Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama paripurna dan istimewa, hal ini tercermin dari
serangakaian aturannya yang bersifat holistik. Aturan menyeluruh ini bukan hanya
menyangkut ubudiyyah saja, lebih luas lagi, islam mengatur hampir di semua aspek
pada sendi sendi kehidupan manusia. Dari situ pula tercermin keistimewaan agama
ini, dikala agama lain hanya mengatur aspek religi penganutnya, islam justru
mengatur kehidupan pemeluknya dari hal yang paling kecil sekalipun. Hal ini juga
yang melatarbelakangi diaturnya politik dalam agama islam.

Politik adalah sesuatu yang sangat urgen dalam kehidupan manusia, terutama
dalam kehidupan bermasyarakat.Karena melalui politik, kesejahteran suatu
masyarakat dapat diwujudkan dengan menempuh berbagai jalan yang telah diilhami
dalam disliiplin ilmu tersebut.Maka dari itu, tidak mengherankan apabila islam
mengaturnya dalam tuntunannya.Walaupun Al-Quran Al-Kariim tidak menyinggung
kata politik (As -Siyasah) secara langsung, namun secara tersirat, nilai nilai politik
dalam konteks yang baik, banyak disinggung di berbagai tempat dalam kitab mulia
ini.Sebagaimana contohnya, perintah untuk senantiasa menjaga sebuah kepercayaan
atau amanah yang disinggung dalam An-Nisa ayat 58. Bahkan tutunan politik dalam
islam tidak hanya menyasar objek para birokrat struktural sebagai pihak pengemban
amanah saja, namun masyarakat biasa yang tidak menyandang jabatan struktural pun
tak luput dari bimbingan Al-Furqan, An-Nisa’ ayat 59 yang memiliki benang merah
dalam segi interpretasi dengan filosofi jawa Tut Wuri Handayani memberikan nasihat
bagaimana seharusnya sikap yang harus diambil seorang rakyat terhadap
pemimpinannya.

Namun dalam perjalanannya, diangkatnya isu politik dalam aturan agama


islam mengalami berbagai hambatan. Ini terjadi karena citra buruk politik yang sudah
terlanjur mendarah daging di tubuh politik itu sendiri sehingga menjadikan pola pikir
masyarakat umum terpaku pada steatment bahwa politik merupakan hal yang buruk,

1
bahkan memaknai atau mengasosiasikan kegiatan politik sebagai suatu perbuatan
untuk memenangkan diri sendiri atau golongan dengan menghalalkan segala cara.
Dari pola pikir seperti inilah timbul sangkalan sangkalan bahwa agama islam
mengatur urusan politik. Pada akhirnya lahirlah pemikiran atau gagasan yang
menolak keras adanya unsur agama dalam urusan politik maupun sebaliknya yang
kelak menjadi cikal bakal paham sekularisme.

Pemisahan antara agama dan kehidupan bermasyarakat yang dilakukan


sebagian golongan umat islam ini merupakan sebuah kejanggalan mengingat Allah
SWT dengan gamblang memfirmankan bahwa dalam segala urusan manusia
sekalipun itu menyangkut hablun min an-naas (hubungan antar manusia), hendaknya
seorang muslim tetap melibatkan aturan Allah didalamnya (Lihat An-Nisa:59).

Berangkat berbagai realita diatas, dirasa perlu adanya kajian yang lebih
mendalam lagi mengenai pandangan agama islam mengenai politik serta bagaiman
perannya dalam urusan politik pemeluknya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat masalah yang dapat dirumuskan


antara lain:

1. Bagaimana Pandangan Islam mengenai politik?


2. Bagaimana Konsep politik dalam islam?
3. Apa sajakah prinsip politik islam?

C. Tujuan
Berdasarkan permasalan diatas maka tujuan yang diharapkan dari kajian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai politik
2. Untuk mengetahu seperti apa konsep politik dalam islam
3. Untuk mengetahui prinsip prinsip politik Islam

