Anda di halaman 1dari 13

FERMENTASI SUBSTRAT PADAT

FERMENTASI KECAP

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:
Nama : Gracia Carolina
NIM : 11.70.0038
Kelompok : D1


















PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG

2014
Acara II



1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan uji sensori kecap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil uji sensori kecap
Kel Perlakuan Aroma Rasa Kekentalan Warna
D1
D2
D3
D4
D5
Penambahan ragi 0,5 % + 1 kg gula
Penambahan ragi 0,5 % + 1,5 kg gula
Penambahan ragi 0,75 % + 2 kg gula
Penambahan ragi 0,75 % + 2,5 kg gula
Penambahan ragi 1 % + 3 kg gula
++
+
+
++
++
+
+
++
+++
+++
+
+
+
++
++
++
+
+
++
++
Keterangan :
Aroma : Rasa : Kekentalan Warna
+ : Kurang kuat + : Kurang manis + : Kurang kental + : kurang hitam
++ : Kuat ++ : Manis ++ : Kental ++ : hitam
+++ : Sangat kuat +++ : Sangat manis +++ : Sangat kenta +++ : Sangat hitam


Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dalam proses fermentasi kecap
dilakukan dengan memberikan perlakuan yang berbeda antar kelompok. Fermentasi
kecap kelompok D1 dan D2 menggunakan ragi sebanyak 0,5%, fermentasi kecap
kelompok D3 dan D4 menggunakan ragi sebanyak 0,75%, sedangkan fermentasi
kelompok D5 menggunakan ragi sebanyak 1%. Pada saat pemasakan jumlah gula yang
ditambahkan juga berbeda, kecap D1 ditambahkan dengan 1 kg gula, kecap D2
ditambahkan 1,5 kg gula, kecap D3 ditambahkan 2 kg gula, kecap D4 ditambahkan
dengan 2,5 kg gula, dan kecap D5 ditambahkan 3 kg gula. Kecap kelompok D1 dan D2
memiliki rasa (+) dan kekentalan yang sama (+), namun kecap D1 memiliki aroma (++)
dan warna (++) yang lebih daripada kecap D2. Kecap D4 memiliki aroma (++), rasa
(+++), kekentalan (++), dan warna (++) yang lebih dibandingkan dengan kecap D3.
Kecap D5 memiliki aroma (++), rasa (+++), kekentalan (++), dan warna (++) yang
serupa dengan kecap D4.


2. PEMBAHASAN

Kecap adalah cairan berwarna coklat terang sampai hitam yang dihasilkan dari kedelai
dan melewati 2 tahap fermentasi (Sumague et al., 2008). Kecap biasanya dibuat dari
fermentasi kedelai hitam atau kacang-kacangan lainnya yang menghasilkan cairan
berwarna coklat hingga hitam (Rahman, 1992). Pembuatan kecap pada praktikum ini
dibuat dengan menggunakan bahan dasar kedelai putih dan dengan melibatkan
inokulum komersial untuk tempe. Kecap dapat dibuat dengan 3 metode, yaitu
fermentasi, hidrolisis kimia maupun kombinasi dari kedua metode tersebut (Winarno et
al., 1980). Pembuatan kecap dalam praktikum ini menggunakan metode fermentasi,
yaitu fermentasi kedelai putih sebagai substrat padat oleh Aspergillus oryzae.

Kedelai yang akan digunakan sebagai substrat sebelumnya harus dibersihkan dahulu
kulit arinya, kemudian direndam selama satu malam dan pastikan seluruh bagian kedelai
terendam. Rahayu et al. (1993) menyatakan bahwa perendaman kedelai bertujuan untuk
menghidrasi air ke dalam biji sehingga biji kedelai menjadi lunak dan waktu pemasakan
kedelai menjadi lebih cepat. Seluruh bagian kedelai dipastikan harus terendam, sehingga
dibutuhkan air dalam jumlah yang banyak. Hal teresbut sesuai dengan Kasmidjo (1990)
bahwa perendaman harus dilakukan dengan jumlah air yang melimpah agar kedelai
dapat menyerap air dan beratnya meningkat hingga 2-3 kali lipat. Kedelai yang sudah
direndam semalaman kemudian dicuci, dibuang kulit arinya dan direbus. Menurut
Tortora et al (1995), perebusan kedelai tersebut bertujuan untuk merusak protein
inhibitor, melunakkan biji kedelai karena protein akan mengalami pemecahan,
menginaktifkan zat-zat antinutrisi dan menghilangkan bau langu.

Sebelum ditambah dengan inokulum, kedelai yang sudah direbus didinginkan pada
kondisi suhu ruang terlebih dahulu untuk menghindari kematian inokulum pada suhu
kedelai yang panas, serta untuk mengurangi kandungan air yang terdapat pada kedelai.
Suhu yang kedelai yang optimal adalah 35-40C, karena pada suhu tersebut jamur dapat
tumbuh secara optimal (Santoso, 1994). Pengeringan kedelai dilakukan hanya sampai
kedelai tersebut setengah kering atau masih dalam keadaan lembab, karena menurut
Atlas (1984) kedelai untuk pembuatan kecap harus dalam kondisi setengah lembab.


Kondisi tersebut bertujuan untuk mempermudah pertumbuhan jamur pada permukaan
kedelai.

Perlakuan setiap kelompok dalam pembuatan kecap berbeda-beda, yaitu pada jumlah
inokulum tempe yang ditambahkan. Kelompok 1 dan 2 akan menambahkan inokulum
sebanyak 1,5%, kelompok 3 dan 4 akan menambahkan inokulum sebanyak 0,75%, dan
kelompok 5 akan menambahkan inokulum sebanyak 1%. Inokulum komersial untuk
tempe tersebut ditambahkan pada kedelai yang sudah cukup kering. Jumlah
penambahan inokulum tersebut bergantung pada presentasi inokulum masing-masing
terhadap berat kedelai yang digunakan, kedelai kemudian dietakkan diatas wadah
nampan dan ditutup dengan penutup tampah yang memungkinkan adanya oksigen
masuk untuk proses fermentasi. Penggunaan tampah tersebut didasarkan pada Kasmidjo
(1990), bahwa fermentasi koji biasanya dilakukan dengan menghamparkan bahan yang
akan diinokulasi pada wadah seperti nampan. Kedelai pada tampah kemudian
diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang. Hal tersebut sesuai dengan Astawan &
Astawan (1991) bahwa masa inkubasi fermentasi kapang pada pembuatan kecap adalah
13 hari. Apabila fermentasi terlalu cepat, maka enzim yang dihasilkan tidak akan
menghasilkan komponenkomponen yang dapat menimbulkan reaksi penting, karena
terlalu sedikit. Sebaliknya, apabila waktu fermentasi semakin lama maka akan semakin
banyak dihasilkan enzim sehingga cita rasa yang dihasilkan menjadi kurang baik.

Selama masa inkubasi terjadi tahap koji, yaitu fermentasi yang melibatkan kedelai dan
inokulasi Aspergillus oryzae. Selama fermentasi koji, A. oryzae akan menghasilkan
enzim protease, amilase, dan enzim lainnya yang akan menghidrolisa kedelai menjadi
bentuk yang lebih sederhana. Enzim proteolitik akan mengubah protein kedelai menjadi
peptida dan asam amino, sedangkan enzim amilase akan menghidrolisa pati menjadi
gula sederhana. Nutrient hasil hidrolisa ini kemudian akan digunakan oleh yeast dan
bakteri selama tahapan moromi (Wu et al., 2010). Proses pemecahan tesrsebut yang
menyebabkan kecap memiliki aroma, rasa, flavor yang khas yang disukai konsumen
(Hardjo, 1964).



Setelah 3 hari inkubasi, kedelai akan ditumbuhi oleh miselium diseluruh bagian
permukaannya. Kedelai yang telah ditumbuhi oleh miselium jamur berwarna putih
disebut dengan koji (Santoso, 1994). Dalam praktikum ini tidak semua kedelai yang
telah diinkubasi ditumbuhi oleh miselium jamur, terdapat beberapa kelompok dengan
kedelai yang tidak ditumbuhi miselium. Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya
kontaminan pada kedelai tersebut sehingga mengganggu pertumbuhan inokulum jamur.
Kontaminan dimungkinkan tumbuh pada tahap tersebut karena ketidaktepatan
pengaturan kondisi fermentasi seperti suhu, aerasi, dan kadar air (Kasmidjo, 1990).
Menurut Sumague et al. (2008) beberapa spesies Bacillus dapat mengkontaminasi kecap
pada berbagai macam tahap fermentasi dalam pembuatan kecap, salah satunya pada
tahap koji. Bacillus subtilis dapat mengkontaminasi koji dan dapat tumbuh bersama
dengan kapang koji pada temperatur tinggi. Selain itu terdapat perbedaan banyaknya
miselium yang tumbuh pada setiap kelompok, perbedaan tersebut disebabkan karena
adanya perbedaan jumlah penambahan inokulum diawal sebelum inkubasi.

Kedelai yang sudah berjamur diptong-potong, setelah itu dikeringkan dalam
dehumidifier selama 2-4 jam. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air
kedelai sehingga dapat menghambat pertumbuhan dari jamur yang masih hidup karena
jamur tidak dapat tumbuh tanpa air (Peppler & Perlman, 1979). Kedelai yang sudah
dikeringkan dimasukkan ke dalam toples bening, lalu ditambahkan dengan larutan
garam sebesar 20% dan direndam selama 1 minggu. Perendaman kedelai dengan air
garam bertujuan untuk mengekstrak senyawa-senyawa hasil hidrolisis pada tahap
fermentasi kapang (Tortora et al, 1995). Konsentrasi garam yang digunakan dalam
praktikum ini merupakan konsetrasi garam yang optimal dalam proses pembuatan
kecap. Hal tersebut sesuai dengan Astawan & Astawan (1991), bahwa konsentrasi
larutan garam yang ideal pada proses pembuatan kecap adalah 15-20%, karena apabila
kadar garam yang digunakan dibawah 15%, maka mikroorganisme masih dapat tumbuh
pada kecap. Apabila garam yang digunakan dalam konsentrasi yang tinggi, maka akan
menimbulkan tekanan osmotik yang menarik air keluar dari bahan pangan, sehingga
pertumbuhan mikroorganisme menjadi terhambat.



Selama masa perendaman, campuran tersebut dijemur atau dipaparkan pada sinar
matahari dan diaduk setiap harinya selama 30 menit agar larutan garam homogen.
Menurut Wu et al. (2010), pengadukan juga berfungsi sebagai aerasi yang dapat
membantu proses pematangan kecap. Kecap yang disuplai udara akan memiliki
kandungan komponen aroma yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan suplai udara dapat
memperpanjang waktu produksi 4-ethyl-guaiacol pada fermentasi kecap. Jika tingkat
aerasinya rendah, maka proses perubahan dan produksi flavor dalam kecap berlangsung
sangat lambat sehingga akan terbentuk unripe flavor.

Setelah direndam selama 1 minggu dalam larutan garam,campuran kemudian disaring
untuk memisahkan antara cairan kecap dengan kedelai. Proses penyaringan bertujuan
agar kecap yang dihasilkan bebas dari kotoran kontaminan (Santoso, 1994). Cairan
kecap yang sudah disaring kemudian diambil sebanyak 250 ml untuk dimasak,
kemudian ditambah dengan air sebanyak 750 ml dan dicampur dengan bumbu seperti
gula jawa, 20 gram kayu manis, 3 gram ketumbar, 1 jentik laos, dan 1 buah bunga
pekak. Penggunaan bumbu-bumbu bertujuan untuk meningkatkan flavor dari kecap
yang dihasilkan (Fachruddin,1997). Masing-masing kelompok membuat kecap dengan
penambahan jumlah gula jawa yang berbeda. Pembuatan kecap kelompok 1
ditambahkan dengan gula jawa sebanyak 1 kg, kelompok 2 sebanyak 1,5 kg, kelompok
3 sebanyak 2 kg, kelompok 4 sebanyak 2,5 kg dan kelompok 5 sebanyak 3 kg.
pembuatan kecap dalam praktikum ini termasuk dalam pembuatan kecap manis, karena
jumlah gula yang ditambahkan tergolong banyak. Sesuai dengan Santoso (1994),
perbedaan dari kedua jenis kecap tersebut terdapat pada banyak sedikitnya konsentrasi
atau jumlah gula yang ditambahkan. Apabila konsentrasi gulanya banyak, maka akan
dihasilkan kecap manis. Gula jawa berperan dalam reaksi maillard dan karamelisasi
yang akan membentuk flavor dan karakteristik kecap manis (Judoamidjojo,1987).
Kecap yang sudah dimasak dan diberi bumbu, kemudian dimasukkan ke dalam wadah
untuk dilakukan uji sensori terhadap warna, rasa, kekentalan, dan aroma.







Gambar 1. Kecap kelompok 1-5

Berdasarkan pengamatan sensori terhadap aroma, diketahui bahwa kecap D2 dan D3
memiliki aroma yang kurang kuat. Kecap D1,D4, dan D5 memiliki aroma yang sama-
sama kuat. Perbedaan aroma tersebut dapat disebabkan karena perbedaan ragi yng
digunakan, penambahan gula, dan bumbu. Menurut Masashi (2006), konsentrasi ragi
dapat mempengaruhi komponenkomponen di dalam kecap yaitu jumlah etanol dan
asam laktat. Jumlah inokulum kan mempengaruhi kecepatan degradasi protein dan
karbohidrat pada kedelai. Semakin banyak jumlah kapang yang ditambahkan, maka
proses degradasi protein dan karbohidrat ini akan berjalan semakin cepat. Namun
apabila jumlah kapang yang ditambahkan terlalu banyak, maka flavor kecap yang
dihasilkan menjadi kurang baik (Rahayu et al, 1993). Menurut Muangthai et al (2007)
jenis dan jumlah asam amino yang ada pada kecap berpengaruh terhadap aroma yang
terbentuk. Asam amino terbanyak yang umum terdapat pada kecap adalah asam amino
glutamat. Aroma yang terbentuk pada kecap juga dapat dipengaruhi oleh bumbu-bumbu
yang dimasukkan pada saat pemasakan. Menurut Feng et al (2013) kecap kedelai
mengandung komponen flavor organik seperti alkohol, ester, fenol, asam dan
heterocyclics yang membentuk flavor khas dari kecap.

Rasa kecap yang dihasilkan begantung pada jumlah gula yang ditambahkan, dapat
dilihat bahwa pada kecap D4 dan D5 dengan penambahan jumlah gula paling tinggi
memiliki rasa paling manis, sedangkan kecap D1 dengan penambahan jumlah gula
paling sedikit memiliki rasa yang kurang manis. Hal tersebut sesuai dengan Amalia
(2008) perbedaan bahwa jumlah gula jawa yang ditambahkan sangat berpengaruh,


karena gula jawa merupakan penyusun terbesar diantara bahan baku yang digunakan
dalam pembuatan kecap sehingga jumlah penambahannya sangat mempengaruhi rasa
spesifik dari kecap.

Kekentalan pada kecap berkaitan juga dengan banyaknya gula yang ditambahkan,
semakin banyak gula yang ditambahkan maka tekstur kecap akan semakin kental.
Berdasarkan pengamatan, dapat diketahui bahwa pada kecap D5 dengan penambaham
gula terbanyak memiliki tekstur yang paling kental, sedangkan pada kecap D1 dengan
penambahan gula yang lebih sedikit memiliki tekstur yang kurang kental. Hal tersebut
sesuai dengan Kasmidjo (1990) bahwa seharusnya penambahan gula jawa akan
meningkatkan nilai viskositas atau kekentalan dari kecap. Kekentalan pada kecap juga
tidak hanya dipengaruhi pada banyaknya gula yang ditambahkan, namun dipengaruhi
juga oleh banyaknya ragi yang ditambahkan. Kecap yang diberi ragi sebanyak 1%
memilki tekstur paling kental dibandingkan dengan kecap yang ditambahkan ragi 0,5%.
Hal tersebut sesuai dengan Lim et al (2009), bahwa jumlah inokulum juga
mempengaruhi kekentalan kecap, dimana semakin banyak inokulum yang digunakan,
maka kecap akan semakin kental.

Kecap D2 dan D3 memiliki warna kurang hitam, sedangkan kecap D1, D4, dan D5
memiliki warna yang lebih hitam. Dalam hal ini gula jawa juga berperan dalam
pembentukan warna pada kecap (Kasmidjo, 1990). Adanya gula dan asam amino pada
kecap akan mengakibatkan terjadinya reaksi browning sehingga warna coklat terbentuk
(Astawan & Astawan, 1991). Diketahui bahwa pada kecap dengan penambahan jumlah
ragi dan gula terbanyak (ragi 1%, gula 3kg) menghasilkan kecap dengan warna yang
lebih hitam, sedangkan kecap dengan penambahan jumlah ragi dan gula yang sedikit
(ragi 0,5%, gula 1kg) menghasilkan kecap dengan warna yang kurang hitam. Dari hasil
tersebut dapat diketahui bahwa dengan semakin banyaknya ragi maka asam amino yang
terbentuk semakin banyak. Asam amino yang banyak akan bereaksi dengan gula dalam
jumlah yang banyak pula, sehingga warna yang terbentuk akan semakin coklat. Warna
kehitaman pada kecap dapat dipengaruhi juga karena adanya penambahan kluwak pada
saat pemasakan kecap, karena menurut Prabandari (1995) kluwak dapat digunakan
sebagai penambah warna hitam.


3. KESIMPULAN

Kecap merupakan produk fermentasi dengan menggunakan substrat padat.
Pembuatan kecap melalui 2 tahap fermentasi yaitu fermentasi koji dan fermentasi
moromi.
Mikroorganisme yang terlibat dalam proses fermnetasi kecapa adalah Aspergillus
oryzae.
Perendaman kedelai bertujuan untuk menghidrasi air ke dalam biji dan mempercepat
waktu pemasakan kedelai.
Perebusan kedelai bertujuan untuk merusak protein inhibitor, melunakkan biji
kedelai, menginaktifkan zat-zat antinutrisi dan menghilangkan bau langu.
Pendinginan kedelai pada suhu ruang bertujuan menghindari kematian inokulum
pada suhu kedelai yang panas, serta untuk mengurangi kandungan air yang terdapat
pada kedelai.
Suhu 35-40C adalah suhu dimana jamur dapat tumbuh secara optimal.
Masa inkubasi fermentasi kapang pada pembuatan kecap adalah 13 hari
Kontaminan dimungkinkan tumbuh selama inkubasi karena ketidaktepatan
pengaturan kondisi fermentasi seperti suhu, aerasi, dan kadar air.
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air kedelai.
Perendaman kedelai dengan air garam bertujuan untuk mengekstrak senyawa-
senyawa hasil hidrolisis pada tahap fermentasi kapang.
Konsentrasi garam optimal pada proses pembuatan kecap adalah 15-20%.
Pengadukan bertujuan untuk aerasi yang dapat membantu proses pematangan kecap.
Penggunaan bumbu-bumbu bertujuan untuk meningkatkan flavor dari kecap yang
dihasilkan
Jumlah inokulum yang ditambahkan mempengaruhi banyaknya miselium, warna,
kekentalan dan aroma kecap.
Semakin banyak inokulum yang ditambahkan, maka viskositas kecap akan semakin
kental.
Gula yang ditambahkan mempengaruhi warna, aroma, dan kekentalan kecap.
Semakin banyak gula jawa yang ditambahkan, maka viskositas kecap akan semakin
kental.


Warna coklat pada kecap terbentuk karena adanya reaksi browning antara gula
dengan asam amino.





Semarang, 19 Juni 2014 Asisten Dosen:
- Stella Mariss
- Meilisa Lelyana
- Katharina Nerissa
Gracia Carolina - Chrysentia Archinitta
11.70.0038 - Andriani Cintya




4. DAFTAR PUSTAKA

Amalia, T. 2008. Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan Terhadap
Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas
Teknologi Pertanian IPB.

Astawan, M. dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi
Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland
Publishing Company. New York.

Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta. Feng, J.; Xiao-
Bei, Z.; Zhi-Yong, Z.; Dong, W.; Li-Min, Z.; and Chi-Chung L. 2013. New Model for
Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food Sci. Vol. 31, No. 3: 292
305.

Feng, J.; Xiao-Bei Zhan; Zhi-Yong Zheng; Dong Wang; Li-Min Zhang; and Chi-Chung
Lin. (2013). New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food
Sci. Vol. 31, 2013, No. 3: 292305.

Hardjo, S. 1964. Pengolahan dan Pengawetan Kedelai untuk Bahan Makanan Manusia.
Bagian Gizi Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Judoamidjojo, R.M. 1987. The Studies on Kecap - Indigenous Seasoning of Indonesia.
Thesis Doktor pada University of Agriculture, Japan.

Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lim, J. Y.; Kim, J.J.;. Lee, D.S.; Kim, G.H.; Shim, J.Y.; Lee, I. and Imm, J.Y. 2009.
Physicochemical Characteristic and Production of Whole Soymilk from Monascus
Fermented Soybeans. Food Chemistry.

Masashi, Kasuga. (2006). Method of Brewing Soy Sauce.
http://osdir.com/patents/Food-processes/Method-brewing-soy-sauce-07056543.html .
Diakses pada tanggal 17 Juni 2014

Muangthai, P.; Upajak, P.; and Patumpai, W. 2007. Study of Protease Enzyme and
Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean. KMITL
Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2



Peppler, H.J. & Perlman, D. (1979). Microbial Technology, fermentation Technology.
Academic Press. San Fransisco.

Prabandari, Ending. (1995). Cara Membuat Kecap . Semarang : Balai Pustaka.
Rahayu, A.; Suranto, dan Purwoko, T. 2005. Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak
pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi
Aspergillus oryzae. Jurnal Bioteknologi 2(1): 14-20.

Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. 1993. Bahan
Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi IPB. Bandung.

Santoso, H.B. 1994. Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Sumague, M. J. V.; Reynaldo C. Mabesa; Erlinda I. Dizon; Ernesto V. Carpio; and
Ninfa P. Roxas. (2008). Predisposing Factors Contributing to Spoilage of Soy Sauce by
Bacillus circulans. Philippine Journal of Science 137 (2): 105-114.

Tortora, G.J.; Funke, R. and Case, C.L. 1995. Microbiology. The Benjamin /
Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Winarno, F.G.; Fardiaz, S. dan Fardiaz, D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.
PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wu, Ta Yeong; M.S. Kan; L.F. Siow; dan Lithnes Kalaivani P. 2010. Effect of
Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce. African Journal of Biotechnoloy
Vol. 8(4), pp. 673 681.




5. LAMPIRAN

5.1. Laporan Sementara
5.2. Abstrak Jurnal

Anda mungkin juga menyukai