Anda di halaman 1dari 25

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM


TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh :
Nama

: Robby Chaniago

NIM

: 13.70.0179

Kelompok

: B4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015

1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah kain saring, pisau, penggiling
daging, dan freezer.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir,
polifosfat, es batu.
1.2. Metode
Ikan dicuci bersih dengan air mengalir dan ditimbang beratnya

Daging ikan di-fillet dengan memisahkan bagian kepala, sirip, ekor, sisik, kulit, dan
bagian perutnya, kemudian diambil bagian daging putih sebanyak 100 gram.

Daging ikan digiling hingga halus dan selama penggilingan dapat ditambahkan es
batu untuk menjaga suhu tetap rendah.

Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring dengan
menggunakan kertas saring.
1

Residu ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok A1 dan A2) dan 5%
(kelompok A3, A4, dan A5)

Ditambahkan garam sebanyak 2,5% (semua kelompok), dan polifosfat sebanyak


0,1% (kelompok A1), 0,3% (kelompok A2 dan A3), dan 0,5% (kelompok A4 dan
A5).

Dimasukkan dalam plastik dan dibekukan dalam freezer selama semalam.

Surimi di-thawing lalu diukur hardness menggunakan texture analyzer


2

Dilakukan uji pengukuran WHC pada surimi, dimana surimi beku dipipihkan
menggunakan alat penekan (presser)

Dilakukan uji sensoris pada surimi yang meliputi kekenyalan dan aroma.

RUMUS :
Luas Atas = LA = 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + hn )
Luas Bawah = LB = 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + hn )
Luas Area Basah = LA - LB

Mg H2O =

2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan Surimi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengamatan Surimi
Kel.

Perlakuan

Daging ikan giling +


sukrosa 2,5%
B1
+garam 2,5% +
polifosfat 0,1%.
Daging ikan giling +
sukrosa 2,5%
B2
+garam 2,5% +
polifosfat 0,3%.
Daging ikan giling +
sukrosa 5% +garam
B3
2,5% + polifosfat
0,3%.
Daging ikan giling +
sukrosa 5% +garam
B4
2,5% + polifosfat
0,5%.
Daging ikan giling +
sukrosa 5% +garam
B5
2,5% + polifosfat
0,5%.
Keterangan :
Kekenyalan :
+
= tidak kenyal
++
= kenyak
+++ = sangat kenyal

Sensori
Kekenyalan
Aroma

Hardness

WHC
(mgH20)

129,74

280917,72

++

++

292,02

218185,65

+++

+++

112,7

318565,40

++

151,29

303858,12

+++

134,31

301219,49

Aroma :
+
= tidak amis
++
= amis
+++ = sangat amis

Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa pada setiap kelompok, perlakuan dilakukan
dengan menggunakan 100 gram daging ikan giling dengan penambahan 2,5% sukrosa
untuk kelompok B1 dan B2 sedangkan kelompok B3, B4, dan B5 dengan penambahan
sukrosa 5%. Kemudian dilanjutkan dengan penambahan garam 2,5% untuk semua
kelompok dan penambahan polifosfat dengan konsentrasi penambahan 0,1% untuk
kelompok B1, 0,3% untuk kelompok B2 dan B3 serta 0,5% untuk kelompok B4 dan B5.
Nilai hardness yang didapatkan untuk tiap kelompok secara berurutan ialah 129,74;
292,02; 112,7; 151,29; dan 134,31. Dari data diatas untuk nilai hardness pada kelompok
B2 didapatkan tingkat kekerasan yang tertinggi sedangkan tingkat kekerasan paling

rendah pada kelompok B3. Sedangkan untuk nilai WHC ialah 280917,72, 218185,65,
318565,40, 303858,12 dan 301219,49. Tingkat WHC mgH 2O terlebar pada kelompok
B3 karena memiliki tingkat kekerasan terendah dan pada B2 WHC yang didapatkan
terendah karena memiliki tingkat kekerasan tertinggi. Tingkat kekenyalan untuk
kelompok B1, dan B3 ialah kenyal, pada kelompok B2 dan B4 adalah sangat kenyal,
sedangakn kelompok B5 ialah tidak kenyal. Sedangkan aroma yang didapat ialah amis
untuk kelompok B1, sangat amis untuk kelompok B2, dan tidak amis untuk kelompok
B3,B4 dan B5.

