di samping pimpinan agama sekaligus juga pimpinan negara. Konsep imamah yang
mempunyai fungsi ganda—memelihara agama sekaligus mengatur dunia—dengan
sasaran pencapaian kemaslahatan umum, menunjukkan betapa eratnya interaksi
antara Islam dan politik. Tentu saja dalam hal inipolitik dimengerti secara mendasar,
meliputi serangkaian hubungan aktif antar masyarakat sipil dan
dengan lembaga kekuasann.
Dalam teori politik sekuler, agama tidak dipandang sebagai kekuatan. Agama hanya
dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan persoalan individual. Padahal secara
fungsional, ternyata kekuatan agama dan politik saling mempengaruhi. Memang
dalam arti sempit ada diferensiasi, misalnya seperti diisyaratkan oleh interpretasi
sahabat Ibnu Mas'ud terhadap ungkapan uli al-amr sebagai umara’ (pemimpin
formal pemerintahan), yang dibedakan dengan ulama sebagai pemimpin agama.
Pengertian politik (al-siyasah) dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali, adalah
sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada
kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, rneskipun belum pernah
ditentukan oleh Rasulullah SAW. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain,
yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk dan jalan
yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi para Nabi terhadap
kaumnya, menurut pendapat ini, tugas itu meliputi keselamatan batin dan lahir. Bagi
para ulama pewaris Nabi, tugas itu hanya meliputi urusan lahiriyah saja.
Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan
dengan pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun
menyangkut juga kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan
menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi
serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan
jasmani mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan
hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.
Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi,
tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi
pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat). Ini berarti, bahwa kedudukan
kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri.
***
Memang dari sudut pandangan ajaran formalnya, Islam sering -tidak selalu-
mendapati dirinya dalam keadaan ambivalen di negeri. Di satu pihak ajaran formal
Islam tidak menjadi sumber tunggal dalam penetapan kebijakan kehidupan negara,
karena memang negara ini bukan negara Islam. Tetapi negara ini juga bukan negara
sekuler, yang memisahkan antara urusan pemerintahan dan keagamaan.
Dalam keadaan demikian, ajaran formal Islam berfungsi dalam kehidupan ini melalui
jalur kultural (pendidikan, komunikasi massa, kesenian dan seterusnya). Dapat juga
melalui jalur yang tidak langsung, melalui politik struktural. Jalur ini memungkinkan,
karena kekayaan Islam yang hendak ditampilkan dalam kehidupan bernegara tidak
semata-mata ditawarkan sebagai sesuatu yang Islami saja, melainkan sesuatu yang
berwatak nasional.
Politik.
Kata tersebut seringkali diidentikkan dengan kecurangan, keculasan, kelicikan, dan berbagai
tindakan buruk lainnya. Akibatnya umat Islam seringkali ‘ditakut-takuti’ dan menjadi phobia
untuk ikut serta dan berkecimpung dalam dunia politik. Padahal dengan menjauh dari dunia
politik maka umat Islam akan kian terpinggirkan dan malah memberikan ‘panggung’ kepada
musuh-musuh Islam untuk mengambil alih kekuasaan dan mengontrol semua kegiatan kaum
muslim.
Jika kita merujuk pada wikipedia, politik identik dengan kekuasaan dan rakyat (atau warga
negara). Saya sendiri punya definisi sendiri tentang politik. Menurut saya, yg dimaksud
dengan politik adalah suatu tujuan yg hendak dan mesti dicapai. Tujuan di sini sangat luas
maknanya. Namun intinya butuh usaha untuk mewujudkannya dan waktu yg mesti
dikorbankan.
Well, saya pribadi bebas saja dengan pendapat/definisi anda sendiri. Tidak masalah. :-)
Kembali ke topik mengenai politik.
Islam dan politik sebenarnya tidak ada pertentangan selama umat Islam berpolitik dengan
cara-cara yg baik. Sangat banyak contoh mengenai cara berpolitik yg Islami. Saya tuliskan
beberapa di antaranya.
Pertama, Nabi Yusuf as saat dipenjara karena difitnah dengan dituduh merayu istri pejabat.
Lalu apa tindakan Nabi Yusuf as? Beliau tetap sabar dan tawakal serta ikhtiar untuk
tukang roti dan tukang anggur serta minta bantuan mereka untuk membebaskan dirinya jika
salah satu dari mereka selamat. Kenyataannya, beliau malah dilupakan dan terus dipenjara.
Lalu ketika beliau akhirnya bebas, apakah lantas beliau balas dendam kepada tukang anggur
Kedua, ketika Nabi Yusuf as ‘minta’ dijadikan menteri ekonomi di pemerintahan Mesir. Beliau
berhasil meyakinkan bahwa dirinya merupakan pribadi yg baik dan bisa dipercaya karena
Ini bisa dikatakan politik juga, termasuk kategori lobi, saya pikir. Hasilnya beliau dipercaya
Ketiga, Nabi Musa as dan Nabi Harun as saat bertemu dg Firaun, memintanya agar mengakui
adanya ALLOH SWT dan tidak lagi meninggikan dan memperlakukan dirinya layaknya Tuhan.
Di akhir perdebatan terjadi clash antara Nabi Musa as dengan para penyihir Firaun yg diakhiri
Keempat, Nabi Sulaiman as mengutus burung Hud Hud untuk mengirim surat kepada Ratu
Bilqis (atau Ratu Balqis). Ini jelas merupakan pergerakan politik berupa diplomasi.
Kelima, perjanjian Hudaibiyah antara kaum Muslim dengan kaum kafir Quraisy. Ini
merupakan taktik politik tingkat tinggi yg tidak pernah terpikirkan oleh para sahabat.
Dari kelima contoh (ber)politik di atas nampak jelas bahwa Islam mempunyai cara-cara yg
elegan dan ‘keren’ untuk berpolitik. Bisa dikatakan saat itu umat Islam (yg dipandu para
akhirnya membuat citra politik menjadi identik dengan pertumpahan darah ataupun, seperti
Bagaimana di Indonesia?
