Anda di halaman 1dari 16

ACARA I

SIFAT FUNGSIONAL PROTEIN

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Protein merupakan komponen organik yang mengandung unsur karbon,


oksigen dan hidrogen seperti karbohidrat dan lipid, tetapi ditambah dengan unsur
nitrogen. Protein juga mengandung sulfur dan fosfor. Hewan mengandung protein
hampir 50% dari bobot kering tubuh. Protein banyak diterima disemua bagian sel
yang berfungsi sebagai senyawa penyusun struktur sel, antibiodi, enzim, hormon
dan protein tubuh (Kusumayanti, 2015).

Protein memiliki beberapa sifat fungsional, diantaranya sifat fungsional


protein ini adalah sifat kelarutan karena memiliki pengaruh yang signifikan dalam
mempengaruhi sifat fungsional protein. Secara umum protein yang digunakan
memiliki kelarutan tinggi, dalam rangka memberikan emulsi yang baik, busa,
gelatin dan pro pati (Nokai,1985). Dengan kata lain, penurunan kelarutan protein
berpengaruh pada fungsinya. Kelarutan protein berhubungan dengan permukaan
hidrofobik dan hidrofilik.

Pemanasan suhu tinggi pada bahan yang mengandung protein tinggi akan
menyebabkan semakin banyak protein yang mengendap mengalami koagulasi.
Koagulasi yang terjadi karena panas disebabkan karena adanya reaksi antara
protein dengan air yang diikuti dengan penggumpalan protein. Faktor lain seperti
pH juga penting untuk diperhatikan mengingat bahwa protein akan menggumpal
pada pH asam yaitu pH sekitar 4,5. Informasi mengenai sifat koagulasi protein ini
sebaliknya dapat menjadi suatu auan untuk mengolah bahan pangan yang
mengandung protein tinggi menjadi produk pangan dengan sifat fungsional yang
baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan praktikum ini untuk mengetahui sifat
fungsional protein dan faktor-faktor yang mempengaruhi sifat fungsional tersebut.

Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui sifat fungsional
protein dan faktor-faktor yang mempengaruhi sifat fungsional tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA

Protein adalah zat makanan yang mengandung nitrogen yang diyakini


sebagai faktor penting untuk fungsi tubuh, sehingga tidak mungkin ada kehidupan
tanpa protein (Muchtadi, 2010). Protein merupakan makromolekul yang terdiri
dari rantai asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida membentuk rantai
peptida dengan berbagai panjang dari dua asam amino (dipeptida), 4-10 peptida
(oligopeptida), dan lebih dari 10 asam amino (polipeptida) (Gandy dkk, 2014).
Tiap jenis protein mempunyai perbedaan jumlah dan distribusi jenis asam amino
penyusunnya. Berdasarkan susunan atomnya, protein mengandung 50-55% atom
karbon (C), 20-23% atom oksigen (O), 12-19% atom nitrogen (N), 6-7% atom
hidrogen (H), dan 0,2-0,3% atom sulfur (S) (Estiasih, 2016).
Sifat fisikokimia setiap protein tidak sama, tergantung pada jumlah dan
jenis asam aminonya. Protein memiliki berat molekul yang sangat besar sehingga
bila protein dilarutkan dalam air akan membentuk suatu dispersi koloidal. Protein
dapat dihidrolisis oleh asam, basa, atau enzim tertentu dan menghasilkan
campuran asam-asam amino (Winarno, 2004). Sebagian besar protein bila
dilarutkan dalam air akan membentuk dispersi koloidal dan tidak dapat berdifusi
bila dilewatkan melalui membran semipermeabel. Beberapa protein mudah larut
dalam air, tetapi ada pula yang sukar larut. Namun, semua protein tidak dapat
larut dalam pelarut organik seperti eter, kloroform, atau benzena (Yazid, 2006).
Protein sangat peka terhadap pengaruh-pengaruh fisik dan zat kimia,
sehingga mudah mengalami perubahan bentuk. Perubahan atau modifikasi pada
struktur molekul protein disebut denaturasi. Protein yang mengalami denaturasi
akan menurunkan aktivitas biologi protein dan berkurannya kelarutan protein,
sehingga protein mudah mengendap. Bila dalam suatu larutan ditambahkan
garam, daya larut protein akan berkurang, akibatnya protein akan terpisah sebagai
endapan. Apabila protein dipanaskan atau ditambahkan alkohol, maka protein
akan menggumpal. Hal ini disebabkan alkohol menarik mantel air yang
melingkupi molekul-molekul protein; selain itu penggumpalan juga dapat terjadi
karena aktivitas enzim-enzim proteolitik (Yazid, 2006).
Proses pengolahan menyebabkan proteinbahan terdenaturasi
sehinggakemampuanmengikat air menurun dan adanya energipanas dapat
mengakibatkan terputusnyainteraksi non kovalen pada struktur alamiprotein.
Namun demikian, proses pengolahan dapat meningkatkan daya cerna protein dan
protease inhibitor (Revilla, 2015). Menurut Lima, et al., (2015), kadar protein
turun karena lepasnya ikatan struktur protein selama perendaman sehingga
komponen protein larut dalam air. Proses pemanasan menyebabkan protein yang
tersusun dari beberapa asam amino yang mempunyai gugus reaktif akan berikatan
dengan komponen lain seperti gula pereduksi yang menyebabkan reaksi Mailard.
Reaksi Mailard dapat merusak lisin dan sistein, menurunkan ketersediaan semua
asam-asam amino termasuk isoleusin yang paling stabil (Failisnur, 2015).
Protein mempunyai sifat larut air, pada suhu 38 – 750C mengalami
Denaturasi dan Renaturasi, menggumpal pada suhu tinggi. Suhu pada
penyangraian setiap menitnya semakin meningkat sehingga dapat merusak
kandungan protein. Karena reaksi antara amino, group dari asam amino esensial
seperti lisin dengan gula reduksi yang terkandung bersama-sama protein dalam
bahan pangan,. Pemanasan lebih lanjut dapat menyebabkan asam amino : arginin,
triptofan, dan histidin bereaksi dengan gula reduksi (Meisara, 2012).
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

Alat dan bahan Praktikum

a. Alat-AlatPraktikum
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah timbangan
analitik, beaker glass, mixer, baskom, spatula, stopwatch.
b. Bahan-BahanPraktikum
Adapun bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah
telur.
Prosedur Kerja
a. Daya BuihTelur

Telur

Dipisahkan kuning dan putih telurnya

Diukur volume awal putih telur

Ditunggu selama 60 menit dalam suhu ruang

Dikocok menggunakan mixer dan manual selama 5menit

Dihitung persentase daya buih dengan rumus


FA (%)= 100 x Vf- Vi
Vi
b. UjiStabilitas

Putih telur

Dipisahkan cairan dengan buih dan dicatat dicatat volume cairannya

Dikocok dengan mixer dan pengocok manual selama 5 menit

Diukur volume sesudah pengocokan


HASIL PENGAMATAN

Hasil Pengamatan
Tabel Hasil Pengamatan Pengujian Daya Buih

No Perlakuan Volume Volume FA (%)


Sebelum sesudah
Alat Suhu (ml) (ml)
1 Mixer Ruang 70 300 328,571
2 Manual Dingin 70 240 242,857
3 Mixer Dingin 70 300 328,571
4 Manual Ruang 60 200 233,23

Tabel Hasil Pengamatan Pengujian Stabilisasi Buih


No Perlakuan Volume
(ml)
Alat Suhu
1 Mixer Ruang 29
2 Manual Dingin 30
3 Mixer Dingin 50
4 Manual Ruang 50

Hasil Perhitungan

a. Hasil Perhitungan Uji Daya Buih


a. Kelompok 1 (Mixer, suhu ruang)
Vf-Vi
FA (%) = 100 x
Vi
300-70
= 100 x
70
= 328,571 %
b. Kelompok 2 (Manual, suhu dingin)

Vf-Vi
FA (%) = 100 x
Vi

240-70
= 100 x
70
= 242,85 %

c. Kelompok 3 (Mixer, suhu dingin)

Vf-Vi
FA (%) = 100 x
Vi

300-70
= 100 x
70

= 328,571 %

d. Kelompok 4 (Manual, suhu ruang)

Vf-Vi
FA (%) = 100 x
Vi

200-60
= 100 x
60

= 233,33 %
PEMBAHASAN

Fungsionalitas didefinisikan sebagai berbagai sifat pangan atau komponen


penyusun bahan pangan kecuali fungsi nutrisinya yang mempengaruhi
pemanfaatannya. Protein mempunyai banyak fungsi dan sifat fungsional dalam
pangan. Beberapa sifat fungsional protein yang penting adalah emulsifikasi.
Pembentukan buih, sifat pembentukan gel, kelarutan, daya mengikat air dan minyak,
kekentalan meningakat, ekstruksi suatu serat dan pembentukan adonan. Sifat
fungsional protein merupakan sifat fisik dan kimia yang memungkinakan protein
menyumbang karaktristik yang diinginkan dalam makanan.
Telur merupakan salah satu bahan pangan hasil ternak yang memiliki nilai
gizi yang cukup tinggi. Sebutir telur memiliki kandungan protein yang berkualitas
tinggi, lemak, vitamin, mineral dan kalori rendah dan telur juga memiliki fungsi
sebagai preparasi makanan yaitu sebagai bahan pengembang (leaven), mengemulsi,
mempertebal dan mengikat produk makanan dan menambah warna. Anatomi susunan
telur (dari dalam ke luar) adalah kuning telur (29%), putih telur (61,5%), kerabang
telur (9,5%). Telur sebagai sumber protein bukan hanya digunakan secara utuh
sebagai lauk, biasanya telur juga digunakan dalam pembuatan kue. Dalam pembuatan
kue, putih telur paling banyak digunakan. Putih telur dalam pembuatan kue
digunakan sebagai pengembang kue terutama pada jenis kue yang harus memiliki
volume yang mengembang dan berpori seperti sponge cake. Digunakannya putih telur
ini karena putih telur paling banyak mengandung protein dibandingkan dengan
bagian telur yang lain. Hubungan jumlah protein dengan daya kembang kue yaitu
protein pada putih telur berguna sebagai pengembang karena memiliki daya buih.
Namun, yang perlu diketahui yaitu daya buih dan stabilitas buih akan berbeda-beda
tergantung jenis telur dan perlakuan yang diberikan seperti lama pengocokan,
pendinginan dan penyimpanan suhu ruang (Handito, 2014).
Sifat fungsional adalah sifat-sifat yang terdapat pada telur selain sifat gizinya
yang berperan dalam proses pengolahan. Sifat fisik dan kimia protein sangat berperan
dalam menentukan sifat fungsional telur. Oleh karena itu terjadinya perubahan
terhadap sifat fisik dan kimia protein telur juga akanberpengaruh terhadap sifat-sifat
fungsional telur tersebut.Buih merupakan dispersi koloid dari fase gas yang
terdispersi di dalam fase cair atau fase padat. Daya buih merupakan ukuran
kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dikocok dan biasanya dinyatakan
dalam persen terhadap putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut Amelia
(2006) menyatakan bahwa buih merupakan sistem dua fase yang mengandung udara,
yang dipisahkan dengan lapisan kontinu yang tipis yang disebut fase lamellar. Buih
protein pada permukaan merupakan sistem yang kompleks, mengandung campuran
gas, cairan, padatan, dan surfaktan. Protein yang banyak digunakan sebagai
pembentuk buih misalnya seperti putih telur, gelatin, kasein, protein kedelai, protein
susu, dan gluten. Protein pembentuk buih harus memiliki sifat-sifat seperti dapat
membentuk buih secara padat pada konsentrasi rendah, efektif pada kisaran pH yang
luas, efektif pada media yang mengandung inhibitor buih seperti lemak, alkohol, atau
substansi flavor.
Mekanisme terbentuknya buih diawali dengan terbukanya ikatan-ikatan dalam
molekul protein sehingga rantainya menjadi lebih panjang. Tahap selanjutnya adalah
proses adsorpsi yaitu pembentukan monolayer atau film dari protein yang
terdenaturasi. Udara ditangkap dan dikelilingi oleh film dan membentuk gelembung.
Pembentukan lapisan monolayer kedua dilanjutkan di sekitar gelembung untuk
mengganti bagian film yang terkoagulasi. Film protein dari gelembung yang
berdekatan akan berhubungan dan mencegah keluarnya cairan. Terjadinya
peningkatan kekuatan interaksi antara polipeptida akan menyebabkan agregasi
(pengumpulan) protein dan melemahnya permukaan film dan diikuti dengan
pecahnya gelembung buih. Perubahan tersebut menyebabkan hilangnya daya larut
atau sifat koagulasi putih telur, dan absorpsi buih penting untuk kestabilan buih.
Pembentukkan buih yang stabil memerlukan cairan dengan kuat keregangandan
elastisitas yang tinggi. Struktur buih yang stabil umumnya dihasilkan dariputih telur
yang mempunyai elastisitas tinggi, sebaliknya volume buih yang tinggidiperoleh dari
putih telur dengan elastisitas rendah. Elastisitas akan hilang jikaputih telur terlalu
banyak dikocok atau diregangkan seluas mungkin(Stadelman dan Cotterill, 1995).
Praktikum ini menggunakan telur sebagai sumber protein yang akan diuji
daya buih dan stabilitas buihnya. Telur tersebut diberikan perlakuan yang berbeda,
yaitu disimpan pada suhu dingin yaitu di lemari es dan disimpan pada suhu ruang.
Selanjutnya, putih telur tersebut diberi perlakuan pengocokan yang berbeda yaitu ada
yang menggunakan mesin pengocok atau mixer dan ada yang menggunakan alat
pengocok manual atau whisk, lalu diamati daya buih dan stabilitas buihnya. Kedua
perlakuan tersebut sama-sama dilakukan pengocokan selama 5 menit. Sebelum
dilakukan pengocokan, dihitung terlebih dahulu volume awal telur. Kemudian
dilakukan pengocokan, setelah itu diamati dan dihitung pengembangan putih telur
yang telah menjadi buih. Uji daya buih ini merupakan uji yang dilakukan untuk
melihat kemampuan putih telur dalam menghasilkan buih yang biasanya ditunjukkan
dalam persentase.
Hasil pengamatan menunjukkan uji daya buih pada suhu dingin dengan
menggunakan penggocokan alat mixer dan tanpa menggunakan alat mixer
