Anda di halaman 1dari 5

Dilematis Politik Muhammadiyah

“Dinamika Yang Kompleks”

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia yang


terlahir pada tahun 1912 di Kota Kauman Yogyakarta. Kelahiran Muhammadiyah
dipengaruhi oleh faktor internal, terkait dengan ketidak murniannya ajaran Islam yang masih
tercampur tradisi Hindu, Budha, anismisme dan dinamisme hingga sinkretisme dalam tradisi
keberagamaan Islam masih begitu begitu menonjol.
Kita ketahui, sejak pertama kali lahir Muhammadiyah telah meneguhkan asa dan
tujuannya untuk menjadi wasilah ke-ummat-an yang mencerdaskan, mencerahkan dan
memajukan Agama maupun Negara. Upaya ini merupakan komitmen kecintaan
Muhammadiyah terhadap agenda kemajuan manusia dan bangsa Indonesia yang saat itu
belum menemukan titik nadirnya sebagai bangsa yang terjajah oleh kolonialisme.
Perjuangan Muhammadiyah tidak pernah berhenti mengusahakan pembebasan
tersebut dengan berbagai cara. Begitu banyak langkah taktik yang di lakukan Muhammadiyah
dalam agenda pembebasan dari penjajahan (Kolonialisme) yang memecah belah persatuan
ke-ummat-an (Devide et impera). Konsep umum yang paling dikenal oleh khalayak ialah
keberanian Kyai Ahmad Dahlan untuk terlibat dalam berbagai kelompok intelektual, seperti
Budi Utomo, Persatuan Islam dan lainnya. Bergabung nya Kyai Dahlan dalam perkumpulan
intelektual ini tidak hanya berorientasi pada pemlajaran manajemen, tetapi jauh melampaui
pikiran anggota lainnya, yaitu misi untuk menanggalkan keteladanan sikap, pikiran dan
bahkan tindakan kolaboratif Muslim yang dapat bekerja sama dengan siapapun (Inklusif).
Seperti yang kita ketahui karena upaya dan tujuanya menegakkan Islam yang
berkemajuan dan kemerdekaan bangsa, pastinya Muhammadiyah akan selalu bersinggungan
dengan penjajah. Namun dengan kecerdasannya ia berhasil memanfaatkan institusi-institusi
penjajah dan dijadikannya sebagai penunjang upaya mencerdaskan dan memperbaiki tatanan
masyarakat saat itu. Karena hal itulah dalam sejarahnya Muhammadiyah tak pernah bisa
lepas dari urusan politik. Politik yang dimaksudkan ialah dalam pengertian nilai, bukan
ansich kekuasaan.
Begitulah sejarah perjalanan sikap Kyai Dahlan yang menjadi pijakan politik
Muhammadiyah. Politik yang dipahami dalam dinamika relasi antara paham keagamaan
Muhammadiyah dan realitas politik yang terjadi di jamannya dengan ikut terlibat dalam
merumuskan langkah-langkah penyatuan umat islam lewat sebuah Kongres dan
perkumpulan. Kelahiran Muhammadiyah tidak dikonstruksikan sebagai Organisasi politik
atau partai politik, namun faktanya Muhammadiyah telah memposisikan diri sebagai
“gerakan politik”. Penyebutan ini sebenarnya hanya salah satu dari sekian banyak pelabelan
yang disematkan pada Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri tegas menyebut dirinya
sebagai Gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi munkar, beraqidah Islam yang
ersumber pada al-Qur’an dan Sunah.
Meskipun sudah jelas mengambil posisi menjaga jarak dari politik praktis (netral
aktif). Membicarakan antara relasi Muhammadiyah dan politik tak akan ada habisnya. Sejak
kelahirannya hingga saat ini selalu saja menjadi bahan yang menarik untuk diperbincangkan
dan perbincangan ini biasanya lebih menarik ketika menjelang hingga pasca perhelatan
politik, baik di daerah, nasional, warung kopi hingga di forum-forum resmi Muhammadiyah.
Seperti pemilu legislatif, pemilu presiden dan pemilihan kepala daerah. Perbincangan ini juga
akan semakin hangat bila kenyataan politik menunjukkan tidak cukupnya representasi
keterwakilan Muhammadiyah dalam jabatan politik, mulai dari eksekutif, legislatif maupun
jabatan politik publik lainnya. Hal itu dapat dilihat pada MUKTAMAR Ke-48
Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Kota Surakarta yang telah sukses terlaksana secara damai
dan bermartabat. Muktamar ini berbeda dari sebelumnya, karena salah satu isu yang selalu
muncul pada forum permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah ini ialah bagaimana posisi
dan peran organisasi ini menghadapi Pemilu Serentak 2024.
Kendati relasi dengan politik, Muhammadiyah dipahami dari dua perspektif. Pertama,
Muhammadiyah sebagai organisasi. Kedua, Muhammadiyah sebagai fenomena perorangan.
Sebagai organisasi, Muhammadiyah bukan perkumpulan politik. Karena hal demikian
Penulis akan mencoba menggali sejarah dinamika yang kompleks antara Muhammadiyah dan
politik praktis, yang terbagi ke dalam dua fase, yaitu fase kesadaran individual dan fase
kesadaran institusional antara keep close dan keep distance.
Kesadaran individual
Kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di awal abad ke-20 tidak bisa terlepas
pada pijakan kesadaran pembebasan dari keterbelakangan, penjajahan, dan penetrasi Kristen.
Periode 1912-1971 adalah tahap pembentukan kesadaran individual di kalangan elite,
pengurus, aktivis, warga dan simpatisan Muhammadiyah, yaitu proses pencarian jati diri dan
pergulatan identitas dalam perjuangan politik. Itu dimuali ketika kader mencoba terlibat
dalam perjuangan politik dan bergabungnya sebagian elite ke Sarekat Islam (SI) sebagai jalur
mengembangkan dakwah ke berbagai daerah.
Selanjutnya, Muhammadiyah mengambil sikap untuk keluar dari SI saat terjadi
konflik disiplin partai era 1920-an, sebagian elite Muhammadiyah mendirikan partai baru:
Partai Islam Indonesia (PII), pada 1938. Lalu, terlibat juga dalam pendirian Gabungan Politik
Indonesia (GAPI), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan Masyumi Jepang selama era
pra-kemerdekaan. Setelah kemerdekaan pun, Muhammadiyah tetap melibatkan diri dalam
perjuangan politik dengan menjadi anggota istimewa Masyumi (1945-1958), juga terlibat
dalam pendirian dan perkembangan Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi (1968-1971).
Pada fase ini, kesadaran individual di Muhammadiyah untuk tidak berpolitik praktis
sudah muncul di forum-forum kongres/muktamar maupun di berbagai pertemuan, bahkan
sejak awal pendiriannya. Ahmad Dahlan menolak saran HOS Tjokroaminoto agar statuta
awal Muhammadiyah diarahkan ke gerakan politik. Begitu pula penolakan Ahmad Dahlan
terhadap permintaan Agus Salim, politisi SI, dalam sidang tahunan agar Muhammadiyah
menjadi gerakan politik. Bahkan, ketika Presiden Soeharto meminta Muhammadiyah berubah
menjadi parpol dari pada merehabilitasi Masyumi, sejumlah elite justru menolak, hingga
lahirlah Parmusi sebagai jalan tengah.
Mundurnya Fachrodin (murid Ahmad Dahlan) dari SI akibat dari disiplin partai, serta
berjuang kembali di Muhammadiyah, adalah bentuk kesadaran kader untuk tidak berpolitik
praktis dan menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam terutama bergerak di
bidang pendidikan. Kesadaran individual ini terus muncul dari waktu ke waktu. Hanya saja,
selama fase ini Muhammadiyah belum mengeluarkan keputusan secara resmi organisatoris
untuk menarik diri dari panggung politik praktis.
Kesadaran Institusional
Hampir enam dekade (1912-1971) Muhammadiyah bergulat dalam pergumulan
politik praktis sebagai bagian dari proses pencarian identitas untuk menemukan jati diri. Ini
bukan berarti Muhammadiyah tidak bergerak pada bidang yang lain. Situasi saat itu memang
mengharuskan Muhammadiyah bersinggungan dengan politik praktis. Meski terkesan
menceburkan diri dalam pertarungan politik, namun Muhammadiyah tidak pernah melupakan
garis perjuangan mendasar nya.
Adanya kritik terhadap keterlibatan Mas Mansur di PII, desakan terkait pencabutan
status keanggotaan istimewa Muhammadiyah di Masyumi, dan penolakan awal
Muhammadiyah untuk tidak menandatangani piagam kesepakatan pendirian Parmusi,
menunjukkan bahwa dinamika kritik di internal tetap terjadi. Mundurnya sejumlah tokoh
Muhammadiyah dari SI di era 1920-an dan era 1930-an ketika terjadi disiplin organisasi,
semua itu menunjukkan ada kesadaran individual di kalangan anggota dan kader tentang
tidak perlunya Muhammadiyah secara organisatoris berpolitik praktis. Hanya saja kesadaran
itu belum terlembagakan.
Pasca putus nya hubungan organisatoris antara Muhammadiyah dan Masyumi pada
1958 adalah benih awal dari munculnya kesadaran institusional di Muhammadiyah, yang
mengindikasikan kesadaran yang terlembagakan dan menjadi kesepakatan nasional.
Kesepakatan itulah yang harus diputuskan dalam muktamar sebagai forum permusyawaratan
tertinggi di Muhammadiyah. Akan tetapi, situasi nasional era 1960-an belum memungkinkan
untuk menyatakan secara tegas bahwa Muhammadiyah tidak berpolitik praktis. Apalagi,
meletusnya Gestapu 1965 semakin mengharuskan Muhammadiyah berpolitik praktis
sehingga memiliki fungsi yang sama dengan parpol sebagai kekuatan politik riil dan memiliki
kedudukan di lembaga-lembaga pemerintahan dan parlemen.