2
PEMBAHASAN

A. Pandangan islam mengenai politik


Pasca kematian Nabi Muhammad SAW umat islam mengalami permasalahan
krusial. Masalah ini menyangkut tentang siapa yang akan menjadi pengganti beliau
dalam hal kepemimpinan umat. Ini terjadi karena didalam Al Qur’an maupun dalam
sabda sabda beliau, tidak ada keterangan atau perintah yang secara tegas mengenai
bagaimana bentuk sistem suksesi atau sistem pemerintahan yang dijadikan patokan
dan dilaksanan oleh umat islam setelah masa beliau. Hal ini menimbulkan perbedaan
penafsiran serta pendapat oleh berbagai kalangan yang dikemudian hari memantik
lahirnya bebagai aliran agama seperti Syiah, Sunni, Khawarij, Mu’tazilah.Pecahnya
umat islam kedalam beberapa golongan ini secara dhohir dianggap sebagai sebuah
perpecahan dalam masalah hukum fiqih. Namun di sisi lain, tidak sedikit kalangan
yang mengakui akan adanya unsur politik yang pekat didalamnya. Perbedaan
kepentingan yang berimbas pada konflik berkepanjangan dan berakhir pada
perpecahan ke dalam berbagai golongan.Pada faktanya, dari semua golongan
tersebut, sebagian besar merupakan golongan yang memiliki sangkut paut dengan
masalah politik pasca wafatnya rasul terutama permasalahan khalifah pengganti
Rasulullah SAW.
Dari segala dinamika diatas dapat diketauhi bahwa sejak zaman permulaan
hingga zaman pertengahan islam telah muncul berbagai fenomena politik. Walaupun
fenomena tersebut memiliki konteks yang cenderung buruk karena tenodai oleh
konflik bahkan perang saudara antar umat islam.Bahkan jauh sebelum fenoma diatas
terjadi, di zaman rasul sudah banyak terjadi isu isu yang berkaitan dengan
politik.Salah satu contohnya adalah ketika rasul mengambil kebijakan untuk
mempersaudarakan antara kaum muhajirin, yakni kaum yang berhijrah dari makkah
ke madinah, dengan kaum anshar atau penduduk islam asli madinah. Salah satu faktor
kenapa rasul menerapkan hal tersebut ialah agar situasi umat saat itu kembali
kondusif, mengingat pada saat itu umat islam, terutama umat islam makkah, baru saja

3
menerima diskriminasi yang keras dari para kaum kafir kota makkah, sehingga
membuat mental mereka turun drastis.
Politik dalam islam memegang peranan penting. Ini dapat dibuktikan dengan
steatmen para ulama mujtahidin yang memasukkan politik sebagai salah satu aspek
yang dinaungi oleh hukum fiqih muamalah (menyangkut hubungan antar
manusia).Aspek dalam fiqih muamalah tersebut antara lain, pidana (jinayah),
perkawinan (munakahat), hukum waris (mawarits), hukum acara (murafa’at),
hubungan internasional (al-ahkam ad-du’aliyah), dan yang terakhir adalah politik
(siyasah)(Iqbal,2014:4).
Dalam islam, politik disebut As-Siyasah yang terambil dari kata saasa yang
berarti mengurus, mengatur, dan memerintah (Manzhur, 1968:108). Pengertian secara
etimologi ini mengisyarakatkan bahwa tujuan As-Siyasah adalah mengatur, mengurus
dan membuat kebijakan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai tujuan
kesejahteraan umat.(Iqbal, 2014:4). Abdurrrahman Taj, lebih mempertegas lagi
definisi ini, dengan mendifinisakannya sebagai hukum hukum yang mengatur
kepentingan negara, mengorgansir permasalan umat sesuai dengan jiwa syari’at dan
dasar dasrnya yang universal demi terciptanya tujuan tujuan kemasyarakatan,
walaupun pengaturan tersebut ridak ditegaskan dengan baik dalam Al-Qur’an
maupun As-Sunnah (Taj, 1993:10).
Dari segala pendapat ulama’ diatas dapat ditarik benang merah bahwasannya
islam memandang urusan politik sebagai sesuatu yang urgen serta memiliki peran
tersendiri di kalangan umat islam. Ini dikarenakan, umat islam, dalam kapasitasnya
sebagai warga negara, juga membutuhkan akan adanya suatu pengaturan yang
mencakup bidang perundangan undangan, keuangan dan moneter, peradilan,
eksekutif, masalah dalam negeri muapun luar negeri. Maka dari itu, bukanlah sebuah
hal tabu untuk memasukkan unsur politik kedalam isu agama atau sebaliknya,
tentunya hal ini dalam koridor kewajaran. Sebaliknya, mengecam dan melarang keras
adanya unsur agama dalam kehidupan berpolitik merupakan hal yang tidak
selayaknya dilakkan oleh seprang muslim.

