Anda di halaman 1dari 16

MEWUJUDKAN ISLAM MODERAT PADA MUSLIM URBAN

DAN GENERASI MILLENNIAL MELALUI MEDIA SOSIAL

Muhammad Najih Zam-Zami


Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama
najihzamzami@gmail.com

Abstract: Fenomena muslim urban menjadi tantangan bagi pemerintah dalam


menjaga stabibilitas dan keharmonisan dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Menjamurnya media sosial yang tidak terkontrol menjadi jalan bagi paham-
paham ekstrimis dalam menyebarkan ideologi dan mengajak generasi millennial
untuk ikut serta mengkampanyekan ajaran-ajaran ekstremisme. Diperlukan
control dan kerjasama dari berbagai pihak untuk menekan paham ekstremisme
agar tidak berkembang di Indonesia. Moderasi beragama, sebagai bentuk ikhtiar
pemerintah dalam mengatasi ekstremisme menjadi program yang dinilai dapat
menjadi solusi dalam mewujudkan Islam rahmatan lil’alamin. Ketidaktahuan dan
minimnya pengetahuan akan Islam moderat menjadi penyebab hilangnya
nasionalisme dan inklusifitas dalam menanggapi persoalan-persoalan dalam
ranah agama dan kebangsaan. Dengan mengenalkan moderasi beragama dan
mencontohkan sikap moderat pada generasi millennial, Islam moderat akan
terimplementasi pada muslim urban dan generasi millennial

Kata Kunci: Islam Moderat, Generasi Millennial, Muslim urban

Abstract: The Muslim urban phenomenon is a challenge for the government in


maintaining stabibility and harmony in religious life in Indonesia. The
proliferation of uncontrolled social media is a way for extremist ideas to spread
ideology and invite millennials to participate in campaigning for the teachings of
extremism. Control and cooperation from various parties are needed to suppress
extremism from developing in Indonesia. Religious moderation, as a form of
government efforts in overcoming extremism, is a program that is considered to
be a solution in realizing Islam rahmatan lil'alamin. Ignorance and lack of
knowledge of moderate Islam are the causes of the loss of nationalism and
inclusiveness in responding to problems in the realm of religion and nationality.
By introducing religious moderation and exemplifying moderate attitudes in the
millennial generation, moderate Islam will be implemented in muslim urbans and
millennials.