1. Kelompok yg anti politik. Mereka beranggapan politik itu kotor sehingga tidak mau ikut
campur.
2. Kelompok yg berpolitik dengan santun. Kelompok ini berusaha menerapkan cara berpolitik
3. Kelompok yg berusaha berkuasa dengan cara apapun. Jika mau jujur, kaum muslim di
Efek menjadi kelompok pertama adalah mesti mau menerima segala konsekuensinya,
termasuk menerima jika ada kebijakan2 yg merugikan umat Islam. Mau menyuarakan
pendapatnya, tidak ada cara/wakil di pemerintahan atau di lembaga2 lain. Akhirnya umat
Sementara untuk yg kedua, jumlahnya bisa dikatakan sedikit (sekali). Banyak orang2 Islam
yg baik justru tersingkir. Saya malah heran, cara kedua ini justru (‘lebih mudah’) ditemukan
di negara-negara Barat. Jika anda googling, anda akan temukan banyak walikota dan
Apabila anda teliti lagi kehidupan para politikus Islam(i) ini, anda akan menemukan bahwa
dengan khilafah. Bahkan mereka pun tidak membuat ‘perda syariah’, peraturan yg
menggunakan label agama. Hal ini dilakukan karena masyarakat di sana masih phobia dg
hal2 yg berkaitan dg agama. Dan sebenarnya peraturan2 masyarakat di sana (meski dicap
di Indonesia? Jika memang sama2 memperjuangkan Islam, kenapa mesti ada banyak partai
Islam? Bahkan saat usai pileg dan hendak masuk proses pilpres, ada wacana koalisi partai
Islam.
Politik adalah 'ilmu pemerintahan' atau 'ilmu siyasah', iaitu 'ilmu tata negara'
.
Pengertian dan konsep politik atau siasah dalam Islam sangat berbeza dengan pengertian dan
konsep yang digunakan oleh orangorang yang bukan Islam.
Politik dalam Islam menjuruskan kegiatan ummah kepada usaha untuk mendukung dan
melaksanakan syari'at Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan.
la bertujuan untuk menyimpulkan segala sudut Islam yang syumul melalui satu institusi yang
mempunyai syahksiyyah untuk menerajui dan melaksanakan undang undang.
Pengertian ini bertepatan dengan firman Allah yang mafhumnya: "Dan katakanlah: Ya Tuhan ku,
masukkanlah aku dengan cara yang baik dan keluarkanlah aku dengan cara yang baik dan
berikanlah kepadaku daripada sisi Mu kekuasaan yang menolong." (AI Isra': 80)
Di atas landasan inilah para 'ulama' menyatakan bahawa: "Allah menghapuskan sesuatu perkara
melalui kekuasaan negara apa yang tidak dihapuskan Nya meIaiui al Qur'an"
2.0 Asas asas Sistem Politik Islam Asas asas sistem politik Islam ialah:
2.1 Hakimiyyah Ilahiyyah Hakimiyyah atau memberikan kuasa pengadilan dan kedaulatan
hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah hak mutlak Allah.
Tidak mungkin ianya menjadi milik sesiapa pun selain Allah dan tidak ada sesiapa pun yang
memiliki suatu bahagian daripadanya.
Fir man Allah yang mafhumnya: "Dan tidak ada sekutu bagi Nya dalam kekuasaan Nya." (Al
Furqan: 2)
"Bagi Nya segaIa puji di dunia dan di akhirat dan bagi Nya segata penentuan (hokum) dan
kepada Nya kamu dikembalikan." (A1 Qasas: 70)
-Bahawasanya Allah adalah Pemelihara alam semesta yang pada hakikatnya adalah Tuhan
yang menjadi Pemelihara manusia, dan tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan
tunduk kepada sifat Ilahiyyah Nya Yang Maha Esa -Bahawasanya hak untuk menghakimi dan
mengadili tidak dimiliki oleh sesiapa kecuali Allah. Oleh kerana itu, manusia wajib ta'at kepada
Nya dan ber'ibadat kepada Nya -Bahawasanya hanya Allah sahaja yang memiliki hak
mengeluarkan hukum sebab Dialah satu satu Nya Pencipta -Bahawasanya hanya Allah sahaja
yang memiliki hak mengeluarkan peraturan peraturan, sebab Dialah satu satu Nya Pemilik -
Bahawasanya hukum Allah adalah sesuatu yang benar sebab hanya Dia sahaja Yang
Mengetahui hakikat segala sesuatu, dan di tangan Nyalah sahaja penentuan hidayah dan
penentuan jalan yang selamat dan lurus.
Hakimiyyah Ilahiyyah membawa erti bahawa teras utama kepada sistem politik Islam ialah tauhid
kepada Allah di segi rububiyyah dan uluhiyyah Nya.
2.2 Risalah Jalan kehidupan para rasul diiktiraf oleh Islam sebagai sunan al huda atau jalan
jalan hidayah.
Jalan kehidupan mereka berlandaskan kepada segala wahyu yang diturunkan daripada Allah
untuk diri mereka dan juga untuk umat umat mereka.
Para rasul sendiri yang menyampaikan hukum hukum Allah dan syari'at syari'at Nya kepada
manusia.
Risalah bererti bahawa kerasulan beberapa orang lelaki di kalangan manusia sejak Nabi Adam
hingga kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah satu asas yang penting dalam sistem politik Islam.
Melalui landasan risalah inilah maka para rasul mewakili kekuasaan tertinggi Allah di dalam
bidang perundangan dalam kehidupan manusia.
Para rasul menyampaikan, mentafsir dan menterjemahkan segala wahyu Allah dengan ucapan
dan perbuatan mereka.
Dalam sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia menerima segala perintah
dan larangan Rasulullah s.a.w.