4
B. Konsep Dasar Politik Islam
Politik atau siyasah memiliki fungsi mengatur urusan rakyat, baik dalam
maupun luar negeri. Politik dilaksanakan oleh pemerintah dan rakyat. Negara adalah
institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan rakyat mengoreksi
pemerintah dalam melakukan tugasnya (Abdul Qadim Zallum,2001).
Untuk memahami politik, setidaknya ada lima kerangka konseptual yang bisa
digunakan. Pertama, politik dipahami sebagai usaha warga negara dalam
membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik sebagai segala hal
yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah. Ketiga, politik
sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan
dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik
dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap
penting (Tobroni,1994).
Islam telah menetapkan dasar-dasar kehidupan politik ideal. Di antara dasar
atau lebih tepat disebut asas politik itu antara lain prinsip musyawarah di dalam
menyelesaikan masalah kepemimpinan. Disebut apapun namanya sistem politik itu
tidak terlalu penting dalam Islam, yang terpenting adalah dasar-dasar etika dan moral
di dalam berpolitik dijunjung tinggi.Tetapi kebanyakan orang menyebut politik di
Islam sebagai Politik Islam.Dari politik Islam terdapat beberapa konsep dasar atau
utama dalam sistem Politik Islam
Konsep Dasar dalam Politik Islam meliputi:
a. Imâmah (kepemimpinan).
Konsep kepemimpinan telah diatur dalam Al-Qura’an sebagaimana yang
tersurat dalam surah An-Nisa ayat 58
           
             
  
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia

5
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat.”
Pengangkatan pemimpin yang amanah dan ketaatan rakyat kepada pemimpin
adalah konsep politik Islam yang pokok. Para ulama mengatakan bahwa QS.An-Nisa
ayat 58 di atas diturunkan untuk para pemimpin pemerintahan (waliyy al-amri) agar
mereka menyampaikan amanat kepada ahlinya. Ayat berikutnya :
        
           
         
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kepada
Rasul dan ulil amri dari golonganmu! Kemudian jika engkau berselisih dalam
masalah sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika engkau benar-
benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir! Yang demikian itu lebih utama bagimu
dan lebih baik akibatnya.”
Ayat ini ditujukan kepada rakyat agar taat kepada pemimpinnya dalam hal
pembagian, putusan hukum, dsb.Kewajiban untuk taat kepada ulil amri itu tidak
berlaku apabila mereka memerintahkan rakyatnya berbuat maksiat kepada Allah
SWT. Oleh karena itu, “tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perbuatan maksiat
kepada sang Pencipta (khâliq).”
b. Syûrâ (konsultasi) atau musyawarah
Allah berfirman dalam al-Quran:
             
           
        

“Maka karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Maka maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka,

6
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada Allah.Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadanya.” (Ali Imran: 159).
Konsep ini menuntun sebuah proses pengambilan keputusan atau kebijakan
dari seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya. Asas musyawarah
yang paling utama berkenaan dengan pemilihan ketua negara dan orang-orang yang
akan mendapat tugas dalam pemerintahannya. Asas musyawarah kedua berkenaan
dengan penentuan jalan dan cara pelaksanaan UU yang telah dimaktubkan dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Adapun asas musyawarah yang ketiga berkenaan dengan
jalan-jalan menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di kalangan umat.Syûrâ
menjadi ruh yang sangat penting bagi partisipasi umat dalam penentuan kebijakan.
c. ‘Adalah (keadilan)
Konsep ketiga dalam sistem politik Islam ialah keadilan.Ini adalah
menyangkut dengan keadilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan sistem
ekonomi Islam. Keadilan di dalam bidang bidang sosio-ekonomi tidak mungkin
terlaksana tanpa wujudnya kuasa politik yang melindungi dan mengembangkannya.
Allah berfirman dalam al-Quran:
          
       

