Anda di halaman 1dari 5

PEMIKIRAN POLITIK HERBERT FEITH: ISLAM

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2 :

1. Irenius Brayen Luhat (1702025030)


2. Al Musyadad (1702025032)
3. Julio Yudit Saputra (1702025017)
4. Shelly Noorlisa (1702025027)
5. Lia Ramadani (1702025043)
6. Trisna Alan Pasoso (17020250
7. Lailatin Maghfiroh (1702025051)
8. Puspita Ayu Yusuf (1702025025)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
Hubungan baik antara Islam dan pemerintah Indonesia ditandai dengan dibentuknya
Kementerian Agama yang bertugas mengurusi keagamaan bagi agama Islam.Perhatian dari
pemerintah semakin kuat ketika dibentuknya Masyumi sebagai wadah organisasi politik kelompok
Islam untuk dapat menyuarakan aspirasi mereka. Masyumi pada awalnya mendapat respon yang
baik dan positif dari masyarakat. Hal tersebut setidaknya terbukti dari jumlah suara yang diraih
dalam berbagai pemilihan umum tingkat regional seperti di Jawa (1946) dan Yogyakarta (1951).
Surutnya kekuatan Masyumi sendiri pada akhirnya harus terjadi ketika adanya perpecahan internal
di dalam tubuh Masyumi. NU yang keluar dari Masyumi. Sikapnya yang dianggap tidak
menghormati ulama dan jatah menteri agama dipandang NU bahwa ada ketidakadilan yang
dilakukan Masyumi.

Selanjutnya, pengikut Masyumi seperti Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, al-Ittihadiyah,


al-Jami’ah al-Washliyah, al-Irsyad, dan Persis secara satu per satu keluar dari Masyumi. Akhirnya,
Masyumi harus berakhir pada tahun 1960 karena presiden Soekarno merasa bahwa para tokoh
didalamnya terlibat dalam pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)
dan menghasilkan keputusan pembubaran Masyumi. Perpecahan internal yang ada di tubuh
Masyumi tidak merupakan faktor tunggal yang mereduksi hubungan agama (Islam) dan
pemerintah saat itu. Soekarno yang justru memperlihatkan otoritasnya sebagai penguasa
berdampak pada partai-partai Islam yang mengalami kemerosotan. Melihat keadaan itu, PKI
kemudian memanfaatkan keadaan itu dengan melakukan pergerakan politiknya.

Islam dan Orde Baru

Pada tahun awal kemunculannya, hubungan keduanya antara Islam dan orde baru
dipandang demikian erat. Berbagai peran, salah satunya yakni mengeliminasi atau menghilangkan
kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI), telah membuat Islam sebagai kekuatan yang sangat
menentukan disamping ABRI. Dari hal tersebut, muncul harapan para pemimpin dan praktisi
politik Islam pada rezim ini. Terlebih dengan diizinkannya Masyumi dan Piagam Jakarta. Harapan
tersebut nampak kian memudar. Tindakan rehabilitasi Partai Masyumi, keterlibatan tokoh
pemerintah dalam panggung politik Islam modernis, penolakan mantan tokoh-tokoh Masyumi
aktif dalam Parmusi dan penolakan pengesahan Piagam Jakarta pada sidang MPR Maret 1968
menjadi realitas yang menyimpulkan bahwa Orde Baru dipandang tidak lagi bersahabat dengan
Islam Effendy (2000: 107) menyebutkan bahwa ada keterkaitan dengan depolitisasi politik yang
terjadi pada masa Orde Baru dengan usaha mereduksi Islam (sekularisme atau depolitisasi Islam).

Berbagai tindakan yang dilakukan pemerintah seperti penyederhanaan partai yang ada,
kooptasi berbagai lembaga kemasyarakatan, menyederhanakan berbagai organisasi politik dan
mengontrol pendirian ormas agama menjadi cara pemerintah untuk membangun negara menjadi
dominan dan hegemonik, sehingga Islam, salah satunya, harus mengalami depolitisasi dan
sekularisme.