3. PEMBAHASAN
Pada praktikum Teknologi Hasil Laut kali ini, secara umum akan dibahas mengenai
surimi dari ikan nila merah dengan berbagai perlakuan. Sub pokok bahasan yang akan
dibahas yaitu cara pembuatan surimi dari ikan nila merah, faktor-faktor yang
mempengaruhi pembuatan produk surimi, pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap daya
ikat air (water holding capacity) surimi, pengaruh konsentrasi STTP/ polifosfat terhadap
hardness dan kekenyalan surimi, serta karakteristik sensoris dari produk surimi. Secara
umum, ikan merupakan sumber bahan pangan yang bermutu tinggi, terutama karena
ikan banyak mengandung protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun
demikian ikan merupakan bahan pangan yang mudah busuk atau rusak (high perishable
food). Setelah ikan itu mati, bakteri akan menguraikan protein dalam tubuh ikan dan
bila tidak cepat ditangani atau diolah, ikan akan rusak dan membusuk (Irianto dan
Giyatmi 2009). Oleh sebab itu untuk menanggulangi hal tersebut diperlukan suatu cara
pengawetan dan pengolahan yang dapat mempertahankan daya awet ikan dan tidak
mengurangi nilai gizinya. Salah satu upaya pengolahan ikan yaitu dengan membuatnya
menjadi produk setengah jadi atau sering juga disebut dengan

surimi. Surimi

merupakan salah satu pengolahan ikan yang tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan
daya simpan ikan namun juga untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan.
3.1. Produk Surimi
Surimi sendiri merupakan salah satu bentuk produk olahan setengah jadi (intermediate
product) yang berbahan dasar daging ikan, daging ini terdiri dari konsentrat protein
miofibril dan memiliki daya guna tinggi dalam pengembangan produk olahan ikan.
Protein miofibril merupakan bagian yang terbesar dari daging ikan dan merupakan jenis
protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin,
tropomiosin, serta aktomiosin yang merupakan gabungan aktin dan miosin. Protein
miofibril bertanggung jawab terhadap plastisitas dan daya ikat air daging, tekstur
produk-produk perikanan serta sifat fungsional daging lumat dan homogenat, khususnya
kemampuan dalam pembentukan gel (Irianto dan Giyatmi 2009).

Menurut Sonu (1986), surimi adalah suatu bentuk olahan daging ikan lumat yang
terbuat dari daging yang telah dipisahkan dari bagian ikan yang lainnya (kulit, tulang,
dan usus). Fiddler et al. (1993) juga menyatakan bahwa surimi adalah produk hancuran
daging ikan yang secara mekanis atau manual sudah dipisahkan dari tulang-tulangnya,
dicuci dengan air, diperas, dan ditambahkan zat cryoprotectant seperti gula dan sorbitol
untuk melindungi protein miofibril dari kemungkinan terjadingan denaturasi selama
pembekuan. Surimi sendiri berasal dari bahasa Jepang yang artinya adalah daging
lumat. Namun demikian, surimi lebih dari sekedar daging lumat, namun juga
mempunyai sifat khusus yang berhubungan dengan kemampuan membentuk gel dan
tekstur, waktu stabilitasnya di dalam penyimpanan beku serta pengaruh penambahan
gula sebagai cryoprotectants. Produk surimi telah dibuat sejak tahun 1980-an oleh
masyarakat Jepang. Karena surimi merupakan produk antara, maka setelahnya surimi
dapat diolah lagi menjadi berbagai macam produk makanan dan dapat pula digunakan
sebagai campuran olahan mulai dari bakso, sosis ikan, kamaboko (daging ikan kukus),
hanpen, naruto, tempura, satsumage, chikuwa, burger ikan, imitasi daging kepiting,
udang, scallop dan produk olahan lainnya (Sonu, 1986).
Berdasarkan kandungan garamnya, surimi dibagi menjadi 2 jenis yaitu mu-en surimi
(surimi yang dibuat tanpa penambahan garam) dan ka-en surimi (surimi yang ditambah
garam), selain itu juga dikenal nana surimi yaitu surimi mentah yang tidak mengalami
proses pembekuan (Suzuki, 1981). Menurut Agustiani, et al. (2006), surimi diproses
dari lumatan daging ikan yang telah mengalami proses pencucian (leaching) secara
berulang-ulang, pengepresan, penambahan bahan tambahan (food additive), pengepakan dan
pembekuan. Surimi mengandung konsentrasi protein miofibril yang sangat tinggi
karena itu bisa menghasilkan produk yang elastis dan kenyal (Agustiani, et.al, 2006).
3.2. Bahan Baku Surimi
Bahan utama yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal. Ikan bawal
adalah salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis. Dagingnya gurih
meskipun memiliki banyak duri pada dagingnya. Ciri-ciri ikan bawal berbentuk sikloid,
gampang dikelupas dan sisiknya meluas sampai ke dasar semua sirip. Termasuk ikan
invertebrata, hidup diperairan yang dasarnya berlumpur sampai kedalaman 100 m,