Manusia diwajibkan tunduk kepada perintah perintah Rasulullah s.a.w dan tidak mengambil
selain daripada Rasulullah s.a.w untuk menjadi hakim dalam segala perselisihan yang terjadi di
antara mereka.
Firman Allah yang mafhumnya: "Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka terimalah dan
apa yang dilarangnya bagi kamu, maka tinggatkanlah." (Al Hasyr: 7)
"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk dita'ati dengan seizin Allah." (An
Nisa': 64)
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang orang mu'min, akan Kami biarkan mereka bergelimang daiam kesesatan
yang telah mereka datangi, dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu adalah
seburuk buruk tempat kembali." (An Nisa: 115)
"Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati
mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya." (An Nisa': 65)
2.3 Khalifah Khalifah bererti perwakilan. Dengan pengertian ini, ia bermaksud bahawa
kedudukan manusia di atas muka bumi ialah sebagai wakil Allah.
Ini juga bermaksud bahawa di atas kekuasaan yang telah diamanahkan kepadanya oleh Allah,
maka manusia dikehendaki melaksanakan undang undang Allah dalam batas batas yang
ditetapkan.
Di atas landasan ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik, tetapi ia hanyalah khalifah
atau wakil Allah yang menjadi Pemilik yang sebenarnya.
Firman Allah yang mafhumnya: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi... " (Al Baqarah: 30)
"Kemudian Kami jadikan kamu khalifah khalifah di muka bumi sesudah mereka supaya Kami
memperhatikan bagaimana kamu berbuat." (Yunus: 14)
Seseorang khalifah hanya menjadi khalifah yang sah selama mana ia benar benar mengikuti
hukum hukum Allah.
- Oleh itu khilafah sebagai asas ketiga dalam sistem politik Islam menuntut agar tugas
tersebut dipegang oleh orang orang yang memenuhi syarat syarat berikut: -Mereka
mestilah terdiri daripada orang orang yang benar benar menerima dan mendukung prinsip
prinsip tanggungjawab yang terangkum di dalam pengertian khilafah -Mereka tidak terdiri
daripada orang orang zalim, fasiq, fajir dan lalai terhadap Allah serta bertindak melanggar batas
batas yang ditetapkan oleh Nya -Mereka mestilah terdiri daripada orang orang yang ber'ilmu,
berakal sihat, memiliki kecerdasan, kea'rifan serta kemampuan intelek dan fizikal -Mereka
mestilah terdiri daripada orang orang yang amanah sehingga dapat dipikulkan tanggungjawab
kepada mereka dengan aman dan tanpa keraguan
3.0 Prinsip prinsip Utama Sistem Politik Islam Prinsip prinsip sistem politik Islam terdiri
daripada beberapa perkara di antaranya:
3.1 Musyawarah - Prinsip pertama dalam sistem politik Islam ialah musyawarah. -Asas
musyawarah yang paling utama adalah berkenaan dengan pemilihan ketua negara dan orang
orang yang akan menjawat tugas tugas utama dalam pentadbiran ummah.<p> </p>-Asas
musyawarah yang kedua pula adalah berkenaan dengan penentuan jalan dan cara
perlaksanaan undangundang yang telah dimaktubkan di dalam al gur'an dan al
Sunnah.<p> </p>-Asas musyawarah yang seterusnya ialah berkenaan dengan jalan jalan
menentukan perkara perkara baru yang timbul di kalangan ummah melalui proses ijtihad.
3.2 Ke'adilan Prinsip kedua dalam sistem politik Islam ialah keadilan. Ini adalah menyangkut
dengan ke'adilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan sistem ekonomi Islam.
Ke'adilan di dalam bidang bidang sosioekonomi tidak mungkin terlaksana tanpa wujudnya kuasa
politik yang melindungi dan mengembangkannya.
Di dalam perlaksanaannya yang luas, prinsip ke'adilan yang terkandung dalam sistem politik
Islam meliputi dan menguasai segala jenis perhubungan yang berlaku di dalam kehidupan
manusia, termasuk ke'adilan di antara rakyat dan pemerintah, di antara dua pihak yang
bersengketa di hadapan pihak pengadilan, di antara pasangan suami isteri dan di antaxa ibu
bapa dan anak anaknya.
Oleh sebab kewajiban berlaku 'adil dan menjauhi perbuatan zalim adalah merupakan di antara
asas utama dalam sistem sosial Islam, maka menjadi peranan utama sistem politik Islam untuk
memelihara asas tersebut.
Pemeliharaan terhadap ke'adilan merupakan prinsip nilai nilai sosial yang utama kerana
dengannya dapat dikukuhkan kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
3.3 Kebebasan Prinsip ketiga dalam sistem politik Islam ialah kebebasan. Kebebasan yang
dipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang berteraskan kepada ma'ruf dan
kebajikan.
Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenar adalah di antara tujuan tujuan terpenting bagi
sistem politik dan pemerintahan Islam serta asas asas bagi undang undang perlembagaan
negara Islam.
3.4 Persamaan Prinsip keempat dalam sistem politik Islam ialah persamaan atau musawah.
Persamaan di sini terdiri daripada persamaan dalam mendapat dan menuntut hak hak,
persamaan dalam memikul tanggungjawab menurut peringkat peringkat yang ditetapkan oleh
undang undang perlembagaan dan persamaan berada di bawah taklukan kekuasaan undang
undang.
3.5 Hak Menghisab Pihak Pemerintah Prinsip kelima dalam sistem politik Islam ialah hak
rakyat untuk menghisab pihak pemeriritah dan hak mendapat penjelasan terhadap tindak
tanduknya.
Prinsip ini berdasarkan kepada kewajiban pihak pemerintah untuk melakukan musyawarah
dalam hal hal yang berkaitan dengan urusan dan pentadbiran negara dan ummah.