Keywords: Moderate Islam, Millennials Generation, Muslim urban

PENDAHULUAN
Menjamurnya media sosial sebagai sarana tukar informasi dan hiburan
memicu ketertarikan pada generasi millennial untuk mempelajari dan mengadopsi
nilai, cara pandang, dan paham dari materi-materi yang pada internet dan media
sosial. Melalui internet dan media sosial seseorang dapat mengakses segala
informasi, budaya, dan paham yang ada di negara lain. Berdasarkan data dari hasil
riset We Are Social, sebuah lembaga riset media sosial dari Inggris bersama
Hootsuite yang dirilis Januari 2019 menunjukkan bahwa pengguna media sosial di
Indonesia sudah mencapai 150 juta orang dari total populasi sebesar 268,2 juta
jiwa. Sementara penggunaan media sosial melalui gadget (handphone) sebesar
130 juta atau sekitar 48 persen dari populasi (katadata.com, 2019).
Sementara itu, berdasarkan Data Global Digital tahun 2019 yang
dilakukan oleh We Are Sosial (Wearesocial.com, 2019) disebutkan bahwa terjadi
peningkatan penggunaan media sosial dibanding 2018 lalu, dan penggunaannya
didominasi oleh kalangan muda di generasi Y (generasi millennial) dan Z
Indonesia yakni usia antara 18-34 tahun. Riset ini dilakukan dalam rentang waktu
Januari 2018 hingga Januari 2019. Dalam riset terlihat bahwa penggunaan media
sosial didominasi oleh pria daripada pengguna wanita. Pengguna pria 18-24 tahun
mendominasi sebesar 18 persen dibanding wanita sebesar 15 persen. Sementara
untuk usia 25-34 tahun, pria tetap mendominasi dengan 19 persen dan wanita 14
persen dari total pengguna (kompas.com, 2019). Berdasarkan data tersebut dapat
dilihat betapa besarnya penggunaan media sosial dikalangan masyarakat
khususnya generasi millennial dan generasi Z.
Merujuk data riset dan penelitian yang dilakukan We Are Social sangat
diperlukan filter agar generasi millennial tidak terpengaruh terhadap pola fikir dan
paham perkembangan dunia seperti halnya ekstremisme, westernisme, dan
hedonisme yang merupakan tantangan yang harus dihadapi bersama agar jati diri
dan identitas bangsa Indonesia tidak hilang tergerus ditelan perubahan zaman.
Tingginya penggunaan media sosial oleh generasi millennial menjadi
peluang emas bagi ekstremis-ekstremis dalam mengkampanyekan ajaran mereka
dan mengajak untuk bergabung dengan mengatasnamakan mujahid pembela
Islam. Tidak sedikit dari golongan generasi millennial yang ikut bergabung
kedalam kelompok radikalisme. Menurut survey yang dilakukan Badan Nasional
Penanggulangan Teroris atau BNPT pada tahun 2020 dijelaskan bahwa kaum
millennial adalah kaum yang paling rentan terpapar paham-paham radikalisme.
Alasannya karena kaum millennial tidak terbiasa berpikir kritis saat menerima
suatu informasi dan ajaran. Hal itu yang menyebabkan generasi millennial sebagai
sasaran empuk bagi ekstremis-ekstremis dalam menyampaikan doktrinnya.
Semangat tinggi dalam mempelajari agama tanpa disertai filter dalam
memilih penceramah atau guru, juga menjadi penyebab generasi millennial
menjadi sasaran dakwah kaum ekstremis. Terutama mereka kaum millennial yang
tinggal di wilayah perkotaan. Minimnya informasi dan pengetahuan mendorong
generasi Y di kota percaya sepenuhnya terhadap doktrin yang disampaikan dalam
kajian agama. Sikap percaya (taqlid) dalam meyakini informasi yang diterima
tanpa mempertanyakannya kembali merupakan faktor penyebab munculnya
fanatisme terhadap suatu kelompok sehingga enggan menerima kebenaran dari
informasi yang lain.
Fenomena hadirnya sekelompok orang terutama anak muda yang memiliki
semangat tinggi dalam mempelajari agama inilah yang disebut muslim urban.
Munculnya muslim urban mempengaruhi wajah Islam di Indonesia di mata dunia.
Dengan pemeluk yang mayoritas dan terbesar di dunia nomor 2, Indonesia
memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas kedamaian dunia serta
menunjukan wajah Islam yang rahmatan lil’alamin. Maka, jika pada sektor
muslim urban didominasi oleh kelompok-kelompok ekstremis, Indonesia tidak
akan bisa mewujudkan cita-citanya seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD
1945 yakni, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.

