau apakah mereka percaya pada
platform Islam yang dianut parpol bersangkutan sebagai memang benar-benar 'Islami'
atau memperjuangkan kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Apa yang dimaksud
ketiga penulis buku ini dengan 'kesalehan' (piety)? Mereka memandang perlu adanya
konseptualisasi 'kesalehan'. Namun, tidak mudah merumuskan konseptualisasi
'kesalehan' atau 'religiusitas', bahkan dengan menggunakan kerangka normatif
sekalipun.

Hal ini terkait kenyataan, pemahaman, dan praksis Islam tidak monolitik;
konseptualisasi 'kesalehan' bisa berbeda di antara berbagai aliran, mazhab, atau
kelompok Muslim— misalnya di antara Salafi dengan aliran Suni lain; dan tentu saja
juga antara Suni dan Syiah atau di antara berbagai aliran Syiah.

Menghadapi kesulitan konseptualisasi, ketiga penulis memulai dengan empat asumsi


pokok. Pertama, kesa leh an adalah milik individu; walaupun ada kesalehan publik,
akhirnya kesalehan berakar pada individu. Kedua, kesalehan individual tidak dapat
diobservasi karena kesalehan adalah keadaan mental internal. Ketiga, kesalehan
bersifat multifaceted—dapat tampil dalam berbagai bentuk. Keempat, kesalehan
bersifat a-political. Dengan empat asumsi itu, ketiga penulis memulai konseptualisasi
kesalehan dengan mengakui, terkait dengan teologi Islam, kesalehan keislaman
memerlukan kepercayaan dan pengamalan lima rukun Islam.

Muslim yang mempercayai dan menjalankan rukun Islam lebih memiliki kesalehan
dibanding Muslim yang tak sepenuhnya mempercayai dan mempraktikkannya.
Akhirnya konseptualisasi kesalehan keislaman menurut ketiga penulis mencakup
ibadah atau ritual, orientasi, dan perilaku.

Ritual menunjukkan ketaatan pada rukun Islam; orientasi mencerminkan kepercayaan


individu tentang hubungannya dengan Islam; dan perilaku memperlihatkan praktik
yang tidak mengandung bobot teologis khusus, tetapi mencerminkan keimanan-
keislaman.

Akhirnya konseptualisasi kesalehan keislaman menurut ketiga penulis


mencakup ibadah atau ritual, orientasi, dan perilaku.
SHARE

Dengan kerangka seperti itu, seberapa tinggi tingkat kesalehan Muslim Indonesia
seperti ditemukan ketiga penulis Piety and Public Opinion? Hasil nya bagi sebagian
orang mungkin mencengangkan. Hampir seluruh Muslim Indonesia menyatakan
agama penting (20,7 persen) dan sangat penting (79.0 persen); berpikir tentang agama
(sering 43,0 persen) dan selalu (47,7 persen); shalat lima waktu, sering (21,3 persen)
dan selalu (66,4 persen); puasa Ramadhan, sering (14,2 persen) dan selalu (81,6
persen); membayar zakat setelah Ramadhan, sering (12,2 persen) dan selalu 83,7
persen).
Skor Muslim Indonesia lebih rendah dalam hal regularitas membaca Alquran dan
mengerjakan shalat sunah. Mereka juga tidak rajin menghadiri majelis taklim atau ikut
dalam tahlilan ketika ada anggota jamaah yang wafat. Tingkat kesalehan yang tinggi
dalam ibadah mahdhah seperti mengerjakan shalat dan puasa atau membayar zakat
tidak mengagetkan. Profesor Nikki Keddie dari UCLA menemukan (1986), lelaki
Muslim Jakarta memiliki tingkat kesalehan tinggi; lebih rajin shalat Jumat dibanding
Muslim di Kairo dan Tehran.

Selanjutnya kecenderungan yang sama juga ditemukan Profesor Riaz Hassan dari
Adelaide University. Dalam penelitian bertajuk Faithlines: Muslim Conception of
Islam and Society (2003), Hassan menemukan Muslim Indonesia menduduki skor
tertinggi kesalehan dalam soal aqidah, ibadah, dan muamalah dibandingkan dengan
Muslimin di sejumlah negara lain.

Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 26 Juli 2018. Prof Azyumardi Azra
(1955-2022) adalah cendekiawan Muslim terkemuka dan mantan rektor UIN Syarif
Hidayatullah.
Kesalehan dan Politik: Islam Indonesia
(4/Habis)
18 Jan 2024, 04:00 WIB
Bahkan, dalam pilpres, partai-partai Islam hanya menjadi figuran pendukung.

Jika kaum Muslim Indonesia memiliki indeks kesalehan yang sangat tinggi dalam
ibadah mahdhah, seperti sembahyang, puasa, naik haji-umrah, dan membayar ziswaf
(zakat, infak, sedekah, dan wakaf), mengapa partai berasas Islam seperti PPP, PKS,
atau PBB tidak berhasil mendapatkan suara signifikan dalam pemilu masa pasca-
Soeharto? Selain Pemilu 1955 yang dipandang banyak ahli sebagai paling demokratis,
pemilu zaman Presiden Soeharto yang tidak demokratis, dan kembali lagi demokratis
pada masa reformasi (1999, 2004, 2009, 2014, dan nanti 2019).

Dalam semua pemilu (pileg) partai-partai Islam memperoleh suara jauh di bawah
partai berasaskan Pancasila (PDIP 1999, Partai Golkar 2004, Partai Demokrat 2009,
PDIP 2014).

Bahkan, dalam pilpres, partai-partai Islam hanya menjadi figuran pendukung;


pencalonan capres-cawapres didominasi partai-partai berasas Pancasila. Begitu juga
dalam pilkada sejak 2005, mayoritas bupati/wali kota dan gubernur yang menang
berasal dari partai berasas Pancasila. Hasilnya, tidak aneh jika ketiga sarjana ahli ilmu
politik (Pepinsky, Liddle, dan Mujani) dalam buku Piety and Public Opinion:
Understanding Indonesian Islam (2018) menyimpulkan: "Kesalehan di antara kaum
Muslimin Indonesia secara esensial tidak berkaitan dengan masalah pokok dalam
kehidupan politik dan ekonomi."

Bahkan, dalam pilpres, partai-partai Islam hanya menjadi figuran pendukung.


SHARE
Menurut mereka, perilaku politik kaum Muslim Indonesia lebih dipengaruhi
transformasi sosial ekonomi [daripada politik], yang terjadi berbarengan dengan
Islamic resurgence di Indonesia. Atas dasar ini, ketiga penulis menyatakan, temuan-
temuan mereka harus menjadi pertimbangan penting bagi ahli lain yang menganggap
ke bang kitan agama (peningkatan kesalehan atau religiositas) mengakibatkan
terjadinya transformasi politik dan masyarakat di Indonesia atau bagian dunia Muslim
lain.

Temuan-temuan penelitian yang diungkapkan dalam Piety and Public Opinion,


menurut ketiga penulis buku, secara langsung membantah penafsiran histerikal dan
sensasional tentang Islamic revivalism yang dikemukakan Oriana Fallaci (2002),
Robert Spencer (2005), atau Ayaan Hirsi Ali (2015). Mereka menggambarkan
kebangkitan Islam kontemporer sebagai "abad pertengahan, barbarik, illiberal, atau
sedikitnya fundamentalis anti-demokrasi".

Para penulis menegaskan, temuan penelitian mereka sepatutnya mendorong para ahli
berpikir ulang tentang "politik aliran"—berdasarkan kerangka antropolog AS Clifford
Geertz dalam Religion of Java (1960)— tentang kategorisasi "santri" dan "abangan".
Anggapan tentang santri sebagai practising Muslim dan abangan sebagai nominal
Muslim atau "ID card Muslim" berdampak pada perilaku politik membelah politik
Indonesia kini sudah tidak relevan lagi.

Melunturnya kategorisasi santri-abangan dalam masyarakat Muslim Jawa—atau


Muslim Indonesia secara keseluruhan—merupakan salah satu hasil dari proses
"santrinisasi" atau "re-Islamisasi" yang terus meningkat sejak paroan kedua dasawarsa
1980-an. Mereka yang disebut abangan, karena faktor sosial-agama, budaya,
pendidikan, dan ekonomi, menemukan kecintaan baru (new attachment) kepada Islam;
sebagian mereka merasa lahir kembali sebagai Muslim (born again Muslim).