Hak rakyat untuk disyurakan adalah bererti kewajipan setiap anggota di dalam masyarakat untuk
menegakkan kebenaran dan menghapuskan kemungkaran.
Hak ini dalam pengertian yang luas juga bererti hak untuk mengawasi dan menghisab tindak
tanduk dan keputusankeputusan pihak pemerintah.
Prinsip ini berdasarkan kepada firman Allah yang mafhumnya: "Dan apabila ia berpaling
(daripada kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerosakan padanya, dan merosak
tanaman tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan." (Al-Baqarah:
205)
"..maka berilah keputusan di antara manusia dengan 'adil dan janganlah kamu mengikut hawa
nafsu, kerana ia akan menyesatkan kamu daripada jalan Allah. Sesungguhnya orang orang yang
sesat daripada jalan Allah akan mendapat 'azab yang berat, kerana mereka melupakan hari
perhitungan." (Sad: 26)
4.0 Tujuan Politik Menurut Islam Tujuan sistem politik Islam ialah untuk membangunkan
sebuah sistem pemerintahan dan kenegaraan yang tegak di atas dasar untuk melaksanakan
seluruh hukum syari'at Islam.
Tujuan utamanya ialah untuk menegakkan sebuah negara Islam atau Darul Islam.
Dengan adanya pemerintahan yang mendukung syari'ah, maka akan tertegaklah al Din dan
berterusanlah segala urusan manusia menurut tuntutan tuntutan al Din tersebut.
- Para fuqaha Islam telah menggariskan sepuluh perkara penting sebagai tujuan kepada
sistem politik dan pemerintahan Islam. -Memelihara keimanan menurut prinsip prinsip yang
telah disepakati oleh 'ulama' salaf daripada kalangan umat Islam -Melaksanakan proses
pengadilan di kalangan rakyat dan menyelesaikan masalah di kalangan orang orang yang
berselisih -Menjaga keamanan daerah daerah Islam agar manusia dapat hidup dalam keadaan
aman dan damai -Melaksanakan hukuman hukuman yang ditetapkan syara' demi melindungi
hak hak manusia -Menjaga perbatasan negara dengan pelbagai persenjataan bagi
menghadapi kemungkinan serangan daripada pihak luar -Melancarkan jihad terhadap
golongan yang menentang Islam -Mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat dan sedekah
sebagai mana yang ditetapkan oleh syara' -Mengatur anggaran belanjawan dan perbelanjaan
daripada perbendaharaan negara agar tidak digunakan secara boros ataupun secara kikir -
Mengangkat pegawai pegawai yang cekap dan jujur bagi mengawal kekayaan negara dan
menguruskan hal ehwal pentadbiran negara -Menjalankan pengaulan dan pemeriksaan yang
rapi di dalam hal ehwal amam demi untuk memimpin negara dan melindungi al Din.
Diharapkan tulisan saya ini memberi kesedaran kepada seluruh yang bergelar Islma untuk lebih
mendalami diri mereka dengan ilmu 'ALLAH' ini yangberkaitan dengan diri mereka sendiri!!!
Diperlukan ekstra kehatian-hatian untuk membangun pandangan yang bersahabat antara Islam dan
kehidupan politik. Hal itu, menurut Samuel P.Huntington, akan dapat tumbuh dan berkembang jika
mendapat dukungan sikap, nilai, kepercayaan, dan pola-pola tingkah laku berkaitan dengan
perkembangan peradaban yang kondusif. Hal itu juga disebabkan oleh kenyataan yang tak terbantahkan
-meminjam istilah Sdr Ulil- bahwa umat Islam tidak bisa menghindar dari kenyataan baru yang sama
sekali berbeda.
SEDIKIT pandangan tentang politik dalam Islam telah dikemukakan Sdr Ulil Abshar-Abdalla dalam
Kajian di Jawa Pos, 1 Juni 2003, yang berjudul Fahmi Huwaidi dan Dzimmah. Di sana ada beberapa hal
yang perlu dipahami bersama bahwa sampai saat ini ada tiga pendapat yang berkembang dalam
lingkungan kaum muslim tentang politik.
Pertama, aliran yang berpendapat bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan serba lengkap yang
mengatur segala aspek kehidupan, termasuk bernegara. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa
Alquran tidak mengatur masalah politik atau ketatanegaraan. Ketiga, pendapat yang mengambil jalan
tengah bahwa dalam Alquran tidak terdapat sistemketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata
nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Mengamati berbagai persoalan yang berkembang akhir-akhir ini, khususnya dalam bidang politik Islam,
dan jika kita mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa sebuah pemahaman yang benar,
evaluatif, kritis, dan rasional akan menunjukkan Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan, porsi
politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil. Itu pun berkaitan langsung dengan kepentingan banyak
orang yang berarti kepentingan rakyat kecil (kelas bawah di masyarakat), bukan pada tataran model-
model politik.
Karena itu, jelas pulalah bahwa politik dan agama adalah sesuatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya
pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas
dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan
praktis, bukan atas dasar agama.
Pemerintahan yang berlaku pada masa Rasulullah dan khalifah bukanlah diturunkan Allah dari langit.
Wahyu Allah hanya mengarahkan Rasul dankaum muslimin untuk menjamin kemaslahatan umum, tanpa
merenggut kebebasan mereka untuk memikirkan usaha-usaha menegakkan kebenaran, kebajikan, dan
keadilan.
Alquran sendiri tidak mengatur urusan politik secara khusus, tetapi hanya memerintahkan untuk
menegakkan keadilan, kebajikan, membantu kaum lemah, dan melarang perbuatan yang tidak senonoh,
tercela, serta durhaka. Alquran hanya meletakkan garis besar pada kaum muslimin, kemudian
memberikan kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan ketentuan tidak sampai
melanggar batas-batas yang telah ditetapkan.
Rasulullah sendiri belum pernah menentukan sistem politik dan kekuasaan tertentu melalui sunah dan
kebijaksanaannya. Hal ini yang semestinya harus kita sadari bersama agar politik tidak menjadi
"panglima" gerakan Islam yang mempunyai keterkaitan dengan sebuah institusi yang bernama
kekuasaan. Selain itu, Islam lebih mengutamakan fungsi pertolongan pada kaum miskin dan menderita
serta tidak lebih memperhatikan secara khusus tentang bentuk negara.
Hal-hal seperti itulah yang seharusnya menjadi tekanan bagi gerakan-gerakan Islam dalam membangun
sebuah bangsa, bukan mementingkan formalisasi ajaran-ajaran agama dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebab, persoalan formalisasi ideologi Islam dalam kehidupan bernegara tidak menjadi
kebutuhan utama dalam bernegara.
Justru penampilan nonformal agama dalam kehidupan bernegara harus terwujud tanpa formalisasi
dirinya. Dengan demikian, agama Islam menjadi sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam dalam
kehidupan bernegara. Inti pandangan seperti itu terletak pada kesadaran bahwa agama harus lebih
berfungsi nyata dalam kehidupan daripada membuat dirinya menjadi wahana bagi formalisasi agama
yang bersangkutan dalam kehidupan bernegara.
Merujuk uraian di atas, diperlukan ekstra kehatian-hatian untuk membangun pandangan yang
bersahabat antara Islam dan kehidupan politik. Hal itu, menurut Samuel P. Huntington, akan dapat
tumbuh dan berkembang jika mendapat dukungan sikap, nilai, kepercayaan, dan pola-pola tingkah laku
berkaitan dengan perkembangan peradaban yang kondusif. Hal itu juga disebabkan oleh kenyataan
yang tak terbantahkan -meminjam istilah Sdr Ulil- bahwa umat Islam tidak bisa menghindar dari
kenyataan baru yang sama sekali berbeda.
Ini menunjukkan bahwa dalam memandang sesuatu persoalan, Islam lebih mementingkan
pendekatan profesional, bukan politis. Kalau saja dimengerti dengan baik, hal itu akan menjadi jelas
mengapa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur atau dengan kata lain masyarakat
sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci tersebut, daripada masalah bentuk negara.
Jika hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum muslimin, tentu salah satu sumber keruwetan dalam
hubungan antarsesama umat, khususnya umat Islam, dapat dihindari. Artinya, ketidakmampuan dalam
memahami hal itulah yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa
ini.
POLITIK DALAM ISLAM, SUATU KEHARUSAN
" Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah "(Ali Imran :
110).
Allah SWT telah menetapkan bahwa kaum muslimin adalah umat yang terbaik
diantara manusia. Status ini diberikan kepada kaum mulimin agar mereka menjadi
pemimpin dan penuntun bagi umat-umat lain. Sayyid Qutb dalam Fii Zhilalil Qur’an
menafsirkan bahwa yang layak menjadi pemimpin umat manusia hanyalah "orang-
orang yang berpredikat terbaik". Karena ingin meraih predikat umat terbaik itulah,
umat Islam terdahulu tidak pernah berhenti ataupun lemah semangatnya dalam
perjuangan menyebarkan risalah Islam ke seluruh permukaan bumi. Mereka yakin
bahwa metode untuk mewujudkan kebangkitan Islam hanyalah dengan menjadikan
Islam sebagai pedoman hidup yang lengkap. Islam dijadikan sebagai pola kehidupan
yang menyeluruh. Umat Islam percaya dan yakin bahwa hanya Islam yang mampu
memecahkan seluruh urusan manusia secara sempurna, menyeluruh, praktis dan
sesuai dengan fitrah kemanusiaan.
Namun saat ini umat Islam berada dalam kondisi dan situasi yang lemah serta paling
rendah dalam memahami Islam. Kondisi ini telah terbukti menyebabkan segala
bentuk pemikiran-pemikiran yang merusak menyusup kedalam tubuh umat Islam.
Hal inilah yang mengakibatkan munculnya berbagai gangguan dan keresahan. Umat
Islam cenderung mudah mengabaikan hukum-hukum Islam. Akhirnya kehidupan
mereka merosot sampai ke taraf rendah. Dalam kondisi ini, umat Islam tidak memiliki
peranan lagi dalam percaturan politik internasional.
Sebenarnya tidak ada cara lain untuk menyelamatkan umat dan membangkitkannya
kembali menempati kedudukan mulia, selain dari mengembalikan umat pada sifat
yang menjadikannya umat terbaik, yakni beriman kepada Allah SWT, melaksanakan
amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran (nahi mungkar), sebagaimana yang
diungkapkan dalam ayat diatas.
Umat yang beriman kepada Allah SWT, konsekuensinya adalah menjadi umat yang
tunduk hanya kepada Allah SWT. Yakni tunduk kepada ketentuan-Nya. Demikian
pula umat yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar berarti umat yang
menegakkan tolok ukur segala sesuatu berdasarkan ridlo dan murka Allah atau baik
dan buruk menurut Allah. Hal ini berarti kedudukan mulia sebagai umat terbaik akan
bisa diraih kembali oleh umat Islam, bila mereka mendasarkan pengaturan segala
urusannya, bahkan urusan umat manusia (lainnya) diatas perintah dan larangan
Allah SWT, yang termaktub di dalam kitabbullah dan sunah Rasul-Nya.
Islam sebagai agama yang juga dianut oleh mayoritas umat di Indonesia selain
sebagai aqidah ruhiyah (yang mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya), juga
merupakan aqidah siyasiyah (yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan
dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak bisa dilepaskan dari aturan yang
mengatur urusan masyarakat dan negara. Islam bukanlah agama yang mengurusi
ibadah mahdloh individu saja.
Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin. Ini kalau kita
memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai
dengan syari’at Islam. Terlebih lagi ‘memikirkan/memperhatikan urusan umat Islam’
hukumnya fardlu (wajib)sebagaimana Rasulullah bersabda :
"Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan
berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan
kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum
muslimin)".