METODE PENULISAN

Penulisan papper ini menggunakan metode pendekatan yang didasarkan


pada metodologi kajian library research (kajian kepustakaan) dengan
menggunakan analisis deskriptif. Library research merupakan riset yang
dilakukan di perpustakaan guna mengumpulkan serta menganalisis informasi dari
perpustakaan. Baik dalam wujud buku, jurnal ilmiah yang diterbitkan secara
periodik, dokumen, serta bahan pustaka yang lain yang dapat digunakan selaku
sumebr rujukan. Sumber informasi berasal dari literatur yang berkaitan dengan
riset yang dibahas, baik berbentuk buku rujukan, hasil riset, ataupun jurnal ilmiah.
Guna menyusun laporan karya penelitian ilmiah. Metode ini menyajikan
beragam data dan fakta dalam sejumlah literatur, baik yang sifatnya primer
maupun sekunder. Untuk mengoptimalkan pendekatan yang digunakan didasarkan
pada berbagai kerangka teoritis. Diantaranya dengan pendekatan beberapa konsep
dan teori terkait Islam moderat, pengaruh media sosial pada generasi millennial
dan muslim urban, serta penggunaan media sosial sebagai dakwah kepada
generasi millennial dan muslim urban.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Menelaah Makna Islam Moderat
Islam moderat atau yang dimaksud juga Islam Wasathiyyah, berasal dari
dua kata yaitu Islam dan “wasathiyyah”. Secara bahasa “al-wasathiyyah” berasal
dari kata “wasath” (Faiqah & Pransiska, 2018 Rozi, 2019). Al-Asfahaniy
mendefenisikan “wasathan” dengan “sawa’un” yaitu tengah-tengah diantara dua
batas, atau dengan keadilan, yang tengah-tengan atau yang standar atau yang biasa
biasa saja. Wasathan juga bermakna menjaga dari bersikap tanpa kompromi
bahkan meninggalkan garis kebenaran agama (Al-Asfahani, 2009, p. 869). Kata
“al-wasathiyyah” berakar pada kata “alwasth” (dengan huruf sin yang di-sukun-
kan) dan “al-wasth” (dengan huruf sin yang di-fathah-kan) yang keduanya
merupakan mashdar (infinitife) dari kata kerja (verb) “wasatha”. Selain itu kata
wasathiyyah juga seringkali disinonimkan dengan kata “al-iqtishad” dengan pola
subjeknya “almuqtashid”. Namun, secara aplikatif kata “wasathiyyah” lebih
populer digunakan untuk menunjukkan sebuah paradigma berpikir paripurna,
khususnya yang berkaitan dengan sikap beragama dalam Islam (Zamimah, 2018).
Dalam banyak kajian, term moderat di satu sisi senantiasa disandingkan
dengan Islam yang ramah pada alam sosial, dan di sisi lain merupakan anti tesis
terhadap term Islam puritan. Dalam kacamata umum, Islam moderat seringkali
diidentifikasi karakteristik keIslaman universal. Mentikberatkan pada
keseimbangan antara Islam kiri yang dikenal puritan dan Islam kanan yang identik
dengan pandangan normative. Islam moderat mengambil tempat di tengah, tidak
condong ke kanan dan tidak pula condong ke kiri. Ibaratkan pemikiran dialektika
Hegel, jika Islam kanan adalah tesis dan antitesisnya adalah Islam kiri, maka
Islam moderat adalah sebuah gerakan Islamisme yang mendudukkan dirinya
sebagai sebuah sintesa. Dengan demikian, bisa dikata bahwa Islam moderat
adalah wujud mediasi antar dua tarikan Islam ekstrim, yakni Islam kanan dan
Islam kiri. Tidak saling menyalahkan, tidak menyatakan paling benar sendiri, dan
bersedia berdialog, sehingga tercermin bahwa perbedaan itu benar-benar rahmat.
Jika ini yang dijadikan pijakan dalam beramal dan beragama, maka inilah
sebenarnya makna konsep slam moderat (Abdurrohman, 2018).
Secara etimologi, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