sering masuk air payau dan membentuk gerombolan besar Ikan ideal yang digunakan
dalam pembuatan surimi harus mempunyai kekuatan gel yang baik sehingga dihasilkan
produk yang memiliki tekstur yang elastis/ kenyal, rasa yang baik dan penampakan
yang lebih putih (Miyake et al., 1985). Ikan bawal mudah didapatkan di kehidupan
sehari-hari dan cukup melimpah. Pemilihan ikan untuk bahan baku surimi juga harus
tepat, dimana kesegaran ikan mentah akan mempengaruhi produk akhir terutama dalam
hal elestisitasnya (Fortina, 1996).
Klasifikasi ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) menurut Saanin (1984) :
Filum

: Chordata

Subfilum

: Craniata

Kelas

: Pisces

Subkelas

: Neopterigii

Ordo

: Cypriniformes

Subordo

: Cyprinoidea

Famili

: Characidae

Genus

: Colossoma

Species

: Colossoma macropomum

Filum

: Chordata

Gambar 1. Ikan Bawal yang


digunakan oleh kloter B

Alasan penggunaan ikan bawal sebagai bahan baku dalam pembuatan surimi ini karena
pertimbangan ikan ini tergolong ikan berdaging putih yang memiliki bau netral dan
memiliki kandungan lemak yang rendah yang akan berpengaruh pada kenampakan
produk, elastisitas, gelatinisasi serta umur simpan produk. Hal ini juga dikatakan oleh
Miyake et al. (1985) bahwa ikan ideal yang digunakan dalam pembuatan surimi harus
mempunyai kekuatan gel yang baik sehingga dihasilkan produk yang memiliki tekstur
yang elastis/ kenyal, rasa yang baik dan penampakan yang lebih putih. Selain itu,
ketersediaan ikan ini juga cukup melimpah di masyarakat dan kesegarannya dapat
dijamin karena mudah didapat dalam kehidupan sehari-hari. Kesegaran ikan sebagai
bahan mentah sangat mempengaruhi mutu produk akhir terutama sifat elastisitas

dagingnya oleh karenanya ikan yang digunakan untuk pembuatan surimi haruslah ikan
segar (Fortina, 1996).
3.3. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Produk Surimi
Kekuatan gel surimi dipengaruhi oleh jenis ikan, umur, kematangan gonad, tingkat
kesegaran ikan, pH, kadar air, volume, dan konsentrasi dan jenis penambahan
antidenaturant (cryoprotectant), serta frekuensi pencucian (Suzuki 1981). Surimi
memiliki beberapa sifat fungsional yang cukup penting seperti sifat pembentukan gel
dan daya ikat air yang tinggi. Hal ini dikarenakan adanya kandungan protein miofibril
yang memiliki peranan penting dalam proses pengolahan produk makanan. Protein ini
berperan dalam pembentukan gel dan emulsi dimana hal ini penting dalam stabilisasi
produk-produk olahan daging. Sifat-sifat fisikokimia protein miofibril mmempengaruhi
sifat fungsional pada daging ikan dan berpengaruh pada mutu daging ikan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi sifat fungsional protein ini berkaitan dengan proses pembuatan
surimi, seperti proses pencucian, cryoprotectant, dan fosfat yang ditambahkan, serta
proses pembekuan. Menurut Shekarabi (2015) faktor yang berpengaruh terhadap
kekuatan gel surimi dipengaruhi oleh temperatur dan waktu dari gel setting, suhu yang
baik dalam pembentukkan gel 25oC dan gel setting selama 8 jam. Berikut ini adalah
sifat sifat fungsional yang harus dimiliki produk surimi, mekanismenya serta faktor
yang mempengaruhi :
a. Pembentukan Gel
Mekanismenya yaitu selama pemanasan, pada pasta surimi yang telah digarami, lipatan
protein menjadi terbuka dan permukaan reaktif molekul protein yang berdekatan akan
bereaksi membentuk ikatan intermolekular. Pada saat ikatan intermolekular mencukupi
maka akan terbentuk struktur tiga dimensi yang menghasilkan gel. Faktor faktor yang
mempengaruhi pembentukan gel pada surimi adalah :
Denaturasi yang berkelanjutan dari protein miofibril sebelum proses pembuatan.
Jenis dan habitat bahan baku yang menentukan stabilitas protein miofibril terhadap
panas.
Aktivitas enzim enzim proteolitik yang akan membuka struktur protein dan
merusak gel.
Aktivitas oksidan protein.

10

Enzim baik indigenous maupun yang ditambahkan seperti enzim ikatan silang yang
berkontribusi terhadap struktur ikatan silang protein.
Konsentrasi relatif protein miofibril terhadap protein sarkoplasma dan stroma.
b. Daya Ikat Air
Mekanismenya yaitu air yang diikat oleh protein melalui interaksi antara molekul air
dan gugus hidrofilik dari gugus samping protein terjadi melalui ikatan hidrogen. Faktor
faktor yang mempengaruhi daya ikat air dari produk surimi diantaranya adalah :

Konsentrasi protein
pH
Kekuatan ionik
Suhu
Keberadaan komponen pangan lainnya
Lemak dan garam
Laju dan lama perlakuan panas
Kondisi penyimpanan

c. Emulsifikasi
Mekanismenya : film protein terdiri dari protein miofibril yang terlarut dan terekstrak
selama emulsifikasi. Protein tersebut harus berdifusi ke permukaan droplet minyak
kemudian menyerap ke permukaan droplet tersebut. Faktor faktor yang
mempengaruhi sifat emulsifikasi dari produk surimi antara lain :
Suhu
Input energi yang cukup
Protein tersebut terdenaturasi atau tidak terdenturasi
Konsentrasi protein yang cukup
Jumlah protein terekstrak yang cukup
Luas permukaan droplet
(Nurkhoeriyati et al., 2008).

3.4 Proses Pembuatan Surimi


Dalam pebuatan produk surimi, hal yang pertama dilakukan yaitu membersihkan ikan
nila dan membuang bagian yang tidak diperlukan (kepala, isi perut, insang, sisik, sirip,
tulang, ekor, dan kulit) yang diambil hanyalah bagian daging / otot (fillet ikan). Hal ini
juga sesuai dengan pernyataan Peranginangin (1999), bahwa kepala, isi perut ikan, dan
sisik harus dihilangkan dan dicuci bersih. Menurut Fortina (1996), tahap ini diperlukan

11

karena bagian yang tidak diperlukan tersebut terutama kepala dan isi perut mengandung
banyak minyak dan lemak yang dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis pada surimi.
selain itu, isi perut juga mengandung protease yang dapat menurunkan kemampuan
pembentukan gel (Miyake et al., 1985). Ikan yang telah dibersihkan kemudian dicuci
dengan air untuk membersihkan darah, lemak, isi perut dan sisik. Tujuan proses
pencucian adalah untuk menghilangkan komponen alarut air, lemak dan darah serta
meningkatkan kekuatan gel dan memperbaiki penampakan (Amalia, 2002). Proses
pencucian merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan surimi. Frekuensi
pencucian dapat memengaruhi kekuatan gel. Proses pencucian sangat diperlukan dalam
tahapan pembuatan surimi untuk mencegah protein miofibril terdenaturasi selama
penyimpanan beku. Efektifitas pencucian dapat ditentukan oleh kandungan ion garam
inorganik, protein larut air serta komponen non protein yang hilang dari jaringan otot
atau surimi tersebut (Matsumoto, 1992). Proses pencucian sangat mempengaruhi
kualitas akhir produk surimi, tidak hanya karena dapat menghilangkan lemak, materi
yang tidak diinginkan seperti darah, pigmen, dan komponen penyebab bau, namun juga
terlebih karena kemampuannya meningkatkan konsentrasi protein miofibril dan
memperbaiki kemampuan pembentukan gel (Nopianti et al., 2011).
Kemudian dilakukan penimbangan sebanyak 100 gram daging lalu dilakukan
penghancuran dengan blender dengan penambahan sedikit es batu saat menghancurkan.
Tujuan penghancuran daging ini adalah untuk memperluas permukaan daging agar
memudahkan proses pengolahan berikutnya. Selain itu dengan luasnya permukaan
daging maka kontak dengan bahan tambahan lain juga akan semakin optimal. Tujuan
penambahan es batu dalam penghancuran adalah untuk menjaga daging ikan tetap segar,
selain itu juga agar pengurangan air dari daging lumat berjalan lebih cepat (Anonim,
1987). Proses selanjutnya, daging ikan yang telah dihancurkan, ditambah dengan
sukrosa dan garam. Penambahan sukrosa pada kelompok B1 dan B2 sebesar 2,5%, pada
kelompok B3, B4, dan B5 sebesar 5%. Sedangkan garam yang ditambahkan sebesar
2,5% dari berat sampel 100 gram. Tujuan penambahan sukrosa adalah sebagai bahan
anti denaturasi protein pada surimi (cryoprotectan) sedangkan tujuan penambahan
garam yaitu untuk melarutkan protein miofibril. Protein miofibril yang terlarut
mengakibatkan miosin mudah berikatan dengan aktin membentuk aktomiosin.

12

Aktomiosin inilah yang berperan dalam pembentukan gel (Suzuki, 1981). Penambahan
garam memungkinkan penurunan viskositas surimi karena kemampuannya dalam
melarutkan struktur protein miofibril. Oleh karena adanya penambahan garam maka
jenis surimi yang dibuat dalam praktikum ini termasuk dalam jenis ka-en surimi.
Cryoprotectans sangat penting dalah hal menstabilkan produk surimi dan melindungi
produk surimi dari denaturasi selama proses pembekuan dan penyimpanan beku.
Shaviklo et al. (2010) melaporkan bahwa cryoprotectant dapat meningkatkan tegangan
permukaan air maupun pengikatan energi, serta menjaga pengambilan molekul air dari
protein sehingga dapat menstabilkan protein pada surimi. Sedangkan menurut jurnal
dari Habib Allah Hajidoun and Ali Jafarpour. (2012) mengatakan bahwa kualitas surimi
ditentukan oleh warna, water holding capacity (WHC), kelembapan, dan kekuatan gel
dari surimi. Chitosan adalah biopolymer yang diperoleh dari deasetilasi chitin. Chitosan
ditambahkan pada proses pembuatan surimi yang berguna untuk meningkatkan kualitas
struktur surimi. Namun demikian, protein miofibril pada surimi akan kehilangan sifat
fungsionalnya secara cepat ketika dibekukan pertama kalinya, yaitu terjadi
penggumpalan protein, perubahan tekstur dan kehilangan kemampuan pembentukan gel.
Cryoprotectans digunakan untuk menahan sifat fungsional surimi. kombinasi antara
sukrosa 4% dan sorbitol 4% sebagai cryoprotectans telah terbukti dapat melindungi
protein miofibril selama periode yang panjang dalam penyimpanan beku. Namun,
konsentrasi sukrosa 4% dan sorbitol 4% ini memberikan rasa yang terlalu manis
sehingga biasanya kurang disukai oleh konsumen (Nopianti et al., 2011).
Selanjutnya setelah sukrosa dan garam ditambahkan dan dicampur rata, ditambahkan
polifosfat / STTP. Penambahan pada kelompok B1 sebesar 0,1%, pada B2 dan B3
sebesar 0,3%, pada B4 serta B5 sebesar 0,5% dari berat sampel 100 gram. Tujuan
penambahan polifosfat / STTP ini adalah untuk memperbaiki sifat surimi, terutama sifat
elastisitas dan kelembutannya. Polifosfat juga digunakan untuk memperbaiki daya ikat
air (water holding capacity) serta memberikan sifat pasta yang lembut pada produkproduk olahan surimi (Suzuki, 1981). Selain itu, menurut Shaviklo et al. (2010), tujuan
penambahan polifosfat dalam pembuatan surimi adalah untuk meningkatkan efek
cryoprotectant, karena polifosfat dapat memberi efek buffer pada pH daging ikan dan

13

sebagai agen pengkelat ion logam. Setelah penambahan polifosfat dan dicampur hingga
homogen, daging lumat kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup lalu
dibekukan pada suhu -10oC hingga -20oC selama semalam. Menurut Shimazamaninejad
(2013) bahwa kualitas gel surimi juga dipengaruhi suhu dan lamanya gel setting
sehingga hal ini penting dalam pembentukkan surimi. Pembekuan sangat berperan
penting dalam proses pembuatan surimi, surimi merupakan produk olahan setengah jadi
yang mudah mengalami kerusakan, karena itu dilakukan pembekuan untuk
mempertahankan kualitas atau mutu surimi saat penyimpanan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Murniyati (2005), yang menyatakan bahwa pembekuan ikan adalah salah
satu metode untuk mempertahankan sifat-sifat mutu pada ikan dengan teknik penarikan
panas secara efektif dari ikan agar suhu ikan turun sampai pada tingkat suhu rendah
yang stabil selama proses pembekuan, penyimpanan beku dan distribusi sehingga dapat
konsumen dapat menikmati produk tersebut secara maksimal. Menirut Anonim (1987),
tujuan pengemasan dalam wadah plastik tertutup adalah untuk menghindari terjadinya
kontak dengan udara selama penyimpanan maupun distribusi, kemasan yang cocok
untuk produk surimi adalah plastik jenis PE (Polyethylene). Sebelum diolah lebih lanjut,
surimi perlu melalui proses thawing (Lee, 1984). Hari berikutnya dilakukan thawing
terlebih dahulu pada sampel selama 15 menit sebelum dilakukan pengamatan. Hal hal
yang diamati meliputi hardness, nilai WHC (Water Holding Capacaity), aroma, serta
tekstur.
3.5

Pengaruh Konsentrasi Sukrosa Terhadap Daya Ikat Air (Water Holding


Capacity) Surimi

Dari hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa daya ikat air tertinggi ada pada kelompok
B3 yaitu sebesar 318565,40 dengan perlakuan penambahan 5% sukrosa, 2,5% garam
dan 0,3% polifosfat. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Shaviko et al. (2010) yang
menyatakan bahwa penambahan garam dan sukrosa secara bersamaan akan
meningkatkan WHC

(Water Holding Capacaity), seiring dengan bertambahnya

konsentrasi garam dan sukrosa maka WHC juga akan semakin meningkat. Hasil
tersebut menunjukkan besarnya kemampuan sukrosa dalam mengikat air pada produk
surimi. Namun pada kelompok yang lain menunjukkan sesuai dengan teori diatas B1
dan B2 memiliki WHC yang lebih rendah di banding kelompok B3, B4, B5 hal ini

14

sesuai dengan pernyataan Shaviko et al. (2010). Menurut Shaviko et al. (2010),
penambahan sukrosa dan polifosfat secara bersamaan juga akan berpengaruh pada nilai
WHC, karena penambahan polifosfat pada daging lumat akan meningkatkan pH dan
peningkatan pH ini akan berpengaruh juga pada peningkatan WHC. Jadi semakin besar
penambahan konsentrasi polifosfat maka WHC juga akan semakin besar, hal ini sesuai
dengan hasil pada kelompok B4 dan B5, tetapi pada B3 memiliki WHC tertinggi hal ini
tidak sesuai teori Shaviko et al. (2010). WHC (Water Holding Capacaity) merupakan
faktor yang sangat penting untuk surimi, tidak hanya karena efeknya pada segi
ekonomis namun juga terlebih untuk kualitas surimi sendiri.
3.6

Pengaruh Konsentrasi STTP/ Polifosfat Terhadap Hardness dan Kekenyalan


Surimi

Fosfat adalah komponen alami yang terdiri dari garam fosfor dan mineral lain.
Komponen fosfat yang sering digunakan dalam produk surimi adalah sodium
tripolyphosphate (STTP), sodium pyrophosphate (SPP), sodium hexametaphosphate
(SHMP), dan tetrasodium pyrophosphate (TSP). Penggunaan fosfat dalam produk
surimi ini akan mengurangi viskositas pasta. Fosfat juga akan meningkatkan
kemampuan retensi air dan juga kemampuan untuk menyerap kembali cairan saat surimi
dithawing. Fosfat juga dapat meningkatkan pH, memperbaiki kemampuan pembentukan
gel dan kekuatan gel, karena peningkatan kemampuan daya ikat air terjadi pada pH
tinggi. Penambahan polifosfat sebanyak 0,5% akan membentuk kekuatan gel yang
tinggi, sedangkan kekuatan gel optimal diperoleh dengan penambahan polifosfat
sebanyak 0,3% (Nopianti et al., 2011). Pernyataan ini sesuai dengan hasil praktikum
pada kelompok B2 yaitu dengan penambahan polifosfat sebesar 0,3% menunjukkan
nilai hardness terbesar dibandingkan dengan kelompok lainnya. Tingkat hardness atau
kekerasan menunjukkan kekuatan gel dari surimi, semakin tinggi konsentrasi polifosfat
yang diberikan maka seharusnya hardness atau kekuatan gelnya juga semakin tinggi.
Namun pada kelompok B5 menunjukkan penyimpangan, yaitu dengan penambahan
konsentrasi polifosfat yang sama seperti B4 namun nilai hardnessnya justru lebih kecil
dari kelompok lainnya, hal ini dapat terjadi karena kemungkinan sampel ikan yang
digunakan untuk praktikum tidak berasal dari satu tempat pembelian sehingga
kemungkinan terjadinya penyimpangan data selain itu juga mungkin disebabkan karena

15

kesalahan atau kekurangtelitian praktikan selama menggunakan alat. Adapun alat yang
digunakan untuk mengukur hardness ini adalah texture analyser. Nilai hardness ini
sebanding dengan tingkat kekenyalan (tekstur) surimi secara sensoris, semakin tinggi
nilai hardness maka teksturnya akan semakin kenyal. Dari hasil praktikum dapat dilihat
bahwa karakteristik tekstur pada kelompok B4 dan B2 sudah sesuai dengan nilai
hardnessnya yaitu kenyal, sedangkan pada kelompok lainnya yaitu B1, B3, dan B5
menunjukkan hasil yang kurang sesuai. Hal ini bias terjadi karena pengukuran sensoris
dilakukan oleh manusia, pengukuran oleh manusia terkadang menimbulkan bias karena
adanya faktor subjektivitas. Selain dengan penambahan polifosfat menurut fogaa
(2013) penambahan pati dapat meningkatkan karakteristik tekstur dilapisi tepung roti
atau direstrukturisasi produk yang dibuat dengan surimi.
3.7

Karakteristik Aroma Produk Surimi

Kombinasi perlakuan penambahan sukrosa, garam dan polifosfat juga akan


mempengaruhi aroma produk surimi. Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa pada
kelompok B1 dengan perlakuan penambahan 2,5% sukrosa, 2,5% garam dan 0,1%
polifosfat memiliki aroma amis menyerupai ikan segar, pada kelompok B2 dengan
perlakuan penambahan 2,5% sukrosa, 2,5% garam dan 0,3% polifosfat memiliki aroma
sangat amis. Sedangkan pada kelompok B3 penambahan 5% sukrosa, 2,5% garam dan
0,3% polifosfat memiliki aroma tidak amis dan B4 dan B5 dengan perlakuan
penambahan 5% sukrosa, 2,5% garam dan 0,5% polifosfat memiliki aroma tidak amis.
Hasil pada kelompok B1 dan B2 yang menunjukkan aroma amis menandakan bahwa
kemungkinan perlakuan pencucian sebagai treatment awal pembuatan surimi kurang
maksimal. Irianto dan Giatmi (2009) menyatakan bahwa perlakuan pencucian
seharusnya dapat menghilangkan bau/aroma yang tidak diinginkan yang disebabkan
oleh senyawa trimetilamin (salah satu senyawa utama pembentuk flavor/ aroma pada
ikan).
3.8. Perubahan Karakteristik Surimi selama Penyimpanan Beku
Masalah yang sering timbul adalah menurunnya kekuatan gel surimi selama
penyimpanan beku. Sifat fungsional dari protein miofibril pada surimi mentah cepat
sekali rusak selama pembekuan, proses pembekuan menyebabkan terbentuknya kristal

16

es dan karena itu protein miofibril mengalami dehidrasi, penurunan pH dan perubahan
konsentrasi garam. Ketiga efek tersebut pada interaksi hidrofobik yang beragam akan
membuat protein miofibril terdenaturasi. Tingkat formaldehid pada otot ikan digunakan
sebagai petunjuk tingkat kerusakan. Protein miofibril yang berinteraksi dengan
formaldehid akan cepat terdenaturasi dan terjadi penggumpalan protein. Berbagai cara
telah digunakan untuk menyelesaikan masalah ini, salah satunya adalah dengan
penambahan senyawa anti denaturasi atau juga sering disebut sebagai cryoprotectan.
Cryoprotectant dapat berupa gula atau gula alkohol. Pembekuan secara cepat juga dapat
digunakan untuk mencegah denaturasi surimi. Namun yang lebih sering digunaka
adalah cryoprotectan, alasannya karena cryoprotectan dapat mempertahankan sifat
fungsionalitas protein surimi, tidak menyebabkan reaksi maillard / pencoklatan
enzimatis selama penyimpanan beku dan selama pemanasan produk berbasis surimi,
seta untuk memperbaiki rasa (Nopianti et al., 2011). Hal ini sesuai menurut Agustini
(2008) selain itu selama penyimpanan, krioprotektan memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap WHC dan gel kekuatan.

17

4. KESIMPULAN
Surimi adalah produk olahan hasil perikanan setengah jadi yang berupa hancuran
daging ikan yang telah mengalami proses pencucian, pengepresan, penambahan
garam dan polifosfat selanjutnya dibekukan dan dikemas.
Kekuatan gel surimi dipengaruhi oleh jenis ikan, umur, kematangan gonad, tingkat
kesegaran ikan, pH, kadar air, volume, dan konsentrasi dan jenis penambahan
antidenaturant (cryoprotectant), serta frekuensi pencucian.
Krioprotektan adalah bahan tambahan untuk mempertahankan sifat fungsional dari
protein myofibrillar.
Pemisahan dilakukan karena bagian yang tidak diperlukan seperti kepala dan isi
perut mengandung banyak minyak dan lemak yang dapat menyebabkan terjadinya
hidrolisis pada surimi.
Pencucian ikan bertujuan untuk menghilangkan komponen larut air, lemak, darah,
dan meningkatkan kekuatan gel.
Penambahan sukrosa berfungsi sebagai anti denaturasi protein (cryoprotectan) pada
daging surimi.
Garam berperan untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang sangat penting
untuk pembentukan gel yang kuat.
Polifosfat berperan untuk menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat
surimi.
Nilai hardness terbesar ialah dengan penggunaan polifosfat 0,3%
Nilai WHC terbesar ialah dengan penggunaan sukrosa 5% dan garam 2,5%.
Semarang, 29 September 2015
Praktikan,

Asisten Dosen,

Robby Chaniago
13.70.0179

Yusdhika Bayu S.

18

5. DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, T. W., Akhmad, S. F, Ulfah, A. (2006). Modul
Produk Perikanan. Universitas Diponegoro Press. Semarang.

Diversifikasi

Agustini, T. W., YS. Darmanto, Danar P.K.P. (2008). Evaluation on utilization of small
marine fish to produce surimi using different cryoprotective agents to increase the
quality of surimi. Fisheries Department, Faculty of Fisheries and Marine.
Diponegoro University Semarang.
Amalia, Z. I. Z. (2002). Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis
sp.) dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Bogor : Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Anonim. (1987). Petunjuk Praktis Pengolahan Surimi. Direktorat Jenderal Perikanan
Departemen Pertanian. Jakarta.
Fiddler, W., J. W. Pensabene, R.A. Gates, M. Hale, M. Jahncke and J.K. Babbit. (1993).
Alaska Pollock (Theragra chalcogramma) mince and surimi as partial meat
substitutes in frankfurters: N-nitrosodimethylamine formation. Journal of Food
Science Vol. 58, 1:62-65. USA.
Fogaa F.H.S, Luzia A.T, urea J.B, et al. (2013). Optimization of the surimi
production from mechanically recovered fish meat (mrfm) using response surface
methodology. Journal of Food Quality. Brazil
Fortina, Des. (1996). Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan
(Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi
dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Irianto HE dan Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Jafapour, A et al. (2012). A Comparative Study on Effect of Egg White, Soy Protein
Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus
carpio) Surimi Gel. Journal Food Processing & Technology. Iran
Lee, C.M. (1984). Surimi Process Technology. Journal Food Technology. 38(11):69.

19

Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe. (1985). Technology of Surimi


Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.
Matsumoto JJ, Noguchi SF. (1992). Cryostabilization of protein in surimi. In: Lanier
T.C. and Lee C.M. (eds). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.
Murniyati, A.S. (2005). Pembekuan Ikan, SUPM Tegal. Tegal.
Nopianti, R., Nurul Huda and Noryanti Ismail. (2011). A review on the Loss of the
Functional Properties of Proteins during Frozen Storage and the Improvement of
Gel-forming properties of Surimi. American Journal of Food Technology 6 (1): 1930.
Nurkhoeriyati, T., Nurul Huda, dan Ruzita A. (2008). Perkembangan Terbaru Teknologi
Surimi. Malaysia.
Peranginangin, R. Dkk. (1999). Instalasi penelitian Perikanan Laut Sipil. Balai
Perikanan Laut. Jakarta.
Saanin, H. (1984). Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan, Bina Cipta. Jakarta.
Shekarabi et al. (2015). Effect of heat treatment on the properties of surimi gel from
black mouth croaker (Atrobucca nibe). International Food Research Journal. Iran
Shimazamaninejad, Bahare Shabanpou, and Ali Shabani. (2013). Effect of Medium
Temperature Setting on Gelling Characteristics of Surimi from Farmed Common
Carp (Cyprinus carpio, Linnaeus, 1758). World Journal of Fish and Marine
Sciences. Department of Fishery, Gorgan University of Agricultural Sciences and
Natural Resources. Iran
Sonu S . C. (1986). Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island,
California.
Shaviklo, Gholam Reza, et al., (2010). The Influence of Additives and Frozen storage
on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein Isolated from
Haddock. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10:333-340 (2010).
Suzuki,T. (1981). Fish and Krill Protein Processing Technology. Applied Science
Publisher,Ltd. London.
Tina, N et al. (2010). Surimi-like material: challenges and prospects. International Food
Research Journal. Pulau Pinang, Malaysia

20

6. LAMPIRAN
6.1.
Perhitungan
Rumus perhitungan WHC (mg H2O):

Perhitungan WHC Kelompok B1

21

Perhitungan WHC Kelompok B2

Perhitungan WHC Kelompok B3

22

Perhitungan WHC Kelompok B4

Perhitungan WHC Kelompok B5

23

6.2.
6.3.

Laporan Sementara
Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal

24

Anda mungkin juga menyukai