Oleh karena itu setiap saat kaum muslimin harus senantiasa memikirkan urusan
umat, termasuk menjaga agar seluruh urusan ini terlaksana sesuai dengan hukum
syari’at Islam. Sebab umat Islam telah diperintahkan untuk berhukum (dalam urusan
apapun) kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, yakni Risalah Islam
yang dibawa oleh
Dua ayat di atas dan beberapa ayat lain yang senada, seperti surat Al-Maidah ayat
44,45, 47 dan 49 serta An-Nisaa’ ayat 65 menjelaskan bahwa kaum muslimin harus
(wajib) mendasarkan segala keputusan tentang urusan apapun kepada ketentuan
Allah, yakni hukum syari’at Islam.
Terlaksananya urusan umat sesuai dengan hukum syari’at Islam tidak hanya
meliputi urusan dalam negerinya saja, melainkan juga urusan luar negeri. Hal ini
karena kaum muslimin juga melakukan interaksi dengan negara-negara lain, yang
dalam setiap pelaksanaannya harus selalu terikat dengan syari’at Islam.
Bentuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat ini bisa berarti
mengurusi kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang
diberlakukan penguasa terhadap rakyat, mengingkari kejahatan dan kezholiman
penguasa, peduli terhadap kepentingan dan persoalan umat, menasehati pemimpin
yang lalim, mendongkrak otoritas penguasa yang melanggar syari’at Islam, serta
membeberkan makar-makar jahat negara-negara musuh serta hal-hal lain yang
berkenaan dengan urusan umat.
Banyak urusan rakyat yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin. Baik urusan
pelaksanaan syariat Islam di dalam negeri ataupun yang menyangkut urusan luar
negeri.
Di dalam negeri, kaum muslimin harus memperhatikan, apakah urusan umat dapat
terpelihara dengan baik oleh negara. Mulai dari penerapan hukum pemerintahan,
ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan, aturan interaksi antar individu pria dan
wanita serta seluruh kepentingan umat lainnya. Dengan demikian memperhatikan
politik dalam negeri ini berarti menyibukkan diri dengan urusan-urusan kaum
muslimin secara umum. Yaitu memperhatikan kondisi kaum muslimin dari segi
peranan pemerintah dan penguasa terhadap mereka. Sudahkah pemimpin kaum
muslimin (penguasa) melaksanakan langsung tanggung jawab terhadap rakyatnya,
yang telah dibebankan Allah? Apakah seluruh urusan rakyat telah terpenuhi sesuai
dengan hukum syara?
Aktivitas-aktivitas ini merupakan persoalan yang penting dan telah diwajibkan Allah
SWT kepada umat Islam. Dengan demikian haram hukumnya bila kaum muslimun
meninggalkannya.
Selain dari aktivitas politik dalam negeri, umat Islam juga harus menyibukkan diri
dalam politik luar negeri. Hal ini dilakukan dalam rangka mengetahui strategi makar
(tipu daya) negara-negara kafir terhadap kaum muslimin. Tindakan selanjutnya
adalah membeberkan makar tersebut agar kaum muslimin waspada dan mampu
menolak ancamannya. Di samping itu politik luar negeri ditegakkan dalam rangka
menyebarkan da’wah Islam kepada seluruh umat manusia di bumi ini. Ini sudah
menjadi kewajiban kaum muslimin. Sebab Islam diturunkan untuk seluruh manusia.
Oleh karena itu kewajiban berpolitik bersifat mutlak, baik berupa politik dalam negeri
ataupun luar negeri. Pentingnya politik luar negeri ini karena aktivitas penguasa
bersama negar-negara lain adalah bagian dari politik. Maka salah satu aktivitas
politik luar negeri adalah mengoreksi aktivitas penguasa yang berkaitan dengan
negara-negara lain.
Aktivitas menasehati dan mengoreksi tindakan penguasa (bila penguasa lalai dari
penerapan hukum Islam) merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan umat.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata :
"Aku mendatangi Nabi SAW, lalu aku berkata : "Aku membai’atmu berdasarkan
Islam Maka beliau mensyaratkan agar aku memberi nasehat kepada semua muslim"
Sebagai contoh, ketika kaum pemimpin muslimin (penguasa Daulah Islamiyah) lalai
dalam menerapkan hukum Islam atau mengeluarkan kebijakan negara yang
bertentangan dengan syari’at Islam, maka rakyat berkewajiban untuk
menasehatinya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :
" Penghulu syuhada’ adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan
penguasa yang lalim lalu menasehatinya, kemudian Ia di bunuh".