Tidak lagi relevannya politik aliran jelas banyak terkait dengan Islamic
resurgence yang terus berlangsung di Indonesia.
SHARE
Tidak lagi relevannya politik aliran jelas banyak terkait dengan Islamic
resurgence yang terus berlangsung di Indonesia. Selain itu, Islamic resurgence
mendorong terjadinya konvergensi di antara berbagai aliran dan mazhab di antara
Muslimin Indonesia. Perbedaan-perbedaan dalam hal ranting (furu'iyah) semakin
menghilang; berbagai aliran dan mazhab Sunni Indonesia saling bertukar pemahaman
dan praktik keislaman.
Tetapi, sekali lagi, peningkatan kecintaan pada Islam (kesalehan) tidak secara
otomatis menimbulkan dampak pada politik. Ketika gelom bang demokrasi melanda
Indonesia sejak 1998, kaum Muslimin Indonesia umumnya menerima demokrasi.
Dengan begitu, mereka memperlihatkan Islam Indonesia kompatibel dengan
demokrasi. Dalam konteks itu, ketiga ahli ilmu politik dalam kesimpulannya
menegaskan, sebagian besar kaum Muslim Indonesia "memang benar-benar saleh dan
pembelahan santri-abangan tidak lagi cocok ke dalam berbagai bentuk dan ekspresi
kesalehan itu".

Jika ada ahli dan pengamat politik yang masih khawatir Islam adalah ancaman bagi
demokrasi, Pepinsky, Liddle, dan Mujani menegaskan, hal itu bukan karena keimanan
kaum Muslimin Indonesia. "Hal itu lebih disebabkan strategi dan pilihan langkah yang
diambil parpol, apakah berdasar Islam atau tidak." Partai mana pun yang mengambil
kebijakan "populis" mendapatkan dukungan lebih besar.

Akhirnya, tulis ketiga ahli ilmu politik ini, tantangan apapun terhadap demokrasi
Indonesia, datang bukan dari kaum Muslimin, melainkan dari proses politik yang
korup dan kotor. Di sini aktor politik Islam hanyalah salah satu bagian dari banyak
aktor politik lain. Meski begitu, Muslimin Indonesia tetap berpartisipasi dalam proses
politik demokrasi Indonesia.

Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 2 Agustus 2018. Prof Azyumardi
Azra (1955-2022) adalah cendekiawan Muslim terkemuka dan mantan rektor UIN
Syarif Hidayatullah.
Debat Cawapres Soal Kripto dan Pandangan
Fikih
17 Jan 2024, 06:04 WIB
Kripto termasuk persoalan baru yang tergolong kepada fikh tawaqqu’at.

Oleh MUKTI ALI QUSYAIRI, Penulis Buku Ulama Bertutur Tentang Jokowi
Gibran Rakabumingraka—disebut Gibran—pada 22 Desember 2023 dalam Debat
Cawapres menyatakan akan mendukung berbagai bisnis dan transaksi digital, di antara
yang disebut adalah kripto.

Gibran menyatakan, “Kita akan siapkan anak-anak muda yang ahli artificial
intelligence, kita akan siapkan anak-anak mudah yang ahli blockchain..anak-anak
muda yang ahli kripto.”
Sebagai bagian dari generasi muda yang lebih memahami realitas kekinian dan
teknologi digital, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Gibran tentu saja cawapres
yang paling ‘melek’ dunia digital daripada kedua cawapres lainnya.

Varian
Pernyataan Gibran tentang kripto itu menjadi tema pembicaraan di kalangan santri,
ulama, kiai, ustaz, dan pemerhati agama Islam serta para aktivis Muslim yang gairah
keberagamaannya sedang menguat. Mengingat kripto ini masih belum familiar dan
asing bagi kaum Muslim.

Sejatinya kripto banyak jenisnya, yang secara umum dapat dibagi sebagai berikut.

Pertama, jenis kripto yang dilandasi pada aset riil seperti emas, perak. Dari aspek
fikih Islam, kripto jenis ini tidak ada masalah alias halal.
Sebab, ada fisik yang mengandung nilai yang berpotensi terjadi kenaikan nilai yang
dijadikan sebagai barang yang ditransaksikan.

Kedua, jenis kripto yang tidak dilandasi aset riil di mana program digitalnya dimiliki
oleh perusahaan digital sepeti Bitcoin, Ethereum, Tether, dan lainnya. Jika ada yang
menggunakan kripto, bisa mendaftarkan diri ke perusahaan kripto.
Yang diperdebatkan, khilafiyah, oleh para ulama adalah jenis yang kedua ini. Para
ulama yang mengatakan halal maupun haram, memiliki dalil dan dasar argumen
tersendiri.
Sebagian ulama yang mengatakan halal berargumen bahwa sistem kripto justru
berpotensi menjadi dasar sistem keuangan Islami, sebab lebih terbebas dari riba
dibanding dengan uang fiat dan bank konvensional.

Ini karena sistem blockchain menjalankan transaksi langsung peer-to-peer tanpa


perantara, sementara uang fiat hanya berjalan berkat ditopang bank sentral yang
bersistem bunga.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kehalalan dan haramannya kripto


bergantung pada pengakuan dan perlindungan negara. Bagi
mereka, cryptocurrency atau cryptoasset halal selama tidak dilarang oleh negara
atau pemerintah.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kehalalan dan haramannya kripto bergantung


pada pengakuan dan perlindungan negara. Bagi
mereka, cryptocurrency atau cryptoasset halal selama tidak dilarang oleh negara atau
pemerintah.
Sedangkan sebagian ulama yang lain menyatakan haram, sebab tingkat volatilitas
kripto tinggi sehingga dapat menyerupai judi dan tidak bisa diperdagangkan karena
tidak ada underlying asset atau tidak mengandung aset yang berupa fisik yang
mengandung dan berpotensi kenaikan nilai.

Di Indonesia, kripto diakui sebagai komoditas dan bukan mata uang, dan transaksi
kripto atau cryptocurrency di Indonesia semakin diterima masyarakat sebagai peluang
bisnis dan investasi. Sebab praktiknya bisa dicairkan dalam bentuk uang fisik, yaitu
rupiah, dolar, real, dan lainnya. Namun, umat Islam di Indonesia masih menghadapi
pro-kontra.
Sedangkan pemerintah telah memberikan izin cryptocurrency di Indonesia yang
dikeluarkan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti)
seiring dengan terbitnya peraturan Bappebti (Perba). Hingga 2022, daftar aset kripto
yang telah mengantongi izin di Indonesia mencapai 219. Di antaranya Bitcoin,
Ethereum, Tether, dan lainnya.
Ketiga, penambang kripto. Ada beberapa sahabat saya yang memiliki penambangan
kripto menjelaskan kepada saya bahwa untuk bisa menambang kripto harus
mempersiapkan perangkat-perangkat yang memadai.
Di antaranya beberapa buah komputer PC, beberapa hardits yang isi GB (gigabyte)
sangat tinggi, listrik yang memadai, dan program kripto. Sehingga, para penambang
kripto hanya modal awal yang dileluarkan untuk memberli perangkat-perangkat
tersebut. Selanjutnya tidak mengeluarkan anggaran lagi.
Para penambang kripto bercerita bahwa mereka tidak pernah rugi. Selalu
mendapatkan untung atau pemasukan. Hanya saja pemasukannya bersifat fluktuatif,
naik-turun.

Namun, pemasukan pertama dalam beberapa bulan pertama atau setahun pertama
untuk mengembalikan modal pembelian perangkat-perangkat tersebut. Selanjutnya
baru mengunduh keuntungan. Tentu saja dibersamai dengan biaya listrik
dan maintenance, pemeliharaan.
Berdasarkan penjelasan dari para penambang kripto, maka jenis ini tidak mengandung
ghurur atau dharar serta adanya manfaat dan keuntungan yang didapatkan.

Prinsip-prinsip transaksi
Sebagai realitas perekonomian digital, kripto laju perkembangannya cukup massif,
dan per-2023, berdasarkan data Bappebti, total investor kripto di Indonesia mencapai
17,91 juta orang hingga September 2023.

Sedangkan sekala global, dunia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa per-
2023 kapasitas pasar kripto secara worldwide mencapai 1,41 triliun dolar AS dengan
jumlah koin tidak kurang dari 20 ribu, dan pengguna secara global 420 juta.

Kripto adalah persoalan yang sangat baru, yang tidak dikenal dalam dunia keuangan
dan ekonomi yang belum dibahas di dalam kitab-kitab fikih klasik Islam.
Kripto termasuk persoalan baru yang tergolong kepada fikh tawaqqu’at, yakni fikih
yang membahas tentang masalah-masalah yang diprediksikan melalui aktivitas ijtihad
—individu atau kolektif ulama—dengan menggunakan berbagai perangkat manhaj
(metodologi) fikih, di antaranya, yaitu ushul fiqh, al-mashalih al-mursalah, maqashid
al-syari’ah, dan qawa’id al-fiqhiyah.
Karena Islam membolehkan ijtihad terhadap persoalan-persoalan baru berdasarkan
dua hadis.

