PEMBAHASAN
Pada proses shortening umumnya digunakan minyak dan lemak. Saat proses
shortening dilakukan, minyak dan lemak dicampurkan dengan formula tertentu.
Komposisi minyak dan lemak dalam campuran shorteningtersebut akan menentukan
sifat-sifat yang dimiliki oleh produk shortening, seperti plasticity dan consistency.
1
Shortening atau mentega putih adalah lemak padat yang bersifat plastis yang banyak
digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk pangan seperti roti, cake, biskuit
dan pastry. Penggunaan shortening pada produk pangan bertujuan untuk memperbesar
volume, memperbaiki tekstur, meningkatkan cita rasa dan sebagai bahan pembentuk
krim. Pada umumnya shortening yang ada di Indonesia masih merupakan produk impor
dan terbuat dari lemak hewani. Penggunaan lemak hewani sebagai bahan shortening
mulai dihindari karena mengandung kolesterol yang tinggi dan rektuksi agama dan
kepercayaan tertentu.
Di bidang pangan saat ini minyak sawit dan minyak inti sawit banyak digunakan
sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng, margarine, shortening dan vanaspati.
Penggunaan minyak sawit dan minyak inti sawit baik dibidang pangan maupun oleokimia
diharapkan terus dikembangkan sejalan semakin meningkatnya produksi minyak sawit
dan minyak inti sawit.
Secara tehnik minyak sawit dan minyak inti sawit memiliki potensi besar untuk diolah
tanpa melalui proses hidrogenasi menjadi shortening karena mengandung triasilgliserol
yang plastisitasnya dapat diatur sesuai kebutuhan, disamping itu ketersedian minyak sawit
dan minyak inti sawit sangat besar dengan harga yang relatif murah.
Sejak tahun 1934, shortening yang merupakan ester dari asam lemak dengan gliserol
telah dipasarkan dan senyawa shortening ini dikenal dengan monogliserida dan
digliserida.
2
Saat ini monogliserida dan digliserida untuk industri pangan diproduksi secara
gliserolisis kimia yang membutuhkan energi yang tinggi, dan menghasilkan produk yang
berwarna gelap, aroma yang tidak disukai serta menghasilkan produk samping yang
bersifat racun bagi manusia. Maka reaksi gliserolisis enzimatik merupakan salah satu
alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan dari
reaksi gliserolisis kimia. Reaksi gliserolisis enzimatik banyak memperoleh perhatian
karena menghasilkan monogliserida dan digliserida yang lebih aman, biaya produksi
lebih murah dan menghasilkan produk samping yang lebih sedikit.
Beberapa penelitian tentang pembuatan minyak nabati kaya asam lemak n-3 dengan
proses enzimatik telah dilaporkan, yang umumnya menggunakan lipase sebagai
katalisator. Jenis lipase yang telah digunakan untuk sintesis minyak nabati yang kaya
asam lemak n-3 ini umumnya merupakan lipase mikrobial, yang harganya relatif mahal
karena membutuhkan proses produksi, ekstraksi dan isolasi yang relatif rumit. Hal ini
merupakan salah satu kendala dalam reaksi enzimatik.
Oleh karena itu upaya untuk memperoleh sumber lipase yang murah sangat
dibutuhkan . Salah satu bahan alami murah yang diketahui memiliki aktifitas lipase
adalah dedak padi. Lipase ini merupakan faktor utama yang menyebabkan minyak dedak
padi memiliki kandungan asam lemak bebas yang tinggi mencapai 40-50%. Disamping
memiliki aktifitas hidrolitik, lipase dedak padi juga memiliki aktifitas esterifikasi yang
tinggi. Selain itu enzin lipase dapat di kategorikan sebagai enzim immobil tanpa melalui
proses isolasi atau pemurnian dedak padi.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk memanfaatkan enzim lipase dari
dedak padi sebagai katalis dalam pembuatan shortening secara gliserolisis dari campuran
RBD stearin dengan minyak inti sawit.
3
B. Sifat Fisik Shortening
4
dan fasa cairan dalam produk shortening. Semakin tinggi kandungan fasa padatannya,
maka semakin besar pula kemungkinan terjadi suatu struktur kaku yang saling bertautan
sehingga akan membentuk sebuah produk shortening yang keras.Batas maksimum fasa
padatan dalam produk shortening adalah sebesar 52%-volume.Sedangkan batas
minimumnya bervariasi, tergantung pada ukuran partikel dan karakter yang dimiliki fasa
padatan tersebut.Biasanya batas minimumnya bernilai sekitar 5-25%-voulme.