moderat mempunyai arti sebagai sikap yang senantiasa menghindari perilaku atau
pengungkapan yang ekstrim. Kata kunci penting di sini adalah menghindari,
perilaku/pengungkapan, dan ekstrim. Ekstrem berarti paling ujung, paling sangat,
paling keras, fanatik, hal yang keterlaluan. Jika merujuk pada definisi ini, maka
Islam. Moderat mengisyaratkan atas usaha sadar menjauhkan cara keberagaman
(Islam) yang jauh dari berbuat kasar, keras, dan keterlaluan. Baik itu dalam
bersikap, berpikir, berucap, ataupun bertindak. Sederhananya, moderat dalam
pengertian etimologi menitikberatkan pada penghiasan sikap dan perilaku diri
yang halus.
Menurut Quraish Shihab dalam moderasi/moderat (wasathiyyah) terdapat
pilar-pilar penting yakni (Zamimah, 2018): Pertama, pilar keadilan, pilar ini
sangat utama, beberapa makna keadilan yang dipaparkan adalah:pertama, adil
dalam arti “sama” yakni persamaan dalam hak. Seseorang yang berjalan lurus dan
sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan
itulah yang menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang
yang berselisih. Adil juga berarti penempatan sesuatu pada tempat yang
semestinya. Ini mengantar pada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh
jadi tidak sama. Adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya melalui
jalan yang terdekat. Ini bukan menuntut seseorang memberikan haknya kepada
pihak lain tanpa menunda-nunda. Adil juga berarti moderasi (tidak mengurangi
tidak juga melebihkan).
Kedua, pilar keseimbangan. Menurut Quraish Shihab, keseimbangan
ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang
menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap
bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan
berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Keseimbangan tidak mengharuskan
persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu
bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh
fungsi yang diharapkan darinya. Ketiga, pilar toleransi. Quraish Shihab
memaparkan bahwa toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau
pengurangan yang masih bisa diterima. Toleransi adalah penyimpangan yang
tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya adalah
penyimpangan yang dapat dibenarkan.
Pada tataran praksisnya, wujud moderat atau jalan tengah dalam Islam
dapat diklasifikasikan menjadi empat wilayah pembahasan, yaitu: 1)moderat
dalam persoalan akidah; 2)moderat dalam persoalan ibadah; 3)moderat dalam
persoalan perangai dan budi pekerti; dan 4)moderat dalam persoalan tasyri’
(pembentukan syariat) (Yasid,2010). Moderatisme ajaran Islam yang sesuai
dengan misi rahmatan lil‘alamin memang diperlukan sikap anti kekerasan dalam
bersikap di kalangan masyarakat. Memahami perbedaan yang mungkin terjadi
mengutamakan kontekstualisasi dalam memaknai ayat Ilahiyah, menggunakan
istinbath untuk menerapkan hukum terkini serta menggunakan pendekatan sains
dan teknologi untuk membenarkan dan mengatasi dinamika persoalan di
masyarakat Indonesia. Selayaknya perbedaan sikap menjadi sebuah dinamisasi
kehidupan sosial yang menjadi bagian dari masyarakat yang madani. Keberadaan
Islam moderat cukup menjadi penjaga dan pengawal konsistensi Islam yang telah
dibawa oleh Rasulullah Saw. Untuk mengembalikan citra Islam yang sebenarnya,
maka diperlukan moderasi agar penganut lain dapat merasakan kebenaran ajaran
Islam yang rahmatan lil‘alamin.

