Sebagai Gerakan
Politik
Oleh :
1. Noviyana Kartika A.S (201710160311412)
2. Wiwin Arifin (201710160311424)
3. Ramadhan Eka S. (201710160311409)
4. Arafik Bayu E. (201710160311415)
Muhammadiyah sebagai gerakan politik maksudnya adalah pergumulan
dan keterlibatan Muhammadiyah dalam politik bangsa Indonesia yang
terjadi sejak zaman penjajahan hingga sekarang. Sebagai gerakan Islam,
Muhammadiyah terlibat dalam strategi perjuangan dan dakwah Islam di
tengah masyarakat yang terjajah dan kondisi pemerintahan yang dianggap
tidak Islami. Dalam sejarah, tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam
politik praktis antara lain, K.H Mas Mansyur dan diikuti kader berikutnya
seperti Amin Rais, namun Muhammadiyah tidak menjadi partai politik.
“Dan katakanlah: Ya Tuhan ku, masukkanlah aku dengan cara yang baik
dan keluarkanlah aku dengan cara yang baik dan berikanlah kepadaku
daripada sisi Mu kekuasaan yang menolong.” (AI Isra’: 80)
Pergumulan Muhammadiyah
dalam Berpolitik
Ahmad Dahlan mengenal dekat tokoh politik indonesia seperti dr. Wahidin
Sudirohusodo, pendiri budi utomo (Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota dan penasehat
budi utomo), H. Samanhudi, H.O.S. Cokroaminoto dan H. Agus Salim ketiganya pendiri dan
pemuka syarikat islam (SI) (Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota dan penasehat SI).
Ketika H.O.S. Cokroaminoto mengadakan kongres islam di Cirebon pada tahun 1921,
muhammadiyah ikut membantu penyelenggaraannya. Bahkan dalam kongres tersebut,
Ahmad Dahlan menyampaikan prasaran tentang pembaharuan pemikiran islam dan konsep
pendidikan islam.
Mas Mansur, tokoh puncak muhammadiyah, juga pernah menjadi anggota dan
penasehat SI pada tahun 1915, selesai studinya dari timur tengah. Pada tahun 1925, Mas
Mansur sebagai tokoh muhammadiyah sekaligus sebagai tokoh SI, H.O.S. Cokroaminoto ,
sebagai tokoh puncak SI, menjadi delegasi resmi Indonesia yang menghadiri kongres dunia
islam tentang khilafah islam di mekkah . Namun setahun kemudian, pada 1926, SI
mengeluarkan disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap, dan muhammadiyah
terkena disiplin partai ini, termasuk Mas Mansur.
Data sejarah menunjukkan peran dan kontribusi aktif muhammadiyah dalam
perjuangan politik. Ini merupakan bagian dari perjuangan muhammadiyah untuk
mewujudkan cita-citanya muhammadiyah menyalurkan perjuangan politik pada partai
politik islam, tanpa harus menjadikan muhammadiyah sebagai partai politik. Perjuangan
politik ini dilakukan dengan melibatkan seluruh kekuatan umat islam dengan satu tujuan,
yaitu kemenangan islam. Dengan kata lain, perjuangan politik bagi muhammadiyah
didasarkan pada dua prinsip. Pertama, muhammadiyah memerlukan aspirasi politik dan ini
dilakukan di luar organiasi muhammadiyah. Kedua, penyaluran kemenangan islam dan
umatnya secar keseluruhan. Karen itu, upanya untuk melibatkan dan memperdayakan
seluruh kekuatan umat islam merupakan suatu keniscayaan.
Dua prinsip inilah yang dipegang teguh muhammadiyah ketika bersam tokoh-
tokoh islam lainnya mempelopori berdirinya partai majelis syura muslimin Indonesia
(Masyumi) pada 7-8 nopember 1945, di Madrasah Muallimin Muhammdiyah Yogyakarta.
Saat pembentukan partai masyumi ini, ada pengakuan bahwa muhammadiyah
memerlukan saluran aspirasi dan perjuangan politik islam bagi seluruh organisasi islam
Indonesia. Meskipun demikian, pada 1947 SI keluar dari masyumi, dan pada 1952
Nahdatul Ulama (NU) mengikutinya.