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (Al-
Nahl: 90).
Keadilan dan kesetimbangan dalam menentukan kebijakan merupakan prinsip
yang dikedepankan dalam politik Islam. Sistem Islam mengedepankan keadilan
dalam inti ajarannya. Dalam pelaksanaannya, prinsip keadilan yang terkandung dalam
sistem politik Islam meliputi dan menguasai segala jenis perhubungan yang berlaku
di dalam kehidupan manusia, termasuk keadilan antara rakyat dan pemerintah, antara
dua pihak yang bersengketa di pengadilan maupun antara pasangan suami istri atau
orang tua dan anak. Pemeliharaan terhadap keadilan merupakan prinsip nilai sosial
utama karena dapat mengukuhkan kehidupan manusia dalam segala aspeknya.

7
Oleh sebab itu kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan zalim
merupakan asas utama dalam sistem sosial Islam, maka menjadi peranan utama
sistem politik Islam untuk memelihara asas tersebut. Pemeliharaan terhadap keadilan
merupakan prinsip nilai-nilai sosial yang utama kerana dengannya dapat dikukuhkan
kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
d. Kebebasan
.Prinsip keempat dalam sistem politik Islam ialah kebebasan. Kebebasan yang
dipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang berteraskan kepada ma'ruf
dan kebajikan.Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenar adalah di antara tujuan
tujuan terpenting bagi sistem politik dan pemerintahan Islam serta asas asas bagi
undang undang perlembagaan negara. Kebebasan disini bukan berarti bebas tanpa
aturan, namun bebas dalam konteks penyuaraan aspirasi serta bebas disertai dengan
rasa tanggung jawab dan penuh rasa patuh pada norma norma yang berlaku
e. Persamaan atau musawah
Persamaan yang dimaksud terdiri dari persamaan dalam mendapat dan
menuntut hak-hak, persamaan dalam memikul tanggung jawab menurut porsi masing-
masing sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, dan persamaan berada di
bawah naungan undang-undang.
f. Hak menghisab pihak pemerintah dan mendapat penjelasan tindakan
Prinsip ini didasarkan pada kewajiban pemerintah untuk melakukan
musyawarah dalam hal yang berkaitan dengan urusan negara dan umat. Prinsip ini
termaktub dalam firman Allah:
          
             
      
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab
yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS Shad: 26)

8
C. Prinsip-prinsip dasar politik Islam
Sebagai umat Islam, maka tentu saja kita mengambil prinsip-prinsip dasar
berdasarkan Al-Qur’an dan al-Hadist sebagai sumber refrensi dan rujukan dalam
berbagai hal termasuk dalam urusan politik.
Islam tidak memberikan batasan sistem pemerintahan, tetapi menyerahkan
kepada umat untuk memilih dengan bebas sistem yang sesuai dengan kultur,
lingkungan, zaman serta mengingat bahwa ajakan Islam adalah dakwah universal,
cocok untuk segala zaman dan tempat. setiap sistem pemerintahan Islam tidak bisa
terlepas dari prinsip-prinsip politik danperundang-undanganya pada al-Quran, karena
al-Quran merupakan sumber pokok dari perundang-undangan tersebut.
Al-Quran memang tidak menyebutkan bagian perbagian secara terperinci. Hal
tersebut tampaknya memang dibiarkan oleh Allah, agar lewat ijtihad umat Islam
mampumengembangkannya menjadi sistem politik dan perundang-undangan yang
sesuai dengankebutuhan waktu dan lingkungannya.Sumber pokok kedua adalah
Sunnah yang merupakan petunjuk pelaksanaan yangsecara umum melengkapi norma-
norma yang ada dalam al-Quran.Karena itu prinsip-prinsip konstitusional dan politik
terikat kepada kedua sumber tersebut.
Karena kedua sumber itu memang menjadi pokok pegangan dalam segala
aturan yang menyangkutseluruh aspek kehidupan setiap muslim. Selain kedua
sumber hukum tersebut, dalam sistem politik Islam juga terdapatsumber hukum
hukum Qanuni, yang bersumber dari lembaga-lembaga pemerintahan.Secara hirarki
sumber hukum yang tertinggi dalam sistem ini adalah hukum yangpertama. Karena
itu kedaulatan hukum berada dalam al-Quran, karena di dalamnya
terkandung kehendak Allah tentang tertib kehidupan manusia khususnya dan tertib
alam semesta pada umumnya.Cita-cita politik seperti yang dijanjikan Allah kepada
orang-orang yang beriman dan beramal saleh yang terkandung dalam al-Quran adalah
(1) Terwujudnya sebuah system politik. (2) Berlakunya hukum Islam dalam
masyarakat secara mantap. (3) Terwujudnyaketentraman dalam kehidupan
masyarakat.Nilai-nilai politik yang konstitusional yang terdapat dalam al-Quran pada

