II. Pembahasan
Water holding capacity (WHC) adalah kemampuan protein untuk
mencegah molekul air lepas dari struktur tiga dimensi. Pada percobaan ini
sampel yang digunakan adalah sampel tepung terigu tinggi protein merk
“Cakra Kembar”. Menurut SNI 01-3751-2009, tepung tinggi protein harus
memiliki kadar protein minimal 13,00% dimana tepung “Cakra Kembar”
memiliki kadar protein sebesar 13,62% berdasarkan hasil analisa dari
Jessica, 2018. Semakin tinggi kadar protein dalam tepung maka daya serap
air juga akan semakin tinggi, dimana semakin besar absorbsi air yang
diperlukan untuk membentuk gluten. “Daya serap air dipengaruhi oleh
adanya gugus hidroksil yang terdapat pada molekul pati. Bila jumlah gugus
hidroksil dalam molekul pati tinggi, maka kemampuan menyerap air juga
akan tinggi.” (Pangesti, 2014) Pada percobaan ini didapatkan %WHC
sampel tepung “Cakra Kembar” sebesar 87,326%. Pada hasil analisis KP
oleh Jessica (2018) didapatkan % water absorption tepung “Cakra Kembar”
sebesar 61,6%. Nilai WHC sampel percobaan yang tinggi dapat disebabkan
oleh perlakuan pengeringan menggunakan panas, dimana menyebabkan
perenggangan struktur kompleks pati-protein akibat denaturasi. Struktur
yang renggang dapat meningkatkan air yang diserap dan terperangkap pada
protein. Menurut Trianto et al., 2013, ukuran granula pati pada tepung juga
dapat membengkak akibat pemanasan sehingga penyerapan air meningkat.
Prinsip analisa daya serap air adalah hilangnya bobot sampel karena terjadi
pemanasan sampel tepung basah dalam oven, sehingga dapat diketahui
1
bobot awal dan setelah sampel dipanaskan dimana idealnya tidak ada
kelebihan air bebas pada sampel. Tepung “Cakra Kembar” tersusun atas
banyak gugus hidroksil pada molekul penyusunnya, yaitu asam-asam amino
yang bersifat hidrofilik ataupun pada pati. Sifat fungsional protein
dipengaruhi oleh struktur penyusun protein tersebut, dimana jika tersusun
dari asam amino yang hidrofilik maka nilai WHC protein juga akan tinggi.
“Sifat fungsional protein yaitu daya serap air yang tinggi memungkinkan
digunakannya tepung tinggi protein untuk produksi produk bakery yang
moist dan memiliki water retention besar, yang berarti yield produk lebih
tinggi sehingga profit lebih besar.” (Simons, 2017)
Pada analisa OHC juga digunakan sampel tepung “Cakra Kembar”.
Oil Holding Capacity adalah banyaknya minyak yang dapat diserap oleh
sampel. Prinsip pengujiannya adalah dengan menambahkan minyak
berlebih pada sampel dan eliminasi kelebihan minyak bebas dengan
sentrifugasi. Air dan minyak berlebih pada analisa WHC dan OHC akan laut
pada supernatant dan protein akan larut pada residu.
Bahan dengan nilai OHC yang tinggi menghasilkan produk dengan tekstur
juicy dan improve flavor. Nilai OHC pada sampel adalah sebesar 43,686%,
dimana nilai ini lebih rendah dibandingkan nilai HWC sampel. Dengan hal
ini dapat disimpulkan berarti sampel tepung “Cakra Kembar” tersusun atas
lebih banyak protein dengan asam-asam amino hidrofilik dibandingkan
hidrofobik.
Pada kedua analisa WHC dan OHC, larutan sampel dengan solven
dihomogenkan menggunakan alat vortex dalam tabung falcon, dan tabung
sudah melalui tahap pengeringan pada oven memmert. Krusibel juga harus
dikeringkan pada oven memmert pada suhu 105℃ untuk menghilangkan
free water dan oil yang tersisa pada krusibel. Hal ini dilakukan untuk
meminimalkan error pada hasil analisa.