Perkembangan Politik
Muhammadiyah
Muhammadiyah sempat melakukan “pernikahan” dengan parpol. Persyarikatan yang
didirikan di Kauman, Yogyakarta pada 18 November 1912 atau 8 Dzulhijah 1330 H itu
pernah melakukan “Pernikahan resmi” dengan parpol ketika menjadi anggota istimewa dari
Masyumi. Lalu, Muhammadiyah pernah melakukan “pernikahan siri” dengan parpol ketika
pendiri Parmusi (Tanwir Ponorogo) dan melakukan “nikah mut’ah (kontrak)” ketika sebagian
pengurusnya terlibat dalam pendirian PAN, namun akhirnya Muhammadiyah ditinggalkan.
Akhirnya, Muhammadiyah mengalami “perceraian” organisasi pemurnian dan pembaruan
Islam dengan parpol sebagaimana dirumuskan dalam Tanwir Denpasar (2001).
Relasi Muhammadiyah dengan parpol sudah jelas, karena dari awal
Muhammadiyah tidak disarankan masuk dalam politik praktis.
Muhamadiyah memang mencakup segala aspek dalam bermasyarakat,
namun politik dan partai politik itu berbeda.
Muhammadiyah meyakini bahwa Negara dan usaha membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara, baik melalui perjuangan politik atau pengembangan masyarakat, pada dasarnya
merupakan wahana yang pasti diperlukan untuk membangun kehidupan yang bernilai landasan
Ilahiah dan tumbuh subur bersama tegaknya nilai aspek kehidupan untuk terwujudnya “Baldatun
Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”
Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha
pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani yang kuat, sebagaimana
tujuannya untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis untuk
menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya agar tercipta politik yang demokratis dan
berkeadaban sesuai dengan aturan.
Muhammadiyah memberikan kebebasan pada anggota untuk menggunakan hak pilih dala
berpolitik sesuai dengan pilihannya sendiri. Karena hal itu merupakan tanggungjawab warga
Negara yang dilakukan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan
Muhammadiyah demi kemaslahatan bangsa dan negara
Moral Politik Muhammadiyah
Selama ini, tanpa sadar keputusan Muhammadiyah dapat menyeret Muhammadiyah
ke dalam politik praktis, karena itu tidak heran jika banyak bersinggungan dengan
politik praktis dalam sejarahnya.
Hanya yang membedakan, sebagai khittah transisi, Khittah Ujung Padang masih
belum bisa membebaskan diri dari kungkungan Khittah Ponorogo 1969 yang nuansa
politiknya begitu kuat, sehingga masih menyebut kata Parmusi, “Untuk lebih
memantabkan muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam setelah Pemilu 1971,
Muhammadiyah melakukan amar makruf nahi munkar secara konstruktif dan positif
terhadap Parmusi seperti halnya terhadap partai-partai politik dan organisasi lainnya”
(poin 3).
Setelah menyadari bahwa selain Khittah Ponorogo tidak membawa
maslahah dan bertentangan dengan jati diri Muhammadiyah, juga realitas
politik saat itu yang mulai tidak kondusif karena Negara (militer) mulai tampil
serba dominan melalui Golkar dan pelaksanaan pemilu 1971 yang sarat
dengan kecurangan, keluarlah Khittah Ujung Padang yang menegaskan
netralitas Muhammadiyah
korupsi, dan menghimbau pemerintah untuk terus mempertahankan proses demokratisasi dan
keterbukaan terhadap rakyat.
Sidang Pleno 2004 yang mendukung kader terbaik yaitu Amien Rais sebagai calon presiden
atau surat putusan seperti SK 149 tentang kebijakan mengenai konsolidasi organisasi dan Amal Usaha
Muhammadiyah yang beberapa poinnya cenderung tidak proporsional.
Dalam SK tersebut, sampai menyebut-nyebut PKS, meskipun konteks keluarnya SK dapat
dipahami, penyebutan nama PKS cenderung bertentangan dengan semangat Khittah Ujung Padang
dan Khittah Denpasar. Dalam SK tersebut, juga ditegaskan kembali Keputusan Muktamar
Muhammadiyah Malang 2005 yang “menolak upaya untuk mendirikan partai yang memakai atau
menggunakan nama bahkan symbol Persyarikatan Muhammadiyah”, yang tidak semestinya
dikeluarkan menjadi ketetapan forum seperti muktamar.
Andai SK tersebut dibuat sebelum berdirinya PAN pada 1998, atau tidak saat
PMB sedang menyosialisasikan partai barunya, maka tidak menjadi
persoalan karena dua partai itu menggunakan symbol matahari. Alih-alih
mencoba mengambil posisi netral politik, dengan keluarnya SK tersebut
justru menunjukkan sikap keberpihakannya Muhammadiyah dan cenderung
tidak proporsional .