Anda di halaman 1dari 4

I.

Pembahasan
Uji WHC dan uji OHC memiliki prinsip yang samam yaitu dapat ditentukan
berdasarkan banyaknya minyak/ air yang ada dalam endapan yang menunjukkan
minyak atau air yang terikat dalam protein. Dapat diperoleh dari selisih berat
endapan sesudah dan setelah dikeringkan. Lalu sampel disentrifugasi agar jumlah
air/ minyak yang tidak terikat oleh protein larut pada supernatant sehingga pada
endapan hanya terdapat air terikat (Sudrajat, 2016). Saat melakukan uji WHC, agar
protein tidak terdenaturasi dan mengurangi gugus polar, tidak perlu dilakukannya
proses pemanasan. Hasil percobaan WHC pada sampel tepung sebesar 87,326%.
WHC tepung termasuk besar karena saat tepung tercampur dengan air, bagian
protein yang mengembang membentuk interaksi hidrofobik dan reaksi pertukaran
sulfydryl-disulfide sehingga menghasilkan ikatan seperti polimer – polimer.
Polimer – polimer akan berinteraksi dengan polimer lain melalui ikatan hidrogen,
ikatan hidrofobik, dan disulfide cross-linking untuk membentuk sheet-like film
(Zielińska, 2018). Menurut literatur, WHC tepung terigu sebesar 90,7% (Mesias,
2017) dan nilai WHC dapat dipengaruhi oleh kandungan protein dan serat pada
bahan sampel. Semakin tinggi kandungan protein pada bahan maka nilai WHC
yang didapatkan juga akan semakin besar, begitupula sebaliknya. Faktor lain yang
dapat meningkatkan nilai WHC adalah suhu tinggi karena suhu yang tinggi mampu
membuka lipatan protein yang membuat interaksi dengan air dan memicu
terjadinya gelatinisasi. Akan tetapi saat suhu terlalu tinggi akan membuat protein
terdenaturasi dan membuat nilai WHC menjadi menurun. Sedangkan uji OHC, hasil
pengukurannya bergantung pada banyaknya asam amino nonpolar dan pada sampel
tepung didapatkan hasil uji OHC sebesar 43,686%. Gluten merupakan protein
utama dalam tepung yang terdiri dari gliadin dan glutenin. Sekitar 30% asam amino
gluten bersifat hidrofobik dan asam amino dapat menyebabkan protein
menggumpal melalui interaksi hidrofobik serta mengikat lemak dan substansi non
polar lainnya sehingga OHC tepung termasuk cukup besar (Shanita, 2011). Sama
seperti pengukuran WHC, pada pengukuran OHC, faktor lain yang dapat
meningkatkan nilai OHC adalah suhu tinggi karena suhu yang tinggi mampu
membuka lipatan protein yang membuat interaksi dengan minyak tetapi saat suhu
terlalu tinggi akan membuat protein terdenaturasi dan membuat nilai OHC menjadi
menurun.
Pada uji kapasitas emulsi digunakan sampel putih telur dengan 2 perlakuan
yang beberbeda. Uji kapasitas emulsi ini dilakukan untuk menunjukkan volume
meulsi hasil dari emulsifikasi minyak dan air. Emulsi terbentuk saat fase partikulat
dikeilingi oleh fase kontinu amorf. Bagian hidrofilik akan mengikat air dan bagian
hidrofobik akan mengikat lemak sehingga tegangan permukaan turun dan terbentuk
emulsi. Sedangkan emulsifikasi sendiri adalah proses dari 2 fase larutan yang
bersifat tidak dapat menyatu seperti air dan minyak. pH perlu dinaikan karena asam
amino protein bermuatan negative. Hal ini dilakukan agar struktur protein terbuka,
bagian hidrofilik berikatan dengan air dan bagian hidrofobik berikatan dengan
lemak. Dilakukan pendiaman selama 5 menit agar seluruh bagian hidrofobik dan
hidrofilik protein telah membentuk emulsi (Sudrajat, 2016). Putih telur merupakan
bahan yang bersifat emulgator sehingga memiliki kemampuan menyatukan minyak
dan air. Hasil uji emulsi pada sampel putih telur (perlakuan 1) sebesar 98,461538%
dan egg white (perlakuan 2) sebesar 97,142857%. Penambahan konsentrasi telur
(volume telur yang lebih banyak) akan meningkatkan jumlah protein sebagai agen
penurun tegangan sehingga emulsi bertambah. Nilai kapaasitas emulsi yang lebih
tinggi menunjukkan bahan tersebut termasuk emulgator yang lebih baik.
Uji kapasitas buih dilakukan dengan menggunakan sampel putih telur
dengan basis air sehingga gelembung udara yang berdekatan akan dipisahkan oleh
film berbentuk jam kaca yang mengandung partikel protein. Pembentukan buih
dimulai dengan pembukaan struktur protein yang memanjang. Lalu bagian
hidrofobik menarik udara dan bagian hidrofilik memerangkap udara dengan air
sehingga terbentuk lapisan interfasial. Menurut SNI jumlah protein pada telur 13%.
Kapasitas buih bergantung pada kesediaan protein yang teradsorpsi dengan cepat
pada interfase gas – air. Hasil uji kapasitas buih pada sampel putih telur sebesar 71%
karena kadar protein globulin paling tinggi pada telur dibandingkan dengan bahan
pangan lain seperti tepung. Telur juga memiliki viskositas yang tinggi sehingga
nilai kapasitas buih yang dihasilkan juga tinggi yaitu sebesar 71% (Duan, 2018)
Uji kekuatan gel dilakukan dengan tekstur analyzer. Dilakukan
pengulangan sebanyak 3 kali agar hasil lebih presisi. Rata – rata kekuatan gel pada
sampel tepung adalah sebesar 14,3 dan pada sampel telur sebesar 55,67. Puncak
teratas pada ketiga sampel menunjukkan bahwa telur memiliki kemampuan
gelatinasi yang lebih baik dibandingkan tepung, yaitu sebesar 57 sedangkan sampel
tepung hanya sebesar 17. Telur memiliki kandungan ovotransferrin yang mampu
membentuk agregat terlarut melalui ikatan disulfide dan interaksi hidrofobik
selama pamanasan. Kekuatan gel yang dibentuk oleh telur ini berasal dari struktur
agregat dari ovotransferrin (Shanita, 2011)
II. Kesimpulan
Protein memiliki sifat fungsional berupa daya ikat air, daya ikat lemak,
pengemulsi, pembentuk buih, dan kemampuan membentuk gel yang dipengaruhi
oleh suhu, kepolaran, struktur monomer, dll. Hasil uji WHC tepung sebesar
87,326%. Hasil uji OHC tepung sebesar 43,686%. Hasil uji emulsi egg white
(perlakuan 1) sebesar 98,461538% dan egg white (perlakuan 2) sebesar
97,142857%. Hasil uji kapasitas emulsi tepung 71%. Rata – rata kekuatan gel
sampel tepung sebesar 14,3 dan pada sampel telur sebesar 55,67.
III. Daftar Pustaka
Budijanto, Slamet, dkk. 2011. Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia dan Fungsional
Isolat Protein Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.). Bogor : IPB
Devi, N. 2011. Gizi untuk Keluarga. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.

1
Duan, X., Li, M., Shao, J., Chen, H., Xu, X., Jin, Z. and Liu, X., 2018. Effect of
oxidative modification on structural and foaming properties of egg white
protein : Food Hydrocolloids
Estiasih, T., dkk. 2016. Kimia dan Fisik Pangan. Jakarta : Bumi Aksara
Shanita, S.N, dkk. 2011. Amylose and Amylopectin in Selected Malaysian Foods
and Its Relationship to Glycemic Index: Sains Malaysiana
Sudrajat, A., 2016. Karakterisasi sifat fisik dan fungsional isolat protein koro
benguk (Mucuna pruriens). Jember : Universitas Jember
Zielińska, E., dkk. 2018. Comparison of functional properties of edible insects and
protein preparations thereof. Lwt, 91, pp.168-174
IV. Lampiran
Lampiran 1. Perhitungan lengkap
Perhitungan
o WHC
(𝑐−𝑎) − 𝑏
WHC (%) = x 100 %
𝑏
(33,2431−23,8768) − 5
WHC (%) = x 100 %
5
= 87,326%
o OHC
(𝑐−𝑎) − 𝑏
OHC (%) = x 100 %
𝑏
(33,2693−26,0850) − 5
OHC (%) = x 100 %
5
= 43,686%
o Emulsi
a. Egg white (perlakuan 1)
𝑉𝑐𝑡
Kapasitas emulsi (%) = 𝑉𝑡𝑜𝑡.𝑡 x 100 %
64
= x 100 %
65
= 98,461538%
b. Egg white (perlakuan 2)
𝑉𝑐𝑡
Kapasitas emulsi (%) = 𝑉𝑡𝑜𝑡.𝑡 x 100 %
68
= x 100 %
70
= 97,142857%
o Kapasitas Buih
𝑉 𝑏𝑢𝑖ℎ 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑘𝑜𝑐𝑜𝑘
Kapasitas Buih (%) = 𝑉 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 x 100 %
71
Kapasitas Buih (%) = 100 x 100 %
= 71%
Lampiran 2. Alat yang digunakan

2
Gambar 1. Tabung
sentrifuge
Lampiran 3. Dokumentasi Praktikum

Gambar 3. Hasil Uji Gambar 6. Sampel Uji


Kapasitas Emulsi WHC setelah di vortex

Gambar 4. Sampel Uji Gambar 7. Sampel Uji


WHC sebelum di vortex OHC setelah di vortex

Gambar 5. Sampel Uji Gambar 8. Hasil Uji


OHC sebelum di vortex Kapasitas Buih

Gambar 9. (Uji Gelasi) Hasil


pendinginan sampel setelah

Anda mungkin juga menyukai