9
dasarnyaterdiri atas musyawarah, keadilan, kebebasan, persamaan, kewajiban untuk
taat dan bataswewenang dan hak penguasa.
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran utama dan pertama agama Islam
mengandung ajaran tentang prinsip-prinsip dasar yang harus diaplikasikan dan
diimplementasikan dalam pengembangan sistem politik Islam . Terdapat beberapa
prinsip-prinsip dasar politik Islam, prinsip itu antara lain
1. Keharusan mewujudkan persatuan dan kesatuan umat sebagaimana tercantum
dalam Surat al-Mu’minun : 52
        
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang
satudan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.”
Perlu digaris bawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah
pemeluk agama Islam.Sehingga ayat tersebut pada hakekatnya menyatakan
bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip
(ushul)-nya, tiada perbedaan dalam aqidahnya, walaupun dapat berbeda-beda
dalam rincian (furu’) ajarannya. Dengan kata lain, Al Qur’an sebagai kitab
suci pedoman bagi manusia mengakui kebinekaan dalam ketungalan.
2. Keharusan bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah
ijtihadiyah yang terdapat pada Surat al-Syura ayat 38 dan Ali Imran ayat 159
yang mengandung prnsip “Agar segala urusan diselesaikan dan diputuskan
dengan jalan musyawarah di antara umat” dan yang kedua mengandung
prinsip “Untuk selalu bermusyawarah dalam setiap urusan itu. Dalam kata al-
Amr (urusan) tercakup urusan ekonomi, politik, sosial, budaya dan
sebagainya”.
3. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil yang
tercantum dalam surat al-Nisa : 58
‫ت تَُؤ ُّدوا َأ ْن يَْأ ُم ُر ُك ْم هَّللا َ ِإ َّن‬
ِ ‫اس بَ ْينَ َح َك ْمتُ ْم َوِإ َذا َأ ْهلِهَا ِإلَ ٰى اَأْل َمانَا‬
ِ َّ‫بِ ْال َع ْد ِل تَحْ ُك ُموا َأ ْن الن‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya , dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan secara adil”.

10
Pada prinsip ini mengandung kewajiban setiap orang yang beriman agar
menunaikan amanat yang menjadi tanggung jawabnya, baik amanat itu dari
Tuhan ataupun amanat sesama manusia. Prinsip ini bermakna bahwa setiap
orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam kehidupan politik
dituntut agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan bahwa
kelalaian kewajiban itu akan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri.
Al Qur’an terutama adalah landasan agama, bukan sebuah kitab
hukum.Berbagai kebutuhan hukum dewasa ini tidak mendapatkan aturannya
dalam Al Qur’an.Tentu saja Al Qur’an menyediakan landasan, prinsip-prinsip
bagi pencapaian keadilan dan kesejahteraan serta penetapan hukum, yang
harus diikuti oleh umat Islam. Tetapi landasan itu hanyalah cita-cita pemberi
arah, dan rakyat iru sendirilah, lewat musyawarah dan lainnya, yang
menyusun hukum-hukum Negara itu termasuk prinsip-prinsip dalam
menunaikan amanat dan menetapkan hukum sehingga tetap berpedoman pada
Al Qur’an sebagai sumber utama dan pertama bagi umat Islam
4. Keharusan mentaati Allah dan Rasulullah dan ulil Amr (Pemegang
kekuasaan) sebagaimana tercantum dalam surat al-Nisa : 59
       
           
         

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan “
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
.kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
Ulil amri mengandung unsur-unsur ketua, pemimpin dan tokoh-tokoh
yang memiliki keahlian khusus yang relevan dengan kehidupan
rakyatnya .Prinsip ini mengandung unsur kesadaran untuk mentaati

