Anda di halaman 1dari 3

Hubungan Agama dan Negara Yang Bersifat Antagonistik

Ekstitensi Islam politik (political Islam) pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca
revormasi pernah dianggap sebagai persaingan kekuasaan yang dapat mengusik basisi
kebangsaan Negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan Negara untuk
berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam.
Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktivitas politik
Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideology dan atau agama Negara ( pada 1945
dan decade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik
minoritas atau outsider. Lebih dari itu, bahkan politik Islam sering dicurigai sebagai anti
ideology Negara Pancasila (Bahtiar Effendy,2001:4).
Lebih lanjut Bahtiar mengatakan bahwa Indonesia, akar antagonism hubungan politik
antara Islam dan Negara tak dapat dilepaskan dari konteks kencenderungan pemahaman
keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistic ini dapat ditelusuri dari masa
pergerakan kebangsaan, ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang
keduduakn Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang
memungkinkan antara Islam dan Negara bergulir terus hingga periode kemerdekaan dan
pasca revolusi. Pada saat ini, tema-tema politik Islam lebih bergulir pada tataran ideology dan
symbol sesuatu yang mencapai kelimaknya pada perdebatan di konstituante pada paruh kedua
dasawarsa 1950-an dari pada substansi. Pergulatan ini telah memunculkan mitos tertentu
sajauh yang menyangkut pemikiran dan praktik politik Islam.
Kendatipun ada upaya-upaaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada
awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistic, formalistic, dan simbolistik itu masih
berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan orde
baru. Antara lain karena alasan-alasan seperti ini, Negara memberlakukan kebijkan the
politics of containment agar wacana politik Islam yang formalistik, legalistic dan simbolistik
itu tidak berkembang lebih lanjut.
Setalah pemerintahan Orde Baru memantapkan kekuasaannya, terjadi control yang
berlebihan yang diterapkan Orde baru terhadap kekuatan politik Islam, terutama terhadap
kelompok radikal yang dikawatirkan semakin militant dan menandingi eksistensi Negara.
Realitas empirik inilah yang kemudian menjelaskan bahwa hubungan agama dengan
Negara pada masa ini dikenal dengan antagonistic, dimana Negara benar-benar mencurigai
Islam sebagai kekuatan yang potensial dalam menandingi eksistensi Negara. Disisi lain, umat
Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah yang tinggi untuk mewujudkan islam sebgai
sumber ideology dalam menjalankan pemerintahan.

Hubungan Agama dan Negara Yang Bersifat Akomodatif


Gejala menurunnya ketegangan hubungan antara Islam dan Negara mulai terlihat
pertengahan tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya peluang umat Islam
dalam mengembangkan wacana politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan yang
dianggap positif bagi umat Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut berspektrum luas, ada yang
bersifat sruktural, legislative, infrastructural, dan kultur (Bahtiar Effendy, 2001:35).
Kecenderungan akomodasi Negara terhadap Islam juga menurut Affar Gaffar ditengarai
dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi
dan kencenderungan politik umat Islam sendiri (M. Aziz et.el., 1993:105). Pemerintahan
menyadari bahwa umat Islam merupakan kekuatan politik yang potensial, yang oleh
karenanya Negara lebih memilih akomodasi terhadap Islam, karena jika Negara
menempatkan Islam sebagai outsider Negara, maka konflik akan sulit dihindari yang pada
akhirnya akan membawa imbas terhadap proses pemeliharaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Menurut Thaba, munculnya sikap akomodatif Negara terhadap Islam lebih disebabkan
oleh adanya kecenderungan bahwa umat Islam Indonesia dinilai telah semakin memahami
kebijakan Negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal
Pancasila. Selain itu, munculnya kebijakan Negara terhadap Islam juga menjadi bagian ynag
penting dalam memahami hubungan agama dan Negara di masa awal 1980-an, misalnya
pengaruh RUU Pendidikan Nasional, pengesahan RUU Peradilan Agama, munculnya ICMI
serta munculnya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang secara massif membangun
ratusan masjid di hampir seluruh Indonesia.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa Negara melakukan akomodasi
terhadap Islam setelah sekian lama terjadi ketegangan hubungan antara Negara dan Islam?
Untuk menjawab ini, Affan Gaffar menjelaskan beberapa alasan mengapa Negara melakukan
akomodasi terhadap Islam. Pertama, dari kacamata pemerintah, Islam merupakan kekuatan
yang tidak dapat diabaikan yang pada akhirnya kalau diletakkan pada posisi pinggiran akan
menimbulkan masalh politik yang cukup rumit. Oleh karena itu sudah sewajarnya
diakomodasi, sehingga kemungkinan konflik dapat diredam lebih dini.
Kedua, dikalangan pemerintahn sendiri terdapat sejumlah figure yang tidak terlalu fobi
terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari
latar belakangnya, misalnya saja Emil Salim, B.J Habibie, Akbar Tandjung dan lain
sebagainya. Mereka tentu saja berperan dalam membentuk sikap politik pemerintah paling

tidak untuk tidak menjauhi Islam. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap dan orientasi
politik dikalangan Islam itu sendiri (M. Aziz et.el., 1993:105).
Lain halnya pendapat yang dikemukakan Bahtiar, ia mengatakan bahwa ada dua (2)
alasan yang mendasari Negara melakukan akomodasi terhadap Islam. Pertama, selama dua
puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi sosial-ekonomi-politik
yang berarti. Hal ini disebabkan oleh pembangunan ekonomi dan meluasnya akses
kependidikan tinggi modern. Mereka tertransformasiksan ke dalam entitas level menengah,
baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Kedua, adanya tansformasi pemikiran dan
tingkah politik generasi baru Islam. Umat Islam telah mengalami transformasi intelektual dan
aktivisme yang semula bersifat legalistic-formalistik menjadi lebih substansialistik (Bahtiar
Effendy, 2001:39-40).

Anda mungkin juga menyukai