Ciri sekularisasi setidaknya terdiri dari tiga tahap: (1) simbol-simbol agama di dalam
politik yang dikurangi, bahkan cenderung dihilangkan, (2) berkurangnya peran agama dan
kekuatan yang berkaitan dengan agama (deferentiation, societalization, and rationalization) dan
pada tingkat yang terparah yakni (3) matinya agama dalam masyarakat. Dari ketiga tahap itu,
Marijan menyimpulkan bahwa sekularisasi bermakna adanya pemisahan antara domain negara
yang merupakan publik dengan domain agama yang merupakan privat (Marijan, 2010: 311).

Keadaan seperti itu yang diyakini terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru diperkuat
dengan terjadinya pelarangan partai-partai politik yang secara khusus didasarkan pada agama
tertentu dan keharusan organisasi agama untuk berazas Pancasila. Fenomena tersebut yang disebut
Marijan sebagai kebudayaan agama karena agama dipandang sebagai fakta budaya dan bukan
fakta politik (Marijan, 2010: 306).

Islam dan Reformasi

Semangat demokrasi dan menguatnya kebebasan berpolitik pada pasca Orde Baru
setidaknya membuka batas sekularisasi dan depolitisasi Islam di Indonesia. Marijan (2010:318)
menyebutkan bahwa terbuka kembali pengaruh agama di dalam politik, justru memperlebar
kembali perjuangan untuk mengembalikan nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara.
Karenanya, reformasi dipandang sebagai sebuah awal periode kebangkitan kembali politik Islam
di Indonesia. Hal tersebut yang dimaknai Fealy (2004:112) sebagai munculnya kelompok islam
yang radikal karena memanfaatkan iklim keterbukaan yang menguat pada masa reformasi.
Karenanya, para aktivis Islam yang sebelumnya melakukan gerakan bawah tanah pada masa Orde
Baru, justru pada masa ini memiliki keberanian untuk memunculkan diri. Disamping itu, berbagai
masalah multidimensional seperti korupsi, kemiskinan, inflasi, dan lain-lain menjadi dasar
diterimanya gagasan Islam radikal, yakni diterapkannya syariah Islam sebagai ideologi karena bagi
mereka itulah solusi dari berbagai masalah tersebut.

Setidaknya dalam jenis- jenis partai Islam yang dibuatnya, terlihat bahwa ada kelompok
partai yang ingin memperjuangkan nilai islam ke dalam perundangan dan kebijakan negara
(moderate formalist islamic) seperti PPP. Perkembangan dari model tersebut, disebut Fealy
sebagai usaha partai politik yang menginginkan diterapkannya syariah Islam secara luas karena
sifat ajarannya yang menyeluruh atau kaffah (radical formalist islamic parties). Tidak selalu
bernilai negatif, jenis-jenis partai Islam yang digagas Fealy ini justru menujukkan makna yang
positif yakni terjadinya repolitisasi Islam semenjak sebelumnya terjadi depolitisasi Islam pada
masa Orde Baru.

Tidak hanya dalam partai, Zada (2002:71-73) menyebut bahwa tipologi tersebut muncul
juga dalam kalangan umat Islam. Pertama, mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih besar
daripada orientasi keagamaan. Kedua, mereka yang menjadikan Islam sebagai ideologi, yang
manifestasinya berbentuk pelaksanaan ajaran agama (syariat) secara formal sebagai hukum positif.
Ketiga, yakni mereka memiliki orientasi seimbang antara wawasan Islam dan kebangsaan sebagai
jalan tengah diantara dua tipologi sebelumnya.

Dari penjabaran di atas, terlihat bahwa hubungan negara dan agama (Islam) di ketiga masa
pemerintahan mengalami pasang-surut dan memiliki karakteristiknya tersendiri. Orde Lama yang
menguat pasca terbentuknya Masyumi dan kemudian surut ketika muncul otoritas Soekarno dan
PKI. Orde Baru yang menguat ketika agama yang menetralisir kekuatan PKI namun harus surut
kembali ketika berbagai kebijakan Soeharto yang sekular dinilai menyebakan depolitisasi Islam.
Selanjutnya, atas nama demokrasi, pengaruh Islam dalam negara menjadi menguat di masa
Reformasi. Namun, lebarnya keterbukaan tersebut menggiring terbentuknya aliran yang radikal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Effendy, Bahtiar. 2000. (Re)politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?


2. Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-
Orde Baru
3. Fealy, Greg. 2004. Islamic Radicalism in Indonesia: the Faltering Revoval?
4. Zada, Khamami. 2002. Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras
di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai