Anda di halaman 1dari 71

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI BIOPROSES

Dosen Pengampu :
Catur Rini W, S. T., M. Sc.
Dr. Megawati, S. T., M. T.

Oleh :
Mahasiswa Program Studi Sarjana I Teknik Kimia 2014

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015/2016

PENGESAHAN LAPORAN

Laporan Praktikum Teknologi Bioproses


Oleh Mahasiswa program studi Sarjana I Teknik Kimia 2014

Telah disetuju oleh Pengampu

Hari

Tanggal

Pengampu

1. Tanda Tangan

Catur Rini W, S. T., M. Sc.


NIP. 198601172012122003

2. Tanda Tangan

Dr. Megawati, S. T., M. T.


NIP. 197211062006042001

PRAKATA
Terlebih dahulu penyusun panjatkan rasa syukur kehadirat Allah yang telah
berkenan memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penyusun, sehingga
penyusunan laporan praktikum mata kuliah Praktikum Teknologi Bioproses ini dapat
penyusun selesaikan dengan waktu yang telah ditentukan.
Laporan Praktikum ini disusun untuk memenuhi sebagai persyaratan guna
penilaian Ujian Akhir Semeter. Berbagai pihak membantu penyusunan dalam
menyusun laporan praktikum ini. Oleh karena itu, prakata ini penyusun mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Catur Rini W., S. T., M. Sc., sebagai dosen pengampu yang memberikan
bimbingan kepada penyusun untuk menyusun laporan ini.
2. Dr. Megawati, S. T., M. T., yang juga menjadi dosen pengampu yang telah
memberikan penyusun bimbingan.
3. Berbagai pihak yang tidak bias kami sebutkan satu per satu.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam
laporan praktikum ini. Untuk itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan laporan ini, semoga laporan ini dapat bermanfaat.
Semarang, 29 Juni 2016
Penulis

DAFTAR ISI

Lembar Cover

ii

Pengesahan Laporan

iii

Prakata
iv
Daftar Isi

Daftar Tabel

vi

Daftar Gambar

vii

BAB I

Pembuatan Media Pertumbuhan Mikroba dan Sterilisasi

BAB II Hidrolisis Pati Enzimatis

BAB III Pembuatan Wine dari Buah-Buahan

BAB IV Pembuatan VCO dengan Proses Fermentasi

BAB V Pembuatan Yoghurt Menggunakan Lactobacillus sp.

BAB VI Pembuatan Nata de Coco Menggunakan Acetobacter sp.

DAFTAR TABEL

Tabel I.1 Data Pengamatan Pembuatan Media Pertumbuhan

11

Tabel II.1 Data Pengamatan Hidrolisis Pati Enzimatis

27

Tabel III.1 Kandungan Gula Buah Blewah

40

Tabel III.2 Kandungan Asam Organik Buah Blewah

40

Tabel III.3 Data Pengamatan Pembuatan Wine Buah Blewah

43

Tabel V.1 Data Pengamatan Pembuatan Yoghurt dari Susu Bubuk

Menggunakan Lactobacillus sp.


Tabel VI.1 Data pengamatan Pembuatan Nata de Coco

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1 Kurva Pertumbuhan Mikroba

Gambar I.2 Skema Kerja Sterilisasi Alat

Gambar I.3 Skema Kerja Media Agar

Gambar I.4 Skema Kerja Inokulasi

10

Gambar I.5 Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme

14

Gambar I.6 Data Hasil Pengamatan Nata de Coco

18

Gambar II.1 Skema Kerja Persiapan Bahan Baku

23

Gambar II.2 Skema Kerja Standarisasi Larutan Fehling

24

Gambar II.3 Skema Kerja Kadar Gula Reduksi Aerob

25

Gambar II.4 Skema Kerja Kadar Gula Reduksi Anaerob

26

Gambar II.5 Data Hasil Pengamatan Hidrolisi Pati Enzimatis

35

Gambar III.1 Skema Kerja Pembuatan Wine dari Buah Blewah

42

Gamabar III.2 Proses Fermentasi Wine Selama 3 Hari

49

Gambar IV.1 Rangkaian Alat Pembuatan VCO dengan Proses Fermentasi

Gambar IV.2 Skema Kerja Pembuatan VCO dengan Proses Fermentasi

Gambar V.1 Rangkaian Alat Pembuatan Yoghurt

Gambar V.2 Skema Kerja Pembuatan Yoghurt

Gambar VI.1 Rangkaian Alat Pembuatan Nata de Coco

Gambar VI.2 Skema Kerja Pembuatan Nata de Coco

BAB I
PEMBUATAN MEDIA PERTUMBUHAN MIKROBA
DAN STERILISASI
A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui cara membuat media pertumbuhan mikroorganisme
2. Mengetahui jenis dan kegunaan media
3. Mengetahui cara mensterilkan media
B. DASAR TEORI
1. Media Pembuatan Mikroba
Mikroorganisme dapat ditumbuhkan dan dikembangkan pada suatu
substrat

yang

disebut

media.

Medium

yang

digunakan

untuk

menumbuhkan dan mengembang biakkan mikroorganisme tersebut harus


sesuai susunannya dengan kebutuhan jenis-jenis mikroorganisme yang
bersangkutan. Beberapa mikroorganisme dapat tumbuh pada medium
yang sangat sederhana yang mengandung garam anargonik ditambah
dengan sumber karbon organik seperti gula, sedangkan mikroorganisme
lainnya memerlukan suatu medium yang sangat kompleks yaitu berupa
medium ditambahkan darah atau bahan-bahan komples lainnya (Volk, dan
Wheeler, 1993).
Akan tetapi yang terpenting dalam medium harus mengandung
nutrien yang merupakan substansi dengan berat molekul rendah dan
mudah larut dalam air. Nutrien ini adalah degradasi dari nutrien dengan
molekul yang kompleks. Nutrien dalam medium harus memenuhi
kebutuhan dasar makhluk hidup, yang meliputi air, karbon, energi,
mineral, dan faktor tumbuh.
Berdasarkan konsistensi atau kepadatannya, medium dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Medium cair (broth / liquid medium)
Contoh: air pepton, nutrient broth, lactose
b. Medium setengah padat (semi solid medium)
Contoh: sim agar, cary dan brain agar
c. Medium padat (solid medium)
Contoh: endo agar, PDA, nutrient agar
Medium semi solid dan solid menggunakan bahan pemadat, seperti
amilum, gelatin, selulosa, dan agar-agar. Untuk medium padat atau
solid dapat digunakan agar-agar dengan kadar 1,5% - 1,8%, pada

medium semi solid kadarnya setengah dari medium padat, sedangkan


pada medium cair tidak diperlukan pemadat (Ani Murniati, 2002).
2. Sterilisasi
Medium dan alat-alat yang diperlukan untuk pembiakan mikroba
harus disterilisasi sebelum diinokulasi. Sterilisasi adalah suatu proses
untuk mematikan semua organisme yang dapat menjadi kontaminan.
Metode yang lazim digunakan untuk mensterilkan media dan alat-alat
dengan pemanasan. Jika panas digunakan bersama-sama dengan uap air
disebut sterilisasi basah (menggunakan autoklaf), sedangkan jika tanpa
uap air disebut sterilisasi kering (menggunakan oven).
Autoklaf merupakan alat yang esensial dalam setiap laboratorium
mikroorganisme. Pada umumnya autoklaf dijalankan pada tekanan 15-26
per ln2 (5 kg/cm2) pada suhu 120oC. Waktu yang diperlukan untuk
sterilisasi bergantung pada sifat bahan yang yang akan disterilisasi, tipe
wadah dan volume bahan. Misalnya 1000 buah tabung reaksi yang
masing-masing berisi 10 ml medium cair dapat disterilkan dalam waktu
10-15 menit pada suhu 120oC, sedangkan jumlah medium yang sama bila
ditempatkan dalam 10 wadah berukuran 1 liter akan membutuhkan waktu
20-30 menit pada suhu yang sama untuk menjamin tercapainya sterilisasi
(Purves dan Sadava, 2003).
3. Inokulasi
Teknik inokulasi adalah merupakan suatu pekerjaan memindahkan
mikroorganisme dari medium lama ke medium yang baru dengan tingkat
ketelitian yang sangat tinggi. Dengan demikian akan diperoleh biakan
mikroorganisme

yang

dapat

digunakan

untuk

pembelajaran

mikroorganisme.
4. Pengamatan Mikroba
Untuk menetukan jumlah mikroba suatu bahan dapat dilakukan
dengan bermacam-macam cara, tergantung dengan bahan dan jenis
mikroba yang ditumbuhkan atau dikembang biakkan. Dalam analisis
mikrobiologi, menghitung jasad renik mikroorganisme suatu sediaan,
harus diperhitungkan sifat-sifat dari bahan yang akan diperiksa, terutama

kelarutan, kemungkinan adanya zat anti mikroba, dan derajat kontaminasi


yang diperkirakan.
Pertumbuhan dan pengembangan mikroorganisme dalam bahan
(makanan), akan menyebabkan perubahan-perubahan tertentu, yaitu
perubahan yang bersifat fisik dan kimiawi, misalnya konsistensi bahan
menjadi lunak, timbul gas atau aroma tertentu dan gas racun yang
membahayakan. Jumlah penyebaran bakteri atau mikroorganisme pada
bahan (makanan) yang sedang mengalami pembusukan sangat bervariasi
jumlahnya dan tidak sama jenis spesiesnya serta tergantung pada varietas,
habitat, susunan kimia, cara penanganan, suhu penyimpanan, dan lain-lain
(Singleton dan Sainsbury, 2006).
Pertumbuhan mikroorganisme yang membentuk koloni dapat
dianggap bahwa setiap koloni yang tumbuh berasal dari satu sel, maka
dengan menghitung jumlah koloni dapat diketahui penyebaran bakteri
yang terdapat pada bahan.
a. Bakteri
Bakteri adalah organisme bersel tunggal terkecil, beberapa
diantaranya memiliki diameter 0.4 mm. Sel berisi massa sitoplasma
dan beberapa bahan inti. Sel dibungkus oleh dinding sel dan pada
beberapa jenis bakteri dinding sel ini dikelilingi oleh lapisan lender
atau kapsula. Berdasarkan bentuk morfologinya, bakteri dibagi
menjadi tiga golongan, yaitu golongan basil, golongan kokus, dan
golongan spiral. Golongan basil serupa dengan bentuk tongkat
pendek, silindris. Golongan kokus yang bentuknya serupa dengan
bola-bola kecil. Golongan spiral, yaitu bakteri yang bengkok atau
berbengkok-bengkok.
b. Jamur
Secara morfologi jamur dapat ditentukan dengan melihat bentuk
strukturnya menggunakan mikroskop. Secara visual jamur dilihat
seperti kapas atau benang berwarna, atau tidak berwarna, yang
disebabkan karena adanya misela dan spora. Sifat kultural jamur dapat
dilihat dari kenampakan pertumbuhannya pada makanan. Pada
pertumbuhan makanan tampak kering, membentuk massa serbuk,
kadang halus dan lunak atau kelihatan basah atau berair.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme


Pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan hidupnya. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroba diantaranya sebagai berikut:
a. Ketersediaan nutrisi
Bahan organik mengandung berbagai senyawa yang di antaranya
terdapat senyawa-senyawa yang tergolong sulit untuk didegradasi
bahkan mungkin terdapat senyawa yang tidak dapat didegradasi secara
biologis.