Pada analisa kapasitas emulsi, dilakukan homogenisasi antara air,
minyak, dan emulsifier berupa putih telur dengan alat homogenizer,
hasilnya terbentuk emulsi yang berwarna putih. Kontrol yang digunakan
adalah minyak dan aquades tanpa emulsifier. Aquades dan minyak
2
membentuk 2 fase yang saling terpisah karena adanya perbedaan massa
jenis, dimana air lebih berat massa jenisnya disbanding minyak sehingga
berada di bawah. Ditambahkan emulsifier dari putih telur agar emulsi dapat
terbentuk. Emulsifier adalah substansi yang dapat mencegah separasi antara
minyak dan air pada bahan pangan karena strukturnya yang dapat berikatan
dengan keduanya. Emulsifier membentuk bridge atau jembatan antara air
dan minyak. Protein, pada percobaan ini yaitu putih telur, memiliki sifat
fungsional emulsifikasi karena tersusun atas kombinasi asam amino
hidrofilik dan hidrofobik (data dapat dilihat pada lampiran). Nilai kapasitas
emulsi dari sampel putih telur pada perlakuan 1 (putih telur 5 ml) adalah
98,4615% dan perlakuan 2 (10 ml putih telur) adalah 97,1429%. Volume
emulsi yang dihasilkan pada perlakuan 2 lebih tinggi dibandingkan
perlakuan 1, berarti semakin banyak emulsifier maka emulsi yang terbentuk
juga akan tinggi.
Buih atau foam terbentuk jika gelembung udara terdispersi pada air.
Prinsip pengujian kapasitas buih adalah memberikan perlakuan pengocokan
untuk memicu pemerangkapan udara pada sampel sehingga terbentuk buih.
Putih telur yang merupakan sampel, adalah bahan pangan yang dapat
menghasilkan buih. Protein menstabilkan buih dengan membentuk
protective coat disekitar gelembung udara pada buih karena sifat protein
yang hidrofilik-hidrofobik, mencegah collapse-nya gelembung udara.
Bagian hidrofilik protein akan mengikat air dan hidrofobik (non-polar) akan
mengikat udara, membentuk jembatan stabil bersifat viskoelastis. Maka dari
itu saat didiamkan buih tidak mudah runtuh. Kapasitas buih dari putih telur
adalah sebesar 71%. Protein mampu membentuk buih pada kondisi
denaturasi parsial, yang didapatkan dengan perlakuan panas selama 1 menit,
mendenaturasi protein secara parsial akan meningkatkan kapasitas buih.
“Formasi buih dilakukan pada kondisi pH = 8 karena fleksibilitas meningkat
pada pH tersebut yang berdampak pada formasi buih dan stuktur
viskoelastis yang lebih stabil, sehingga buih tidak mudah runtuh, lebih
dense.” (Qiao et al., 2020)
3
Pada analisa gelasi, sampel yang digunakan adalah tepung terigu dan
putih telur dengan konsentrasi 10%. Uji kekuatan gelling dilakukan dengan
uji tekstur menggunakan TPA. Setting alat TPA adalah, kekuatan yang
diinginkan 50 gram, stroke after adalah separuh dari ketebalan sampel gel
kemudian tekan one press slow dan klik LAUNCH cycle. Pada saat
pengujian TPA harus dipastikan sampel harus terdeformasi oleh alat.
Protein tertentu memiliki kemampuan untuk membentuk gel, termasuk
protein dalam telur dan tepung. Pembentukan gel hanya dapat dilakukan
dengan perlakuan panas, dimana menyebabkan denaturasi protein, protein
dapat membentuk matrix gel dan interaksi protein-protein ataupun protein-
pelarut menjadi stabil dalam produk pangan. Protein terdenaturasi,
kemudian membuka (unfolding), kemudian mengalami agregasi yaitu
pengendapan protein yang mengakibatkan pembentukan gel. Kekuatan gel
pada sampel telur lebih besar dibandingkan dengan tepung, yaitu rata-rata
sebesar 55,67, yang berarti gel yang terbentuk oleh telur lebih kuat atau
lebih keras daripada tepung. Juga dapat disimpulkan bahwa sampel telur
pada analisa gelasi memiliki kadar protein lebih tinggi dibandingkan tepung
yang digunakan. Kekuatan gel dapat diukur dengan alat Universal Testing
Machine (UTM) atau TPA dengan prinsip tekanan (deformasi). Semakin
tinggi kekuatan gel maka semakin besar gaya yang dibutuhkan untuk
menghancurkan gel tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi gelasi
adalah pemanasan, pH, kekuatan ion, dan konsentrasi protein.
III. Kesimpulan
Sifat fungsional protein dipengaruhi oleh komposisi dan asam amino
penyusunnya, yaitu asam-asam amino hidrofilik dan hidrofobik. Sifat
fungsional protein adalah meliputi: daya serap air, daya serap minyak,
kapasitas emulsi dan buih serta kekuatan gelasi. Nilai WHC sampel tepung
“Cakra Kembar” adalah 87.326% dan nilai OHC sebesar 43.686%.
Kapasitas emulsi sampel putih telur adalah antara 97.1429% - 98.4615%
dan kapasitas buih putih telur adalah sebesar 71%. Kekuatan gelasi telur
4
lebih besar dibandingkan tepung, yaitu sebesar 55,67 dengan telur sebesar
14,3.
5
V. LAMPIRAN