" Ada seseorang yang datang menghadap kepada Rasulullah, jihad apakah yang
paling baik? Beliau mendiamkannya. Ketika beliau melempar jumrah kedua, dia
bertanya kembali kepada beliau, namun beliau pun tetap tidak menjawabnya. Maka
pada saat melempar jumrah aqabah, dimana beliau (ketika itu) sudah memasukan
kaki beliau keatas pelana (kuda) untuk menaikinya, beliau saw bertanya :’Mana
orang yang bertanya tadi ?’ Dia menjawab : ‘Saya, Ya Rasulullah.’ Beliau kemudian
bersabda : ‘ Adalah kata-kata yang hak (kalimatu haqqin), yang diucapkan
dihadapkan seorang penguasa yang zalim." (Ibnu Majah)
Bila kemudian kita kembalikan kepada tanggung jawab umat yang harus
mengemban da’wah Islam keseluruh dunia, maka aktivitas da’wah ini tidak akan bisa
dilakukan dengan mudah kecuali bila umat memahami politik pemerintahan negeri-
negeri tersebut, yaitu politik pemerintahan negara yang berkuasa (yang rakyatnya
mereka da’wahi). Mengemban da’wah adalah fardlu. Dalam hal ini seseorang tidak
akan berhasil kecuali dengan memahami masalah politik secara keseluruhan (dalam
dan luar negeri), maka memahami masalah politik adalah fardlu pula bagi kaum
muslimin. Sebagaimana kaidah sya’ra menyebutkan :
"apabila suatu kewajiban tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan suatu
perbuatan, maka perbuatan tersebut hukumnya adalah wajib"
Pada kondisi seperti sekarang ini, kaum muslimin masih belum menyandarkan
seluruh pengaturan kehidupannya dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh allah
SWT kepada mereka. Secara umum umat Islam (termasuk di Indonesia) belum
menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya. Yaitu menjadikan aqidah Islam
sebagai landasan seluruh pengaturan urusan kehidupannya. Pandangan hidup yang
diajarkan aqidah Islam adalah halal dan haram. Sedangkan metode operasional
(untuk merealisasikan pandangan halal-haram tersebut) adalah dengan membangun
keterikatan terhada um syara’. Maka pandangan tersebut selalu memandang
kehidupan dengan standar halal dan haram. Apa saja yang yang halal, baik
persoalan tersebut wajib, mandub (sunah), maupun mubah, akan diambil tanpa
ragu-ragu. Sesuatu yang makruh, akan diambil dengan rasa khawatir. Sedangkan
yang haram, tidak akan diambil sama sekali.
Bila kita perhatikan saat ini aqidah Islam belum diambil dan dimiliki oleh kaum
muslimin sebagai aqidah siyasiyah meskipun tetap dimiliki sebagai aqidah ruhuyah.
Sehingga pandangan hidup yang dibentuk oleh aqidah tersebut tidak pernah
diwujudkan dalam realitas kehidupan, sekalipun masih ada pada individu-individu
muslim.
Demikian kerangka pandang politik didalam Islam. Standar ini bersifat tetap dan
pasti yang berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kiamat nanti. Oleh karena itu
menjadi suatu keharusan bagi suatu kaum muslimin untuk menjadikan aqidah Islam
sebagi cara pandang untuk memelihara dan mengurusi segala urusan hidupnya.
Kesadaran inilah yang harus ditumbuhkan pada kaum muslimin saat ini. Bahkan
menjadi suatu hal yang ‘amat penting’, mengingat bila kaum muslimin meninggalkan
persoalan ini, maka mereka akan berdosa. Sebagaimana dosa-dosa mereka karena
meninggalkan kewajiban yang lain.
Selain kewajiban bagi setiap individu muslim untuk memili adaran politik yang
berlandaskan Islam, secara syar’I kaum mulimin juga diperintahkan untuk
mewujudkan kelompok (dalam hal ini adalah Kutlah Siyasi) yang mengemban
dakwah Islam dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam.
"Dan hendaklah ada diantara kalian sekelompok umat yang mengajak kepada
kebaikan dan menyeru kepada kema’rufan serta mencegah dari kemungkaran,. Dan
merekalah orang-orang yang beruntung". (QS : Ali Iran :104)
Dengan dalil ini berarti Allah SWT telah memfardlukan kaum muslimin agar
bergabung dalam Kutlah siyasi yang mengemban dakwah Islam, dan beraktivitas
untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam (isti’nafil hayah al Islamiyah). Di
dalam ayat tersebut,Allah SWT telah menjelaskan metode yang seharusnya
dilakukan oleh kaum muslimin dalam mengemban dakwah Islam, yaitu amar ma’ruf
nahi mungkar.
Mengambil pengaturan urusan kaum muslimin dengan selain aturan yang diturunkan
Allah merupakan kemungkaran yang telah jelas. Sedangkan mewujudkan
pengaturan urusan kaum muslimin dengan aturan yang diturunkan Allah SWT
merupakan amar ma’ruf yang lebih agung. Oleh karena itu menjadi suatu kewajiban
bagi kaum muslimin agar mereka melaksanakan kaum muslimin.
Apa lagi, yang bisa dilakukan kaum muslimin kini selain dari kembali kepada
kesadaran politik dengan perspektif (kerangka pandang) yang sesungguhnya
kemudian berupaya mewujudkan kelompok-kelompok (ahjab siyasiyah) yang
mengemban dakwah Islam dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali
kehidupan Islam ? Demikian bila kaum muslimin mau kembali pada makna politik
yang sesungguhnnya.
"Kebangkitan suatu bangsa di dunia selalu bermula dari kelemahan. Sesuatu yang sering membuat
orang percaya bahwa kemajuan yang mereka capai kemudian adalah sebentuk kemustahilan. Tapi,
di balik anggapan kemustahilan itu, sejarah sesungguhnya telah mengajarkan kepada kita bahwa
kesabaran, keteguhan, kearifan, dan ketenangan dalam melangkah telah mengantarkan bangsa-
bangsa lemah itu merangkak dari ketidakberdayaan menuju kejayaan." (Hasan Al-Banna; Risalah Ila
Ayyu Syain Nad u An-Naas.)
Dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa, kebangkitan dan kemajuan adalah sebuah keniscayaan
yang mesti diyakini. Namun, kelemahan yang sedang mengungkung suatu bangsa seringkali memicu
keputusasaan sehingga bayang-bayang ketidakpastian dan kemustahilan menjadi begitu kuat.
Realitas kejiwaan masyarakat inilah yang ingin didobrak oleh Hasan Al-Banna, dengan salah satu
ungkapannya: "Inna haqaiqa al-yaumi hiya ahlamu al-amsi, wa ahlama al-yaumi haqaiqu al-
ghadi (Sesungguhnya kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari ini akan menjadi
kenyataan esok hari)."
Sementara akar penyebab kelemahan yang sebenarnya ada pada kehancuran jiwa masyarakatnya.