MILLENNIAL, MUSLIM URBAN, DAN PENGARUH MEDIA SOSIAL


Generasi millennial adalah generasi yang hidup pada era informasi secara
terbuka dari internet. Termasuk pilihan di pasar online. Millennials adalah istilah
Cohort dalam demografi. Menurut Ali dan Purwadi (2017) dalam (Nugraha, 2018)
saat ini terdapat empat kelompok besar dalam demografi, yaitu generasi yang
disebut Baby Boomer, yaitu generasi yang lahir pada tahun 946-1964, Gen-X
adalah generasi yang lahir pada tahun 1965-1980, selanjutnya Millennial atau
generasi Y yakni generasi yang lahir antara tahun 1981 hingga 2000. Terakhir
ada yang disebut generasi Gen Z yaitu generasi yang lahir dari tahun 2001 sampai
sekarang. Namun dalam beberapa literatur juga disebutkan bahwa yang termasuk
generasi millennial ini adalah gabungan dari generasi Y dan generasi Z.
Sedangkan muslim urban merupakan masyarakat urban yang beragama
Islam. Masyarakat urban (urban society atau urban community) merupakan frasa
yang sering digunakan untuk menggantikan konsep masyarakat perkotaan. Konsep
masyarakat urban lebih menekankan pada gaya hidup masyarakat kota yang
berbeda dengan masyarakat desa. Sejarah mencatat bahwa sebelum tahun 1850
istilah masyarakat urban masih belum digunakan sampai dengan abad ke-19 pola
hidup urban baru muncul pada revolusi industry. Konsep masyarakat urban baru
baru menjadi studi ilmiah dalam dunia sosiologi pada abad ke-20.
Kata “urban” berasal dari Bahasa inggris. Istilah urban merupakan sebuah
terminology yang merujuk pada karakteristik dan cara hidup khas pada masyarakat
perkotaan. Masyarakat urban dalam Sosiologi awalnya dipandang sebagai
konstruksi teoretis yang digambarkan dalam istilah dikotomi berupa “urban versus
rural”. Objek penelitian para Sosiolog di abad tersebut sangat dipengaruhi oleh
teori perubahan sosial yang diinformasikan oleh perspektif kontinum budaya desa-
budaya kota (folk-urban) atau tradisional-modern (traditional-modern) yang pada
dasarnya membedakan cara hidup komunitas masyarakat pedesaan dan masyarakat
urban (kota).
Konseptualisasi masyarakat urban di era saat ini dilakukan dengan
mendefinisikan konten khusus masyarakat perkotaan, yang tidak dapat direduksi
menjadi oposisi terhadap cara hidup pedesaan. Konten ini ditemukan terkait
dengan evolusi historis masyarakat kapitalis, lebih khusus industrialisasi kapitalis.
Kekuasaan dan hubungan sosial dipandang terkait dengan cara masyarakat
mengatur faktor-faktor produksi di bawah kapitalisme industri. Dengan demikian,
konflik sosial, kekerasan perkotaan dan perpecahan sosial, misalnya, yang telah
mendominasi karakter masyarakat urban di era industri dan pasca-industri pada
akhirnya terlihat berakar pada kontradiksi sosial dari mode produksi kapitalis.
Perbedaan konsep masyarakat urban di kalangan sosiolog menjadikan tidak
adanya definisi masyarakat urban yang diterima secara universal, juga tidak ada
kebulatan suara pada seperangkat nilai tertentu yang bersifat urban.
Literatur Sosiologi mencatatkan bahwa masyarkat di kota pada abad
pertengahan berbeda dengan kota saat Renaissance, sama seperti keduanya
berbeda dari kota-kota industri. Karakter sebuah bangsa dan etnis juga membentuk
budaya kota-kota tertentu. Namun demikian, istilah “urban” memiliki makna
karena penyebutan yang umum terlihat sebagai “kota”.
Masyarakat urban adalah fenomena persimpangan jalan, terikat langsung
dengan pertukaran dan komunikasi, komersial serta sosial dan intelektual.
Heterogenitas mencirikan kehidupan sosial dan ekonomi kota. Secara historis,
sindrom ini disertai dengan sikap kosmopolitan dan penerimaan keanekaragaman
sosial dan intelektual. Dalam masyarakat urban, individu memiliki peluang untuk
secara sukarela memilih mata pencaharian, relasi pribadi, dan kesetiaan yang
biasanya tidak dapat diakses oleh penduduk desa. Seorang Sosiolog, Fischer (Adi
Setijowati, 2010) mendefinisikan masyarakat urban secara ringkas sebagai
populasi yang tinggal di kota. Sementara, masyarakat urban dalam glosarium
Miriam Webster diartikan sebagai komunitas yang memiliki ciri peradaban
industri modern dan tradisi
budaya beragam (heterogen), menjunjung tinggi nilai-nilai sekular, dan