Pertama, hadis yang menjelaskan bahwa Mu’ad bin Jabal akan menggunakan ijtihad
ketika tidak ditemukan dalam Alquran dan hadis. Dan Nabi SAW membenarkannya.

Kedua, hadis, “Barangsiapa yang berijtihad lalu tepat, maka ia akan mendapatkan dua
pahala. Dan barangsiapa yang berijtihad lalu keliru maka ia akan mendapatkan satu
pahala” (HR Muslim nomor 1716).

Hadis ini banyak dikutip para ulama dalam kitab ushul fikih ketika membahas bab
ijtihad seperti kitab Waraqat, Jam’u al-Jawami’,dan lainnya.
Berbagai jenis transaksi dalam perspektif Islam sejatinya adalah halal. Sebagaimana
dikatakan dalam qawa’id al-fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih) bahwa al-ashlu fi al-
mu’amalah wa fi al-‘uqud al-ibahah (hukum asal dari kegiatan ekonomi dan transaksi
adalah boleh).
Berbagai kitab-kitab fikih klasik, seperti kitab Fathu al-Qarib, Fahu al-Mu’in, al-
Iqna’, Fathu al-Wahab menjelaskan berbagai jenis transaksi yang dalam perspektif
Islam adalah boleh dan halal.
Yaitu al-bai’ (jual-beli), al-ijarah (sewa-menyewa), ju’alah (janji atau komitmen
memberikan imbalan dari keberhasilan satu pekerjaan), qiradh (kerjasama usaha
antara pemodal dan pengelola), al-musaaqat (kerja sama merawat tanaman dengan
imbalan dari hasil tanaman tersebut), musyarakah (kerjasama dan sharing
profit), syuf’ah, al-salam (pesan-memesan), mudharabah (investasi), al-qardhu (utang
-piutang), hibah, wakalah, dan lainnya.
Akan tetapi berbagai kegiatan ekonomi dan transaksi diperbolehkan dengan tetap
harus mengikuti rambu-rambu yang telah ditentukan.
Dalam persoalan kegiatan perekonomian, transaksi dan bisnis apapun, termasuk
kripto, dalam Islam yang terpenting memenuhi syarat-syarat dan mematuhi rambu-
rambu yang telah ditentukan sebagai berikut.

Saling ridha dan ikhlas antarkedua pihak yang bertransaksi. Disebut dalam fikih
dengan 'an taradhin atau ridhan bi ridha.

Pertama, saling ridha dan ikhlas antarkedua pihak yang bertransaksi. Disebut dalam
fikih dengan 'an taradhin atau ridhan bi ridha.
Artinya pihak pertama dan pihak kedua ridha dan sepakat atas dan barang dan harga.
Pihak pertama ridha atau rela memberikan sejumlah uang sesuai dengan harga sembali
menerima barang dan pihak kedua ridha atau rela menyerahkan barang yang
dimilikinya sembari menerima sejumlah uang dari pihak pertama.

Kedua, wujudu al-manfa’at (barang yang ditransaksikan mengandung kemanfaatan).


Ketiga, 'adamu al-dharar (tidak mengandung madharat atau bahaya). Artinya tidak
ada unsur bahaya, yang di antara bahaya adalah mengganggu atau memperburuk
perekonomian domestik maupun perekonomian dunia atau barang yang ditransaksikan
mengandung bahaya.
Keempat, 'adamu al-gharar (tidak ada unsur penipuan). Kelima,‘adamu al-riba (tidak
ada unsur riba). Keenam, ‘adamu al-ghabn al-fahisy (tidak adanya kecurangan yang
zalim/menjijikan).
Ketujuh, wujud al-maslahah al-maliyah (adanya kemaslahatan perekonomian).
Kedelapan, Berbasis pada hifdzu al-mal (menjaga dan mengembangkan harta) sebagai
salah satu dari al-maqashid al-syariah (tujuan-tujuan universal syariat) yang ada lima
(al-kulliyat al-khamsah).
Aset kripto adalah harta kekayaan atau maal menurut fikih. Sebab kullu syaiin lahu
qimah (setiap sesuatu yang mengandung nilai) disebut sebagai harta benda.
Ketika harta itu dicuri, maka pencurinya harus disanksi, dan kalau dirusak maka harus
diganti. Dan selama berlandaskan pada prinsip-prinsip tersebut, maka kripto
atau cryptocurrency adalah sah sebagai aktivitas transaksi keuangan.
Jaminan
Kedelapan prinsip tersebut, belum ada jaminan aman bagi pengguna kripto. Sebab
hanya nilai-nilai dan prinsip-prinisp yang bersifat normatif saja. Nilai-nilai itu bisa
terwujud dengan tiga poin penting sebagai solusi bagi mereka yang tertarik
menggunakan kripto.

Pertama, sosialisasi literasi digital pada umumnya dan khususnya


tentang cryptocurrency secara masif ke masyarakat. Agar masyarakat mendapatkan
pengetahuan yang memadai apa itu kripto dan bagaimana cara menggunakannya serta
cara agar bisa mendapatkan untuk dan terhindar dari kerugian dan ghurur.
Kedua, memahami dan mengetahui cara menggunakan kripto dengan benar. Ilmu
pengetahuan sekaligus aplikasinya harus dikuasai.

Bagi yang sudah memahaminya dengan pengetahuan yang memadai, maka boleh
menggunakan kripto, dengan asumsi bahwa mereka dapat meraih prinsip-prinsip
transaksi dalam Islam yaitu tidak terkena madharat dan ghurur, merasakan mafaatnya,
dan sembari meraih keuntungan.

Tidak diperkenankan menggunakan kripto bagi mereka yang tidak atau belum
memahaminya dengan pengetahuan yang memadai, sebab mereka akan
menemukan madharat dan ghurur, tidak mendapatkan manfaat.

Akan tetapi tidak diperkenankan menggunakan kripto bagi mereka yang tidak atau
belum memahaminya dengan pengetahuan yang memadai, sebab mereka akan
menemukan madharat dan ghurur, tidak mendapatkan manfaat. Alih-alih ingin
mendapatkan laba, keuntungan, malahan mendapatkan kerugian. Boleh dibilang
adalah haram bagi mereka yang tidak memahami kripto untuk menggunakan kripto,
karena pasti akan rugi.
Karena itu, masyarakat agar tidak boleh gegabah melakukan transaksi ini, jika tidak
memiliki pengetahuan tentang cryptocurrency. Karena cryptocurrency mengandung
spekulasi dan fluktuasi yang dinamis serta mengharuskan seseorang untuk
memahaminya secara utuh, mengingat cryptocurrency adalah barang baru di dunia
maya.
Ketiga, regulasi dari pemerintah. Pemerintah harus membuat regulasi yang ketat
terkait dengan kripto dengan tujuan sebagai berikut.

Pertama, pemerintah menetapkan kripto ke dalam kategori komoditas dan bukan mata
uang. Sebab mata uang Indonesia hanya satu, rupiah.

Meski pada praktiknya terkadang kripto bisa menjadi alat tukar (‘umlah) dan
terkadang menjadi komoditas (shil’ah). Akan tetapi meski bisa sebagai alat tukar,
tetapi di dalamnya mengandung nilai berapa rupiah atau berapa dolar.
Sil’ah (komoditas) ada dua jenis, yaitu sil’ah malzamah (komoditas konkret)
dan sil’ah ghair malzamah (komoditas yang tidak konkret). Kripto tergolong
komoditas yang tidak konkret, lantaran keberadaannya bersifat virtual dan di dunia
maya bukan di dunia nyata.
Meski sil’ah dalam konteks keuangan modern sudah bukan lagi sesuatu yang ajeg,
dan tetap, melainkan fluktuatif dan dinamis. Sebagaimana mata uang juga bersifat
dinamis dan fluktuatif, kadang rupiah menguat dan kadang melemah di mata dolar.
Semua mata uang bersifat dinamis dan fluktuatif. Mata uang pun pada saat yang sama
bisa menjadi komoditas atau barang yang memberi keuntungan lantaran sifatnya yang
fluktuatif.

Saat ini, underlying asset atau aset keuangan yang menjadi dasar harga instrumen
derivatis mata uang bukan hanya cadangan emas, melainkan juga soal keamanan
sebuah negara, volume investasi, daya jual, ekspor-impor, sentimen pasar, dan
lainnya.
Kedua, pemerintah melalui Bappebti memiliki aturan tentang perusahaan digital
khususnya kripto sehingga ada ukuran dan standarisasi kelayakan, kapasitas,
kapabilitas, dan kredibilitas sebuah perusahaan kripto.