Faktor lain yang mempengaruhi kekerasan produk shortening adalah padatan
yang terbentuk selama proses pembuatan shortening. Suatu produk shortening
mengandung sebuah padatan lemak, yang merupakan kristal-kristal yang terbentuk
secara sempurna ataupun dalam bentuk polymorphic.Komposisi trigliserida dalam lemak
dan metode solidifikasi yang dilakukan akan menentukan proses kritalisasi yang akan
terjadi dan pembentukan polymorphic. Jika umpan yang digunakan terdiri dari
trigliserida yang stabil dalam kondisi β’, maka seluruh lemak dan minyak berbentuk
polymorphicβ’ yang stabil, serta terkristalisasi dalam bentuk jarum-jarum kecil. Produk
shorteningtersebut akan menimbulkan kemampuanaeration yang baik dan cocok untuk
digunakan dalam keperluan pembuatan cake. Sedangkan jika umpan yang digunakan
terdiri dari trigliserida yang stabil dalam kondisi β, maka seluruh lemak dan minyak akan
berbentuk polymorphic β yang stabil, serta terkristalisasi dalam bentuk granular-granular
yang besar. Produk shortening yang demikian akan memiliki kemampuan aeration yang
buruk dan cocok untuk keperluan pembuatan biskuit. Pada Tabel 1 ditampilkan beberapa
contoh minyak dan lemak yang masing-masingnya memiliki kandungan trigliserida β’
dan β.
5
C. Jenis shortening
Berdasarkan kandungan kimia dan sifat fisiknya, produk shortening dapat diklasifikasikan
menjadi tiga macam, yaitu:
1. Compound shortening
Compund shortening adalah sebuah produk shortening yang dibuat dari campuran
hard fat stock dengan soft oil atau hydrogenated fat. Pada temperatur tinggi produk
compound shortening memiliki stabilitas yang baik. Akan tetapi, akibat proses
produksinya yang mahal, compound shortening sudah hampir tidak pernah lagi
diproduksiSolid shortening atau shortening padat dibagi menjadi beberapa jenis, meskipun
demikian pembagian ini tidak seragam antara satu pabrikan dengan yang lainnya.
2. Solid shortening
` Solid shortening merupakan jenis produk shortening yang paling sering
digunakan pada masa sekarang. Biasanya solid shorteningakan diklasifikasikan lebih
lanjut berdasarkan sifat plasticity yang dimilikinya. Kebanyakan produk solid
6
shortening memiliki kestabilan yang baik dan tektur yang lembut.Solid shortening tidak
mudah meleleh saat digunakan dalam proses baking atau memasak lainnya, sehingga
solid shortening mempunyai kemampuan untuk menjebak udara dalam sebuah produk
olahan, di mana hal tersebut akan mempengaruhi tekstur akhir produk yang dihasilkan.
Pada umumnya, solid shortening sudah dibuat dengan formulasi tertentu agar memiliki
sifat placticity pada rentang suhu yang kecil, sehingga pada temperatur yang rendah
akan berfasa padatan dan saat temperatur yang tinggi akan berfasa cairan.
Ada satu jenis shortening yang tidak termasuk dalam pembagian shortening di atas,
yaitu Frying Shortening atau Frying Fat (minyak goreng padat). Frying shortening
dibedakan tersendiri semata-mata karena penggunaannya yang unik yaitu hanya untuk
menggoreng dengan sistem Deep Frying.
7
D. Plastisitas dan Melting Point
Sama halnya dengan margarine, karakteristik utama dari solid shortening adalah sifat
plastisitas dan titik leleh (melting point). Kedua sifat ini menentukan penggunaan / aplikasi
shortening pada produk.
Sifat plastisitas adalah sifat dimana tekstur shortening mampu menahan tekanan dan dan
dapat berubah bentuk mengikuti tekanan. Untuk membayangkan sifat plastisitas ini analogi
yang mudah adalah lilin mainan anak-anak. Tekstur lilin mainan adalah contoh dari sifat
plastisistas. Jika ditekan atau dibentuk lilin mainan mampu menahan tekanan dan berubah
mengikuti tekanan tersebut.