Ini yang secara kuat dicemaskan oleh Abul Hasan An-Nadwi dengan ucapannya, "Kemanusiaan
sedang ada dalam sakratul maut.”. Bahkan, kecemasan dunia modern yang digjaya seperti Amerika
misalnya, juga terletak di sini. Laurence Gould pernah mengingatkan publik Amerika, "Saya tidak
yakin bahaya terbesar yang mengancam masa depan kita adalah bom nuklir. Peradaban AS hancur
ketika tekad mempertahankan kehormatan dan nilai-nilai moral dalam hati nurani warga kita telah
mati." (Hamilton Howze, The Tragic Descent: America in 2020 , 1992).
Dari pemahaman inilah, Hasan Al-Banna menyimpulkan bahwa pilar kekuatan utama membangun
kembali umat adalah kesabaran (ash-shabru), keteguhan (ats-tsabat), kearifan (al-hikmah), dan
ketenangan (al-anat) yang kesemuanya menggambarkan kekuatan kejiwaan (al-quwwah an-
nafsiyah) suatu bangsa. Dan Hasan Al-Banna menyimpulkan adanya lima babak yang akan dilalui.
Kesimpulan ini berangkat dari analisa sejarah perjalanan bangsa-bangsa dan upaya memahami
arahan-arahan Rabbani
Berikut Seri Pemikiran Politik Hasan Al-Banna: Lima Babak Kebangkitan Umat
Faktor utama kelemahan adalah terjadinya kesewenang-wenangan rezim kekuasaan yang tiranik.
Kekuasaan inilah yang memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan memberangus
potensi-potensi kebaikannya dengan dalih kepentingan kekuasaan. "Sesungguhnya Firaun telah
berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan
menindas segolongan dari mereka, membunuh anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-
anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang yang membuat kerusakan." (QS.
28:4) Itulah sebabnya tujuan pertama transisi politik menurut Al-Banna adalah membebaskan umat
dari belenggu penindasan dalam kehidupan politik.
2. Kepemimpinan (az-zuaamah).
Sejarah perubahan menunjukkan bahwa upaya bangkit kembali dari kehancuran membutuhkan
seorang pemimpin yang kuat. Kepemimpinan ini mesti muncul pada dua wilayah, yaitu pemimpin di
tengah-tengah masyarakat (az-zuaamah ad-da wiyah) yang menyeru kepada kebaikan dan
pemimpin pemerintahan (az-zuaamah as-siyasiyah) yang sejatinya muncul atau menjadi bagian dari
mata rantai barisan penyeru kebaikan itu. "Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di muka bumi(QS. 24:55). Ini artinya kekuatan-kekuatan Islam mesti mempersiapkan diri secara
sistematis, sehingga masa transisi politik menjadi kesempatan untuk meneguhkan kepemimpinan
dakwah dan untuk meraih kepemimpinan politik. Inilah tantangan sekaligus rintangan terberat kaum
muslimin pada hari ini.
3. Pertarungan (ash-shiraa u)
Ketika suatu bangsa memasuki masa transisi politik, Al-Banna mengingatkan akan muncul dan
maraknya berbagai kekuatan ideologis yang lengkap dengan tawaran sistem dan para penyerunya.
Akan terjadi kompetisi terbuka untuk menanamkan pengaruh, meraih dukungan dan
memperebutkan kekuasaan. Ada dua karakter dasar ideologi-ideologi kuffar. Pertama, secara hakiki
ia berlawanan dengan ideologi Islam. Dan kedua, untuk menjamin eksistensinya di muka bumi,
ideologi-ideologi kuffar itu akan berupaya menghancurkan ideologi Islam. Pertarungan terberat
adalah pada upaya untuk membebaskan diri dari mentalitas, sikap, perilaku dan budaya yang sudah
terkooptasi oleh ideologi materialisme-sekuler. Pertarungan ini tidak bisa dimenangkan dengan
kekuatan senjata, tetapi dengan bangunan keimanan baru yang memantulkan izzah (harga diri) umat
di hadapan peradaban-peradaban kuffar.
4. Iman (Al-Iman)
Pertarungan ideologi di fase transisi menuju kebangkitan adalah masa-masa ujian berat bagi umat.
Pertarungan akan memunculkan dua golongan manusia. Pertama, mereka yang tidak istiqamah
dengancita-cita Islam dan menggadaikan perjuangannya demi keuntungan-keuntungan material.
Perjuangan bagi mereka adalah bagaimana mengumpulkan sebanyak-banyaknya perhiasan dunia
sesuatu yang tidak mereka miliki sebelumnya. Golongan kedua, adalah mereka yang istiqamah dan
iltizam dengan garis dan cita-cita perjuangan. Besarnya kekuatan musuh justru menambah keimanan
mereka dan semakin mendekatkan diri mereka kepada Allah. Inilah golongan yang sedikit, tapi
dijanjikan kemenangan oleh Allah. Proses kebangkitan umat tidak akan berjalan tanpa keberadaan
mereka; orang-orang yang akan menorehkan garis sejarah panjang perjuangan yang diliputi berbagai
keistimewaan dan keajaiban.
Inilah hakikat kemenangan bagi umat, yaitu ketika Allah swt. telah menurunkan pertolongannya
untuk mencapai kemenangan sejati. Kemenangan tidak semata diukur oleh terkalahkannya musuh.
Tetapi, kemenangan adalah ketika tangan-tangan Allah ikut bersama kita menghancurkan seluruh
kekuatan musuh. Inilah awal tumbuhnya kehidupan baru di mana Allah akan menerangi dengan
cahayaNya dan Allah akan menaungi kehidupan umat dengan Keperkasaan dan Kasih-sayangNya. Di
sinilah pembalikan keadaan (tabdil) dalam kehidupan akan terjadi. Kemakmuran, keamanan,
kedamaian dan keadilan akan menjadi nikmat yang bisa dimiliki setiap makhluk yang
mendiami negeri itu. "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata,
supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang
serta menyempurnakan nikmatNya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus dan
supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang besar." (QS. Al-Fath: 1-3)