Jika memenuhi standar maka akan mendapatkan izin, dan yang tidak memenuhi
standar maka tidak masuk dan tidak boleh mendapatkan izin. Bagi perusahaan kripto
yang tidak mendapatkan izin ditegaskan sebagai ilegal.
Ketiga, untuk menghindari penyalahgunaan dan penyimpangan transaksi kripto.
Sebab, jika kripto sangat bebas tanpa ada kontrol negara dan tanpa ada pihak yang
bertanggung jawab akan digunakan oleh oknum untuk cuci uang, jual beli narkoba,
beli senjata oleh gerakan teroris, dan yang lainnya.

Keempat, ke depan, pemerintah harus lebih pro-aktif dalam mengatur transaksi bisnis
dan keuangan di dunia maya. Demi melindungi ekonomi warganya. Saat ini ruang
publik ada offline dan online. Sehingga harus diberi perlakuan yang sama.
Kelima, pemerintah juga sudah seharusnya memberikan pelatihan tentang kripto dan
umumnya tentang perekonomian dan transaksi digital. Bisa dilakukan oleh
Kementerian Keuangan dan Kementerian yang lain.

Ini selaras dengan apa yang dikatakan Gibran, “Kita akan siapkan anak-anak muda
yang ahli artificial intelligence, kita akan siapkan anak-anak mudah yang
ahli blockchain, anak-anak muda yang ahli kripto.”

Tegakkan Pemilu Berkeadaban,


Aisyiyah dan Bawaslu Gelar
Sosialisasi Pengawasan Partisipatif
Desember 23, 2023
Padang, Suara ‘Aisyiyah – Implementasi MoU Bawaslu dengan Lembaga Penelitian dan
Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) PP ‘Aisyiyah, LPPA Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA)
Sumatera Barat bersama Bawaslu Sumbar menggelar Forum Sosialisasi Pengawasan
Partisipatif untuk sukses pemilihan umum tahun 2024 di Kota Padang, Provinsi Sumbar.
Kegiatan yang dilaksanakan di aula Politeknik ‘Aisyiyah (Polita) Sumbar pada Jumat (22/12)
itu diikuti oleh jajaran PWA Sumbar dan mahasiswa Polita.

Hadir dalam kesempatan tersebut Bawaslu Pusat Alni, Bendahara LPPA PP ‘Aisyiyah
Khusnul Hidayah, Wakil PWA Meiliarni Rusli, Wakil Ketua Yarmis Syukur, Sekretaris
PWA Sumbar Delvina, Bendahara PWA Sumbar, dan Ketua LPPA PWA Sumbar Salma.
Ketua LPPA PWA Sumbar, Salma mengucapkan terima kasih atas kerja sama yang apik
antara Bawaslu dengan ‘Aisyiyah sehingga bisa mengadakan kegiatan ini. “Kegiatan ini
merupakan tindak lanjut MoU LPP PP ‘Aisyiyah dengan Bawaslu pusat yang kemudian
dilanjutkan dengan kerja sama dengan LPPA PWA Sumbar dengan Bawaslu Sumbar. Ini
sebuah sinergi yang sangat baik sekali dan perlu dilanjutkan,” katanya.

Dalam sambutannya, Bendahara LPPA PP ‘Aisyiyah, Khusnul Hidayah mengatakan, dalam


menghadapi pemilu, PP ‘Aisyiyah sudah mengadakan berbagai kegiatan. “Terima kasih
kepada Bawaslu yang telah berkolaborasi dengan ‘Aisyiyah dalam menciptakan pemilu yang
berintegritas, berkeadaban dan jauh dari politik uang,” katanya.

Baca Juga: Politik Representasi Perempuan Menuju Pemilu 2024

Ia menekankan warga ‘Aisyiyah dan masyarakat pada umumnya untuk golput dan harus
menghindari politik uang. “‘Aisyiyah berharap Pemilu 2024 menjadi ajang rekonsiliasi
nasional dan mencegah terjadinya pembelahan politik yang potensial merusak integrasi
bangsa. Pemimpin yang terpilih semoga sesuai dengan kompentensi dan mempunyai
keberpihakan pada masyarakat,” imbuh Khusnul.

Sementara itu, Bawaslu Pusat, Alni mengatakan, perempuan mempunyai peran penting dalam
keluarga. Selain menjadi ibu bagi anak-anaknya, perempuan harus mampu menjadi soko
guru, yaitu penyangga utama dalam keluarga. Oleh karenanya, perampuan harus mampu
menjadi pendidik dalam segala hal, termasuk dalam pendidikan politik demokratis, dimana
pelaksanaannya berdasarkan pada asas Luberjurdil.

“Caranya perempuan harus berani melaporkan jika menemui dugaan pelanggaran


Pemilu. Perempuan dapat terlibat aktif dengan menjadi Pemantau Pemilu. Atau menjadi agen
sosialisasi partisipatif, yang dapat mengajak masyarakat untuk menjadi agen pengawas
Pemilu,” katanya.

“Pemberian uang dan sembako dalam jumlah apapun dilarang. Hanya diperbolehkan barang
atau perlengkapan,” Tuturnya. Ia menambahkan, kampanye di kampus tidak boleh
mengganggu proses pembelajaran dan harus dilakukan di hari libur. (rie)-sb

Dampak Ekonomi Konflik Palestina-Israel


04 Dec 2023, 07:00 WIB
Ekonom menjelaskan dampak konflik Palestina-Israel terhadap perekonomian dunia.

Oleh ADIWARMAN A KARIM


Gian Maria Milesi-Ferretti, peneliti The Hutchins Center on Fiscal and Monetary
Policy, dalam artikelnya “The Israel and Gaza war: Economic repercussions”
menjelaskan dampak konflik Palestina-Israel terhadap perekonomian dunia.
Pertama, pasar energi langsung merasakan dampaknya. Harga minyak naik 5 dolar
AS per barel sejak awal konflik bersenjata walaupun produksi minyak belum
terdampak.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook October 2022
memperkirakan, kenaikan harga minyak 10 persen akan menurunkan pertumbuhan
ekonomi dunia sebesar 0,15 persen, dan menaikkan inflasi global 0,4 persen.

Kedua, naiknya risiko global dengan kekhawatiran meluasnya konflik menjadi


konflik kawasan memberi tekanan pada nilai dolar AS. Beberapa negara berkembang
yang memiliki kerapuhan utang luar negeri semakin kehilangan kepercayaan investor
global.
Risiko penurunan pertumbuhan dan kenaikan inflasi global, dan berlanjutnya konflik
bersenjata setelah jeda kemanusiaan, membuat pasar keuangan semakin pesimistis.

Naiknya risiko global dengan kekhawatiran meluasnya konflik menjadi konflik


kawasan memberi tekanan pada nilai dolar AS. Beberapa negara berkembang
yang memiliki kerapuhan utang luar negeri semakin kehilangan kepercayaan
investor global.

Ketiga, perekonomian regional akan terdampak negatif. Data historis menunjukkan


Israel termasuk memiliki ketahanan ekonomi yang kuat melewati perang.
Sebelum konflik bersenjata, perekonomian Israel kuat sebagai net creditor yang
berjumlah lebih dari 30 persen dari produk domestik bruto (PDB)-nya, dan cadangan
devisa lebih dari 200 miliar dolar AS.
Konflik bersenjata berdampak melalui pasar tenaga kerja, penurunan jumlah
wisatawan, penurunan investasi dan aliran modal.

Mata uang Israel, shekel, telah melemah beberapa bulan sebelum konflik akibat
kontroversi keputusan Mahkamah Agung Israel, semakin mendapat tekanan besar
sehingga nilainya melemah 5 persen sejak awal Oktober 2023.
Bank Sentral Israel mengambil beberapa kebijakan untuk mengatasinya, termasuk
program menjual cadangan devisa sampai dengan 30 miliar dolar AS.

Nouriel Roubini, profesor New York University, dalam artikelnya “The Economic
Consequences of the Gaza War” menjelaskan empat skenario akhir konflik ini.

Skenario pertama, konflik tidak meluas menjadi konflik wilayah; Israel terus
menghantam Gaza yang menimbulkan banyak korban sipil; Netanyahu turun dari
jabatannya; sentimen rakyat Israel tetap menolak solusi dua negara; normalisasi
hubungan Israel-Arab Saudi dibekukan; Iran tetap menjadi pemain penting di
kawasan; Amerikat Serikat tetap khawatir letupan berikutnya.
Dampak ekonomi skenario pertama ini tidak signifikan. Harga minyak tetap stabil;
ekonomi Iran tetap stagnan akibat sanksi yang mendorong kedekatan Iran dengan
Cina dan Rusia. Israel akan mengalami resesi yang serius, tapi tetap terkelola. Eropa
akan mengalami resesi ringan.