cenderung individual dari pada gotong royong serta bertentangan dengan
masyarakat desa. Sedangkan Setijowati, et.al mendefinisikan masyarakat urban
sebagai komunitas yang memiliki gairah tinggi dalam pemenuhan kebutuhan
hidup agar lebih baik dibanding kehidupan sebelumnya (Adi Setijowati, 2010).
Berdasarkan beberapa pemaparan yang telah disajikan, maka yang dimaksud
sebagai muslim urban adalah masyarakat yang tinggal di kota dan beragama islam.
Muslim urban merupakan masyarakat tergolong ebagai masyarakat industri-
modern, memiliki latar budaya yang beragam, menjunjung tinggi sekularisme dan
lebih bersifat individual.
Merujuk definisi dan pemahaman mengenai masyarakat urban serta
muslim urban, dapat ditarik benang merah bahwa muslim urban didominasi oleh
kaum muda yang berusia produktif. Dengan total populasi generasi millennial
yang mencapai 83 juta jiwa, ditahun 2020, proporsi millennial ini akan terus
meningkat bisa mencapai 34% dan mereka berada pada masa usia 20-40 tahun.
Generasi Millennial merupakan pondasi utama dalam menghadirkan pimpinan
masa depan. Tentunya karakter generasi millennial ini adalah connected, creative,
dan confidence. Pola kepemimpinan yang mereka jalankan selalu mengedepankan
interaksi antara pola kepemimpinan secara umum dengan teknologi informasi
berbasis internet yang mereka miliki (connected). Pola kepemimpinan yang
dijalankan juga berfokus pada kreativitas (creative) yang berlangsung terus
menerus. Tidak ada pola tunggal dalam memecahkan problem, pendekatan
situasional memungkinkan dilakukan dalam menghadirkan solusi terbaik. Selain
itu, pemimpin ala millennial memiliki kepercayaan diri yang tinggi (confidence)
dalam menghadapi beragam situasi dan problem yang ada. Aksi dan tindakan
generasi millennial ini sangat gesit, meskipun tetap berada pada garis-garis rambu
yang tepat.
Berdasarkan fenomena yang ada, terdapat sejumlah persoalan yang
menghadang generasi millennial dewasa ini dan masa mendatang, diantaranya:
Pertama, Kebebasan Akses Informasi di Media Sosial dan Lemahnya Regulasi.
menjamurnya fake news, hoax, heat speech di setiap laman jejaring media sosial
yang belum diimbangi dengan antisipasi regulasi yang proporsional. Dalam
perkembangan dinamika teknologi yang ada, sering ditemukan bahwa regulasi dari
pemerintah atau badan berwenang terkadang lebih lambat dari perkembangan
teknologi itu sendiri. Sehingga regulasi cenderung hadir ketika sejumlah masalah
telah terjadi. Atau telah tampak implikasi negatif sejumlah perkembangan yang
mendapat perhatian besar masyarakat.
Kebebasan menerima informasi dari sejumlah media sosial ini
menyebabkan lemahnya daya tahan (resilience) generasi minelial Indonesia
terhadap sejumlah “gempuran” informasi yang beredar dimasyarakat, khususnya
dinamika isu yang menjadi perbincangan disekitar teman sebaya mereka. Akses
iInformasi yang begitu terbuka dan hadir setiap hari dalam interaksi sosial media
dan media sosial anak millennial perlahan namun pasti dapat mempengaruhi pola
pikir, sikap dan tindakan mereka dalam menyikapi sejumlah isu yang beredar
tersebut. Kondisi tersebut merupakan hal yang wajar karena itulah tantangan yang
harus diharapi pada zaman disrupsi informasi.
Perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang begitu cepat
beragam peluang dapat dimanfaatkan melalui media sosial. Kecanggihan teknologi
mampu dikembangkan untuk kemanfaatan yang lebih besar dan membuka
lapangan kerja baru. Melalui teknologi berbasis gadget sangat memungkinkan
menghadirkan beragam kreativitas design, infografis, dan videografis yang dapat
digunakan membuka pasar bagi sejumlah produk yang diminati generasi
millennial untuk mendukung beragam kebutuhan yang dinginkan, seperti
pembuatan konten pada youtube dan Instagram. Dalam memasarkan produk,
banyak dari kaum millennial menggunakan konten untuk menarik perhatian dan
simpati dalam rangka menaikan popularitas agar terkenal. Pada aspek informasi
dan pengetahuan pun juga sama. Orang-orang saling berlomba membuat konten
yang menarik dan edukatif agar dikenal dan memiliki massa. Hal itulah yang juga
dilakukan oleh kelompok ekstremis dalam mengenalkan dirinya agar diterima
masyarakat khususnya kaum muda.