Shortening yang memiliki sifat plastis akan lebih mudah bercampur di adonan roti atau
biskuit dan akan mengembang dengan baik pada saat dikocok. Sebaliknya, lawan dari sifat
plastis adalah lembek (soft) atau keras (brittle). Menggunakan shortening yang teksturnya
sudah lembek atau keras memiliki resiko karena ada kemungkinan kegagalan pada saat
diaplikasikan. Meski demikian ada jenis shortening tertentu yang memang memiliki tekstur
soft, misalnya BOS.
Melting Point adalah suhu dimana lemak mulai meleleh menjadi cair. Sifat ini penting
untuk diketahui agar penggunaan shortening tepat sasaran. Shortening untuk membuat
decorating cream haruslah memiliki titik leleh yang agak sedikit tinggi agar hiasan tidak
mudah kolaps selama dipajang. Lain halnya shortening untuk cream filling harus memiliki
tiitk leleh yang mendekati suhu tubuh agar pada saat dimakan tidak meninggalkan sisa di
mulut / ngendal (waxy). Dengan posisi Indonesia berada di khatulistiwa maka titik leleh
shortening yang cocok adalah antara 38oC sampai dengan 48oC tergantung aplikasi dan masa
simpan yang diinginkan.
E. Penggunaan Shortening
8
F. Kandungan Gizi Mentega putih
Jumlah per 100 g
H. Proses PembuatanShortening
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shortening atau mentega putih adalah lemak padat yang bersifat plastis yang banyak
digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk pangan seperti roti, cake, biskuit
dan pastry. Penggunaan shortening pada produk pangan bertujuan untuk memperbesar
volume, memperbaiki tekstur, meningkatkan cita rasa dan sebagai bahan pembentuk
krim. Pada umumnya shortening yang ada di Indonesia masih merupakan produk impor
dan terbuat dari lemak hewani. Penggunaan lemak hewani sebagai bahan shortening
mulai dihindari karena mengandung kolesterol yang tinggi dan rektuksi agama dan
kepercayaan tertentu.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat , semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca .Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1997. Study Tentang Perkebunan dan Pemasaran Minyak Kelapa Sawit
Indonesia. Internasional Contact Busines System. Inc.
Dolceta, I.C., Vita, S.F., March, R. 2000. Area Preserving Curve Shortening Flows: From
Phase Transitions to Image Processing.
Elisabeth, J., A. Jatmika, dan K. Sinaga. 1998. Lipase-Catalizzed Incorporation of N-3 PUFA
into Palm Oil. International Oil Palm Conference.
Elisabeth, J., A. Jatmika, dan K. Sinaga. 1999. Sintesis Minyak Sawit Merah Kaya Asam
Lemak Omega-3 dengan Metode Asidolisis Enzimatik. Jurrnal PPKS Vol. 7(1):43-46.
Elisabeth, J., T. Hayati, dan D. Siahaan. 1998. Minyak dan Lemak dalam Pola Konsumsi
Pangaan. Warta PPKS Vol. 8(1) 41-49.
Elisabeth, J., T. Hayati, dan D. Siahaan. 2004. Minyak dan Lemak dalam Pola Konsumsi
Pangaan. Warta PPKS Vol. 8(1) 41-49.
Gravrilla, A.I., Avram, R., and Chipurici, P. 2000. Mono and Diglycerides Synthesis and
Uses. Faculty of Industry Chemistry. Polithehnica University of Bucharest. Romania.
Hasanuddin, A. 2001. Kajian Teknologi Pengolahan Minyak Kelapa Sawit Mentah untuk
Produksi emulsifer Mono-diasilgliserol dan Konsentrat Karotenoid. Makalah Fal Safah
Sains(PPS 702). Institut Pertanian Bogor.
Jatmika, A. 1998. Aplikasi Enzim Lipase Dalam Pengolahan Minyak Sawit dan Minyak Inti
Sawit Untuk Produk Pangan. Warta PPKS. Medan.
Mizer, D.A, Mary, P. Bethsorer 1987. Food Preparation for The Profesional. John Wiley
And Sons. New York.
O’Brien, R.1998. Fats and Oil. Tehnomic Publishing Company, Inc. Lancaster. New York.
11
12