Skenario kedua, konflik ini berakhir dengan normalisasi kawasan dan perdamaian.
Hamas dan Netanyahu dipinggirkan, kekuatan moderat Palestina dan Israel menguat.
Normalisasi Israel-Saudi berjalan lagi yang akan dimanfaatkan Israel untuk barter
politik dengan Iran. Penerimaan Iran atas normalisasi akan ditukar dengan
pembicaraan baru tentang nuklir Iran dan pencabutan sanksi atas Iran.

Skenario ini tentu memberi dampak sangat positif terhadap ekonomi kawasan dan
global.

Skenario ketiga, konflik meluas menjadi konflik kawasan yang melibatkan Hizbullah
di Lebanon, dan mungkin Iran yang dapat merembet ke kekuatan pro Iran di Suriah,
Irak, Yaman.
Jika Israel dan Hizbullah terlibat perang skala penuh, Israel dengan dukungan AS
akan menyerang instalasi nuklir Iran, yang dibalas Iran dengan perang yang lebih luas
yang dapat mendorong penggunaan senjata nuklir.

Jika Israel dan AS benar-benar mengebom Iran, maka harga minyak akan naik, terjadi
stagflasi dunia, pasar saham anjlok, volatilitas harga pasar obligasi, dan larinya modal
ke aset risiko rendah, seperti emas.
Jika Israel dan AS benar-benar mengebom Iran, maka harga minyak akan naik,
terjadi stagflasi dunia, pasar saham anjlok, volatilitas harga pasar obligasi, dan
larinya modal ke aset risiko rendah, seperti emas.

Ekonomi Cina dan Eropa akan terkena dampak negatif yang lebih besar daripada AS
karena saat ini AS adalah eksportir netto dan dapat mengenakan pajak windfall
profit akibat kenaikan harga minyak kepada produsen minyaknya untuk digunakan
sebagai subsidi ke rakyat AS.
Pemerintahan Iran tetap bertahan, seluruh kawasan menjadi lebih radikal dan
konfrontatif, upaya perdamaian menjauh. Joe Biden akan kesulitan mempertahankan
kekuasannya.

Skenario keempat, konflik meluas menjadi konflik kawasan dan terjadi pergantian
pemerintahan di Iran. Israel dan AS menyerang instalasi nuklir, militer, dan pimpinan
Iran.
Rakyat Iran mendukung pemimpin baru yang lebih moderat, seperti mantan presiden
Hassan Rouhani. Pergantian ini meniadakan keterkucilan Iran dari komunitas
internasional.

Stagflasi tetap terjadi, tapi akan membawa stabilitas dan pertumbuhan yang kuat di
Timur Tengah.

Roubini memperkirakan probabilitas skenario pertama 50 persen, yaitu keadaan


tetap status quo; 15 persen skenario kedua, yaitu akan membaik, damai, stabil,
pertumbuhan, ; 30 persen skenario ketiga, yaitu konflik besar kawasan; dan 5 persen
skenario keempat, yaitu konflik kawasan yang berakhir baik.
Artinya, skenario pertama dan kedua mencapai 65 persen konflik tidak meluas
menjadi konflik kawasan. Hanya 35 persen, yaitu skenario ketiga dan keempat,
konflik menjadi konflik besar di kawasan.
Yang sangat mengkhawatirkan adalah skenario pertama, ketiga, keempat yang
membawa dampak buruk ekonomi mencapai 85 persen. Hanya skenario kedua saja
sebesar 15 persen yang memberi dampak positif bagi perekonomian.

Yang sangat mengkhawatirkan adalah skenario pertama, ketiga, keempat yang


membawa dampak buruk ekonomi mencapai 85 persen. Hanya skenario kedua
saja sebesar 15 persen yang memberi dampak positif bagi perekonomian.

Robin Wright, peneliti Wilson Center, dalam artikelnya “The Five Global Dangers
from the Gaza War” menjelaskan lima dampak konflik ini terhadap ekonomi dunia.

Pertama, disrupsi ekonomi berupa kejutan ganda sektor energi, yaitu kejutan konflik
Ukraina-Rusia dan kejutan konflik Israel-Palestina.

Kedua, kerapuhan militer mulai menunjukkan gejala meluasnya konflik berupa


serangan ke instalasi militer AS di kawasan.

Sejak 17 Oktober 2023 tercatat 14 serangan yang mengingatkan serangan pada 23


Oktober 1983 di barak militer AS di Lebanon yang menewaskan 241 tentara Marinir
AS. Kejadian itu begitu traumatis karena insiden kematian tentara AS terbanyak
setelah pertempuran Iwo Jima dalam Perang Dunia II.

Ketiga, perubahan peta dukungan internasional yang mengejutkan Israel dan AS.
Tekanan terhadap kebijakan Israel menghancurkan Gaza telah melampaui batas
kemanusiaan sehingga mitra tradisional Israel satu per satu mengecam Israel.

Keempat, munculnya Cina sebagai kekuatan penentu. AS telah terkuras energinya


dalam perang Ukraina, dan saat ini AS semakin terbebani dengan memberikan
komitmen dukungan pada Israel.

Rusia juga banyak terkuras energinya dalam perang Ukraina. Sedangkan Cina lebih
leluasa memperluas pengaruhnya terutama di belahan selatan dunia yang sebagian
besar bersimpati pada Palestina.
Kelima, Israel harus menghadapi kenyataan pahit bahwa perang konvensional antara
Israel dengan negara-negara Arab, sangat berbeda dengan perang pejuang Palestina.

Sejak tahun 1948-1973 Israel telah mengalami empat peperangan dengan negara-
negara Arab, yang menimbulkan mitos kedigdayaan militer Israel, tentunya dengan
dukungan penuh AS. Namun konflik di Gaza sangat berbeda.

Israel hanya berhasil membumiratakan gedung-gedung, menimbulkan korban sipil


sebagian besar anak-anak dan wanita. Kekuatan militer Palestina dan persembunyian
para sandera tidak tersentuh oleh Israel, bahkan dengan dukungan AS.

Allah SWT berfirman, “Wamakaru wa makarallah, wallahu khairul makirin”, mereka


membuat tipu daya dan Allah pun membalas tipu daya mereka. Allah sebaik-baik
pembalas tipu daya

Efektivitas Boikot Ekonomi


20 Nov 2023, 07:00 WIB
Boikot yang didorong alasan agama memberikan dampak negatif dan signifikan.

Oleh ADIWARMAN A KARIM


Brayden King, profesor Northwestern University, dalam artikelnya “Do Boycotts
Work?” menyimpulkan boikot efektif mengancam reputasi daripada menurunkan
penjualan.

Jura Liaukonyte, Anna Tuchman, Xinrong Zhu, peneliti Northwestern University,


dalam artikelnya “Do Social Media Boycotts and Buycotts Translate to Real Sales
Impact?” menyimpulkan dampak boikot bahkan setelah skandal besar pun, tidak akan
berlangsung lama.

Paul Koku, Aigbe Akhigbe, Thomas Springer, peneliti Florida Atlantic University,
dalam artikel mereka “The Financial Impact of Boycotts and Threats of Boycott”
menjelaskan tidak ada perbedaan yang signifikan antara boikot dan ancaman boikot,
bahkan nilai perusahaan meningkat karena meningkatnya popularitas membuat
dinamika jual-beli saham meningkat.

Emily Kitazawa dalam artikelnya “Does Boycotting Work? Why It Actually Makes
Things Worse?” menyimpulkan boikot seringkali tidak efektif karena bagi sebagian
konsumen menengah bawah tidak mampu secara ekonomi untuk membeli produk lain.
Namun demikian tidak semua boikot tidak efektif.

Daniel Diermeier, profesor Northwestern University, dalam artikelnya “When Do


Company Boycotts Work?” menjelaskan beberapa hal yang dapat membuat boikot
efektif.

Pertama, konsumen memang memiliki komitmen yang kuat untuk hal yang
diperjuangkannya melalui boikot. Kedua, biaya melakukan boikot rendah untuk
beralih ke produk lain.

Ketiga, alasan penyebab boikot haruslah suatu yang mudah dipahami. Keempat,
dukungan media masa yang luas akan menguatkan proses boikot.

Georgy Egorov dan Bard Harstad, masing-masing peneliti Northwestern University


dan University of Oslo, dalam artikel mereka “Boycotts are more likely to be effective
in industries which are highly competitive” menyimpulkan boikot hanya akan efektif
untuk produk yang saling berkompetisi ketat karena konsumen dapat dengan mudah
berganti produk.

Organisasi Ethical Consumer dalam artikelnya “History of Successful Boycotts”


memiliki daftar panjang kesuksesan boikot bahkan sejak tahun 1791 ketika Inggris
memboikot gula yang diproduksi oleh sistem perbudakan. Ethical Consumer
mempublikasi keberhasilan boikot di masa modern ini sejak tahun 2000.

Tujuan boikot adalah menyampaikan pesan untuk terjadinya perubahan


kebijakan korporasi dan perilaku sosial dari perilaku korporasi atau perilaku
negara yang diboikot.

Yang perlu digarisbawahi adalah tujuan boikot bukanlah menurunkan penjualan atau
keuntungan perusahaan yang diboikot. Tujuan boikot adalah menyampaikan pesan
untuk terjadinya perubahan kebijakan korporasi dan perilaku sosial dari perilaku
korporasi atau perilaku negara yang diboikot.

Pada April 2022, boikot yang dilakukan oleh lebih dari 100 organisasi berhasil
menggagalkan rencana kegiatan besar di Inggris yang untuk pertama kalinya akan
dilakukan konferensi internasional LGBT yang diorganisasi pemerintah.

Pada Juni 2022, boikot juga berhasil mengubah kebijakan Air France, satu-satunya
penerbangan utama Eropa, yang masih membolehkan transportasi hewan monyet
untuk eksperimen laboratorium. Dan masih banyak lagi daftar keberhasilan boikot.

Viking Bohman dan Hillevi Parup, peneliti Tufts University dan peneliti King’s
College London, dalam artikel mereka “Chinese consumer boycotts of foreign
companies” menjelaskan dua hal yang dihadapi perusahaan asing yang diboikot di
Cina.

Pertama, sikap politik negara asal menimbulkan sentimen negatif di pasar Cina
sehingga boikot berlangsung efektif. Kedua, peningkatan kualitas produk Cina
memudahkan konsumen beralih produk.

Avosag, peneliti School of African Studies, dalam artikelnya “The Influenced of


Religiously Motivated Consumer Boycotts on Brand Image, Loyalty, dan Product
Judgment” menemukan hal yang menarik.

Upaya memperbaiki citra perusahaan setelah boikot akan memerlukan waktu


yang lama walaupun setelah boikot itu ada fatwa yang “mendukung”
perusahaan tersebut.

Pertama, boikot yang didorong alasan agama memberikan dampak negatif dan
signifikan. Kedua, boikot tidak mempengaruhi penilaian konsumen terhadap kualitas
produk.

Ketiga, boikot menurunkan loyalitas konsumen. Keempat, upaya memperbaiki citra


perusahaan setelah boikot akan memerlukan waktu yang lama walaupun setelah
boikot itu ada fatwa yang “mendukung” perusahaan tersebut.
Leor Halevi, profesor Vanderbilt University, dalam artikelnya “The Consumer Jihad:
Boycott fatwas and nonviolent resistance on the world wide web” menjelaskan
pengaruh akses internet yang memudahkan penyebaran fatwa boikot.

Halevi menyimpulkan adanya dampak ekonomi terhadap perusahaan multinasional


yang diboikot dan mendorong perubahan kebijakan korporasi mereka.

Mahmoud Farouh dan Mansour Abdelrhim, peneliti Nile University dan peneliti Ain
Shams University, dalam artikel mereka “The Impact of the Muslim boycott to protest
against the caricatures of the Prophet Muhammad on the French stock market sectors”
menyimpulkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap cumulative average
abnormal returns (CAAR) pada periode sebelum dan periode setelah boikot.
Akibat boikot produk Denmark, ekspor Denmark ke Timur Tengah turun separuh
dalam periode Februari-Juni 2006 senilai 170 juta dolar AS. Produk Arla juga terkena
dampak boikot senilai 70 juta dolar AS.

Raghad Injass, Tamat Sarmidi, Malek Injas, peneliti National University of Malaysia,
dalam artikel mereka “The Effectiveness of the Popular Boycott to the Israeli Goods”
menjelaskan boikot yang dilakukan konsumen Palestina di wilayah pendudukan
terhadap produk-produk Israel, meningkatkan permintaan terhadap produk Palestina,
mendukung dan menguatkan industri Palestina untuk produk-produk yang dapat
diproduksi Palestina.

Sophia Menache, peneliti University of Haifa, dalam artikelnya “Papal Attempts at a


commercial boycott of the Muslims in the crusader period” menjelaskan boikot yang
dilakukan pemimpin agama Kristen terhadap pedagang Muslim di era Perang Salib.

Pertama, secara ekonomi boikot tidak efektif karena perdagangan antara Muslim dan
Kristen menguntungkan para pedagang di kedua belah pihak. Kedua, secara sosial,
anjuran boikot efektif menguatkan perilaku konflik antara Muslim dan Kristen.

Boikot ekonomi yang didasari persaingan dagang atau faktor preferensi sosial
politik memiliki dampak ekonomi yang sangat berbeda dengan boikot yang
didasari pelecehan agama apalagi pelecehan kemanusiaan.
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa No 83 Tahun 2023 tanggal 8
November 2023 yang menghukumi haram berpihak pada agresor dengan menyatakan
“mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik
langsung maupun tidak langsung hukumnya haram”.

Fatwa itu juga mengajak “umat Islam diimbau untuk semaksimal mungkin
menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel serta
yang mendukung penjajahan dan Zionisme”.

Kejahatan kemanusiaan, kezaliman, dan penjajahan dalam ajaran agama apapun dan
dalam nilai budaya manapun tidak dapat diterima.

Boikot ekonomi yang didasari persaingan dagang atau faktor preferensi sosial politik
memiliki dampak ekonomi yang sangat berbeda dengan boikot yang didasari
pelecehan agama apalagi pelecehan kemanusiaan.

Dalam praktiknya, kadangkala boikot yang dilandasi persaingan dagang


memanfaatkan sentimen negatif yang muncul dari boikot yang dilandasi pelecehan
agama dan kemanusiaan.

Di sinilah benang merah garis pembatas harus dibentangkan. Selalu berpihak pada
kebenaran, selalu menebarkan kebaikan.

Hilirisasi, Industrialisasi, dan Ketahanan


Ekonomi
09 Oct 2023, 07:00 WIB
Hilirisasi yang tepat akan menciptakan proses industrialisasi yang efisien dan berdaya
saing.

Bruce Blonigen, peneliti University of Oregon dan National Bureau of Economic


Research, dalam risetnya “Industrial Policy and Downstream Export Performance”,
menyimpulkan kebijakan industri negara-negara penghasil baja yang ditujukan untuk
mendorong kemajuan industri baja, tapi tidak dilakukan dengan komprehensif, akan
merugikan industri hilirnya.

Kenaikan satu persen industri baja akan menurunkan 1,2 persen daya saing ekspor
industri hilirnya, dan penurunan enam persen industri hilir yang menggunakan baja
secara signifikan.

Miyagiwa dan Ohno, masing-masing peneliti Florida International University dan


Hokkaido University, dalam riset mereka “Credibility of Protection and Incentives to
Innovate” menunjukkan proteksi dan subsidi dapat menghilangkan daya saing industri
bila pemerintah tidak menetapkan besaran dan jangka waktunya. Parahnya lagi, yang
kehilangan daya saing bukan saja industri yang disubsidi, tapi juga industri hilir dan
hulunya.

Olle Ostensson, peneliti University of Dundee, dalam risetnya “Promoting


Downstream Processing: Resource Nationalism or Industrial Policy?” menjelaskan
bahwa daripada memberikan subsidi dan proteksi untuk mendorong industri hilir,
akan lebih baik membuat kebijakan industri yang menghilangkan berbagai kendala
yang mencegah industri mencapai kinerja terbaiknya. Misalkan, kebijakan
peningkatan kompetensi, dukungan kredit, pasokan energi, infrastruktur transportasi,
dan regulasi lainnya yang menghambat.

Hilirisasi yang dilakukan dengan tepat akan menciptakan proses industrialisasi yang
efisien dan berdaya saing. Tetsuji Murase, peneliti Kyoto University, dalam risetnya
“Economic Survelilance in East Asia and Prospective Issues" menjelaskan perlunya
melihat ketahanan ekonomi dalam perspektif regional yang lebih luas dalam lingkup
ASEAN+3, karena perekonomian suatu negara saling berhubungan dengan negara
lain.

Eka Puspitawati, peneliti Pertamina University, dalam risetnya "Indonesia


Industrialization and Industrial Policy: Peer Learning from China’s Experiences"
menyimpulkan empat hal penting dari keberhasilan industrialisasi Cina yang dapat
diterapkan Indonesia.
Kebijakan industri harus menimbulkan efek multiplier dan mendorong sisi
permintaan serta mendorong industri hulu berkembang.

Pertama, koordinasi dan integrasi wajib dilakukan untuk kesuksesan proses


transformasi industri. Kedua, kebijakan industri harus menimbulkan
efek multiplier dan mendorong sisi permintaan serta mendorong industri hulu
berkembang.
Ketiga, keterbukaan terhadap teknologi baru, yang pada awalnya mencakup investasi
asing, impor bahan baku antara, dan selanjutnya diikuti penggunaan sumber daya
lokal.
Keempat, liberalisasi pasar lokal yang diikuti dengan liberalisasi pasar
internasional. Keenam, proses industrilaisasi harus disertai kebijakan inovasi.
Asian Development Bank dalam bukunya, Thailand Industrialization and Ecoomic
Catch Up, menjelaskan kendala yang dihadapi Thailand dalam proses transisi menjadi
negara industri modern dan ekononmi jasa.
Pertama, reformasi pasar dan kompetisi agar meningkatkan daya saing. Kedua,
meningkatkan infrastruktur yang mendukung industri modern dan ekonomi jasa.

Ketiga, meningkatkan akses kepada jasa keuangan dan teknologi untuk usaha kecil
dan mikro. Keempat, membangun kebijakan sosial dan pendidikan yang efektif.
Kelima, mendorong pertumbuhan dan pembangunan yang seimbang di antara
berbagai regional.

Pelajaran dari Cina dan Thailand ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat
untuk membangun industrialisasi yang tidak mengabaikan usaha kecil dan mikro,
yang mengintegrasikan ekonomi desa dan ekonomi kota, yang saling mendukung
sektor pertanian dan sektor lainnya. Pada titik inilah ketahanan pangan menjadi pilar
penting dari ketahanan ekonomi suatu negara.

Pelajaran dari Cina dan Thailand ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia
saat untuk membangun industrialisasi yang tidak mengabaikan usaha kecil dan
mikro, yang mengintegrasikan ekonomi desa dan ekonomi kota, yang saling
mendukung sektor pertanian dan sektor lainnya.

Domenico Lombardi dan Ngaire Woods, peneliti Oxford University, dalam riset
mereka “The Politics of Influence: An Analysis of IMF Surveillance” menjelaskan hal
penting terdapat bukti bahwa belum ada satu pun ketahanan bilateral maupun
multilateral yang distruktur dan diorganisasi untuk mendorong terjadinya sosialisasi
IMF Surveillance. Akibatnya masing-masing negara mengambangkan kebijakan
ketahanan ekonominya sendiri-sendiri, yang tanpa disadari dapat menimbulkan tarik-
menarik yang saling menihilkan.

Setiap negara sangat berkepentingan untuk ketahanan ekonominya agar tidak


menderita “penjajahan gaya baru” melalui dominasi ekonomi negara lain atas
negaranya.

Shoshana Zuboff, professor Harvard Business School, dalam bukunya, The Age of
Surveillance Capitalism, menjelaskan dengan gamblang. Zaman ini adalah zaman
inovasi dan sekaligus zaman tidak-perlu-memiliki (dispossession). Kedua hal ini dapat
menimbulkan penindasan ekonomi (economic oppression) gaya baru oleh mereka
yang menguasai teknologi.
Salah satu pilar penting ketahahan ekonomi adalah ketahanan pangan. Ini bahkan
diatur dalam UU tentang Pangan yang mencakup kedaulatan pangan, kemandirian
pangan, serta keamanan pangan.

Belajar dari pengalaman Cina dan Thailand, ketahanan pangan tidak boleh dikecilkan
menjadi sektor pertanian saja. Ketahanan pangan harus menjadi bagian terintegrasi
dengan proses industrialisasi, teknologi, infrastruktur, keuangan, dan industri
pendukung lainnya di hulu dan di hilir.

Ketahanan pangan tidak boleh dikecilkan menjadi sektor pertanian saja.


Ketahanan pangan harus menjadi bagian terintegrasi dengan proses
industrialisasi, teknologi, infrastruktur, keuangan, dan industri pendukung
lainnya di hulu dan di hilir.

Hashem al Malah dalam bukunya, Al Waseet in Arabic History, dan Ahmad al Shareef
dalam bukunya, Makah and al Madinah during al Jahilia and Prophet Muhammad
Era, menjelaskan produksi gandum di Madinah selalu mencukupi kebutuhan.
Madinah memiliki kemandirian pangan.
Ibnu Mubaraak dalam bukunya, Al Tajreed and Al Sareeh, menjelaskan dalam
keadaan tertentu Madinah juga mengimpor gandum dan biji-bijian dari Turki dan
Suriah.
Nour Eldin dalam bukunya, Wafa al Wafa, menjelaskan kismis diimpor dari Thaif.
Catatan sejarah ini penting untuk memahami kemandirian pangan sekaligus
keterbukaan ekonomi ketika diperlukan impor.
Abu Khalil Shawqi dalam buku, Arab Islamic Civilization, menjelaskan pada zaman
Bani Abbasiyah, produksi pangan semakin baik dengan teknologi irigasi. Saadoun
Hussein dalam artikelnya “Basra with Scarves” bahkan menjelaskan pangan
berkelimpahan dan diekspor melalui Basra.
Qassem Sameh dalam artikelnya “Hunger and the Goodies” menjelaskan terjadinya
beberapa kali kelaparan, kemiskinan, penindasan akibat korupsi yang sempat
mengguncangkan stabilitas politik dan pemberontakan di zaman Isa bin Mansour dari
Bani Abbasiyah.

Helen Mets dalam bukunya, Iraq, menjelaskan ketika kekuasan Mongol menguasai
Irak, irigasi tidak dipelihara dengan baik, produksi pangan menurun drastis. Perang
dan pemberontakan, serta perebutan lahan produksi pangan semakin membuat
hancurnya produksi pangan yang selanjutnya menimbulkan kelaparan.

Indonesia saat ini berada dalam dinamika geopolitik antara dua kekuatan besar
ekonomi dunia, Amerika Serikat dan Cina, masing-masing dengan sekutunya.
Hilirisasi haruslah dilihat sebagai bagian industrialisasi yang akan menambah
ketahanan ekonomi Indonesia.
Indonesia saat ini berada dalam dinamika geopolitik antara dua kekuatan besar
ekonomi dunia, Amerika Serikat dan Cina, masing-masing dengan sekutunya.
Hilirisasi haruslah dilihat sebagai bagian industrialisasi yang akan menambah
ketahanan ekonomi Indonesia. Ketahanan ekonomi tidak akan berjalan tanpa
ketahanan pangan.

Rasulullah SAW mengingatkan, “Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran”.


Kemiskinan lahiriah dan kemiskinan batiniah.

Indonesia adalah negara kaya sumber daya alam yang harus dikelola sebaik-baiknya.
Rasulullah SAW juga mengingatkan, “Kaya itu bukanlah banyak harta. Tapi kaya itu
adalah kaya jiwa, selalu merasa cukup”.

Bismillah.

BPN dan Ekonomi Pertanahan


18 Sep 2023, 07:00 WIB
Integrasi sistem pertanahan dan penataan ruang melalui skema digital menjadi agenda
penting.

Oleh SUNARSIP
Belakangan ini, topik agraria kembali menjadi diskusi oleh sejumlah kalangan.
Diskusi tersebut terutama terfokus pada bagaimana menciptakan harmoni antara
upaya pemerintah mendorong investasi, sekaligus menciptakan iklim yang sehat
terhadap pengelolaan isu-isu pertanahan.

Sayangnya, diskusi yang berkembang lebih banyak menyoroti terkait konfliknya.


Sedangkan, pembahasan mengenai bagaimana perbaikan terhadap pengelolaan
administrasi pertanahan masih sangat kurang.

Konsekuensinya, pembahasan mengenai dampak ekonomi dari kebijakan pengelolaan


pertanahan jarang diulas. Sebagai contoh, berapa banyak pihak yang menaruh
perhatian bahwa pengelolaan administrasi pertanahan memberikan dampak terhadap
pengendalian inflasi.

Berapa banyak pihak yang menaruh perhatian bahwa pengelolaan administrasi


pertanahan memberikan dampak terhadap pengendalian inflasi.

Berapa banyak pihak yang memahami bahwa pengelolaan administrasi pertanahan


juga memberikan kontribusi pada kegiatan di sektor perbankan. Dan berapa banyak
pihak yang memahami bahwa pengelolaan administrasi pertanahan memberikan
kontribusi pada peningkatan pendapatan. Dan terakhir, berapa banyak pihak yang
mendalami bahwa di balik kinerja pertumbuhan ekonomi saat ini, terdapat pula peran
pengelolaan administrasi pertanahan.

Karena topik-topik seperti ini “hilang” dari diskursus, pembahasan mengenai


pertanahan cenderung tersudut pada satu topik: konflik agraria.

Kita sepakat bahwa hampir seluruh aktivitas ekonomi bersentuhan dengan pertanahan.
Seiring dengan perkembangan ekonomi, kedudukan tanah kini menjadi semakin
penting. Penambahan manusia dan aktivitas ekonomi membutuhkan penambahan
tanah. Di sisi lain, luas lahan tidak bisa ditambah.