Dengan pembawaan dan ucapan yang meyakinkan serta jamaah yang


banyak, membuat muslim urban yang mayoritas didominasi oleh kaum millennial
cenderung dengan mudah mengikuti kajian agama yang diadakan suatu kelompok
tanpa mencari tahu terlebih dahulu profil da’i yang diikutinya. Tingginya
kebutuhan generasi millennial terhadap teknologi dan komunikasi dimana internet
menjadikan media sosial sebagai kebutuhan pokok selain sandang pangan yang
dibutuhkan masyarakat pada umumnya. Keadaan yang demikian sangatlah
berbahaya karena dapat membentuk pola pikir, kepercayaan, dan perilaku yang
selanjutnya berujung pada nilai kehidupan generasi millennial yang tidak sesuai
dengan ideologi Pancasila. Tidak banyak komunitas masyarakat yang peduli
bahwa seringnya berinteraksi dengan media sosial dapat memberikan dampak
negative pada kaum muda millennial. Dibutuhkan panduan literasi digital.
Gerakan bersama literasi digital dan peningkatan kewaspadaan nasional
diperlukan untuk antisipasi dampak negatif penggunaan media sosial secara tidak
tepat dan juga merupakan upaya membangun karakter generasi millennial.

BERDAKWAH MELALUI MEDIA SOSIAL PADA MILLENNIAL DAN


MUSLIM URBAN
Seperti yang telah diketahui bahwa generasi millennial yang akrab dengan
teknologi digital telah menjadikan media sosial dan sumber-sumber informasi
online sebagai salah satu media pembelajaran, termasuk mempelajari tentang
Islam yang diperoleh dari sumber-sumber digital seperti blog, terutama youtube.
Ketokohan seorang pemuka agama bagi generasi millennial ditentukan oleh
popularitas dan frekuensi kemunculannya di media massa, media elektronik,
televisi dan internet menjadi rujukan bagi banyak kalangan muda untuk
mendapatkan informasi yang mereka idolakan. Tokoh agama yang digital friendly
lebih mudah untuk diterima karena mereka dapat mengakses secara mudah
dimanapun dan kapanpun mereka inginkan. Kehadiran media sosial telah
mereduksi peran pendidikan agama dalam keluarga, bahkan di lembaga
pendidikan dan organisasi. Dengan pendekatan berbasis penguasaan teknologi
informasi kita dapat mengambil peluang strategis dalam melakukan dakwah
Islamiyah yang ramah, toleran dan damai. Generasi millennial dapat terlibat aktif
dalam gerakan keagamaan yang berbasis sosial media. Kegiatan dakwah Islam
perlu menyesuaikan dengan konteks kekinian generasi milenial. Karakteristik
generasi milenial yang berfikir positif, produktif, kreatif, percaya diri,
bersemangat, siap dengan perubahan,

Media sosial menjadi bagian yang sangat vital dan memiliki pengaruh
yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Mayoritas masyarakat
mengkonsumsi berita dan informasi melalui media sosial, salah satunya karena
cepat diakses atau didapatkan. Oleh karena itu, pondok pesantren, santri dan
pemerintah harus mampu berkolaborasi dalam hal regulasi, pengawasan, dan
pengolahan media sosial dan jejaring internet menjadi media dakwah untuk
menebar banyak manfaat kepada khalayak dengan sajian berita yang tidak
profokatif, menjadikan media dakwah digital sebagai tempat dakwah Islam yang
rahmatan lil’alamiin, dan menebar damai kepada sesama santri dan umat muslim,
maupun non-muslim di Indonesia. Santri juga dapat membuat portal online yang
memuat informasi dan isu-isu keagamaan seperti konsultasisyariah.com, nu.or.id,
dll agar dapat menjangkau muslim urban dan mampu menarik simpatisan muslim
urban.
Selama ini dakwah berkembang melalui tata cara yang sangat beragam dan
adaptif terhadap zaman dan target dakwah. Transformasi bentuk dawah dapat
digambarkan pada masa awal Islam hadir di tengah jazirah Arab, dakwah lebih
banyak menggunakan kajian dan ajakan secara sembunyi- sembunyi. Kemudian
nabi diperintahkan untuk berdakwah secara terbuka. Lalu, pada masa khilafah,
konsep futuhat atau perluasan wilayah menjadi pilihan, didukung dengan
pembangunan perpustakaan sebagai sarana pengembangan berbagai macam ilmu
pengetahuan. Selanjutnya dakwah merambah pada kebudayaan.
Di Nusantara, Wali Songo menyebarkan agama Islam dengan ragam
metode dakwah yang variatif dengan menghadirkan unsur kebudayaan dan
kearifan lokal masing-masing wilayah seperti penggunaan wayang, gamelan, seni
tari, dan lain sebagainya. Lalu, di era media baru ini konsep dakwah dilakukan
dengan memanfaatkan kekuatan teknologi komunikasi dan informasi atau internet,
seperti melalui beragam platform media sosial yang dilakukan NU Online.
Ada beberapa faktor yang penting diperhatikan dalam memilih metode
dakwah yang paling tepat untuk digunakan menyampaikan pesan dakwah, di
antaranya: apa tujuan dari berdakwah dengan metode ini, siapa sasaran dakwah,
bagaimana situasi dan kondisi baik pendakwah maupun mitra dakwah, media apa
yang digunakan dan fasilitas apa yang disediakan, dan seberapa tinggi kemampuan
da’i dalam memaham keilmuan dakwahnya maupun penguasaan materi.
Sementara ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat materi atau
konten dakwah, yaitu: pertama, pesan harus direncanakan dan disampaikan
sedemikan rupa sehingga dapat menarik perhatian sasaran yang dimaksud. Kedua,
pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju pada pengalaman yang sama
antara komunikator dan komunikan. Ketiga, pesan harus membangkitkan
kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk mendapatkan
kebutuhan tersebut. Karena dakwah di era modern bukan hanya sebatas dakwah
bil-lisan, akan tetapi juga menggunakan strategi suatu bentuk teknologi untuk
mengimbangi kemajuan yang terjadi di masyarakat, itulah dakwah digital.
KESIMPULAN
Dengan perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi kita dapat
mengoptimalisasi manfaat adanya jejaring internet dan media sosial dalam
mengembangkan dakwah Islam yang rahmatan lil’alamin. Hadirnya fenomena
muslim urban yang didominasi oleh kaum millennial patut menjadi perhatian
bersama agar paham ekstremis tidak berkembang pesat di Indonesia. Dengan
kolaborasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, santri dan pondok
pesantren dalam pengaturan regulasi, pengawasan, dan pengolahan media sosial
secara maksimal kita dapat menekan dan membatasi gerak dakwah kaum
ekstremis di media sosial. Diperlukan juga strategi untuk menarik massa agar
kaum muslim urban mau bertransmigrasi berpindah channel kajian agama dari
media kelompok ekstremis ke media ormas-ormas yang sudah tervalidasi
kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian,
Islam moderat akan mengakar dalam sikap dan karakter umat islam di Indonesia
dan Islam rahmatan lil’alamin akan terwujud di bumi pertiwi.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amar dan Nurhidaya. (2020). Media Sosial dan Tantangan Generasi
millennial, dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Vol.8 No.2
Agama, D. (2012). Moderasi Islam. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an.
Al-Asfahani, A.-R. (2009). Mufrodad al-Fazil Al- Qur’an. Damaskus: Darul
Qalam.
Abdurrahman, Asep. (2018). Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam,
dalam Jurnal Rausyan Fikr Vol.14 No.1.
Hidayatul Ummah, Athik. (2020). Dakwah Digital dan Generasi Millennial,
dalam Jurnal Uin Mataram Vol.18 No.1.
Hanafi, M. (2013). Moderasi Islam. Ciputat: Pusat Studi Ilmu al-Qur’an.
Fahri Mohammad, dan Ahmad Zainuri. (2019). Moderasi Beragama di Indonesia,
dalam Jurnal Raden Fatah, Vol.25 No.2.
Aditya, Nugraha. (2015). Fenomena Meme di Media Sosial (Studi Etnografi
Virtual Posting Meme pada Pengguna Media Sosial Instagram), dalam Jurnal
Sosioteknologi, Vol.14 No.3
Nur, A., & Mukhlis. (2016). Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran; (Studi
Komparatif Antara Tafsir Al-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Aisar At- Tafasir),
dalam Jurnal An-Nur, Vol.4 No.2.
Rofhani. (2013). Budaya Urban Muslim kelas Menengah, dalam Jurnal Tasawuf
dan Pemikiran Islam, Vol.3 No.1.
Setijowati, Adi, et.al. 2010. Sastra dan Budaya Urban dalam Kajian Lintas Media.
Surabaya: Airlangga University Press.
Shihab, M. Q. (2017). Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudu’I atas Berbagai
Persoalan Ummat. Bandung: Mizan.
Shihab, Alwi. (1997). Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.
Bandung: Mizan.
Syafrudin. (2009). Paradigma Tafsir Tekstual Dan Kontekstual (Usaha Memaknai
Kembali Pesan Al-Qur’an). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yasid, A. (2010). Membangun Islam Tengah. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.
Zamimah, I.(2018). Moderatisme Islam dalam Konteks Keindonesiaan, dalam
Jurnal Al-Fanar Vol.1 No.1.
Sumber Online :
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/02/08/berapa-pengguna-media-
sosial- indonesia/ Diunduh hari Senin, tanggal 18 Juli 2022 pukul 10.00
WIB.
https://wearesocial.com/blog/2019/01/digital-2019-global-internet-use-
accelerates/.Diunduh pada hari Senin, tanggal 18 Juli 2022, pukul 10.30
WIB.
https://womenandcve.id/blog/2022/03/05/bagaimana-generasi-milenial-terpapar-
ekstremisme/. Diunduh pada hari Senin, tanggal 18 Juli 2022 pukul 17.00
WIB.

Anda mungkin juga menyukai