Senyawa-senyawa

yang

termasuk

sukar

didegradasi

diantaranya adalah lignin, selulosa dan hemiselulosa untuk bahan


nabati, sedangkan untuk bahan hewani colagen dan khitin. Kandungan
senyawa-senyawa tersebut semakin tinggi akan semakin lambat proses
dekomposisinya (Dwyana, 2012).
Jumlah senyawa kompleks seperti karbohidrat, protein dan
lemak yang terdapat di dalam bahan juga akan berpengaruh terhadap
proses dekomposisi. Senyawa kompleks akan lebih lambat mengalami
proses dekomposisi dibanding dengan senyawa yang lebih sederhana
seperti glukosa, asam amino dan gliserin. Terdapatnya bahan yang
bersifat desinfektan akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Sebaliknya terdapatnya zat nutrisi akan memacu pertumbuhan mikroba
dekomposter.
b. Keasaman atau pH
Mikroorganisme pada umumnya tumbuh dengan baik pada sekitar
pH netral, hanya jenis-jenis osmofilik yang dapat tumbuh pada pH
rendah (asam). Jenis fungi lebih toleran terhadap pH rendah dibanding
dengan bakteri.
c. Kelembaban atau kadar air
Ketersediaan air menjadi syarat mutlak bagi pertumbuhan
mikroorganisme, namun jumlah air yang berlebihan akan menghambat
pertumbuhan bagi mikroba yang bersifat aerob. Jenis fungi lebih toleran
terhadap kondisi kadar air rendah.
d. Suhu
Secara umum mikroba tumbuh baik pada suhu di atas 20 0C dan di
bawah 60oC. Bakteri memiliki toleransi rendah terhadap suhu tinggi
kecuali jenis termofilik, sedangkan kelompok fungi masih dapat
bertahan pada temperatur di atas 70oC.
4

e. Penyinaran
Sinar ultra violet dapat menghambat pertumbuhan mikroba, bahkan
pada intensitas tertentu dapat membunuh mikroba. Jenis bakteri
memiliki toleransi lebih tinggi terhadap sinar. Sedangkan jenis jamur
lebih peka terhadap sinar.
f. Ketersediaan Oksigen
Pada pembahasan jenis mikroba telah diuraikan 3 golongan
mikroba yakni aerob, anaerob dan aerob fakultatif. Pada proses
dekomposisi bahan organik ketersediaan oksigen akan mempengaruhi
produk akhir yang diperoleh. Hal ini disebabkan oleh jenis mikroba
yang dominan aktif pada proses tersebut (Dwyana, 2012).

6. Kurva Pertumbuhan Mikroba

Gambar I. 1 Kurva Pertumbuhan Mikroba


a. Fase Adaptasi (Fase lag)
Fase lag adalah periode penyesuaian pada lingkungan dan lamanya
dapat satu jam hingga beberapa hari. Lama waktu ini bergantung pada
macam bakteri, umur biakan dan nutrien yang terdapat dalam medium
yang disediakan.
b. Fase Perbanyakan (Exponenthial phase)
Fase perbanyakan adalah periode pembiakan yang cepat dan
merupakan periode yang di dalamnya biasanya teramati ciri khas sel
sel yang aktif. Selama fase inilah waktu generasi tetap tak berubah bagi
setiap jenis.
c. Fase Statis (Stationer phase)
Sementara biakan menjadi tua dan mendekati populasi bakteri
maksimum yang dapat ditunjang medium, laju pembiakan berkurang
dan beberapa sel mati. Apabila laju pembiakan sama sama dengan laju
kematian, jumlah keseluruhan bakteri akan tetap. Hal ini dinamakan
fase stasioner.
5

d. Fase Kematian (Death phase)


Beberapa bakteri hanya mampu bertahan beberapa jam selama fase
statis dan akhirnya masuk ke fase kematian, sedangkan ada bakteri yang
mampu bertahan sampai harian bahkan mingguan pada fase statis dan
akhirnya masuk ke fase kematian. Beberapa bakteri bahkan mampu
bertahan sampai puluhan tahun sebelum mati dengan mengubah sel
menjadi spora (Pelczar, 1998).
7. Aspergillus sp.
Aspergillus sp. adalah salah satu jenis mikroorganisme yang
termasuk jamur dan termasuk dalam mikroorganisme eukariotik.
Aspergillus sp. secara mikroskopis dicirikan sebagai hifa bersepta dan
bercabang, kondiofora muncul dari foot cell (miselium yang benkak dan
berdinding tebal) membawa stigma dan akan tumbuh konidia membentuk
rantai berwarna hijau, coklat dan hitam (Srikandi Fardiaz, 1992)
Aspergillus sp. secara makroskopis mempunyai hifa fertil yang
muncul dipermukaan dan hifa vegetatif terdapat dibawah permukaan.
Jamur tumbuh membentuk koloni mold berserabut, smoth, cembung serta
koloni yang kompak berwara hijau kelabu, hijau coklat, hitam dan putih.
Warna koloni dipengaruhi oleh warna spora, misalnya spora warna hitam,
maka koloni hitam. Yang semula berwarna putih tidak tampak lagi
(Srikandi Fardiaz, 1992)
Aspergillus sp. tumbuh cepat pada media SGA+Antibiotik yang
diinkubasi pada suhu 37-40oC, tumbuh sebagai koloni berwarna hijau
kelabu dengan suatu dome ditengah dari konidiofor (Singleton dan
Sainsbury, 2006).

C. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Autoklaf
b. Tabung reaksi
c. Gelas ukur 50 mL
d. Gelas arloji
e. Spatula
f. Mortar
g. Pengaduk kaca
h. Timbangan digital
i. Bunsen
j. Gelas beker 250 mL
k. Kaki tiga
l. Kassa
m. Teko ukur 1L
n. Piring plastik
o. Kawat
p. Kapas dan perban
2. Bahan
a. Air bersih 50 mL
b. Bubuk agar instan 2,5 gram
c. Vitamin B kompleks 0,5 butir
d. Gula pasir 5 gram
e. Bibit Aspergillus sp.

D. SKEMA KERJA
a. Sterilisasi alat

Tabung reaksi
Sterilisasi, T=120oC dan t=15
menit
reaksiSterilisasi
steril
Gambar I. 2 Tabung
Skema Kerja
Alat

b. Pembuatan Media Agar

Air bersih 50 mL

Pemanasan
Air mendidih

Bubuk agar 2,5


gram dan Gula
pasir 5 gram

Pengadukan

Vitamin B 0,5
butir

Pendinginan
Gambar I. 3 Skema Kerja
Pembuatan
Media
agar Media Agar

c. Inokulasi
Kawat
Dibakar
Kawat panas
Pemindahan Aspergillus sp. dari
medium lama ke media agar baru

Gambar
Tabung reaksi
1 I. 4 Skema Kerja Inokulasi
Tabung reaksi 1

E. DATA PENGAMATAN
Tabel I. 1 Data Pengamatan Pembuatan Media Pertumbuhan
No
.
1.

Perlakuan

Pengamatan

5.

Sterilisasi alat dalam autoklaf dalam suhu


120 oC selama 15 menit
Memanaskan 50 ml air dan campurkan
bubuk agar 2,5 gram beserta 5 gram gula
pasir dan 0,5 butir vitamin B kompleks
yang sudah dihaluskan. Kemudian
diaduk-aduk
Menuang media agar ke dalam tabung
reaksi kurang lebih 1/3 volumenya dan
didinginkan pada posisi miring pada
piring
Mengambil bibit Aspergillus niger
dengan cara mengoleskan kawat yang
sudah dipanaskan , lalu memindahkan
Aspergillus niger pada medium agar baru
Hari pertama

6.

Hari keempat

7.

Hari kelima

8.

Hari keenam

2.

3.

4.

Tabung reaksi steril


Larutan berwarna kuning
dan kental

Campuran agar mengeras

Bibit Aspergillus niger


menempel pada medium
agar baru
Bibit Aspergillus
mulai tumbuh
Bibit Aspergillus
bertambah banyak
Bibit Aspergillus
bertambah banyak
Bibit Aspergillus
sama
seperti
sebelumnya

niger
niger
niger
niger
hari

F. PEMBAHASAN
Pada praktikum pembuatan media pertunbuhan mikroba dan sterilisasi,
sterilisasi yang dilakukan adalah sterilisasi alat, yaitu sterilisasi tabung reaksi.
Sterilisasi yang digunakan menggunakan tekanan dan pemanasan tinggi yaitu
dengan menggunakan autoklaf. Prinsip dari autoklaf adalah dengan
menggunakan metode pemanasan dengan uap air (Dwyana, 2012). Alasan
penggunaan autoklaf adalah sifat tabung reaksi yang terbuat dari kaca.
Autoklaf dapat menembus atau mengenai permukaan dalam dari tabung
reaksi tanpa mengalami kerusakan. Suhu pada autoklaf diatur pada 120 0C,
karena pada suhu ini semua mikroorganisme dapat mati. Jika sterilisasi diatur
pada suhu yang lebih tinggi, misalnya pada sterilisasi menggunakan oven,
maka tabung reaksi dapat pecah karena tidak kuat menahan aliran panas
(Srikandi Fardiaz, 1992). Waktu yang diperlukan untuk sterilisasi adalah 15
menit, hal ini sesuai dengan kondisi bahan dan jumlah alat yang di sterilisasi.
Semakin tebal alat atau semakin banyak jumlah alat yang di sterilisasi, maka
semakin

lama

waktu

yang

diperlukan

untuk

membunuh

semua

mikroorganisme yang ada pada alat (Dwyana, 2012).


Pembuatan media pertumbuhan mikroorganisme pada praktikum ini
adalah media agar. Media agar yang dibuat merupakan media padat, hal ini
karena sesuai dengan kondisi hidup Aspergillus sp. yang dapat tumbuh baik
pada media padat (Ani Murniati, 2002). Bahan yang digunkan untuk
pembuatan media adalah air, gula pasir, bubuk agar instan, dan vitamin B.
Bahan yang digunakan merupakan kebutuhan dasar dari mikroorganisme
untuk hidup dan memiliki fungsinya masing-masing. Air digunakan sebagai
pelarut nutrient dan sarana untuk ekskresi. Air yang digunakan adalah air
biasayang direbus sampai mendidih, sehingga kuman dan bakteri yang
menjadi kontaminan mati. Gula pasir digunakan sebagai sumber karbon yang
merupakan sumber energi bagi mikroorganisme. Bubuk agar instan
digunakan sebagai sebagai pemadat media. Vitamin B kompleks digunakan
sebagai sumber mineral yang penting untuk mikroorganisme (Dwijiseputro,
1992).
Hasil pembuatan media adalah cairan agar kental dengan warna kuning.
Warna kuning berasal dari penambahan vitamin B kompleks. Cairan agar

10

yang masih panas dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sudah di


sterilisasi, hal ini karena cairan agar cepat memadat ketika suhunnya
menurun. Cairan agar dimasukkan sebanyak sepertiga dari volume tabung
reaksi dan dimiringkan pada 10-20 derajat pada piring. Hal ini karena untuk
memperluas permukaan cairan agar sehingga mikroorganisme dapat tumbuh
dengan optimal.
Pada praktikum ini, inokulasi dilakukan dengan membakar kawat pada
abi bunsen sampai membentuk bara api menyala. Kemudian dilakukan
pengambilan mikroorganisme dari medium lama ke media baru agar yang
sudah dibuat. Pengolesan kawat pada permukaan media agar secara zig-zag.
Pengolesan secara zig-zag dilakukan agar mikroorganisme dapat terdistribusi
secara merata dipermukaan agar dan lebih mudah di amati. Inokulasi
dilakukan secara cermat dan hati-hati supaya tidak ada kontaminan yang ikut
masuk dan tidak ada mikroorganisme yang jatuh ke tangan. Hasil inokulasi
ditutup dengan menggunaka kapas agar mikroorganisme yang tumbuh pada
media tidak dapat keluar dari tabung reaksi.
Pada praktikum, hasil inokulasi disimpan pada ruangan dengan suhu
kamar dan intensitas cahaya yang cukup rendah. Hal ini karena sesuai dengan
kondisi hidup Aspergillus sp. yang merupakan salah satu jenis jamur.
Aspergillus sp. dapat tumbuh optimum pada suhu 37-40 0C (Singleton dan
Sainsburry,

2006).

Cahaya

yang

ada

pada

ruang

penyimpanan

mikroorganisme merupakan cukup rendah, hal ini karena Aspergillus sp. peka
terhadap sinar matahari secara langsung (Dwyana, 2012).
Pertumbuhan Aspergillus sp. pada hari pertama dalam tahap
penyesuaian, hal ini karena Aspergillus sp. membutuhkan beberapa waktu
dalam proses penyesuaian. Dalam praktikum, dihari pertama pada media agar
sudah terlihat bercak-bercak warna hitam namun dalam jumlah yang sangat
sedikit. Hal ini dikarenakan mikroorganisme dalam tahap penyesuaian diri
ditempat yang baru. Waktu yang diperlukan dalam fase ini selama tiga hari.
Pada hari keempat, bercak-bercak hitam terlihat sangat banyak, hal ini
disebabkan

mikroorganisme

mengalami

fase

pertumbuhan.

Dimana

mikroorganisme dapat tumbuh secara cepat. Pada fase ini pembiakan


mikroorganisme berlangsung secara cepat, sel-sel membelah dan jumlahnya

11

meningkat secara logaritma sesui dengan penambahan waktu (Pelczar, 1998).


Pada hari kelima pertumbuhan mikroorganisme masih berada dalam fase
pertumbuhan, karena ditandai dengan bertambahnya bercak-bercak hitam
pada media. Pada hari keenam, jumlah bercak-bercak hitam pada media
terlihat sama dengan hari sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa
mikroorganisme berada pada fase stasioner, dimana pada fase ini laju
pertumbuhan dengan laju kematian seimbang (Volk dan Wheeler, 1993).
Pertumbuhan mikroorganisme dalam praktikum dapat digambarkan dengan
kurva pertumbuhan mikroorganisme sebagai berikut:
Keterangan:
a. Fase penyesuaian
b. Fase pertumbuhan
c. Fase stasioner

Jumlah mikroorganisme
b
0

t (Hari)
a

Gambar I. 5 Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme


Dari gambar I. 5 dapat dijelaskan bahwa Aspergillus sp. dalam praktikum
mengalami fase penyesuaian selama dua hari. Hal ini karena tidak diketahui
berapa lama mikroorganisme mengalami fase penyesuaian, karena pada hari
kedua dan ketiga tidak dapat di amati karena laboratorium tutup. Pada fase
pertumbuhan selama tiga hari, hal ini dapat di amati ketika hari keempat
jumlah mikroorganisme meningkat dengan tajam. Selanjutnya pada hari
kelima jumlah mikroorganisme terus bertambah dengan di tandainya
bertambahnya bercak-bercak hitam pada media agar. Pada hari keenam
jumlah

mikroorganisme

sama

dengan

sebelumnya,

pada

hari

ini

mikroorganisme berada dalam fase stasioner. Pada hari ketujuh dan


seterusnya tidak dapat di amati dikarenakan terbatasnya waktu dalam

12

praktikum dan praktikum ini dilaksanakan selama enam hari, karena pada hari
ketujuh laboratorium tutup.
Pada praktikum, pertumbuhan mikroorganisme sesuai dengan teori
bahwa mikroorganisme tumbuh mengalami beberapa fase, diantaranya adalah
fase penyesuaian, fase prtumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian. Namun
pada praktikum belum terlihatnya fase kematian.

G. SIMPULAN DAN SARAN


1. Simpulan
a. Pembuatan media petumbuhan mikroorganisme dapat dibuat dengan
media semi padat yaiu dengan menggunakan media agar.
b. Media berfungsi sebagai tempat pertumbuhan mikroorganisme.
c. Mensterilkan alat dilakukan dengan menggunakan metode panas uap
air yaitu dengan menggunakan autoklaf pada suhu 120 0C dan selama
15 menit.
2. Saran
a. Pada saat memasukkan serbuk vitamin B sebaiknya kompr dimatikan
terlebih dahulu, karena vitamin B reaktif terhadap panas.

13

b. Pada saat menuangkan cairan agar segera mungkin mediumnya di


miringkan, karena media agar cepat membeku ketika suhunya turun.

DAFTAR PUSTAKA
Ani Murniati, 2002. Buku Penuntun Praktikum Mikrobiologi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Dwidjoseputro. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Dwyana, dkk. 2012. Penuntun Praktikum Mikrobiologi. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Pelczar, J.M dan Chan, E.C.S. 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi jilid 2.
Terjemahan Hadioetomo, R.S, dkk. Universitas Indonesia. Jakarta
Purves dan Sadava. 2003. Life The Science of Biology 7th Edition. Sinauer
Associates Inc. New York.
Singleton dan Sainsbury. 2006. Dictionary of Microbiology and Molecular
Biology 3rd Edition. John Wiley and Sons. Sussex, England.
Srikandi Fardiaz. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Volk, W. A dan Wheeler. M. F. 1993. Mikrobiologi Dsar Jilid 1 Edisi ke 5.
Erlangga. Jakarta.

14

LAMPIRAN

a.

b.

c.
d.

e.

Gambar I. 6 Data Hasil Pengamatan Pertumbuhan Mikroba

15

Keterangan:
a. Hari ke-0
c. Hari ke-1
e. Hari ke-4

b. Hari ke-5
d. Hari ke-6

BAB II
HIDROLISIS PATI ENZIMATIS
A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Menguraikan amilum menjadis glukosa melalui reaksi hidrolisis dengan
enzim.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hidrolisis enzimatis.
3. Menghitung konsentrasi glukosa yang dihasilkan.
B. DASAR TEORI
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih, tawar, dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama
yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai
produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Pati merupakan komponen
terbesar pada tepung ubi kayu sehingga upaya perbaikan karakteristik tepung
dapat dilakukan melalui perabikan karakteristik patinya. Salah satu metode
untuk memperbaiki karakteristik pati adalah dengan proses pragelatinisasi
parsial (Beni, 2009).
Komponen penting penyusun pati adalah amilosa dan amilopektin. Kedua
komponen ini dapat dikatakan homogen secara kimia, tetapi masih heterogen
dalam ukuran molekul, rantai, susunan dan keacakan rantai cabang. Amilosa
merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan larut dalam air.
Umumnya amilosa menyusun pati 17 21%, terdiri dari satuan glukosa yang
bergabung melalui ikatan -(1,4) D-glukosa. Amilopektin merupakan
komponen pati yang mempunyai rantai cabang, terdiri dari satuan glukosa
yang bergabung melalui ikatan -(1,4) D-glukosa dan -(1,6) D-glukosa.
Tidak seperti amilosa, amilopektin tidak larut dalam air tetapi larut dalam
pelarut organik seperti butanol. Amilopektin merupakan bagian dari pati yang
tidak larut dalam air dan mempunyai berat molekul antara 70.000 sampai satu
juta. Amilopektin dengan iodium memberikan warna ungu hingga merah. Jika
pati dipanaskan dengan asam akan terurai menjadi molekul-molekul yang
lebih kecil secara berurutan dan hasilnya adalah glukosa (Lehninger, 1988).
16

Enzim bekerja dengan cara bereaksi dengan molekul substrat untuk


menghasilkan senyawa intermediat melalui suatu reaksi kimia organik yang
membutuhkan energi aktivasi lebih rendah, sehingga percepatan reaksi kimia
terjadi karena reaksi kimia dengan energi aktivasi lebih tinggi membutuhkan
waktu lebih lama (Winarno, 1992).
Proses hidrolisis enzimatik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: enzim,
ukuran partikel, suhu, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap
bahan baku (volume substrat), dan pengadukan. Enzim yang dapat digunakan
adalah

-amilase,

-amilase,

amiloglukosidase,

glukosa

isomerase,

pullulanase, dan isoamilase. Sebagian besar enzim bekerja secara khas, yang
artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau
reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang
bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim -amilase hanya dapat digunakan pada
proses perombakan pati menjadi glukosa (Winarno, 1992).
Hidrolisa pati merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi
bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana, seperti glukosa. Untuk
memproduksi monosakarida atau gula sederhana, diperlukan hidrolisis dari
polisakarida. Hidrolisis menggunakan air akan berlangsung sangat lama,
sehingga dibutuhkan katalis berupa enzim gluco amylase untuk mempercepat
proses hidrolisis. Gluco amylase ini dihasilkan dari mikroorganisme
Aspergillus niger. Enzim gluco amylase berperan dalam memecah kedua
ikatan glukosid (a-1,4 glukosid dan a-1,6 glukosid) dari pati,oligosakarida
dan dekstrin sehingga dihasilkan glukosa. Enzim gluco amylase hanya aktif
memecah pati yang sudah menjadi gelatin (Ahza,1998).
Reaksi hidrolisis pati berlangsung dua tahap sebagai berikut:
2(C6H10O5)n + H2O C12H22O11 . . . . (1)
C12H22O11 + H2O C6H12O6 . . . . (2)
Pemilihan katalis berupa enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme
dikarenakan mikroorganisme dapat berkembang biak dengan cepat,
pertumbuhannya relatif mudah diatur, enzim yang dihasilkan tinggi serta
ekonomis bila digunakan untuk skala industri. Enzim yang dihasilkan oleh
mikroorganisme lebih stabil dibandingkan enzim sejenis yang dihasilkan oleh
tanaman atau hewan. Selain itu produksi enzim mikroorganisme biasanya

17

lebih mudah dengan prosedur yang lebih sederhana dibandingkan enzim dari
tanaman atau hewan (Poedjiadi,1994).
Pati dapat dihidrolisis dengan asam (non enzimatis) atau dengan enzim
(enzimatis). Hidrolisis nonenzimatis menggunakan asam sebagai katalisnya
seperti HCl. Metode hidrolisis dengan asam membutuhkan pH 1-2, suhu yang
tinggi (150-230C) dan tekanan yang tinggi. Hidrolisis enzimatik dicirikan
oleh laju reaksi yang tinggi, stabilitas yang tinggi melalui aksi denaturasi
pelarut, detergen, enzim proteolitik, penurunan viskositas dari reaksi pada
suhu tinggi, dan lain sebagainya. Kebanyakan hidrolisis enzimatik
menggunakan enzim -amilase dari berbagai sumber yang berbeda
(Kolusheva, 2006).

C. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Timbangan digital
b. Gelas arloji
c. Spatula
d. Pipet tetes
e. Pipet ukur 10 mL
f. Pipet ukur 5 mL
g. Pengaduk kaca
h. Buret
i. Gelas beker 100 mL
j. Gelas beker 250 mL
18

k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.

Erlenmeyer 125 mL
Erlenmeyer 250 mL
Labu takar 25 mL
Labu takar 100 mL
Ball filler
Statif, klem, boss head
Kompor listrik
Indikator universal
Kertas saring
Plat penutup

2. Bahan
a. Glukosa 1,9817 gram
b. Pati 5 gram
c. CuSO4 1,732 gram
d. NaOH 3 gram
e. Natrium Kalium Tartrat 8,65 gram
f. Aquades
g. H2SO4
D. SKEMA KERJA
1. Persiapan Bahan Baku
5 gr amilum

Aquades

100 mL aquades
Dipanaskan

Dilarutkan

Aquades mendidih

Larutan amilum
Dilarutkan

Larutan amilum mendidih


Didinginkan
Larutan amilum dingin

3 gr urea
Dicampur

Aspergillus niger

Larutan campuran amilum


Dicampur
Larutan anaerob

Larutan aerob

Diaduk dengan shaker

Diaduk dengan shaker

Fermentasi

Fermentasi

19

Hidrolisat
anaerob
Hidrolisat aerob
Gambar
II. 1 Skema
Kerja Persiapan Bahan Baku
2. Standarisasi Larutan Fehling

0,5 mL fehling B

0,5 mL fehling A
Dicampur

Campuran fehling

Aquades 10 mL

Dilarutkan
Larutan fehling
Dididihkan
Larutan gula 0,1 M

Larutan fehling mendidih


Titrasi

Larutan merah kecoklatan


dan endapan merah bata
Gambar II. 2 Skema Kerja Standarisasi Larutan Fehling

20

3. Menentukan Kadar Glukosa


a. Hidrolisat Aerob
Hidrolisat aerob
Disaring
100 mL aquades

10 mL Hidrolisat

Diencerkan
Larutan
hidrolisat

Larutan NaOH

Larutan fehling
Dididihkan
Larutan fehling mendidih
Dinetralkan

Titrasi

biru bening
dan
Gambar II. 3 SkemaLarutan
Kerja Kadar
Gula Reduksi
Aerob
Larutan hidrolisat
endapan merah bata

b. Hidrolisat Anaerob
Hidrolisat anaerob
Disaring
100 mL aquades

10 mL Hidrolisat

Diencerkan
21

Larutan hidrolisat
Dinetralkan
Larutan
hidrolisat

Larutan NaOH
Larutan fehling
Dinetralkan
Larutan fehling mendidih
Titrasi
Larutan
biru
pudar
dan Anaerob
Gambar II. 4 Skema Kerja
Kadar
Gula
Reduksi
endapan merah bata

E. DATA PENGAMATAN
1. Hasil Pengamatan
Tabel III. 1 Data Pengamatan Hidrolisis Pati Enzimatis
No
1.

Perlakuan
Pengamatan
Membuat hidrolisat pati
a. Menimbang bubuk pati
sebanyak 5 gr
b. Mencampurkan bubuk pati Larutan bewarna putih
dengan sedikit aquades,
kemudian diaduk hingga
terlaut semua.
c. Memanaskan
100
ml
aquades hingga mendidih.
d. Mencampurkan larutan pati Larutan bewarna putih bening, agak
ke dalam aquades yang kental
mendidih sambil diadukaduk
agar
tidak
menggumpal.
e. Mencampurkan
urea
sebanyak 0.3 gr ke dalam
larutan pati.
f. Larutan pati dibiarkan
hingga dingin.
22

g. Larutan pati yang terbentuk


di bagi 2 ke dalam wadah
gelas
beker
50
ml,
kemudian ke dalam dua
tabung dimasukkan biakan
Aspergillus niger.
h. Memberikan label anaerob
pada gelas beker yang
ditutup rapat dan aerob
pada gelas beker yang
ditutup dengan plastik yang
diberi lubang.
i. Ke dua gelas beker
disimpan selama 7 hari.

2.

3.

Standarisasi larutan fehling


a. Membuat larutan gula 0,1
M
yang
dicampurkan
dengan aquades hingga 50
ml dalam labu takar
b. Larutan gula standar yang
telah dibuat dimasukkan ke
dalam buret 50 ml
c. Mencampurkan 0,5 ml
fehling A dengan 0,5 ml
fehling B serta aquades 10
ml.
d. Melakukan titrasi larutan
fehling dengan larutan
hidrolisat, dengan kondisi
larutan fehling mendidih
dan diguncang-guncangkan
e. Melakukan titrasi sebanyak
2 kali

Larutan bewarna putih, dengan


gumpalan bewarna hitam (biakan
Aspergillus niger)

Setelah 7 hari, larutan pati berubah


bewarna putih keruh dengan bintikbintik hitam (hidrolisat)

Larutan bewarna putih bening

Larutan bewarna putih bening

Laruntan bewarna biru muda

Larutan bewarna merah, terdapat


endapan merah bata.

Titrasi pertama, V larutan glukosa =


1 ml
Titrasi kedua, V larutan glukosa =
0,9 ml

Menentukan kadar gula reduksi


- Aerob
a. 10 ml hidrolisat aerob
diencerkan menjadi 100 ml
Larutan bewarna putih bening
dengan aquades
b. Mengukur pH hidrolisat
aerob dengan indikator
pH=7, netral
23

universal
c. Memasukkan
larutan
hidrolisat aerob ke dalam
buret
d. Mencampurkan 0,5 ml
fehling A dengan 0,5 ml
fehling B serta aquades 10
ml.
e. Melakukan titrasi larutan
fehling dengan larutan
hidrolisat dengan kondisi
larutan fehling mendidih
dan diguncang-guncangkan
f. Melakukan titrasi sebanyak
2 kali
- Anaerob
a. 10 ml hidrolisat anaerob
diencerkan menjadi 100 ml
dengan aquades.
b. Mengukur pH hidrolisat
anaerob dengan indikator
universal.
c. Menambahkan 11 tetes
NaOH ke dalam hidrolisat
anaerob
d. Memasukkan
larutan
hidrolisat anaerob ke dalam
buret.
e. Mencampurkan 0,5 ml
fehling A dengan 0,5 ml
fehling B serta aquades 10
ml.
f. Melakukan titrasi larutan
fehling dengan larutan gula
standar, dengan kondisi
larutan fehling mendidih
dan diguncang-guncangkan
g. Melakukan titrasi sebanyak
2 kali

Larutan bewarna putih bening

Larutan bewarna biru muda

Larutan bewarna
endapan merah bata

biru

dengan

Titrasi pertama, V hidrolisat = 17 ml


Titrasi kedua, V hidrolisat = 16,8 ml

Larutan bewarna putih bening

pH = 5

pH=7, netral

Larutan bewarna putih

Larutan bewarna biru muda

Larutan bewarna biru keruh dengan


endapan merah bata

Titrasi pertama, V hidolisat = 23,3


ml
Titrasi kedua, V hidrolisat = 22,5 ml
2. Analisis Data

24

a. V titran (larutan glukosa) ke 1 = 1 ml


V titran (larutan glukosa) ke 2 = 0,9 ml
1 ml+ 0,9 ml
V1 rata-rata titran
= 0,95 ml
2
Menghitung kosentrasi larutan fehling (M2) :
M1.V1= M2.V2
0,1 M . 0,95 ml = M2 . 11 ml
M2 = 0.0086 M
b. V titran (larutan hidrolisat aerob) ke 1 = 17 ml
V titran (larutan hidrolisat aerob) ke 2 = 16,8 ml
17 ml +16,8 ml
V3 rata-rata titran
= 16,9 ml
2
Menghitung kosentrasi larutan hidrolisat aerob (M3) :
M2.V2 = M3.V3
0,0086 M . 11 ml = M3 . 16,9 ml
M3 = 0.0055 M
c. V titran (larutan hidrolisat anaerob) ke 1 = 23,3 ml
V titran (larutan hidrolisat anaerob) ke 2 = 22,5 ml
23,3 ml +22,5 ml
V4 rata-rata titran
= 22,9 ml
2
Menghitung kosentrasi larutan hidrolisat anaerob (M4) :
M2.V2= M4.V4
0.0086 M . 11 ml = M4 . 22,9 ml
M4 = 0,00413 M

25

F.PEMBAHASAN
Pada Praktikum hidrlisis pati enzimmatis, digunakan amilum yang
dilarutkan dengan aquades, dan ditambahkan dengan fungsi sebagai sumber
nutrisi untuk mikroba yaitu Aspergillus niger agar dapat menghasilkan enzim
glukoamilase, sehingga dapat memecah polisakarida (Pati) menjadi
monosakarida(glukosa) (Beni, 2009). Pada praktikum ini memakai mikroba
dan tidak menggunakan enzim langsung, karena lebih menggunakan mikroba
yang dapat mensekresi enzim (Poedjiadi, 1994).
Larutan amilum diperlukan secara aerob dan anaerob, didiamkan selama
satu minggu, sehingga terjadi proses fermentasi. Pada hidrolisat aerob,
mikroba yang didapat pada wadah lebih banyak dan pada hidrolisat anaerob ,
karena banyak oksigen untuk tumbuhnya mikroba, sehingga enzim yang
dihasilkan lebih banyak pada hidrolisat aerob.
Selanjutnya dilakukan standarisasi dengan larutan fehling. Digunakan
larutan fehling karena untuk mendeteksi adanya gula pereduksi. Pada
standarisasi larutan fehling, campuran fehling dititrasi dengan kondisi
dipanaskan dan digoyangkan, agar gugus aldehid pada glukosa bias dipecah
ikatannya dan bereaksi dengan OH- menghasilkan asam karboksilat. Titrasi
berakhir dengan terbentuknya endapan merah bata, yang menjadi hasil
samping dari pembentukan asam karboksilat. Titrasi dilakukan sebanyak 2
kali agar data yang didapatkan akurat dan dihasilkan konsentrasi dari larutan
fehling.
Untuk menentukan kadar gula reduksi, filtrat dari hidrolisat yang telah
disaring ditambahkan dengan NaOH, agar PHnya netral, Karena jika PHnya
asam tidak terbentuk asam karboksilat apabila PH larutan basa maka
larutannya akan berwarna hijau kecoklatan, dan syarat terjadinya titrasi
pHnya harus netral (Purba, 2009).
Setelah larutan PHnya netral, dimasukkan kedalam buret. Proses titrasi
untuk hidrolisat aerob dan anaerob dilakukan dengan cara yang sama. Dari

26

data yang didapatkan, disimpulkan bahwa data yang didapat sesuai dengan
teori, dimana Aspergillus niger memerlukan oksige yang cukup(aerobik) Dan
suhu optimum 35-37oC untuk Tumbuh(Winarno, 1992), Sehingga konsentrasi
aerob yang dihasilkan lebih besar dari pada yang anaerob.

G. SIMPULAN DAN SARAN


1. Simpulan
a. Pati (Amilum) dapat diurai menjadi glukosa melalui reaksi hidrolisis
dengan enzim glukoamilase yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus
niger.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi hidrolisis pati enzimatis, yaitu
enzim, ukuran partikel, PH, Suhu, Waktu hidrolisis, Perbandingan
cairan terhadap bahan baku (volume substrat) da pengadukan.

27

c. Dan hasil percobaan yang didapatkan konsentrasi gula hidrolisat


anaerob sebesar 0,00413 M dan konsentrasi gula aerob sebesar 0,0055
M.
2. Saran
a. Menambahkan amiluim kedalam aquades secara bertahap, tetes demi
tetes dan diaduk dengan cepat, agak merata.
b. Saat melakukan titrasi, larutan fehling harus dalam keadaan mendidih,
dan dihentikan titrasi bila sudah ada endapan.

DAFTAR PUSTAKA
Ahza, A.B. 1998. Aspek Pengetahuan Material Dan Diversifikasi Produk Sorgum
Sebagai Substitutor Terigu/ Pangan Alternatif. Dalam Laporan Lokakarya
Sehari Prospek Sorgum Sebagai Bahan Substitusi Terigu.
Beni, Hidayat, Kalsum Nurbani, dan Surfiana .2009. Karakterisasi Tepung Ubi
Kayu Modifikasi yang Diproses Menggunakan Metode Pragelatinisasi
Parsial. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian 14 (02), Hal:149.
Kimball, John. 1983. Biologi Edisi Kelima. Reading, MA : Addison-Wesley.
Kolusheva T, Marinova A. 2006. A study of the optimal condition of starch
hidrolisis through thermostable -amilase. J Univ Chem Technol Metal.
42(1):93-96

28

Lehniger, A. 1988. Dasar-Dasar Biokimia Terjemahan Maggy Thenawidjaya.


Erlangga: Jakarta.
Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. UI Press: Jakarta.
Purba, Elida. 2009. Hidrolisis Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta) dan Pati Ubi
Jalar (Impomonea batatas) menjadi Glukosa secara Cold Process dengan
Acid Fungal Amilase dan Glukoamilase. Universitas Lampung, Lampung.
Winarno. 1992. Biofermentase dan Biosintesa Protein. Bandung : PT. Angkasa.

LAMPIRAN

a.
b.

29

c.

Gambar II. 5 Hasil Pengamatan Hidrolisis Pati Enzimatis


Keterangan:
a. Titrasi larutan fehling
b. Titrasi larutan hidrolisat aerob
c. Titrasi larutan hidrolisat anaerob

30

BAB III
PEMBUATAN WINE DARI BUAH BLEWAH
A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mahasiswa dapat mengetahui komposisi gula yang terdapat pada buah
blewah melalui studi literatur.
2. Mahasiswa dapat menghitung yield alkohol yang dihasilkan dari buah
blewah.
3. Mahasiswa dapat membuat wine dari buah-buahan.
B. DASAR TEORI
1. Wine
Produk fermentasi merupakan suatu produk yang dihasilkan
dengan bantuan mikroorganisme atau bakteri yang menguntungkan. Wine
merupakan salah satu produk hasil fermentasi yang dibantu oleh bakteri
asam laktat dalam proses pembuatannya. Produk minuman fermentasi
selain menggunakan anggur sebagai bahan baku dapat juga menggunakan
buah lainnya sebagai bahan baku. Pemilihan bahan baku dan juga
penambahan volume starter yang berbeda-beda dapat menentukan rasa
maupun kualitas dari suatu minuman wine (Jutono, 1972).
Wine dapat diproduksi dari beberapa bahan secara fermentasi
dengan bantuan mikroorganisme, sebagai penghasil enzim zimosa yang
mengkatalis

reaksi

biokimia

pada

perubahan

substrat

organik.

Mikroorganisme yang dapat digunakan untuk fermentasi terdiri dari yeast


(ragi), khamir, jamur, dan bakteri. Mikroorganisme tersebut tidak
mempunyai klorofil, tidak mampu memproduksi makanannya dengan
cara fermentasi, dan menggunakan substrat organik untuk sebagai
makanan (Sudarmadji K., 1989)
2. Fermentasi
Fermentasi adalah suatu

proses

kimia

yang

melibatkan

mikroorganisme sehingga terjadi perubhan secara kimia dari bahan baku


menjadi produk. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula
paling sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol
(C2H5OH ). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh Saccharomyces sp, dan
digunakan pada produksi makanan, namun reaksi fermentasi berbedabeda tergantung bahan dasar yang digunakan. Persamaan reaksi kimianya
yaitu:
31

C6H12O6 Saccharomyces sp 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP . . . (1)


(Energi yang dilepaskan sekitar 180 kJ per mol, yang disimpan dalam
regenerasi dua ATP dari ADP per glukosa) (Winarno, 2004)
Dalam proses fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah:
a. Media
Pada umumnya bahan dasar yang mengandung senyawa organik
terutama glukosa dan pati dapat digunakan sebagai substrat dalam
proses fermentasi.
b. Suhu
Suhu optimum bagi pertumbuhan Saccharomyces cereviseae dan
aktivitasinya adalah 25 -35oC. Suhu memegang peranan penting karena
secara langsung dapat

mempengaruhi aktivitas

Saccharomyces

cereviseae dan secara tidak langsung akan mempengaruhi alkohol yang


dihasilkan.
c. Nutrisi
Selain sumber karbon, Saccharomyces cereviseae juga memerlukan
sumber nitrogen, vitamin dan mineral dalam pertumbuhannya. Pada
umumnya sebagian besar saccharomyces cereviseae memerlukan
vitamin

seperti

biotin

dan

thiamin

yang

diperlukan

untuk

pertumbuhannya. Beberapa mineral juga harus ada untuk pertumbuhan


Saccharomyces cereviseae seperti phospat, kalium, sulfur, dan sejumlah
kecil senyawa besi dan tembaga.
d. pH
pH substrat atau media fermentasi merupakan salah satu faktor
yang menentukan kehidupan saccharomyces cereviseae. Salah satu sifat
saccharomyces

cereviseae

adalah

bahwa

pertumbuhan

dapat

berlangsung dengan baik pada kondisi pH 4-6.


e. Volume starter
Volume starter yang ditambahkan 3-7% dari volume media
fermentasi. Jumlah volume starter tersebut sangat baik dan efektif untuk
fermentasi serta dapat menghasilkan kadar alkohol yang relative tinggi.
Penambahan volume starter yang sesuai pada proses fermentasi adalah
5% dari volume fermentasi. Volume starter yang terlalu sedikit akan
mengakibatkan produktivitas menurun karena menjadi lelah dan
keadaan ini memperbesar terjadinya kontaminasi. Peningkatan volume

32

starter akan mempercepat terjadinya fermentasi terutama bila digunakan


substrat berkadar tinggi. Tetapi jika volume starter berlebihan akan
mengakibatkan hilangnya kemampuan bakteri untuk hidup sehingga
tingkat kematian bakteri sangat tinggi.
f. Waktu fermentasi
Waktu fermentasi yang normal yaitu 2-7 hari, jika waktunya terlalu
cepat, Saccharomyces cerevisiae masih dalam masa pertumbuhan, dan
jika terlalu lama maka bakteri akan mati dan etanol yang dihasilkan
tidak maksimal.
g. Konsentrasi gula
Konsentrasi gula yang cocok adalah 10-18 %, jika konsentrasi
gulanya rendah menyebabkan fermentasi tidak optimal sedangkan
apabila konsentrasi

gulanya

terlalu tinggi akan

menyebabkan

terhambatnya perkembangan Saccharomyces cereviseae (Prescott and


Dunn, 1959)
3. Khamir
Khamir adalah mikroorganisme eukariotik yang
dalam

kingdom

dideskripsikan

fungi,

dengan

1.500 spesies yang

diklasifikasikan
telah

dapat

(diperkirakan 1% dari seluruh spesies fungi). Khamir

merupakan mikroorganisme uniseluler, meskipun beberapa spesies dapat


menjadi multiseluler melalui pembentukan benang dari sel-sel budding
tersambung yang dikenal sebagai hifasemu (pseudohyphae), seperti yang
terlihat pada sebagian besar kapang. Ukuran kapang bervariasi tergantung
spesies, umumnya memiliki diameter 34 m,namun beberapa jenis
khamir dapat mencapai ukuran lebih 40 m. Sebagian besar khamir
bereproduksi secara aseksual dengan mitosis, dan dengan pembelahan sel
asimetris yang disebut budding (Rusdimin, 2003).
Khamir yang paling umum digunakan adalah Saccharomyces
cerevisiae, yang dimanfaatkan untuk produksi anggur, roti, tape, dan
bir sejak ribuan tahun yang silam dalam bentuk ragi. Saccharomyces
cerevisiae dapat mengkonversi karbohidrat menjadi karbondioksida dan
alkohol melalui proses fermentasi, karbondioksida digunakan dalam
proses pembuatan roti (baking) dan alkohol dalam minuman beralkohol
(Rusdimin, 2003).

33

Saccharomyces

cereviseae

lebih

banyak

digunakan

untuk

memproduksi wine secara komersial dibandingkan dengan bakteri dan


jamur. Hal ini disebabkan karena Saccharomyces cereviseae dapat
memproduksi alkohol dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi pada
kadar alkohol yang tinggi. Kadar alkohol yang dihasilkan sebesar 8-20%
pada kondisi optimum. Saccharomyces cereviseae yang bersifat stabil,
tidak berbahaya atau menimbulkan racun, mudah di dapat, dan mudah
dalam pemeliharaan (Sudarmadji K., 1989).
Saccharomyces cereviseae biasa digunakan untuk fermentasi buah
anggur karena khamir jenis ini mempunyai sifat yang dapat mengadakan
fermentasi pada suhu yang agak tinggi yaitu 30C. Selain itu dapat
menghasilkan alkohol cukup tinggi yaitu 1820% (v/v). Mikroorganisme
jenis ini juga mampu memfermentasi beberapa macam gula diantaranya
sukrosa, glukosa, fruktosa, galaktosa, manosa, maltosa, dan maltotriosa
(Fardiaz, 1992).
Saccharomyces cereviseae termasuk mikroorganisme uniseluler,
bersifat nonpatogenik dan nontoksik, sehingga sejak dahulu banyak
digunakan dalam berbagai proses fermentasi seperti pada pembuatan roti
dan alkohol. Saccharomyces cereviseae tahan terhadap kadar gula yang
tinggi dan tetap aktif melakukan aktivitasnya pada suhu 4-32 C.
Saccharomyces sp memerlukan kondisi lingkungan yang cocok untuk
pertumbuhannya, yaitu nutrisi sebagai sumber energi terutama gula, pH
optimum 4-5, dan temperatur optimum 28-30C (Hidayat, 2006).
4. Blewah
Buah yang baik untuk digunakan dalam pembuatan wine apabila
mengandung asam-asam seperti asam tartat, malat dan sitrat. Asam tartat
adalah antioksidan dan menghasilkan rasa asam. Asam malat juga dikenal
sebagai asam buah. Asam sitrat adalah pengawet alami dan juga memberi
rasa asam. Karakteristik dan mutu wine ditentukan oleh komposisi bahan
baku, proses fermentasi, dan perubahan-perubahan yang terjadi baik alami
atau disengaja dalam periode setelah fermentasi selesai (Suharni, 2008).
Buah blewah merupakan salah satu buah yang dapat dijadikan
bahan baku dalam pembuatan wine. Buah blewah setiap 100 gram

34

memiliki kandungan gula sebanyak 7,86 gram. Dimana kandungan gula


tersebut terdiri dari:
Tabel III. 1 Kandungan Gula Buah Blewah
No
1
2
3
4
5

Kandungan
Sukrosa
Glukosa
Fruktosa
Galaktosa
Maltosa

Jumlah (gram)
4,35
1,54
1,87
0,06
0,04

Vitamin A dan vitamin C adalah kandungan utama buah blewah,


yakni sebanyak 61%. Pada buah blewah segar mengandung 15,6 mg/g
asam organik, yang terdiri dari:
Tabel III. 2 Kandungan Asam Organik Buah Blewah
No
1
2
3
4
5
6

Kandungan
Asam oksalat
Asam tartat
Asam sitrat
Asam malat
Asam suksinat
Asam fumarik

Jumlah (gram)
7,56
3,89
2,75
1,23
0,85
0,45

C. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a.
Teko ukur 1L
b.
Saringan plastik
c.
Blender
d.
Timbangan digital
e.
Spatula
f.
Gelas arloji
g.
Botol fermentasi
h.
Sendok
i.
Pisau
2. Bahan
a.
Buah blewah 200 gram
b.
Air mineral 200 mL
c.
Ragi 5 gram
d.
Gula pasir 4 sendok

35

D. SKEMA KERJA

Buah blewah
200 gram

Air 200 mL

Diblender
Sari buah blewah
Disaring
Ampas

Sari buah blewah

4 sendok gula pasir

Campuran

5 gram ragi

Fermentasi,
t= 3 hari
Wine
Disaring
Wine murni

Ampas

Uji organoleptik
Gambar III. 1 Skema Kerja Pembuatan Wine Buah Blewah

36

E. DATA PENGAMATAN
1. Hasil Pengamatan
Tabel III. 3 Data Pengamatan Pembuatan Wine Buah Blewah
No
1

Perlakuan
Membersihkan buah blewah dan
memisahkan buah dengan bijinya
Menimbang buah blewah
200 gram buah blewah dicampur
dengan 200 mL dan di blender
Sari buah blewah disaring
Sari buah blewah ditambahkan 4
sendok gula pasir dan 5 gram ragi
tape (Saccharomices cereviceae)
dan diaduk merata sampai larut
Fermentasi selama 3 hari

7
8

Menyaring wine yang terbentuk


Uji organoleptic

2
3
4
5

2. Analisis Data
- Massa buah blewah
- Kandungan glukosa/100 gram
-

gram) (USDA, 2010)


Mr glukosa
Mr alkohol
Volume mula-mula
Volume wine terbentuk

Pengamatan
Buah blewah tanpa biji
Buah blewah 200 gram
Didapatkan sari buah blewah
sebanyak 250 mL
Sari buah blewah tanpa ampas
Larutan menjadi keruh

Terbentuk 3 lapisan:
- Lapisan atas: buih
- Lapisan tengah: wine
- Lapisan bawah: endapan
Wine berwarna kuning jernih
- Warna yang dihasilkan kuning
jernih
- Rasa: hambar, sedikit pahit dan
asam.
- Aroma: seperti tape

: 200 gram
: 1,54 gram (1,54 gram x 2 = 3,08
: 180 gram/mol
: 46 gram/mol
: 250 mL
: 150 mL

37

a. Mol glukosa blewah

Massa glukosa
Mr glukosa

3,08 gram
180 gram/mol

= 0,0171 mol
Reaksinya:
m:
r:
s:

C6H12O6
0,0171
0,0171
-

Saccharomices cereviceae

b. Massa alkohol

2C2H5OH + 2CO2 + 2ATP


0,0342
0,0342
0,0342
0,0342

= mol alkohol x Mr alkohol

= 0,0342 mol x 46 gram/mol


= 1,5732 gram
c. Yield alkohol

Massa alkohol
x 100
Massa glukosa

1,5732 gram
x 100
3,08 gram

= 51,08 %
d. Rendemen

Volume wine terbentuk


x 100
Volume mulamula

150 mL
x 100
250 mL

= 60 %

F. PEMBAHASAN
Pada praktikum pembuatan wine dari buah-buahan digunakan buah
blewah, dikarenakan buah blewah memiliki kandungan gula sebanyak 7,86
gram setiap 100 gram dimana kandungan glukosanya adalah 1,54 gram
38

(USDA, 2010). Hal ini memungkinkan buah blewah dapat dijadikan wine
karena kandungan glukosanya cukup tinggi, karena glukosa merupakan bahan
baku dalam pembuatan wine (Hidayat, 2006).
Pada praktikum ini, digunakan ragi roti (Saccharomyces cereviceae) untuk
mengkonversi gula menjadi alkohol dan CO 2. Ragi roti merupakan ragi yang
sering digunakan unuk menfermentasi sari buah menjadi wine. Saccharomyces
cereviceae dapat hidup pada suhu optimum 28-30 0C (Hidayat, 2006).
Saccharomyces cereviceae merupakan mikroorganisme yang dapat tumbuh
dengan baik dalam kondisi aerob maupun anaerob, mikroorganisme ini akan
menfermentasi substrat menjadi gula sangat cepat dan segera dikonversi
menjadi alkohol (Hidayat, 2006).
Pada praktikum ini untuk mendapatkan sari buah blewah di blender dan di
saring. Tujuan dari proses tersebut adalah untuk mempermudah penyaringan
dan untuk medapatkan sari buah dalam jumlah yang tinggi, sedangkan
penyaringan bertujuan agar ampas dari buah tidak ikut bercampur dengan sari
buah dikarenakan dapat menghambat proses fermentasi (Terry, 2011). Sari
buah ditambahkan gula dan ragi untuk dilakukan proses fermentasi. Fungsi
penambahan gula adalah untuk menyediakan nutrisi bagi mikroorganisme
untuk hidup selama proses fermentasi berlangsung (Robert, 1989). Fermentasi
dilakukan dalam botol fermenter yang terisolasi dengan udara luar dikarenakan
fermentasi ini tidak membutuhkan oksigen (anaerob). Untuk mencegah
oksidasi, penutupan pada botol fermenter dilakukan secara isolasi dan
dihubungkan dengan selang menyambung kedalam botol yang berisi dengan
air (Rusdimin, 2003). Fungsi penambahan air ini sebagai indikator untuk
mengetahui adanya aktivitas mikroorganisme. Fermentasi dikatakan berjalan
apabila adanya pelepasan gas CO2 oleh mikroba yang ada pada botol fermentor
dan di alirkan kedalam botol yang berisi dengan air dengan ditandai oleh
adanya gelembung-gelembung air (Suharni, 2008).
Pengamatn pada hari ketiga menunjukan gelembung-gelembung gas atau
CO2 yang dilepaskan berkurang. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya ataupun
habisnya nutrisi yang diberikan, sehingga mikroorganisme dari Saccharomyces
cereviceae mengalami fase kematian (Terry, 2011).

39

Pada praktikum pembuatan wine ini didapatkan hasil 60%. Hasil uji
organoleptik didapatkan wine dengan warna kuning jernih, warna ini berasal dari
warna buah yang digunakan. Aroma yang dihasilkan seperti tape karena hasil
fermentasi menghasilkan alkohol sehingga aroma yang dihasilkan seperti tape
dan rasa yang dihasilkan hambar, sedikit pahit dan asam. Rasa pahit dikarenakan
proses fermentasi yang dilakukan berlangsung lama dan lambat, sehingga
menghasilkan rasa pahit, selain itu suhu rendah akan menyebabkan kepahitan
dibandingkan dengan suhu tinggi (Rusdimin, 2003).
Dari hasil praktikum sesuai dengan teori bahwa buah yang memiliki
kandungan glukosa dapat difermentasi menjadi produk wine. Yield alkohol yang
dihasilkan jika terkonversi sempurna maka yang didapatkan kurang lebih 50% dan
sesuai dengan hasil praktikum. Rendemen yang didapat terlalu sedikit
dimungkinkan karena sari buah masih mengandung banyak buih, sehingga wine
yang dihasilkan hanya 60%.

G. SIMPULAN DAN SARAN


1. Simpulan
a. Komposusi gula yang terdapat pada buah blewah sebanyak 7,86
gram/100 gram, dengan komposisi glukosa 1,54 gram, sukrosa 4,53
gram, fruktosa 1,87 gram, galaktosa 0,06 gram dan maltosa 0,04 gram.
40

b. Yield alkohol yang dihasilkan dari praktikum adalah 51,08% dengan


rendemen 60%
c. Wine dapat dibuat dengan buah blewah yang difermentasi dengan
mengggunakan mikroorganisme Saccharomyces cereviceae.
2. Saran
a. Pastikan saat mengaduk gula dan ragi yang ditambahkan sudah teraduk
secara merata, agar proses fermentasi berlangsung secara sempurna dan
menyeluruh.
b. Pada saat melakukan penyaringan, pastikan wine tersaring sempurna
dengan disaring menggunakan tissue berlapis agar tidak tercampur
dengan ampasnya.

DAFTAR PUSTAKA
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hidayat, N. 2006. Mikrobiologi Industri. Edisi Pertama. Yogyakarta
Jutono. 1972. Dasar-dasar Mikrobiologi Umum. Departemen Mikrobiologi
Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Robert, S dan Endel Karmas. 1989. Evaluasi gizi pada pengolahan bahan pangan.
ITB. Bandung.
Rusdimin. 2003. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Gramedia. Jakarta
Suharni, Theresia Tri. 2008. Mikrobiologi Umum. Penerbit Universitas Atma
Jaya. Yogyakarta.

41

Terry, Leon A. 2011. Health-Promoting Properties of Fruits and Vegetables.


Cranfield University. UK.
USDA (United States Department of Agriculture). 2008. The USDA National
Nutrient Database For Standard Reference. Release 22. United States
Department of Agriculture.
Winarno, Fg. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

LAMPIRAN

42

Gambar III. 2 Proses Fermentasi Wine selama Tiga Hari

43

BAB V
PEMBUATAN YOGHURT DARI SUSU MENGGUNAKAN
Lactobacillus sp.
A.

TUJUAN PRAKTIKUM
1. Membuat yoghurt dari susu bubuk dengan proses fermentasi.
2. Mengetahui prinsip proses fermentasi oleh bakteri pembuatan yoghurt.

B.

DASAR TEORI
Salah satu cara pengolahan dan pengawetan susu yang tertua di dunia
adalah metode pengasaman susu yang dilakukan dengan proses fermentasi.
Susu yang difermentasi dengan menggunakan biakan Lactobacillus
bulgaricus dan Strepcoccus thermopillus, menghasilkan bentuk dan
konsistensi menyerupai pudding yang dikenal dengan nama Yoghurt. Di
indonesia, pengolahan susu menjadi Yoghurt sudah lama dikenal lingkungan
masyarakat

perkotaan,

terutama

masyarakat

yang

lebih

gemar

mengkonsumsi susu olahan. Yoghurt merupakan bahan pangan yang berasal


dari susu sapi dengan bentuk seperti bubur dan es krim hasil koagulasi
protein susu yang mengandung gizi yang cukup tinggi dengan komposisi
nutrisi yang lengkap. Yoghurt memiliki kandungan protein dan kalsium
yang lebih daripada susu segar. (Tim Dosen Praktikum Teknologi Bioproses,
2015)
Streptococcus thermophilus merupakan bakteri gram-positif yang
bersifat anaerob. Streptococcus thermophilus banyak digunakan pada
pembuatan keju, fermentasi makanan. Streptococcus thermophilus memiliki
peran sebagai probiotik, mengurangi gejala intoleransi laktosa dan gangguan
gastrointestinal lainnya. Lactobacillus bulgaricus adalah bakteri yang
membantu dalam proses fermentasi yoghurt. Bakteri ini mengubah laktosa
menjadi asam laktat. Asam ini sekaligus dapat mengawetkan susu dan
mendegradasi laktosa sehingga orang yang toleran terhadap susu murni
dapat

mengkonsumsi

yogurt

tanpa

mendapat

masalah

kesehatan

(Hadiwiyoto, 1983).
Fermentasi susu adalah salah satu bentuk pengolahan susu dengan
melibatkan aktivitas satu atau beberapa spesies mikroorganisme yang
44

dikehendaki. Proses fermentasi tersebut dapat mengubah laktosa menjadi


glukosa dan galaktosa sehingga lebih mudah dicerna (Lehninger dan
Thenawidjaja, 1994).
Susu yang akan difermantasikan harus dipanaskan terlebih dahulu
untuk menurunkan populasi mikroba dalam susu dan memberikan kondisi
yang baik bagi pertumbuhan bibit yoghurt, serta mengurangi kandungan air
dari susu. Proses pembuatan yoghurt dapat lebih cepat selesai bila dilakukan
pada suhu 370C selama 10-24 jam. Cita rasa yang dikehendaki biasanya
ditambahkan buah-buahan, essens dalam susu, sedangkan untuk mencegah
jamur ditambahkan kalium sorbet (Widodo, 2002).
Selama proses fermentasi, komponen susu yang paling berperan
adalah laktosa dan kasein. Terbentuknya asam laktat dari hasil metabolisme
laktosa susu oleh starter bakteri menjadi glukosa atau galaktosa-6- fosfat.
Selanjutnya melalui rantai glikolisis glukosa diubah menjadi asam laktat
melalui siklus Kreb. Dari terbentuknya asam laktat dari hasil fermentasi
laktosa, menyebabkan keasaman susu meningkat atau susu menurun,
sedangakan kasein adalah komponen terbanyak dalam protein susu (Wiitter
dan B.H.Webb, 1970).
Tingkat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik
intern maupun ekstern. Faktor intern meliputi suhu optimum masing-masing
jenis bakteri, sedangkan faktor ekstern, meliputi kondisi lingkungan sekitar
tempat tumbuhnya bakteri. Proses pertumbuhan bakteri starter dalam
pembuatan yogurt, diawali dengan peningkatan laju pertumbuhan
Streptococcus thermophilus memproduksi asam laktat pada pH rendah
untuk mengoptimalkan laju pertumbuhan
sehingga

pada

akhirnya

pertumbuhan

Lactobacillus
Streptococcus

bulgaricus,
thermophilus

berlangsung lambat dan Lactobacillus bulgaricus memproduksi asam laktat


yang menimbulkan penurunan pH (Wiitter dan B.H.Webb, 1970)
Aroma dan rasa yoghurt dipengaruhi oleh karena adanya senyawa
tertentu dalam yoghurt seperti senyawa asetaldehida, diasetil , asam asetat
dan asam-asam lain yang jumlahnya sangat sedikit. Senyawa ini dibentuk
oleh bakteri Streptococcus thermophillus dari laktosa susu, diproduksi juga
oleh beberapa strain bakteri Lactobacillus bulgaricus (Friend dkk, 1985).

45

Bahan-bahan yang terkandung dalam air susu serta kualitas air susu
juga tergantung pada jenis sapi, kepada waktu menyusui, pada musim dan
kepada faktor-faktor lainnya. Pada umumnya bisa diambil hasil rata-rata
sebagai berikut: air susu yang lazim mengandung, 87,25% air, 4,8% laktosa,
3,8% lemak, 2,8% kasein, 0,7 % albumin, 0,65% garam-garaman.
(Dwidjoseputro, 2010)
Air susu tidak bisa bebas 100% dari mikroorganisme, walaupun
dengan alat-alat mesin yang kebersihannya dapat dijamin. Bakteri yang
selalu hampir ada dalam air susu adalah bakteri penghasil asam susu, bakteri
ini kebanyakan dari famili Lactobacteriacae. Dari famili ini, terutama
Streptococus lactis banyak kedapatan dalam jumlah yang besar. Bakteri ini
berkembang biak sangat cepat dalam menguraikan laktosa, tapi pada
temperature 37O sampai 50OC aktivitasnya tidak terlalu besar. Streptococus
lactis yang terlalu banyak menyebabkan air susu lekas mencapai titik
koagulasinya yaitu proteinnya menggumpal (Dwidjoseputro, 2010)

C.

ALAT DAN BAHAN


1. ALAT
a. Panci

b. Kompor gas

c. Pengaduk kayu

d. Gelas arloji

46

e. Termometer

f. Toples plastik

g. Inkubator

h. Saringan plastik

Gambar V.1 Rangkaian Alat Pembuatan Yoghurt

2. BAHAN
a. Susu bubuk 135 gram
b. Air 400 ml
c. Biokul 150 mL.

47

D.

SKEMA KERJA
Air

Susu bubuk
Pemanasan T = 85-90oC
Larutan susu T = 90oC
Pendinginan T = 45oC

Ditambahkan biakan L. bulgaricus dan S. thermophillus

Diaduk

Dimasukkan ke dalam wadah dan ditutup rapat

Diinkubasi selama 6 jam T= 45oC

Yoghurt
Gambar V.2 Skema Kerja Pembuatan Yoghurt

48

E.

HASIL PENGAMATAN

Tabel V.1 Data Pengamatan Pembuatan Yoghurt dari Susu Bubuk mengunakan
Lactobacillus sp
No

Perlakuan

Hasil Pengamatan

1.

400 mL air mendidih + susu bubuk Larutan menjadi homogen dengan


135 gram
sedikit ada gumpalan dibagian atas
dan warna larutan putih

2.

Susu dipanaskan sambil diaduk Volume susu berkurang menjadi 2/3


perlahan secara terus-menerus sampai bagian dari volume awal warna
suhu 90o C
larutan putih.

3.

Campuran didinginkan sampai suhu Campuran menjadi sedikit hangat


45oC

4.

Cmpuran + yoghurt 150 ml dan Warna larutan tetap putih, dengan


diaduk
aroma khas yoghurt rasa strawbery

5.

Larutan susu diinkubasi dengan suhu Larutan susu berubah menjadi


45oC selama 8 jam
yoghurt dengan tekstur seperti
puding yang lembut dengan aroma
khas yoghurt rasa strawberry dan
rasa yoghurt sedikit masam serta
warna yoghurt putih tulang

49

F.

PEMBAHASAN
Untuk praktikum pembuatan yoghurt digunakan bahan utama adalah
susu bubuk. Pembuatan yoghurt ini diawali dengan proses pelarutan susu
skim atau susu bubuk. Susu bubuk dilarutkan dalam air panas yang bersuhu
85oC 90oC. Pemanasan tidak boleh melebihi suhu 90oC karena akan
merusak kandungan protein yang terkandung di dalam susu. Proses ini
disebut pasteurisasi, yang bertujuan membunuh bakteri bakteri jahat
ataupun bakteri- bakteri yang tidak diperlukan di dalam susu. Pasteurisasi
juga dapat digunakan sebagai sebagai denaturasi dan koagulasi protein
whey, sehingga akan meningkatkan tekstru dan viskositas dari yoghurt (Iis,
R., 2007).
Setelah susu larut dalam air panas atau

telah homogeny,proses

selanjutnya yaitu pendinginan dengan cara didiamkan pada suhu ruang


hingga suhu turun mencapai 40oC 45oC. tujuan dari pendinginan ini agar
mendapatkan suhu yang optimum bagi pertumbuhan kultur yoghurt. Karena
bakteri yang digunakan tidak tahan terhadap suhu yang tinggi dan
dikhawatirkan bakteri akan mati.
Lalu proses selanjutnya dilakukan penambahan inoculum. Inoculum
yang dipilih dalam pembuatan yoghurt adalah bakteri Streptococcus
thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus. Pemilihan bakteri tersebut
karena kedua jenis bakteri asam laktat tersebut sangat menguntungkan untuk
memperoleh hasil yoghurt dengan flavor, stabilitas dan konsistensi tekstur
yang baik. Kedua bakteri tersebut digunakan untuk mempercepat
pembentukan asam. Kerjasama dari kedua bakteri tersebut merupakan suatu
simbiosis mutualisme. Dimana pertumbuhan Sterptococcus thermophillus
disimulasi oleh asam asam amino glisin dan histidin yang diproduksi oleh
Lactobacillus bulgaricus. Stimulasi Sterptococcus thermophillus disebabkan
oleh valin, levsin, isoleusin, histidin, metconin, asam glutamate, dan
tripotosan yang diproduksi Lactobacillus bulgaricus dan juga sebaliknya

50

Lactobacillus bulgaricus akan distimulasi oleh asam folat yang diproduksi


oleh Sterptococcus thermophillus (Iis, R. , 2007).
Setelah campuran antara susu dan stater homogeny, kemudian
dimasukkan ke dalam inkubator untuk diinkubasi dengan suhu 45oC, dimana
suhu tersebut adalah suhu yang optimum bagi perkembangan bakteri. Proses
inkubasi dilakukan selama 6 jam dengan wadah tertutup rapat karena proses
fermentasi kali ini bersifat anaerob, yang artinya tidak memerlukan oksigen
dalam proses fermentasi. Pada proses fermentasi akan terjadi hidrolisis
enzimatis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Setelah itu glukosa akan
diuraikan melalui beberapa tahap dekomposisi, sehingga menghasilkan
asam laktat, dengan reaksi sebagai berikut :
Lactobacillu bulgaricus
C12H22O11 + Streptococcus thermophillus

C3H6O3 + CO2

Pada tahap ini belum terjadi perubahan struktur fisik yang signifikan pada
susu yang disebut prafermentasi. Galaktosa tidak akan digunakan selagi
glukosa dan laktosa masih tersedia untuk fermentasi. Oleh karena itu pada
produk yoghurt masih terdapat residu galaktosa. Setelah terjadi penurunan
pH maka gel mulai terbentuk secara bertahap hingga mencapai titik
isoelektrik pH < 7 (asam). Proses ini disebut fermentasi utama. Pada tahap
pembentukan gel dan perubahan viskositas dihasilkan flavor.
Pada praktikum pembuatan yoghurt ini sudah sesuai dengan teori,
dimana yoghurt yang baik adalah yoghurt memiliki tekstur seperti pudding,
berasa masam, dan pH asam serta memiliki aroma yoghurt yang khas
(Widodo, 2002).

51

G.

SIMPULAN DAN SARAN


1. Simpulan
a. Yoghurt dapat dibuat dari susu bubuk dengan bantuan bakteri
Lactobacillus bulgaricus

dan Streptococcus thermopilus

melalui proses fermentasi.


b. Bakteri Lactobacillus bulgaricus
thermopilus

akan

memicu proses

dan

Streptococcus

fermentasi

dari

susu,

mengubah laktosa pada susu menjadi asam laktat.


2. Saran
Pembuatan yogurt harus steril dari alat dan bahannya ketelitian
dalam melihat suhu agar susu tidak rusak sehingga bakteri dapat
berkembang pada medianya.

DAFTAR PUSTAKA

52

Dwidjoseputro. 2010. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.


Friend, B. A. and K. M. Shahani. 1985. Fermented dairy products. In: The
Practice of Biotechnology Current Comodity Products. Perganon
Press, New York.
Hadiwiyoto, S., 1983. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil
Olahannya. Liberty. Yogyakarta.
Iis, Rostini. 2007. Peranan Bakteri Asam Laktat Pada Susu Fermentasi.
Jatinangor : Univesitas Padjajaran
Lehninger dan Thenawidjaja. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta:
Erlangga.
Tim Dosen Praktikum Teknologi Bioproses. 2014. Petunjuk Praktikum
Teknologi Bioproses. Fakultas Teknik Universitas Negeri
Semarang.
Widodo, W. 2002. Bioteknologi Fermentasi Susu. Bioteknologi Universitas
Muhammadiyah Malang. Malang.
Witter, E. O. dan B. H. Webb., 1970. By Product Farm Milk, West Port.
Conecticut, Inc: Modern Dairy Product. Chemical publishing
Company. Inc. New york.

BAB VI
PEMBUATAN NATA DE COCO
MENGGUNAKAN Acetobacter xylinum
A TUJUAN PRAKTIKUM

53

1 Membuat nata dari air kelapa segar.


2 Mengetahui prinsip proses fermentasi oleh bakteri pembuatan
nata.
B DASAR TEORI
Nata berasal dari bahasa Spanyol yaitu nadar yang artinya
berenang, istilah tersebut juga berasal dari bahasa latin yaitu natere
yang artinya terapung. Nata sudah lama populer di Filipina dan
merupakan hidangan yang sangat digemari oleh masyarakatnya. Nata
termasuk makanan rendah kalori sehingga cocok digunakan penderita
diabetes. Nata dapat dibuat dari bahan-bahan seperti: sari kelapa, air
kelapa, sari nanas dan sari buah lainnya.
Nata de coco adalah sejenis makanan fermentasi yang dibuat
dengan bahan dasar air kelapa. Nata tersusun dari senyawa yang
dihasilkan

oleh

bakteri

Acetobacter

xylinum.

Acetobacter

xylinum dapat hidup dalam air kelapa dan juga dalam buah-buahan
yang mengandung glukosa dalam cairan buah nanas, yang kemudian
diubah menjadi selulosa dan dikeluarkan kepermukaan sel. Lapisan
selulosa ini terbentuk selapis demi selapis pada permukaan sari buah,
sehingga akhirnya menebal inilah yang disebut nata.
Acetobacter xylinum adalah bakteri asam asetat, bersifat
aerobik, gram negatif dan berbentuk batang pendek. Dalam medium
cair Acetobacter xylinum membentuk suatu lapisan (massa) yang
dapat mencapai ketebalan. Acetobacter xylinum merupakan bakteri
yang menguntungkan manusia. Artinya dapat digunakan untuk
membuat suatu produk yang bermanfaat bagi manusia. Misalnya
seperti bakteri asam laktat yang menghasilkan yoghurt, asinan dan
lainnya. Acetobacter xylinum dapat hidup pada larutan dengan
derajat keasaman atau kebasaan 3,5-7,5 pH. Namun Acetobacter
xylinum akan lebih tumbuh dengan optimal pada derajat keasaman

54

4,3 pH. Idealnya bakteri Acetobacter xylinum hidup pada suhu 28


31C.
Nata terbentuk dari aktivitas bakteri Acetobacter xylinum
dalam sari buah yang mengandung glukosa yang kemudian diubah
menjadi asam asetat dan benang-benang selulosa. Lama-kelamaan
akan terbentuk suatu massa yang kokoh dan mencapai ketebalan
beberapa sentimeter. Selulosa yang dikeluarkan kedalam media itu
berupa benang-benang yang bersama-sama dengan polisakarida
membentuk jalinan yang terus menebal menjadi lapisan nata. Bakteri
Acetobacter xylinum akan dapat membentuk nata jika ditumbuhkan
dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan karbon (C) dan nitrogen
(N), melalui proses yang terkontrol. Dalam kondisi demikian, bakteri
tersebut akan menghasilkan enzim ekstra seluler yang dapat
menyusun zat gula menjadi ribuan rantai serat atau selulosa. Dari
jutaan renik yang tumbuh pada air kelapa tersebut, akan dihasilkan
jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya Nampak padat
berwarna putih hingga transparan (Misgiyarta, 2007).
Nata yang dihasilkan tentunya bisa beragam kualitasnya.
Kualitas yang baik akan terpenuhi apabila air kelapa yang digunakan
memenuhi standar kualitas bahan nata, dan prosesnya dikendalikan
dengan cara yang benar berdasarkan pada faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum
yang digunakan. Apabila rasio antara karbon dan nitrogen diatur secara
optimal, dan prosesnya terkontrol dengan baik, maka semua cairan
akan berubah menjadi nata tanpa meninggalkan residu sedikitpun.
Air kelapa yang digunakan dalam pembuatan nata harus berasal
dari kelapa yang masak optimal, tidak terlalu tua atau terlalu muda.
Bahan tambahan yang diperlukan oleh bakteri antara lain karbohidrat
sederhana, sumber nitrogen, dan asam asetat. Pada umumnya
senyawa karbohidrat sederhana dapat digunakan sebagai suplemen
pembuatan nata de coco, diantaranya adalah senyawa-senyawa
55

maltosa, sukrosa, laktosa, fruktosa dan manosa. Dari beberapa


senyawa karbohidrat sederhana itu sukrosa merupakan senyawa yang
paling ekonomis digunakan dan paling baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan bibit nata. Adapun dari segi warna yang paling baik
digunakan adalah sukrosa putih (gula rafinasi). Sukrosa coklat akan
mempengaruhi kenampakan nata sehingga kurang menarik.
Air kelapa banyak mengandung zat yang bermanfaat seperti
makronutrien, vitamin, asam amino, berbagai mineral, dan bahkan
hormon pertumbuhan. Pada air kelapa juga terkandung asam amino
dan enzim yaitu asam folat, catalase, dehydrogenase, diastase,
peroxidase, dan RNA polymerase (Putri, 2013)
Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH
atau \meningkatkan keasaman air kelapa. Asam asetat yang baik
adalah asam asetat glasial (99,8%). Asam asetat dengan konsentrasi
rendah dapat digunakan, namun untuk mencapai tingkat keasaman
yang diinginkan yaitu pH 4,5 5,5 dibutuhkan dalam jumlah banyak.
Selain asam asetat, asam-asam organic dan anorganik lain bisa
digunakan. Seperti halnya pembuatan beberapa makanan atau
minuman hasil fermentasi, pembuatan nata juga memerlukan bibit.
Bibit nata de coco disebut starter nata. Bibit nata de coco
merupakan suspensi sel Acetobacter xylinum.
Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

Acetobacter

xylinum

mengalami pertumbuhan adalah nutrisi, sumber karbon, sumber


nitrogen, serta tingkat keasaman media temperature, dan udara
(oksigen). Senyawa karbon yang dibutuhkan dalam fermentasi nata
berasal dari monosakarida dan disakarida. Sumber dari karbon ini yang
paling banyak digunakan adalah gula. Sumber nitrogen yang dapat
digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata dapat
berasal dari nitrogen organik, seperti misalnya protein dan ekstrak
yeast, maupun nitrogen anorganik seperti misalnya ammonium fosfat,
urea, dan ammonium sulfat. Acetobacter xylinum
56

ini sangat

memerlukan oksigen. Sehingga dalam fermentasi tidak perlu ditutup


rapat namun hanya ditutup untuk mencegah kotoran masuk kedalam
media yang dapat mengakibatkan kontaminasi.

C ALAT DAN BAHAN


1 Alat

a Teko ukur 1 liter

b Saringan plastik

d Gelas arloji

e Timbangan

h Baskom

Pengaduk kayu

Ball filler

Baki persegi
empat

m Gelas ukur 50 ml

n inkubator

57

Panci

Spatula

Pipet ukur 10 ml

Indikator
universal

o kompor

Gambar I.1 Rangkaian Alat Pembuatan Nata De Coco


2 Bahan
a Air kelapa segar 1 liter
b Pupuk ZA 0,4 gram
c Gula pasir 30 gram
d Asam asetat glasial 10 ml
e Bibit cair 50 ml
D SKEMA KERJA
Air kelapa segar

Penyaringan
Air kelapa bersih
Pemanasan

Gula pasir

Larutan mendidih
ZA

Pencampuran

CH3COOH

Pengecekan pH larutan

Pendinginan
Larutan dingin
Bibit cair

Pembibitan

Inkubasi

Nata de coco
Gambar VI.2 Skema Kerja Pembuatan Nata De Coco

58

E DATA PENGAMATAN
Tabel VI.1 Data Pengamatan Pembuatan Nata De Coco
No
Perlakuan
Hasil Pengamatan
1 1 liter air kelapa segar disaring.
Air kelapa 1 liter yang
semula
ada
sedikit
kotoran serabut kelapa
menjadi bening.
2 Air kelapa dimasukkan ke dalam panci Campuran air kelapa
dan menambahkan 30 gram gula pasir dengan gula agak keruh.
3 Merebus campuran selama 5 - 10 Campuran menjadi larut.
menit
4 Campuran dituang ke dalam baskom, Campuran dengan pH 4.
dan ditambahkan 0,4 gram pupuk ZA
dan 10 ml asam asetat glasial.
5 Campuran didinginkan pada suhu Campuran
menjadi
ruangan.
dingin.
6 Tuang campuran ke baki.
7 Campuran ditambah dengan 50 ml Tinggi campuran dalam
bibit nata cair secara merata dan baki = 1 cm
diaduk.
8 Campuran yang telah ditambahkan Terbentuk nata de coco
bibit dimasukkan di inkubator selama dengan:
7 hari.
Berat = 720 gram
Tebal = 0,8 cm

59

F PEMBAHASAN
Pada percobaan pembuatan nata de coco digunakan air kelapa
yang telah disaring terlebih dahulu. Tujuan dari peyaringan ini yaitu
untuk memisahkan air kelapa dengan pengotornya, kemudian air
kelapa direbus hingga mendidih agar bakteri-bakteri yang ada pada air
kelapa dapat hilang atau mati. Kemudian ditambahkan gula pasir.
Tujuan dari penambahan gula pasir ini adalah sebagai nutrisi bagi bibit
nata. Setelah itu, campuran tersebut dipindahkan pada baskom dan
ditambahkan pupuk ZA. Penambahan ini bertujuan sebagai sumber
nitrogen bagi bibit nata agar dapat berkembang. Selain itu ditambahan
juga asam asetat glasial. Penambahan asam asetat glasial ini agar pH
dari air kelapa dapat turun dikarenakan bibit nata yaitu Acetobacter
xylinum dapat hidup atau berkembang pada pH asam. Pada
percobaan ini pH dari air kelapa yaitu 4. Setelah penambahan pupuk
ZA dan asam asetat glasial dilakukan pendinginan agar bibit atau
bakteri dapat maksimal dalam membuat nata. Suhu optimal bagi
pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum yaitu berkisar pada suhu
28-31C (Fitria, 2010).
Apabila bakteri Acetobacter xylinum hidup pada suhu kurang
dari 28C, pertumbuhan dari bakteri akan terhambat dan apabila
bakteri hidup pada suhu diatas 31C maka akan mengalami
60

kerusakan, sehingga bakteri tidak dapat memproduksi nata atau tidak


dapat berkembang.
Bakteri Acetobacter xylinum sangat memerlukan oksigen,
sehingga dalam fermentasi tidak ditutup rapat namun hanya ditutup
untuk mencegah kotoran masuk ke dalam media yang dapat
menyebabkan kontaminan (Fitria, 2010).
Sehingga dapat proses fermentasi, loyang atau wadah untuk
pembentukan nata hanya ditutup dengan koran dan diikat dengan
menggunakan tali. Penutupan ini dilakukan agar kontak air kelapa
dengan udara supaya terhambat. Proses fermentasi ini dilakukan
didalam inkubator bertujuan untuk mengurangi intensitas cahaya
matahari dengan air kelapa yang akan difermentasi menjadi nata de
coco. Selain itu agar air kelapa yang telah diberi bibit bakteri bisa
bebas dari guncangan. Getaran dan guncangan dapat menyebabkan
aktivitas bakteri terhambat. Selain itu guncangan dapat menyebabkan
membran atau lapisan nata yang sudah terbentuk bisa rusak
(Rochinta, 2012).
Dari percobaan yang telah dilakukan yaitu lama fermentasi
selama tujuh hari didapatkan nata de coco sebesar 720 gram dengan
ketebalan sebesar 0,8 cm, yang sebelumnya pada saat pemberian
benih/bibit pada air kelapa dengan ketinggian 1 cm. Namun,
didapatkan air kelapa yang belum membentuk nata. Hal ini disebabkan
karena lama fermentasi yang kurang lama, sehingga nata yang
diproduksi belum maksimal.
Waktu yang digunakan dalam pembuatan nata umumnya 2-4
minggu. Minggu ke empat dari waktu fermentasi merupakan waktu
yang maksimal untuk produksi nata. Hal ini berarti apabila fermentasi
lebih dari empat minggu, maka kualitas nata yang diproduksi akan
menurun (Pramesti, 2007).
Sehingga apabila didapatkan nata dengan kadar air yang masih
tinggi dapat disimpulkan bahwa bakteri belum memproduksi nata
61

secara maksimal yang diakibatkan oleh kurang lamanya proses


fermentasi, jadi nata dengan kadar air yang sedikit lebih baik karena
bakteri memproduksi nata secara maksimal.
Hal yang perlu diperhatikan pada percobaan dalam membuat
nata yaitu: air kelapa yang baik adalah yang tidak terlalu tua dan tidak
terlalu muda. Dalam air kelapa tua terkandung minyak dari kelapa yang
dapat menghambat pertumbuhan bibit

Acetobacter

xylinum.

Sebaliknya air kelapa yang masih muda belum mengandung mineral


yang cukup didalamnya, sehingga kurang baik apabila digunakan
sebagai bahan pembuatan nata de coco (Ramadani, 2011).
Dari hasil percobaan pembuatan nata de coco, didapatkan data
sebagai berikut:
Bibit natade coco

= 720 gram
= 720 x 10-3 kg

Volume air kelapa

= 1 liter
= 10-3 m3

Dari data tersebut dapat digunakan untuk mencari % yield.


Rumus untuk mencari % yield yaitu:
Berat nata
x 100
Berat air kelapa

% yield =

Berat air kelapa =

xV

air kelapa yaitu 1018,26 kg/m3 (S.S, 2012)

% yield

720. 103 kg
x 100
( . V ) air kelapa

720.10 kg
x 100
kg
3 3
1018,26 3 .10 m
m

= 70,70%

62

G SIMPULAN DAN SARAN


1 Simpulan
a Nata de coco dibuat dengan bahan baku air kelapa segar yang
tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Dalam percobaan ini
didapatkan nata de coco sebanyak 720 gram dengan ketebalan
0,8 cm dan % yield sebanyak 70,70%.
b Prinsip proses fermentasi oleh bakteri pembuat nata yaitu
bakteri Acetobacter xylinum mengambil glukosa dari larutan
gula dalam air kelapa oleh sel-sel bakteri, kemudian glukosa
tersebut bergabung dengan asam lemak membentuk perkusor
63

pada membran sel. Perkusor ini selanjutnya dikeluarkan dalam


bentuk ekskresi dan bersama enzim mempolimerisasi glukosa
menjadi selulosa diluar sel.
2 Saran
a Pada saat pemberian bibit, pastikan larutan campuran sudah
dalam keadaan suhu yang berkisar 28-30C dikarenakan bakteri
tumbuh optimum pada suhu tersebut. Apabila suhu masih diatas
30C bakteri dapat mengalami kematian.
b Pilihlah kelapa yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda.
c Kelapa yang digunakan diutamakan yang memiliki kandungan
mineral yang cukup.

DAFTAR PUSTAKA

Fitria,

Nurlaila.

2010.

Bakteri

Acetobacter

xylinum.

http://nurlailafitria79.blogspot.com/2010/10/bakteriacetobacter-xylinum/. Diakses pada 31 maret 2015.


Misgiyarta. 2007. Teknologi Pembuatan Nata de Coco. Bogor: Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.

64

Pramesti,

Novita.

2007.

Faktor

Pertumbuhan

Nata.

http://novitapramesti.blogspot.com/2007/05/faktorpertumbuhan-nata. Diakses pada 31 maret 2015.


Putri,

Berta,

Aiqal

Vickry

H,

Henni

Wijayanti

Maharani.

2013.

Pemanfaatan Air Kelapa Sebagai Media Pertumbuhan


Mikroalga Tetraselmis sp. Lampung: FMIPA Universitas Lampung.
Ramadani,

Murniati.

2011.

Air

Kelapa

dan

Manfaatnya.

http://artikelilmu.blogspot.com/2011/09/air-kelapa-danmanfaatnya/. Diakses pada 31 maret 2015.


Rochinta niawati, Diana. 2012 . Pembuatan Nata de Coco. Bandung:
Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Bandung.
S.S, Manjunatha, Raju P.S. 2012. Modelling the Rheological Behavior
of Tender Coconut (Cococs nucifera L) Water and its
Concentrates. India: Departement of Fruits and Vegetables
Technology, Defence Food Research Laboratory.

65

Anda mungkin juga menyukai