Oleh karenanya, pemanfaatan lahan secara optimal yang didukung legalitas yang kuat
menjadi hal penting untuk diwujudkan. Dalam konteks inilah, kita memerlukan
kegiatan pengelolaan administrasi pertanahan yang baik.

Terlebih bagi kita di Indonesia, di mana ruang darat hanya meliputi kurang dari 30
persen total luas Indonesia. Peran tata ruang tanah karenanya menjadi salah satu
tantangan yang harus diakomodir secara optimal.

Pemanfaatan lahan secara optimal yang didukung legalitas yang kuat menjadi
hal penting untuk diwujudkan. Dalam konteks inilah, kita memerlukan kegiatan
pengelolaan administrasi pertanahan yang baik.
Di Indonesia, pengelolaan administrasi pertanahan dilakukan oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Lembaga inilah yang berperan penting dalam penataan, pengadaan,
pengendalian atas pemanfaatan dan penguasaan tanah, dan penanganan masalah
pertanahan. Perannya sebagai pengelola administrasi pertanahan, menempatkan BPN
sebagai pendukung (enablers), sehingga kualitas administrasi pertanahan akan
berpengaruh pada kegiatan ekonomi.
Secara empiris menunjukkan bahwa negara dengan kualitas administrasi pertanahan
lebih tinggi, memiliki tingkat investasi lebih baik, sebagaimana ditunjukkan oleh
peringkat Ease of Doing Business (EoDB) yang dikeluarkan Bank Dunia.

Sejauh ini, peran BPN dalam pengelolaan administrasi pertanahan telah berjalan baik.
Salah satu indikatornya terlihat dari kinerja di bidang pelayanan administrasi
pertanahan yang diselesaikan BPN. Realisasi kinerja di bidang layanan administrasi
tersebut terlihat dari realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNPB) setiap tahunnya
yang tinggi.

Pada 2022, total PNBP yang disetorkan BPN mencapai Rp2,63 triliun tertinggi dalam
6 tahun terakhir yang biasanya mencapai Rp 2 triliun - Rp 2,3 triliun. Tingginya
PNBP memperlihatkan bahwa penyelesaian administrasi pertanahan juga mengalami
peningkatan. Ini mengingat, dalam setiap kegiatan layanan administrasi pertanahan
melekat pula di dalamnya biaya yang dibayarkan oleh pemohon layanan dan menjadi
PNBP bagi BPN.

Melalui indikator ini, kita dapat melihat bahwa BPN telah memainkan peran penting
sebagai enablers bagi pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat, dengan didaftarkan dan
memiliki sertifikat, masyarakat dapat menjaminkan tanahnya untuk mendapatkan
pinjaman atau kredit untuk usaha.
Tambahan aktivitas usaha ini diharapkan dapat menciptakan setidaknya tiga manfaat
ekonomi, yaitu peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan
kenaikan output produksi yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Selain dari indikator layanan administrasi pertanahan, peran BPN
sebagai enablers antara lain juga tercermin dari pengelolaan hak tanggungan tanah
yang telah diselesaikan. Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah yang
diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk jaminan utangnya. Dalam praktiknya,
hak tanggungan digunakan sebagai jaminan dalam transaksi kredit perbankan atau
meminjam uang.
Berdasarkan data dari BPN, sampai dengan Agustus 2023, nilai hak tanggungan yang
beredar mencapai Rp 6.755 triliun. Angka ini memperlihatkan nilai sertifikat tanah
yang dimanfaatkan sebagai agunan kredit perbankan.

Nilai sertifikat tanah yang dimanfaatkan sebagai agunan kredit perbankan tersebut
setara dengan nilai kredit perbankan yang pada Juni 2023 lalu mencapai Rp 6.567
triliun. Dari perspektif masyarakat debitur, indikator ini memperlihatkan bahwa
keberadaan legalitas tanah melalui sertifikat tanah telah mendorong akses masyarakat
dalam memperoleh pendanaan bagi kegiatan usahanya.

Dari perspektif masyarakat debitur, indikator ini memperlihatkan bahwa


keberadaan legalitas tanah melalui sertifikat tanah telah mendorong akses
masyarakat dalam memperoleh pendanaan bagi kegiatan usahanya.

Melalui kebijakan Reforma Agraria, BPN juga berperan penting dalam mewujudkan
keadilan ekonomi, khususnya pertanahan. Salah satu strateginya adalah mengurangi
ketimpangan penguasaan tanah adalah melalui Reforma Agraria.

Reforma Agraria memiliki dua bentuk, yaitu legalisasi aset dan redistribusi tanah.
Berdasarkan data dari Kementerian ATR/BPN, ketimpangan penguasaan dan
pemilikan tanah pertanian di Indonesia saat ini berada pada angka 0,49 yang berada
pada kategori merata sedang.

Angka indeks ketimpangan ini berarti bahwa 1 persen penduduk menguasai sekitar 49
persen luas tanah, sedangkan 99 persen menguasai 51 persen luas lahan. Indeks
ketimpangan ini membaik dibanding sebelumnya yang masuk kategori tinggi, di atas
0,50.
Kinerja di atas menunjukkan bahwa BPN telah menjalan peran yang baik
sebagai enablers maupun redistribusi aset. Namun demikian, harus diakui bahwa
kewajiban untuk menghadirkan jaminan kepastian dan perlindungan hukum hak atas
tanah masih menjadi tugas besar yang harus diselesaikan.
Pemerintah masih perlu mempercepat penuntasan pendaftaran bidang tanah, termasuk
bidang-bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat. Diperkirakan, jumlah tanah
yang terindikasi terlantar mencapai 968,54 ribu hektare (ATR/BPN, 2019).

Banyaknya tanah terlantar mengindikasikan lahan yang ada belum dimanfaatkan


secara optimal. Saat ini, pemerintah memiliki target untuk menuntaskan pendaftaran
seluruh bidang tanah yang ada hingga tahun 2025.

Selain kepastian hukum, kepastian nilai juga masih menjadi tantangan yang harus
diselesaikan. Berdasarkan data dari situs Global Property Guide, nilai tanah per meter
persegi di Indonesia tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia, di
bawah Thailand, Malaysia, India, Vietnam, bahkan Filipina.

Rendahnya nilai tanah menyebabkan monetisasi tanah sebagai agunan untuk


mendapatkan pembiayaan menjadi lebih rendah dari potensinya. Penciptaan pasar
tanah yang efisien diperlukan untuk mewujudkan manfaat tanah yang optimal bagi
kesejahteraan masyarakat.

Penciptaan pasar tanah yang efisien diperlukan untuk mewujudkan manfaat


tanah yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat.

Isu spekulasi tanah juga masih menjadi tantangan. Keberadaan spekulasi


menyebabkan inefisiensi. Spekulasi menyebabkan harga transaksi lebih tinggi dari
nilai keekonomian lahan yang bersangkutan. Kondisi ini akhirnya mendorong
kenaikan harga tanah yang seharusnya tidak terjadi, dan menciptakan inflasi akibat
kenaikan biaya (cost push inflation).
Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan menyediakan informasi nilai
tanah secara transparan dengan mempertimbangkan nilai ekonomi maupun nilai sosial
dan budaya yang melekat. Keterbukaan informasi ini akan menurunkan biaya untuk
mencari informasi (searching costs) dan menciptakan kepastian dan transparansi
dalam administrasi pertanahan yang sekaligus memperkecil peluang terjadinya
korupsi di dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah.
Salah satu prasyarat penting adalah adanya tata kelola informasi pertanahan berbasis
bidang tanah (persil) yang andal. Belajar dari pengalaman di Lithuania, Korea Selatan,
Rwanda, dan Inggris, memperlihatkan bahwa inovasi pengelolaan informasi
pertanahan telah berhasil meningkatkan secara dramatis keberhasilan reformasi
pertanahan dan peningkatan kemudahan berusaha (Bank Dunia, 2015).

Penulis yakin bahwa BPN pun telah mengantisipasi kecenderungan global dalam
manajemen pengelolaan lahan tersebut. Penerapan teknologi informasi dan
komunikasi melalui digitalisasi proses dan layanan menjadi krusial untuk mendukung
implementasi kebijakan pertanahan.

Integrasi sistem pertanahan dan penataan ruang melalui skema digital menjadi agenda
penting yang perlu dipacu untuk mendukung pelayanan pertanahan dan tata ruang
yang mendukung bagi kemudahan investasi dan berusaha.

Selanjutnya, pemanfaatan teknologi informasi juga perlu didorong dalam rangka


menciptakan transparansi terhadap informasi nilai tanah, sebagai sarana untuk
mengurangi spekulasi.

Anda mungkin juga menyukai