11
perintah.Kewajiban mentaati Allah dan Rasul-Nya mengandung arti
kewajiban mentaati al-Qur’an dan Sunnah.
Perlu dicermati bahwa redaksi ayat di atas menggandengkan kata
“taat” kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu pada Ulil
Amri.Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amri untuk memberi isyarat
bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau
bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya
bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak
dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal Hadits Rasulullah
SAW yang sangat populer yaitu : Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada
seseorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khalik (Allah). Tetapi di sisi
lain, apabila perintah ulil amri tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka wajib
ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah. Dalam
sebuah hadits disebutkan “Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat
menyangkut apa saja (yang direintahkan ulil amri), suka atau tidak suka,
kecuali bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh
memperkenankan, tidak juga taat”. (HR. Bukhari Muslim, dan lain-lain
melalui Ibnu Umar).
5. Keharusan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat
Islam,sebagaimana difirmankan
‫ ْال ُمْؤ ِمنِينَ ِمنَ طَاِئفَتَا ِن َوِإ ْن‬r‫ ا ْقتَتَلُوا‬r‫بَ ْينَهُ َما فََأصْ لِحُوا‬
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang , maka
damaikanlah keduanya”.(al-Hujurat : 9)
6. Kemestian mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan
agresi dan invasi . Allah berfirman
ِ ِ‫تَ ْعتَدُوا َواَل يُقَاتِلُونَ ُك ْم الَّ ِذينَ هَّللا ِ َسب‬
‫يل فِي َوقَاتِلُوا‬
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi
janganlah melampaui batas”. (al-Baqarah : 190)
7. Kemestian mementingkan perdamaian daripada permusuhan. Allah berfirman

12
‫هَّللا ِ َعلَى َوت ََو َّكلْ لَهَا فَاجْ نَحْ لِلس َّْل ِم َجنَحُوا َوِإ ْن‬
“Apabila mereka condong kepada perdamaian, hendaklah kamu pun condong
kepadanya dan bertakwalah kepada Allah”. (al-Anfal : 61)
8. Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan
keamanan,sebagaimana firman Allah :
         
         
            
 
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang
orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya
akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan).”

9. Keharusan menepati janji, sebagaimana firman Allah :


r‫ بَ ْع َد اَأْل ْي َمانَ تَ ْنقُضُوا َواَل عَاهَ ْدتُ ْم ِإ َذا هَّللا ِ بِ َع ْه ِد َوَأوْ فُوا‬r‫تَوْ ِكي ِدهَا‬
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah
kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu sesudah meneguhkannya”. (al-
Nahl : 91)

10. Keharusan mengutamakan perdamaian di antara bangsa-bangsa sebagaimana


firman Allah Al-Hujarat 13
       
         

13
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasulnya[1407] dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.
Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum,
sebelum ada ketetapan dari Allah dan RasulNya.”
11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat. Allah berfirman
‫ِم ْن ُك ْم اَأْل ْغنِيَا ِء بَ ْينَ دُولَةً يَ ُكونَ اَل َك ْي‬
“..Supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang yang kaya di
antara kamu”. (al-Hasyar : 7)
Bahkan Al Qur’an sama sekali tidak melarang kaum muslim untuk berbuat
baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapapun, selama mereka
tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari
kampong halaman mereka
12. Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum. Dalam Al Qur’an
ditemukan banyak ayat yang berkaitan atau berbicara tentang hokum.Dalam
Al Qur’an secara tegas dinyatakan, bahwa hak pembuat hokum itu hanyalah
milik Allah SWT semata, sebagaimana firman-Nya dalam QS. 6 (al-An,am):
57.
           
            
 
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran)
dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab)
yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi
keputusan yang paling baik".
Setiap muslim dalam pelaksanaan hukum Islam mesti mengikuti prinsip-
prinsip : (a) menyedikitkan beban (taqlil al-takalif), (b) berangsur-angsur (al-
Tadarruf), dan (c) tidak menyulitkan (‘adam al-haraj).