menunjukkan bahwa pada perlakuan pengocokan menggunakan alat mixer pada suhu
ruang meghasilkan volume buih sebanyak 300 ml dan menghasilkan daya buih
sebesar 328,571%. Sedangkan pada perlakuan menggunakan mixer dengan suhu
dingin menghasilkan volume buih yaitu 300 ml dengan daya buih sebesar 328,571%.
Kemudian, perlakuan tanpa mixer di suhu ruang menghasilkan volume terendah dari
yang lain setelah di kocok sebesar 200 ml dengan daya buih sebesar 233,33%.
Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa pengocokan dengan menggunakan alat
menghasilkan daya buih yang lebih tinggi, disebabkan karena protein pada putih telur
mengalami denaturasi lebih cepat dibandingkan dengan putih telur yang diberi
perlakuan pengocokan dengan cara manual. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Stadelman dan Cotterill (1995) yaitu Ketika pengadukan tinggi dilakukan
menggunakan pengaduk berputar maka akan terbentuk kavitasi. Keadaan ini
menyebabkan protein mudah terdenaturasi. Pengadukan yang lebih cepat
menyebabkan tingkat denaturasi yang lebih tinggi. Denaturasi terjadi akibat
inkorporasi udara dan adsorpsi molekul protein ke dalam antarmuka udara-cairan.
Energi untuk antarmuka udara-cairan lebih besar dibandingkan fase curah sehingga
protein mengalami perubahan konformasi dipengaruhi oleh fleksibilitas protein.
Protein dengan fleksibilitas tinggi lebih cepat berada pada antarmuka udara-cairan,
sehingga terdenaturasi lebih cepat dibandingkan protein yang kaku (rigid).
Pengocokan merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi karakteristik buih putih
telur. Gerakan pengocokan dan sejenisnya akan mempengaruhi pengikatan udara
dalam buih. Pengocokan dengan menggunakan pengocok elektrik ternyata
memerlukan waktu yang lebih singkat untuk membentuk buih putih telur. Menurut
Potter dan Hotchkiss (1994) menyatakan bahwa sifat-sifat pembuihan protein sangat
dipengaruhi oleh pH, suhu, metode pencampuran, kecepatan pencampuran yang
digunakan dan terdapatnya komponen lain.
Uji Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih putih telur
untuk bertahan kokoh atau tidak mencair selama waktu tertentu. Struktur buih yang
stabil umumnya dihasilkan dari putih telur yang mempunyai elastisitas tinggi,
sebaliknya volume buih yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas
rendah. Elastisitas akan hilang jika putih telur terlalu banyak dikocok atau
diregangkan seluas mungkin. Hasil pengamatan uji stabilitas buih menunjukkan
bahwa pada pengocokan menggunakan alat mixer dan telur disimpan pada suhu ruang
yaitu sebesar 29 ml. Pengocokan tanpa menggunakan mixer dan telur disimpan pada
suhu dingin yaitu sebesar 30 ml. Pengocokan menggunakan mixer dan suhu dingin
sebesar 50 ml dan pengocokan tanpa mixer disimpan pada suhu ruang menghasilkan
buih sebesar 50 ml. Stabilitas buih telur merupakan kebalikan dari daya buih
telur.Indikator kestabilanbuih adalah besarnya tirisan buih selama waktu tertentu dan
dinyatakan dalambobot, volume atau derajat pencairan buih.Tirisan yang banyak
menyatakankestabilan buihnya rendah sebaliknya tirisan yang sedikit menyatakan
kestabilantersebut tinggi (Stadelman dan Cotterill, 1995).Semakin encer putih telur
maka tirisan buih yang dihasilkan semakin tinggi. Menurut Siregar (2012) encernya
putih telur mengakibatkanstabilitas buihnya semakin menurun. Salah satu faktor yang
mempengaruhi volume dan kestabilan buih adalah umur telur. Semakin lama umur
telur, maka volume dan kestabilan buih putih telur ayam semakin menurun.
Protein-protein putih telur yang berperan dalam pembentukkan buih menurut
Stadelman dan Cotterill (1995) adalah ovalbumin, ovomucin, globulin. Ovalbumin
adalah salah satu jenis protein dalam putih telur yang terbanyak(54% dari total
protein putih telur) yang mempunyai kemampuan membentuk buih. Protein ini pada
pembuatan kue akan menggumpal saat dipanaskan dan akan memengaruhi struktur
dan tekstur kue yang dihasilkan. Ovomucin merupakan protein putih telur yang
berbentuk selaput (film) yang tidak larut dalam air dan berfungsi menstabilkan
struktur buih. Ovomucin dapat menstabilkan buih karena ovomucin lebih kentalserta
mengandung karbohidrat yang tinggi sehingga dapat mengikat air. Pengocokan yang
berlebihan akan mengakibatkan penggumpalan sebagian ovomucin dan memperkecil
elastisitas gelembung buih. Globulin merupakan protein yang menentukan kekentalan
putih telur dan mengurangi pencairan buih. Globulin mempunyai tegangan
permukaan yang rendah, sehingga membantu tahapan pembentukkan buih. Tegangan
permukaanyang rendah cenderung memperkecil ukuran gelembung dan meratakan
teksturbuih. Kurangnya globulin dalam putih telur membutuhkan waktu
pengocokanlebih lama untuk mencapai volume tertentu.
Faktor –faktor yang mempengaruhi daya dan stabilitas buih yaitu umur telur,
pengocokan, penambahan bahan kimia, suhu dan pH. Semakin lama telur disimpan
akan menyebabkan terjadinya stabilitas buih dari putih telur akan menurun. Metode
pengocokan sangat mempengaruhi karaktristik buih. Pengocokan menggunakan
pengocok elektrik memerlukan waktu yang lebih singkat untuk membentuk buih
putih telur dibandingkan dengan pengkocokan manual. Penambahan bahan kimia
seperti asam dan garam asam kedalam putih telur dapat meningkatkan daya buih dan
kesetabilan buih. Suhu atau kondisi lingkungan mempengaruhi pembentukan buih,
pengocokan pada suhu ruang 20-28°C lebih mudah menghasilkan buih dari pada
yang dilakukan pada suhu rendah. Peningkatan pH putih telur akan memperbesar
volume buih.
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa


kesimpulan sebagai berikut :

1. Sifat fungsional protein merupakan sifat protein diluar sifat nutrisi yang
mempengaruhi fungsi komponen dalam bahan pangan.
2. Telur merupakan bahan pangan hasil ternak yang memiliki nilai gizi yang
cukup tinggi.
3. Berdasarkan hasil pengamatan pada uji daya buih dengan menggunakan mixer
menunjukkan bahwa pada perlakuan pengocokan menggunakan alat mixer
pada suhu ruang meghasilkan volume buih sebanyak 300 mL dan
menghasilkan daya buih sebesar 328,571%. Sedangkan pada perlakuan
menggunakan mixer dengan suhu dingin menghasilkan volume buih yaitu 300
mL dengan daya buih sebesar 328,571%.
4. Berdasarkan hasil pengamatan pada uji daya buih perlakuan tanpa mixer di
suhu ruang menghasilkan volume terendah dari yang lain setelah di kocok
sebesar 200 mL dengan daya buih sebesar 233,33%.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya dan stabilitas buih yaitu umur telur,
pengocokan penambahan bahan kimia, suhu dan pH.
DAFTAR PUSTAKA

Estiasih, T., dkk. 2016. Kimia dan Fisik Pangan. Bumi Aksara. Jakarta.

Filisnur, Firdausni, dan Silfia, 2015. Pengaruh Proses Pengolahan Terhadap Sifat
Fisika danKimia Bubuk Kedelai. Jurnal Litbang Industri. 5(1) : 37-43.

Kusumayanti, 2015. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta. UI Press.

Meisara, R., dan Nurhidajah, 2012. Aktivitas Antioksidan, Karakteristik Kimia, dan
Organoleptik Tepung Kecambah Kedelai (Glycine max) Dengan Berbagai
Variasi Pengolahan. Jurnal Pangan dan Gizi. 3(6) : 1-8.

Muchtadi, D. 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Alfabeta. Bandung.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yazid, E dan Lisda Nursanti. 2006. Penuntun Praktikum Biokimia untuk Mahasiswa
Analis. ANDI. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai