Disusun oleh:
Nama: Shannon Novia Sungkar
NIM: 11.70.0016
Kelompok: E2
Contact us
Title
Words
Matche
d
Matc
h (%)
Unique
Words
Matche
d
Uniqu
e
Match
(%)
Ketebalan Lapisan Nata de Coco yang dihasilkan dapat dilihat pada H-14 tinggi
ketebalan nata tertinggi di hasilkan oleh kelompok E3 dengan tinggi 0,8 cm, tinggi
ketebalan nata kedua dihasilkan oleh kelompok E4 dengan tinggi 0,6 cm. Tinggi
ketebalan nata terendah dihasilkan oleh E5 dengan tinggi hanya 0,3 cm. Jika dilihat
berdasarkan persen lapisan nata, maka E3 yang menghasilkan persen lapisan nata
yang tertinggi yaitu 60,54%, dan E4 menghasilkan persen lapisan nata sebesar 20%.
Sisa kelompok lainnya menghasilkan persen lapisan nata dibawah 20%Tabel 2. Hasil
Pengamatan Uji Sensori Nata de CocoKelompokAromaWarnaTeksturRasaE1++--E2+
+--E3++++++++-E4++--E5++--Keterangan:Aroma Warna TeksturRasa++++ : tidak
asam++++ : putih ++++ : sangat kenyal++++ : sangat manis+++ : agak asam+++ :
putih bening +++ : kenyal+++ : manis++ : asam++ : putih agak bening ++ : agak
kenyal++ : agak manis+ : sangat asam+: bening + : tidak kenyal++ : tidak manisPada
tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco dihasilkan minim data, hal ini
dikarenakan hanya 1 kelompok saja yaitu E3 yang berhasil terbentuk nata yang
sempurna dan tidak kontaminan. Nata yang dihasilkan E3 memiliki aroma yang tidak
asam, warna yang bening, dan tekstur yang kenyal. Sedangkan pada percobaan nata
ini untuk sensori rasa tidak diujikan pada nata yang terbentuk. Kelompok E1, E2, E4
dan E5 tidak ada nata yang terbentuk dan hanya bisa diamati aroma serta warnanya
saja. Semua nata yang tidak jadi memiliki aroma yang sangat asam dan warnanya
tetap bening, sedangkan untuk kekenyalan tidak dapat diuji
sensorikan.PEMBAHASANPada praktikum kali ini dilakukan pembuatan nata de coco
dengan menggunakan limbah air kelapa dengan metode fermentasi menggunakan
starter nata de coco. Nata tergolong selulosa dengan bentuk padat, memiliki
karakteristik warna putih dan transparan dan memiliki tekstur yang kenyal (Anastasia &
Afrianto, 2008). Pada air kelapa terkandung nutrisi yang tinggi seperti air sebesar
91,23%, protein sebesar 0,29%, lemak sebesar 0,15%, karbohidrat sebesar 7,27%,
abu sebesar 1,06%. Selain itu, juga mengandung asam pantotenat 0,52 mg, asam
niotinat 0,01 mg, biotin 0,02 mg, riboflavin 0,01 mg, dan asam folat 0,003 mg/l
(Palungkun, 1996). Pembuatannya, bahan baku yang dipilih harus memiliki komponen
gula, mineral, protein dan karbohidrat yang tinggi yang dapat dipenuhi pada sari
kedelai (untuk menghasilkan nata de soya), air kelapa (untuk menghasilkan nata de
coco), pada sari dari buah nanas (untuk produksi nata de pina) dan pada sari buah dari
mangga (untuk menghasilkan nata de mango) (Pambayun, 2002). Oleh sebab itu,
pemilihan bahan baku pembuatan nata de coco sudah tepat sebab telah sesuai
dengan teori yang ada. Hal ini juga diperkuat oleh Palungkun (1996) bahwa komponen
gizi air kelapa yaitu sukrosa, fruktosa, dekstrosa, dan juga vitamin B kompleks.
Komponen tersebut akan membantu pertumbuhan mikroorganisme yang berperan
dalam fermentasi, bakteri Acetobacter xylinum.Kandungan air di nata tergolong tinggi.
Produk nata ini sering sekali dikonsumsi oleh masyarakat terutama sebagai produk
makanan ringan (Anastasia & Afrianto, 2008). Nata de coco ini termasuk produk
pangan yang diproduksi melalui fermentasi melalui Acetobacter xylinum menggunakan
media substrat cair yaitu air kelapa (Santosa et al, 2012). Keunggulan menggunakan
air kelapa sebagai substrat adalah keefisienannya (tidak butuh terlalu banyak tempat
karena media cair), harga air kelapa tergolong murah, melimpah dan mudah ditemukan
sehingga kontinuitas (keberlanjutannya) lebih terjamin, dan penyebab kontaminasi
dapat dikurangi sebab produk ini termasuk produk alami dan bukan termasuk produk
samping atau sisa dari suatu proses produksi. Sedangkan untuk kelemahannya, air
kelapa yang digunakan ini dapat menjadi salah satu penyebab lingkungan menjadi
rusak sebab merupakan isolat dalam fermentasi (Rahman, 1992).Pertama - tama pada
proses pembuatan nata de coco ini adalah dengan pembuatan media. Langkah
pertama, yaitu air kelapa disaring terlebih dahulu yang berfungsi sebagai tahapan
penghasil media bersih, steril, dan bebas terutama dari kontaminan dan kotoran
sehingga nantinya nata yang dihasilkan dapat memiliki karakteristik yang baik (Pato &
Dwiloka, 1994). Tahapan selanjutnya adalah 10% gula pasir dari air kelapa yang
digunakan kemudian dimasukkan ke dalam air kelapa tersebut dan diaduk sampai gula
tersebut larut sambil dipanaskan. Konsentrasi 10% gula yang digunakan agar dapat
menyediakan karbon bagi sumber unsur yang dibutuhkan yaitu karbon organik untuk
Acetobacter xylinum. Sehingga, tenunan selulosa akan dapat dihasilkan (Awang,
1991). Acetobacter xylinum sehingga fermentasi berlangsung dengan baik. Dalam
fermentasi, umumnya digunakan sumber karbon dari golongan monosakarida dan
disakarida (yang paling banyak ditemui adalah sukrosa). Sukrosa yang banyak ditemui
adalah yang dalam bentuk gula pasir (Pambayun, 2002). Oleh karena itu, pemilihan
gula pasir sebagai sumber unsur organik yaitu karbon telah sesuai dengan teori. Pada
percobaan digunakan gula pasir sebanyak 10% sebab pada konentrasi sekian,
Acetobacter xylinum akan memberikan hasil lapisan nata tebal sehingga konsentrasi
ini termasuk konsentrasi optimum gula jika ingin memproduksi nata de coco. Jika
jumlah gula pasir lebih sedikit atau bahkan melebihi konsentrasi 10% maka tidak akan
dimanfaatkan maksimal oleh Acetobacter xylinum (Sunarso, 1982). Selain berpengaruh
kepada ketebalan nata, gula pasir ini juga turut menentukan karakteristik nata seperti
penampakan, tekstur, flavor, dan pengawet (Hayati, 2003).Lalu, ammonium sulfat
sebesar 0,5% ditambahkan, bertujuan agar kebutuhan sumber organik nitrogen dapat
dipenuhi sehingga pertumbuhan mikroorganisme yaitu Acetobacter xylinum dapat
mengalami fermentasi dengan baik (Awang, 1991). Sumber nitrogen untuk
memproduksi nata de coco bisa diperoleh dari ammonium sulfat seperti yang
digunakan saat praktikum, protein, ekstrak dari yeast, urea atau bisa juga dari
ammonium fostat (ZA) (Pambayun, 2002). Tahap selanjutnya, asam cuka glasial
ditambahkan agar dicapai pH 4 sampai 5. Menurut teori yang disampaikan oleh
Pambayun (2002), asam asetat glacial dapat membantu menciptakan kondisi pH pada
media agar diperoleh kondisi yang optimal. Selain itu, juga untuk mendapatkan
suasana yang asam. Kondisi yang asam penting dalam mendukung pertumbuhan
Acetobacter xylinum yang tumbuh di pH 4-4,5. Teori ini kemdian diperkuat oleh
Anastasia & Afrianto (2008), untuk mendapatkan pH pada media untuk menghasilkan
nata de coco perlu dilakukan penambahan asam atau sering disebut sebagai acidulan
sehingga kondisi yang baik bagi Acetobacter xylinum dapat tercapai di mana pH yang
diinginkan yaitu sekitar 4 sampai 5 untuk pertumbuhan optimal. Terakhir, air kelapa
dipanaskan hingga gulanya larut kemudian disaring untuk memisahkan partikel-partikel
besar yang masih tertinggal di air kelapa dan mengurangi kontaminasi serta kotoran
sehingga fermentasi dapat berjalan baik (Pato & Dwiloka, 1994). Awang (1991)
mengatakan bahwa Acetobacter xylinum mempunyai sifat khusus dan spesifik karena
mampu menghasilkan selaput tebal yang terdapat di permukaan substrat yang cair
seperti air kelapa sehingga diperoleh selulosa. Acetobacter xylinum termasuk bakteri
yang tidak akan mampu untuk tumbuh pada pH rendah. Jika berada di pH rendah,
Acetobacter xylinum akan mengeluarkan energi yang besar agar dapat menghindari
stress. Akibatnya, aktivitas proses fermentasi akan terhenti karena energi sudah habis
digunakan (Atlas, 1984).Nata de coco dapat dihasilkan sebab selama fermentasi
glukosa akan diambil oleh Acetobacter xylinum yang kemudian akan menyatu bersama
asam lemak. Setelah itu, akan dibentuk prekursor yang menjadi penciri nata di
membran sel dari bakteri penghasil nata di mana akan dikeluarkan secara ekskresi.
Dengan bantuan enzim terutama yang dapat mempolimerisasikan glukosa, glukosa
tersebut akan dikonversi menjadi komponen-komponen selulosa (Palungkun, 1996).
Teori ini juga dikatakan oleh Rahayu et al (1993) yaitu jika pada substrat dengan
kandungan gula diberikan kultur Acetobacter xylinum untuk tumbuh, maka gula dalam
substrat akan dibentuk menjadi selulosa. Komponen ini akan terakumulasi
ekstraseluler ke bentuk pelikel-pelikel. Selain teori-teori di atas, ada juga teori yang
mengatakan bahwa dengan fermentasi pembuatan nata, kandungan gula pada
substrat akan dipecah oleh Acetobacter xylinum sehingga diperoleh polisakarida yaitu
selulosa. Acetobacter xylinum akan terus menghasilkan benang serat yang banyak dan
berlangsung kontinyu sehingga semakin lama akan makin tebal dan menghasilkan
jaringan yang kuat. Jaringan inilah yang pada akhirnya disebut sebagai pelikel nata
(Rahman, 1992).Tersebut adalah proses pembuatan media nata. Tahap ini penting
sebab media yang dibuat akan membantu pertumbuhan bakteri nata dengan
menyediakan nutrisi yang dibutuhkan. Bakteri yang didukung terutama adalah bakteri
Acetobacter xylinum yang digunakan dalam praktikum ini. Volk & Wheeler (1993)
mendukung bahwa media yang dibuat akan menyediakan makanan sehingga biakan
dapat tumbuh subur, agar dapat memperoleh biakan murni. Selain itu, untuk
menunjang kondisi lingkungan agar kelangsungan hidup mikroorganisme yang
jumlahnya banyak lebih terjamin. Nata de coco adalah salah satu produk pangan yang
memiliki potensi sebagai sumber selulosa murni (Halib et al., 2012 di dalam jurnal
physicochemical properties and characterization of nata de coco from local food
industries as a source of cellulose).Mesomya et al. (2006) menyampaikan dalam
effects of health food from cereal and nata de coco on serum lipids in human bahwa
sesungguhnya nata de coco ini sangat baik dan aman untuk dikonsumsi sebab dapat
membantu mengontrol berat badan dan juga membantu dalam pencegahan kanker
seperti kolon dan rektum dengan kandungan selulosa yang tinggi, kandungan lemak
dan kalori rendah serta tidak mengandung kolesterol. Teori lainnya yang mengatakan
bahwa produk ini sehat adalah Hernaman (2007) di dalam Dampak Nata De Coco
dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolisme Lemak serta Penyerapan
Mineral. Beliau mengatakan bahwa nata mempunyai serat pangan. Komponen ini
sangat baik sebab tidak akan mengganggu lemak dan mineral yang akan diserap
tubuh dan baik untuk diet. Setelah proses pembuatan media selesai, dilanjutkan
proses fermentasi dengan mengambil 100 ml media yang tadi dibuat dan media
tersebut dimasukkan ke wadah dari plastic yang sebelumnya telah disemprotkan
dengan alkohol. Lalu, ditambahkan ke media tersebut biang nata (starter) dengan
konsentrasi 10% dari media yang digunakan secara aseptis. Pato & Dwiloka (1994)
menyampaikan bahwa jumlah starter untuk memproduksi nata idealnya 4-10%. Jika
jumlah starter tidak sesuai akan menyebabkan karakteristik nata tidak sesuai dengan
standar yang ada. Teori ini juga diperkuat oleh Misgiyarta (2007) bahwa substrat air
kelapa untuk menghasilkan nata de coco sebaiknya diinokulasi menggunakan starter
dengan jumlah 10% (v/v).Kemudian, diaduk secara perlahan agar homogen dan
ditutup menggunakan kertas coklat. Tujuan dari penutupan menggunakan kertas dan
tidak menggunakan tutup tolpes adalah agar tidak terlalu tertutup sehingga oksigen
masih bisa masuk sebab Acetobacter xylinum tergolong bakteri aerob yang
membutuhkan oksigen dalam proses pertumbuhannya. Selain itu, juga untuk
mengurangi resiko kontaminasi dari lingkungan sekitar sehingga dapat diperoleh nata
dengan karakteristik yang baik (Pambayun, 2002).Selanjutnya adalah tahap inkubasi.
Tahap ini dilakukan selama 2 minggu di suhu ruang dan tidak terpapar cahaya. Selama
tahap inkubasi, wadah plastik tidak boleh terangkat atau tergoyang yang bertujuan
agar nata (lapisannya) tidak terpisah saat terbentuk nanti.Pambayun (2002)
menyampaikan bahwa Acetobacter xylinum untuk inkubasinya membutuhkan suhu
ruang sehingga pertumbuhanya dapat optimal. Jika diletakkan pada suhu di atas 40C
akan menyebabkan Acetobacter xylinum mati. Jika terlalu rendah, pertumbuhannya
akan sangat terhambat. Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa agar nata
menghasilkan ketebalan paling optimum, fermentasi dapat dilakukan 10-14 hari di suhu
ruang atau 28-32C (Rahayu et al., 1993). Jika ada gangguan terutama saat inkubasi
(fermentasi), berupa goyangan atau gangguan lainnya, lapisan nata yang mulai
terbentuk dapat turun ke bawah bahkan lapisan tersebut bisa pecah (Palungkun,
1996). Oleh sebab itu, cara kerja yang dilakukan pada praktikum ini telah sesuai
dengan teori yang disampaikan.Pengamatan dilakukan saat hari ke - 0 dengan
mengukur tinggi media dan juga pada mulainya terbentuk lapisan di cairan permukaan,
pada hari ke-7 dan ke -14. Pada praktikum, persentase kenaikan pada ketebalan nata
yang dihasilkan dihitung menggunakan formulasi:Parameter yang menunjukkan kapan
fermentasi yang dilakukan telah selesai dan tingkat keberhasilannya adalah dengan
adanya lapisan putih di permukaan (Rahman, 1992). Gunsalus & Staines (1962)
menyampaikan bahwa pada tahap fermentasi bisa dihasilkan lapisan nata sebab
adanya selulosa dari pembentukan miofibril dengan memanfaatkan glukosa dalam
media. Nata yang baik akan terangkat ke atas cairan sebab dihasilkan gas CO2.
Mekanisme terbentuk lapisan nata yang baik sesuai Hamad et al (2011) di dalam
Pengaruh Penambahan Sumber Karbon pada Kondisi Fisik Nata De Coco yaitu
glukosa (Glukokinase) akan diuraikan menjadi glukosa-6-fosfat (Fosfoglukomutase).
Selanjutnya, akan dipecah menjadi glukosa-1-fosfat (UDP-Glukosa Pirofosforilase) dan
UDP-Glukosa. Komponen inilah yang akan melakukan proses penghasilan
selulosa.Untuk pengamatan mengenai ketebalan nata yang dihasilkan, dapat diketahui
bahwa pada kelompok E1, dengan ketebalan media awal 2,8 cm diperoleh ketebalan
nata sebesar 0,4 cm pada hari ke-7 dan 0,4 cm pada hari ke-14 dengan persentase
masing-masing adalah 14,29% dan 14,29%. Pada kelompok E2, dengan ketebalan
media awal 2,6 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,5 cm pada hari ke-7 dan 0,4 cm
pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 19,23% dan 15,38%. Pada
kelompok E3, dengan ketebalan media awal 1,3 cm diperoleh ketebalan nata sebesar
0,5 cm pada hari ke-7 dan 0,8 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing
adalah 38,46% dan 61,54%. Pada kelompok E4, dengan ketebalan media awal 3 cm
diperoleh ketebalan nata sebesar 0,4 cm pada hari ke-7 dan 0,6 cm pada hari ke-14
dengan persentase masing-masing adalah 13,33% dan 20%. Pada kelompok E5,
dengan ketebalan media awal 2,5 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,3 cm pada
hari ke-7 dan 0,3 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 12%
dan 12%. Dari data yang diperoleh dapat kita lihat bahwa ketinggian nata tertinggi
dicapai oleh kelompok E3 dengan persentasi lapisan nata pada hari ke 14 adalah
61,54% dan hanya kelompok E3 yang jadi menghasilkan nata, sedangkan kelompok
lain nata tidak dapat dihasilkan hal ini dikarenakan adanya kontaminan dari
mikroorganisme lain sehingga nata tidak dapat terbentuk.Pada kelompok E2, nata
yang dihasilkan mengalami penurunan ketebalan pada hari ke 14. Hasil yang diperoleh
ini tidak sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Lapuz et al (1967) bahwa jika
waktu untuk inkubasi atau fermentasi makin lama, akan menyebabkan nata yang
dihasilkan semakin tebal dan persentasenya meningkat. Setelah inkubasi melewati 24
jam, biasanya media menjadi keruh karena adanya pertumbuhan Acetobacter xylinum.
Pembentukan lapisan yang transparan di permukaan substrat akan mulai tampak dan
semakin kompak mulai waktu 36-48 jam. Pada saat ini, tidak boleh ada gangguan
sebab akan menyebabkan lapisan tenggelam. Selain itu, lapisan-lapisan baru masih
bisa terbentuk. Teori ini diperkuat Anastasia & Afrianto (2008) juga bahwa Acetobacter
xylinum akan terus melakukan pemecahan gula pada media menjadi selulosa. Oleh
sebab itulah lapisan nata mengalami peningkatan.Pada kelompok E2, hasil yang
diperoleh memang tidak sesuai dengan teori yang disebutkan di atas. Hal ini dapat
terjadi karena beberapa faktor seperti kandungan gula dalam media telah diurai
seluruhnya oleh Acetobacter xylinum sehingga pada hari ke-14 akan menghasilkan
ketebalan nata yang menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahman (1992) bahwa
kandungan gula, pH dan suhu sangat menentukan karakteristik nata de coco yang
dihasilkan. Walaupun digunakan media dengan ukuran yang sama, namun ternyata
nata de coco yang dihasilkan memiliki ketinggian yang berbeda antarkelompok. Hal ini
dapat disebabkan karena wadah juga berbeda. Ketinggian media awal yang ada pada
wadah akan mempengaruhi ketebalan sebab wadah ini berbeda dalam ketinggian dan
luas permukaan. Jika dibuat di wadah permukaan luas dan dangkal, nata yang
dihasilkan juga akan memiliki ketebalan tinggi sebab jika wadah yang sempit luas
permukaannya (walaupun dalam) akan menyulitkan dalam persediaan oksigen.
Coco. Sains Teks I (A): 70 - 77.Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan
Cahyanto, M.N. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.Rahman,
A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi
IPB. Bandung.Santosa, B.; Ahmad, K.; and Domingus, T. (2012). Dextrin Concentration
and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from
Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE) Vol.
1:6-11.Soekarto. (1985). Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara. Jakarta.Sunarso. (1982). Pengaruh
Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de
Coco. UGM. Yogyakarta.[ Skripsi]Volk, W.A. and M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi
Dasar. Erlangga. Jakarta.LAMPIRAN PerhitunganRumus:Persentase Lapisan Nata =
Kelompok E1H7 Persentase Lapisan Nata = = 14,29 %H14 Persentase Lapisan Nata =
= 14,29 %Kelompok E2H7 Persentase Lapisan Nata = = 19,23 %H14 Persentase
Lapisan Nata = = 15,38 %Kelompok E3H7 Persentase Lapisan Nata = = 38,46 %H14
Persentase Lapisan Nata = = 61,54 %Kelompok E4H7 Persentase Lapisan Nata = =
13,33 %H14 Persentase Lapisan Nata = = 20 %Kelompok E5H7 Persentase Lapisan
Nata = = 12%H14 Persentase Lapisan Nata = = 12% Laporan Sementara Abstrak
Jurnal15Acara I16
Plagiarism Test
Plagiarism Detector
Detect Plagiarism
Lesson plans
Avoid Plagiarism
Plagiarism Check
Plagiarism Prevention
Editing Services
Coursework writing
Copyright 2012 All Rights Reserved. Scan My Essay - Free Plagiarism Scanner, Checker and
Detection Tool. Viper and ScanMyEssay.com are trading names of Angel Business Limited, a
Company registered in England and Wales with Company Registration No: 07344835, The Loft, 3
Plumptre Street, The Lace Market, Nottingham NG1 1JL | Warning - Viper Keygen / Viper Crack
Please note that by using ScanMyEssay.com, VIPER and any other software or resources on the
ScanMyEssay Website, you are signifying your agreement to ourterms and conditions, and our privacy
policy | XML sitemap | ROR | TXT | HTML | PHP | | Verificador de plagio gratuito | Dtecteur
de plagiat gratuit | Viper ...
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan praktikum pembuatan nata de coco kloter C dapat dilihat pada Tabel
1 dan Tabel 2.
Tabel 1.Hasil Pengamatan Ketebalan Lapisan Nata de Coco Yang Dihasilkan
Ke
l
E1
E2
E3
E4
E5
Tinggi Media
Awal (cm)
2,8
2,6
1,3
3
2,5
0
0
0
0
0
0
% Lapisan Nata
7
14
14,29
14,29
19,23
15,38
38,46
61,54
13,33
20
12
12
Aroma
+
+
++++
+
+
Warna
+
+
+
+
+
Warna
++++ : putih
+++ : putih bening
++ : putih agak bening
+
: bening
Tekstur
+++
-
Tekstur
++++ : sangat kenyal
+++ : kenyal
++ : agak kenyal
+
: tidak kenyal
Rasa
-
Rasa
++++ : sangat manis
+++ : manis
++
: agak manis
++
: tidak manis
Pada tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco dihasilkan minim data, hal
ini dikarenakan hanya 1 kelompok saja yaitu E3 yang berhasil terbentuk nata yang
sempurna dan tidak kontaminan. Nata yang dihasilkan E3 memiliki aroma yang tidak
asam, warna yang bening, dan tekstur yang kenyal. Sedangkan pada percobaan nata ini
untuk sensori rasa tidak diujikan pada nata yang terbentuk. Kelompok E1, E2, E4 dan
E5 tidak ada nata yang terbentuk dan hanya bisa diamati aroma serta warnanya saja.
Semua nata yang tidak jadi memiliki aroma yang sangat asam dan warnanya tetap
bening, sedangkan untuk kekenyalan tidak dapat diuji sensorikan.
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan nata de coco dengan menggunakan
limbah air kelapa dengan metode fermentasi menggunakan starter nata de coco. Nata
tergolong selulosa dengan bentuk padat, memiliki karakteristik warna putih dan
transparan dan memiliki tekstur yang kenyal (Anastasia & Afrianto, 2008). Pada air
kelapa terkandung nutrisi yang tinggi seperti air sebesar 91,23%,
protein sebesar
0,29%, lemak sebesar 0,15%, karbohidrat sebesar 7,27%, abu sebesar 1,06%. Selain itu,
juga mengandung asam pantotenat 0,52 mg, asam niotinat 0,01 mg, biotin 0,02 mg,
riboflavin 0,01 mg, dan asam folat 0,003 mg/l (Palungkun, 1996). Pembuatannya, bahan
baku yang dipilih harus memiliki komponen gula, mineral, protein dan karbohidrat yang
tinggi yang dapat dipenuhi pada sari kedelai (untuk menghasilkan nata de soya), air
kelapa (untuk menghasilkan nata de coco), pada sari dari buah nanas (untuk produksi
nata de pina) dan pada sari buah dari mangga (untuk menghasilkan nata de mango)
(Pambayun, 2002). Oleh sebab itu, pemilihan bahan baku pembuatan nata de coco
sudah tepat sebab telah sesuai dengan teori yang ada. Hal ini juga diperkuat oleh
Palungkun (1996) bahwa komponen gizi air kelapa yaitu sukrosa, fruktosa, dekstrosa,
dan juga vitamin B kompleks. Komponen tersebut akan membantu pertumbuhan
mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi, bakteri Acetobacter xylinum.
Kandungan air di nata tergolong tinggi. Produk nata ini sering sekali dikonsumsi oleh
masyarakat terutama sebagai produk makanan ringan (Anastasia & Afrianto, 2008).
Nata de coco ini termasuk produk pangan yang diproduksi melalui fermentasi melalui
Acetobacter xylinum menggunakan media substrat cair yaitu air kelapa (Santosa et al,
2012). Keunggulan menggunakan air kelapa sebagai substrat adalah keefisienannya
(tidak butuh terlalu banyak tempat karena media cair), harga air kelapa tergolong
yang cair seperti air kelapa sehingga diperoleh selulosa. Acetobacter xylinum termasuk
bakteri yang tidak akan mampu untuk tumbuh pada pH rendah. Jika berada di pH
rendah, Acetobacter xylinum akan mengeluarkan energi yang besar agar dapat
menghindari stress. Akibatnya, aktivitas proses fermentasi akan terhenti karena energi
sudah habis digunakan (Atlas, 1984).
Nata de coco dapat dihasilkan sebab selama fermentasi glukosa akan diambil oleh
Acetobacter xylinum yang kemudian akan menyatu bersama asam lemak. Setelah itu,
akan dibentuk prekursor yang menjadi penciri nata di membran sel dari bakteri
penghasil nata di mana akan dikeluarkan secara ekskresi. Dengan bantuan enzim
terutama yang dapat mempolimerisasikan glukosa, glukosa tersebut akan dikonversi
menjadi komponen-komponen selulosa (Palungkun, 1996). Teori ini juga dikatakan oleh
Rahayu et al (1993) yaitu jika pada substrat dengan kandungan gula diberikan kultur
Acetobacter xylinum untuk tumbuh, maka gula dalam substrat akan dibentuk menjadi
selulosa. Komponen ini akan terakumulasi ekstraseluler ke bentuk pelikel-pelikel.
Selain teori-teori di atas, ada juga teori yang mengatakan bahwa dengan fermentasi
pembuatan nata, kandungan gula pada substrat akan dipecah oleh Acetobacter xylinum
sehingga diperoleh polisakarida yaitu selulosa. Acetobacter xylinum akan terus
menghasilkan benang serat yang banyak dan berlangsung kontinyu sehingga semakin
lama akan makin tebal dan menghasilkan jaringan yang kuat. Jaringan inilah yang pada
akhirnya disebut sebagai pelikel nata (Rahman, 1992).
Tersebut adalah proses pembuatan media nata. Tahap ini penting sebab media yang
dibuat akan membantu pertumbuhan bakteri nata dengan menyediakan nutrisi yang
dibutuhkan. Bakteri yang didukung terutama adalah bakteri Acetobacter xylinum yang
digunakan dalam praktikum ini. Volk & Wheeler (1993) mendukung bahwa media yang
dibuat akan menyediakan makanan sehingga biakan dapat tumbuh subur, agar dapat
memperoleh biakan murni. Selain itu, untuk menunjang kondisi lingkungan agar
kelangsungan hidup mikroorganisme yang jumlahnya banyak lebih terjamin. Nata de
coco adalah salah satu produk pangan yang memiliki potensi sebagai sumber selulosa
murni (Halib et al., 2012 di dalam jurnal physicochemical properties and
characterization of nata de coco from local food industries as a source of cellulose).
Mesomya et al. (2006) menyampaikan dalam effects of health food from cereal and
nata de coco on serum lipids in human bahwa sesungguhnya nata de coco ini sangat
baik dan aman untuk dikonsumsi sebab dapat membantu mengontrol berat badan dan
juga membantu dalam pencegahan kanker seperti kolon dan rektum dengan kandungan
selulosa yang tinggi, kandungan lemak dan kalori rendah serta tidak mengandung
kolesterol. Teori lainnya yang mengatakan bahwa produk ini sehat adalah Hernaman
(2007) di dalam Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus)
Terhadap Metabolisme Lemak serta Penyerapan Mineral. Beliau mengatakan bahwa
nata mempunyai serat pangan. Komponen ini sangat baik sebab tidak akan mengganggu
lemak dan mineral yang akan diserap tubuh dan baik untuk diet.
Setelah proses pembuatan media selesai, dilanjutkan proses fermentasi dengan
mengambil 100 ml media yang tadi dibuat dan media tersebut dimasukkan ke wadah
dari plastic yang sebelumnya telah disemprotkan dengan alkohol (gambar 3). Lalu,
ditambahkan ke media tersebut biang nata (starter) dengan konsentrasi 10% dari media
yang digunakan secara aseptis. Pato & Dwiloka (1994) menyampaikan bahwa jumlah
starter untuk memproduksi nata idealnya 4-10%. Jika jumlah starter tidak sesuai akan
menyebabkan karakteristik nata tidak sesuai dengan standar yang ada. Teori ini juga
diperkuat oleh Misgiyarta (2007) bahwa substrat air kelapa untuk menghasilkan nata de
coco sebaiknya diinokulasi menggunakan starter dengan jumlah 10% (v/v). Proses
penambahan starter pada gambar 4.
(Palungkun, 1996). Oleh sebab itu, cara kerja yang dilakukan pada praktikum ini telah
sesuai dengan teori yang disampaikan.
Pengamatan dilakukan saat hari ke 0 dengan mengukur tinggi media dan juga pada
mulainya terbentuk lapisan di cairan permukaan, pada hari ke-7 dan ke -14. Pada
praktikum, persentase kenaikan pada ketebalan nata yang dihasilkan dihitung
menggunakan formulasi:
Pe rsentase Lapisan Nata=
ketebalan NDC
x 100
ketinggian Mediaawal
Parameter yang menunjukkan kapan fermentasi yang dilakukan telah selesai dan tingkat
keberhasilannya adalah dengan adanya lapisan putih di permukaan (Rahman, 1992).
Gunsalus & Staines (1962) menyampaikan bahwa pada tahap fermentasi bisa dihasilkan
lapisan nata sebab adanya selulosa dari pembentukan miofibril dengan memanfaatkan
glukosa dalam media. Nata yang baik akan terangkat ke atas cairan sebab dihasilkan gas
CO2. Mekanisme terbentuk lapisan nata yang baik sesuai Hamad et al (2011) di dalam
Pengaruh Penambahan Sumber Karbon pada Kondisi Fisik Nata De Coco yaitu
glukosa (Glukokinase) akan diuraikan menjadi glukosa-6-fosfat (Fosfoglukomutase).
Selanjutnya, akan dipecah menjadi glukosa-1-fosfat (UDP-Glukosa Pirofosforilase) dan
UDP-Glukosa. Komponen inilah yang akan melakukan proses penghasilan selulosa.
Untuk pengamatan mengenai ketebalan nata yang dihasilkan (Gambar 6), dapat
diketahui bahwa pada kelompok E1, dengan ketebalan media awal 2,8 cm diperoleh
ketebalan nata sebesar 0,4 cm pada hari ke-7 dan 0,4 cm pada hari ke-14 dengan
persentase masing-masing adalah 14,29% dan 14,29%. Pada kelompok E2, dengan
ketebalan media awal 2,6 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,5 cm pada hari ke-7
dan 0,4 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 19,23% dan
15,38%. Pada kelompok E3, dengan ketebalan media awal 1,3 cm diperoleh ketebalan
nata sebesar 0,5 cm pada hari ke-7 dan 0,8 cm pada hari ke-14 dengan persentase
masing-masing adalah 38,46% dan 61,54%. Pada kelompok E4, dengan ketebalan
media awal 3 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,4 cm pada hari ke-7 dan 0,6 cm
pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 13,33% dan 20%. Pada
kelompok E5, dengan ketebalan media awal 2,5 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,3
cm pada hari ke-7 dan 0,3 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah
12% dan 12%. Dari data yang diperoleh dapat kita lihat bahwa ketinggian nata tertinggi
dicapai oleh kelompok E3 dengan persentasi lapisan nata pada hari ke 14 adalah 61,54%
dan hanya kelompok E3 yang jadi menghasilkan nata, sedangkan kelompok lain nata
tidak dapat dihasilkan hal ini dikarenakan adanya kontaminan dari mikroorganisme lain
sehingga nata tidak dapat terbentuk.
dalam media telah diurai seluruhnya oleh Acetobacter xylinum sehingga pada hari ke-14
akan menghasilkan ketebalan nata yang menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat
Rahman (1992) bahwa kandungan gula, pH dan suhu sangat menentukan karakteristik
nata de coco yang dihasilkan. Walaupun digunakan media dengan ukuran yang sama,
namun ternyata nata de coco yang dihasilkan memiliki ketinggian yang berbeda
antarkelompok. Hal ini dapat disebabkan karena wadah juga berbeda. Ketinggian media
awal yang ada pada wadah akan mempengaruhi ketebalan sebab wadah ini berbeda
dalam ketinggian dan luas permukaan. Jika dibuat di wadah permukaan luas dan
dangkal, nata yang dihasilkan juga akan memiliki ketebalan tinggi sebab jika wadah
yang sempit luas permukaannya (walaupun dalam) akan menyulitkan dalam persediaan
oksigen. Akibatnya, nata akan memiliki ketebalan rendah (Mashudi, 1993).
Pada praktikum pembuatan nata de coco kali ini, pada hari ke 14 hanya ada 1
kelompok yang berhasil membuat nata de coco yaitu E3 dan kelompok sisanya
mengalami kontaminan sehingga nata yang terbentuk tidak jadi. Karena itulah uji
sensori tidak dapat seluruhnya diujikan pada nata. Uji sensori yang dapat dilakukan
pada seluruh kelompok adalah karakteristik aroma dan warna, sedangkan untuk
kelompok E3 karena nata yang terbantuk jadi maka ditambahkan karakteristik
kekenyalan yang diujikan. Untuk karakteristik rasa, tidak diujikan pada seluruh
kelompok. Karakteristik aroma pada pengamatan nata kali ini adalah seluruh kelompok
kecuali E3 menghasilkan nata yang memiliki aroma yang sangat asam dan untuk
kelompok E3 nata yang dihasilkan memiliki aroma tidak asam. Menurut pendapat yang
disampaikan Astawan & Astawan (1991) Aroma asam juga mengindikasikan proses
fermentasi telah berlangsung. Pernyataan ini disampaikan oleh Anastasia & Afrianto
(2008). Halib et al. (2012) juga mengatakan bahwa Acetobacter xylinum dapat mengubah
gula menjadi selulosa dan asam asetat sehingga dapat menimbulkan aroma yang asam.
Namun, aroma nata yang baik seharusnya tidak beraroma asam.
Selanjutnya, untuk analisis sensori warna, semua kelompok memiliki warna bening.
Hasil ini tidak sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa nata de coco memiliki
bentuk yang padat, kuat, kokoh, dan memiliki warna yang bening (Santosa et al, 2012).
Warna pada nata yang seharusnya dihasilkan memang tidak bening melainkan sedikit
keruh sebab pada air kelapa yang ditumbuhi Acetobacter xylinum dapat memberikan
warna sedikit keruh akibat fermentasi, gula dan kandungan asam (Astawan & Astawan,
1991). Acetobacter xylinum dapat memberikan kekeruhan karena dapat membentuk
endapan dengan mendegradasi substrat. Selain itu, gula yang beraksi dengan nitrogen
juga dapat menentukan kekeruhan (Rahman, 1992). Kesalahan ini mungkin terjadi
karena pengamatan dilakukan pada wadah yang digunakan untuk fermentasi bukan pada
saat nata setelah dimasak, sehingga nata yang dihasilkan masih terlihat bening.
Untuk pengamatan karakteristik tekstur hanya dilakukan pada kelompok E3 karena
berhasil membentuk nata, sedangkan untuk kelompok lainnya tidak dilakukan uji untuk
tekstur ini. Hasil yang diperoleh kelompok E3 ini adalah sangat kenyal. Hasil ini
menunjukkan bahwa tekstur nata yang dihasilkan sangat kenyal sehingga telah sesuai
dengan pendapat Santosa et al., (2012) bahwa nata de coco memiliki bentuk yang padat,
kuat, kokoh, warna dan kenyal. Menurut Arsatmodjo (1996), kekenyalan nata
ditentukan komponen serat atau selulosa di mana jika semakin banyak selulosa, nata
akan meingkat kekenyalannya dan ketebalannya ikut meningkat. Jika selulosa semakin
tebal, maka air yang menuju rongga-rongga selulosa semakin banyak juga. Akibatnya,
kekenyalan semakin tinggi dan kekenyalan ini akan berbanding dengan lurus terhadap
ketebalan seperti yang diungkapkan oleh Anastasia & Afrianto (2008). Pada pembuatan
nata kali ini dikarenakan setiap kelompok nata yang dibentuk tidak terbentuk secara
sempurna maka untuk uji sensori rasa tidak dilakukan untuk semua kelompok maupun
untuk kelompok E3 yang notabene nata yang dibuat terbentuk, tetapi kurang sempurna.
Dalam proses pembuatan nata di praktikum ini terutama dalam pembuatan media telah
sesuai dengan teori Jagannath et al (2008). Beliau mencantumkan dalam jurnalnya yaitu
the effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of
bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum bahwa dalam memproduksi
nata de coco, sukrosa yang digunakan sebaiknya memiliki konsentrasi 10%. Selain itu,
untuk sumber nitrogen dapat digunakan ammonium sulfat 0,5 %. Untuk kondisi pH
yang terbaik yaitu tercapainya pH 4. Sedangkan pada praktikum, kondisi pH berkisar
antara 4 hingga 5. Menurut teori yang disampaikan Czaja et al. (2004), untuk
menghasilkan selulosa bisa dengan dua cara, yaitu kultur stasioner di mana selulosa
akan terkumpul di permukaan medium (yang digunakan saat praktikum) dan kultur
teragitasi di mana jaringan selulosa akan disintesis di media dengan berbentuk suspensi
berserat, massa tidak beraturan atau pelet.
3. KESIMPULAN
Air kelapa menjadi substrat tepat untuk Acetobacter xylinum karena mengandung
difermentasi.
Konsentrasi gula sukrosa 10%, ammonium sulfat 0,5%, dan pH 4 dapat memberi
Acetobacter xylinum.
Nata yang baik seharusnya tidak beraroma asam.
Pemasakan nata dengan menggunakan gula agar dapat menghasilkan nata dengan
Asisten dosen:
- Wulan Apriliana
- Nies Mayangsari
Lapuz, M.M.; Gallardo, E.G. and Palo, M.A. (1967). The Nata Organism Cultural.
Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of Science
Vol 96.
Mashudi. (1993). Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Waktu
Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Struktur Gel
Nata de coco. Jurusan Teknologi Pandan dan Gizi, Fateta. IPB. Bogor.[ Skripsi]
Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.; Duangchan, H.;
Pramote, T. and Plernchai, T. (2006). Effects of Health Food from Cereal and
Nata De Coco on Serum Lipids in Human. Journal Science Technology
28(Suppl. 1): 23-28.
Misgiyarta. (2007). Teknologi Pembuatan Nata de Coco. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. dan Dwiloka, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi
Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.
Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. (1993).
Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi IPB. Bandung.
Santosa, B.; Ahmad, K.; and Domingus, T. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy
Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de
Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE) Vol. 1:611.
Soekarto. (1985). Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian.
Penerbit Bharata Karya Aksara. Jakarta.
Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel
pada Pembuatan Nata de Coco. UGM. Yogyakarta.[ Skripsi]
Volk, W.A. and M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.
5. LAMPIRAN
5.1.
Perhitungan
Rumus:
0,4
x 100%
2,8
H7 Persentase Lapisan Nata =
= 14,29 %
0,4
x 100%
2,8
H14 Persentase Lapisan Nata =
Kelompok E2
= 14,29 %
0,5
x 100%
2,6
H7 Persentase Lapisan Nata =
= 19,23 %
0,4
x 100%
2,6
H14 Persentase Lapisan Nata =
Kelompok E3
= 15,38 %
0,5
x 100%
1,3
H7 Persentase Lapisan Nata =
= 38,46 %
0,8
x 100%
1,3
H14 Persentase Lapisan Nata =
Kelompok E4
= 61,54 %
0,4
x 100%
3
0,6
x 100%
3
= 13,33 %
= 20 %
0,3
x 100%
2,5
H7 Persentase Lapisan Nata =
= 12%
0,3
x 100%
2,5
H14 Persentase Lapisan Nata =
= 12%
5.2.
5.3.
Laporan Sementara
Abstrak Jurnal