14
Selain prinsip dasar politik diatas, di dalam islam juga dikenal mengenai
prinsip politik luar negeri, sebagaimana yang disebut oleh Dr. Muhammad Iqbal
M..Ag sebagai al-ahkam ad-du’aliyah atau politik hubungan internasional. Prinsip ini
mencakup masalah hubungan bilateral antar bangsa.
Umumnya, sistem negara bangsa berlandaskan sekularisme.Berdasarkan
sejarah, sekularisme mendapati bentuk konkretnya pada masa renaissance di
Eropa.Kebangkitan sekularisme berdampingan dengan hadirnya teori
Machiavelli.Teori ini menyebutkan bahwa tidaklah realistis mengandaikan
‘penguasa-penguasa tertinggi’ (princes) harus baik.Adakalanya mereka harus tidak
baik. Kebutuhan-kebutuhan akan kehidupan politik sering mengharuskan terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hukum moral. Penguasa tertinggi dari teori ini berkuasa
karena mereka lihai dalam memanipulasi kekuasaan (Apter, 1996: 76). Artinya,
politik luar negeri negara-negara Barat, sesuai dengan asas negaranya, dibangun atas
landasan sekularisme.
Islam tidak mengenal pemisahan antara rohaniwan dan negarawan
sebagaimana yang dikenal dalam sekularisme.Seorang negarawan mesti
mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dalam aktivitasnya sebagaimana seorang
ulama juga harus mengawasi kehidupan bernegara.Karenanya, tidak ada pemisahan
antara Islam dan negara.Bahkan Islam merupakan agama yang salah satu ajarannya
adalah negara. (Kurnia, 2002: 14).
Akidah Islam telah menjadi asas bagi seluruh bentuk hubungan yang dijalankan oleh
kaum Muslim, termasuk politik dalam dan luar negeri.
Tujuan Politik Luar Negeri
Akidah Islam menjadi dasar bagi ideologi negara Khilafah Islam, yang
mengharuskannya untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru
dunia.Dengan kata lain, penyebaraluasan dakwah Islam merupakan prinsip politik
luar negeri negara Khilafah Islam dalam membangun hubungannya dengan negara-
negara lain, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.Pada semua
bidang itu, dakwah Islam harus dijadikan asas bagi setiap tindakan dan kebijakan.

15
Politik luar negeri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari poliik,
karena politik merupakan pemikiran tentang pemeliharaan urusan dan kepentingan
masyarakat di negeri sendiri serta kepentingan negara dan bangsa lain. Politik luar
negeri merupakan bagian yang dianggap sebagai komponen penting dari perpolitikan.
Yang harus diperhatikan dalam politik luar negeri adalah bangsa-bangsa yang
berpengaruh di dunia, terutama mereka yang berkaitan dengan masyarakat, bangsa
dan keyakinan.Dengan demikian, politik luar negeri berkaitan dengan kebijakan
bangsa yang berpengaruh, terutama yang memberikan pengaruh kepada bangsa dan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Politik luar negeri dalam islam, menurut Ali Abdul Halim Mahmud (1998), terdiri
atas dasar-dasar kuat yang mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan-tujuan itu adalah :
1. Mengamankan penyebaran dakwah kepada manusia, sehingga suara dakwah
itu dapat sampai ke seluruh manusia
2. Mengamankan batas-batas teritorial negara islam dan umat islam yang hidup
di negara itu terhadap seluruh musuh yang berusaha menyebarkan fitnah
terhadap agama mereka atau mengganggu negara mereka.
3. Mengaplikasikan sistem jihad fi sabilillah yang masuk di dalamnya
pemahaman tentang perang dan pertempuran secara Islami atau tunduk pada
tujuan Islam, yakni menegakkan kalimat Allah SWT.
Politik luar negeri bermakna mengatur hubungan negara dan rakyatnya serta
instansi-instansi yang ada dibawahnya, dengan negara-negara lain dan organisasi-
organisasi kenegaraan lainnya.Secara umum politik luar negeri bertujuan untuk
menjaga kedaulatan negara, keamanannya, serta menjaga kepentingan ekonominya.
Dalam keadaan damai, hubungan antara negara dengan negara yang lain harus
dipenuhi dengan keamanan, kepercayaan, serta tidak diisi dengan segala macam
ketegangan dan mengintai kelengahan apalagi sampai kepada permusuhan. Islam
tidak menghendaki suatu negara memerangi negara yang lain. Namun ada beberapa
sebab yang membolehkan dilakukan perang antar negara, di antaranya adalah
memerangi islam, menghalangi dakwah, dan mereka yang menyerukan untuk tidak
mendengarkan dakwah.

16
Adapun prinsip-prinsip luar negeri dalam keadan damai adalah :
1. Menjaga perdamaian. Hubungan yang di kehendaki antara negara yang satu
dengan negra yang lain adalah dalam keadaan damai. Perang adalah suatu
keadaan yang sangat tidak di kehendaki.Perang hanya mendatangkan
penderitaan dan penyesalan yang berkpenajangan.
2. Menegakkan keadilan. Seluruh hubungan kemanusiaan dalam Islam
berlangsung di atas keadlian.Keadilan adalah hak-hak bagi semua orang, bagi
terhadap orang-orang yang segolongan maupun dengan orang-orang yang
berada di luar golongan. Keadilan dalam islam di perintahkan kepada semua
orang sekalapun terhadap orang yang paling dibenci.
3. Memenuhi janji. Memenuhi janji berkaitan erat sekali dengan konsep
perdamaian dan keadilan.Ketika dicapai perdamaian, maka dapat diwujudkan
keadilan.Perdamaian dan keadilan tidak mungkin terjadi kecuali dengan
adanya perjanjian dan kesepakatan yang ditunaikan.
4. Menjaga hak-hak dan kebebasan bagi non-muslim. Islam wajib menjaga hak-
hak non-musim di suatu negara dan menghormati kebebasan mereka.Di antara
hak dan kebebasan yang paling mendasar adalah kebebasan beragama. Islam
melarang umatnya memaksa orang lain untuk memeluk agama islam.
5. Melakukan tolong menolong kemanusiaan dan saling toleransi. Islam adalah
agama yang memiliki karakter kemanusiaan secara umum.Islam
memrintahkan untuk saling menolong, dan megikatnya hanya dengan ikut
tolong menolong dalam kebajikan, bukan tolong menolong dalam kejahatan.

17
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari kajian kami diatas dapat ditarik secara garis besar mengenai intisari dari
poin poin yang termaktub dalam beberapa bab tersebut antara lain:
1. Politik merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia, terutama
dalam kehidupan bernegara. Sehingga agama islam memandang perlunya ini
diatur dalam fokus ilmu hukum fiqih muamalah.
2. Konsep politik dalam Islam terdiri dari beberapa kerangka konseptual.
Pertama, politik dipahami sebagai usaha warga negara dalam membicarakan
dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik sebagai segala hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah. Ketiga, politik
sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima,
politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan
sumber-sumber yang dianggap penting.
3. Prinsip politik dalam islam memiliki esensi bahwasannya tujuan politik ialah
untuk mencapai kesejahteraan umat dengan cara cara tertentu dengan
berlandaskan tuntunan yang telah termaktub dalam sumber sumber hukum
islam.
B. Saran

18
Politik sudah seyogyanya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip
ibadah. Disamping itu, politik berkenaan dengan prinsip Islam dalam
pengelolaan masyarakat, karena itu prinsip-prinsip hubungan antar manusia
seperti saling menghargai hak orang lain dan tidak memaksakan kehendak
harus berlaku dalam dunia politik. Prinsip-prinsip politik dalam islam tersebut
menentang pandangan politik menghalalkan segalacara. Pelaksanaan prinsip
Islam dalam politik berlaku menyeluruh dalam sistem pemerintahan, karena
sistem itu menjadibagian yang integral dalam Islam.

Daftar Pustaka

Iqbal, Muhammad, Dr, M.Ag. 2014. FIQH SIYASAH: Kontekstualisai Doktrin Politik
Islam. Jakarta: Prenamedia.

Taj, Abd al-Rahman. 1993. Al-Siyassah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami. Mesir:


Mathba’ah Dar al-Ta’lif

Manzhur, Ibn. 1968. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar as-Shadr

http://syahruddinalga.blogspot.co.id/2011/10/prinsip-prinsip-dasar-politik.html

https://dokumen.tips/documents/prinsip-dasar-politik-dalam-islam.html

19

Anda mungkin juga menyukai