Benih-benih kesadaran institusional diperkuat lagi dengan lahirnya Khittah Ponorogo
1969, yakni khittah perjuangan Muhammadiyah yang lahir dan diputuskan dalam Sidang
Tanwir Muhammadiyah 1969 di Kabupaten Ponorogo, Jatim. Secara bahasa, kata khittah
bermakna garis, yang menunjukkan pemahaman tentang garis perjuangan dan garis kebijakan
organisasi. Karena itu, Khittah Ponorogo 1969 dapat dipahami sebagai garis perjuangan dan
garis kebijakan Muhammadiyah.
Salah satu intinya ialah keyakinan Muhammadiyah bahwa gerakan dakwah Islam dan
amar ma’ruf nahi munkar dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur politik kenegaraan
(politik praktis) melalui organisasi politik (partai) dan jalur kemasyarakatan melalui
organisasi nonpartai. Muhammadiyah menegaskan diri sebagai gerakan Islam yang bergerak
di bidang kemasyarakatan. Adapun untuk perjuangan politik praktis, Muhammadiyah
membentuk satu parpol di luar organisasi Muhammadiyah dan tidak memiliki hubungan
organisatoris dengan partai itu. Hanya hubungan ideologis, serta tidak dibenarkan rangkap
jabatan terutama jabatan pimpinan di antara keduanya demi tertib pembagian kerja.
Kendati demikian, Khittah Ponorogo belum bisa diklaim sebagai awal kesadaran
institusional karena masih terlibatnya anggota Muhammadiyah dalam politik praktis di
Parmusi. Meski, dalam perjalanannya, Muhammadiyah dan Parmusi mengalami konflik
yakni kudeta Naroka Cs dan mengambil alih kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo. Itulah
yang membuat Haedar Nashir yakin bahwa pengalaman politik di Masyumi dan Parmusi
memberi pelajaran berharga bahwa Muhammadiyah sejatinya memang tidak bisa
bergandengan dengan kehidupan politik praktis.
Karena itu, muktamar di Ujung Pandang pada 1971 menegaskan jati diri dan identitas
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam yang tidak memiliki hubungan apa pun
dengan kekuatan dan parpol mana pun. Inilah penegasan ikrar Muhammadiyah sebagai
kesadaran institusional, yang pada perkembangan selanjutnya dipegang terus (diperkuat
dengan Khittah Denpasar 2002) hingga muktamar ke-48 di Kota Surakarta pada 2022.
Atas dasar itulah, posisi Muhammadiyah tetap konsisten, tidak terlibat sebagai bagian
dari politik partisan, baik partisan kepada parpol tertentu maupun kepada calon pemimpin
eksekutif tertentu termasuk konglomerat. Di tengah kompleksitas relasi dan politik yang
dinamis itu, Muhammadiyah senantiasa mendukung para kader dan anggotanya yang akan
maju sebagai kandidat di eksekutif maupun legislatif, tanpa harus membawa simbol
organisasi.
Keep Close dan Keep Distance
Itulah gambaran singkat relasi Muhammadiyah dan politik, yang pasang surut dan
pola relasinya tidak statis, tapi sangat dinamis. Tergambar adanya dilema antara menjaga
jarak (keep close) dengan menjaga kedekatan (keep distance). Satu sisi ada keinginan untuk
menjaga jarak dengan semua kekuatan politik, namun di sisi lain terkadang muncul keinginan
untuk menjaga kedekatan yang sama dengan semua kekuatan politik. Pasang surut relasi
Muhammadiyah dengan partai politik, termasuk dengan PAN menggambarkan adanya relasi
yang dilematis.
Secara mormatif sejarah organisatoris, dikeluarkannya SK PP Muhammadiyah Nomor
149 tentang Kebijakan Muhammadiyah terkait konsolidasi organisasi dan Amal Usaha. SK
ini memberi batasan jelas antara Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan dan
PKS/ Tarbiyah yang merupakan gerakan politik. Berikutnya SK PP Muhammadiyah Nomor
101 tentang Ketentuan Jabatan di Lingkungan Persyarikatan yang tidak dapat dirangkap
dengan jabatan lain. Menggambarkan sikap dan posisi politik Muhammadiyah yang
dilematis, untuk tidak menyebut inkonsisten. Satu sisi Muhammadiyah mencoba menegaskan
posisi politiknya dalam kaitan relasi partai politik. Namun di sisi lain, terkadang
Muhammadiyah juga mencoba mendekat dengan kekuasaan politik atau partai politik.
Beberapa kali Muhammadiyah secara kelembagaan misalnya mengadakan temu silaturrahim
dengan para anggota DPR RI dan DPD RI yang dinilai sebagai kader atau setidaknya
mempunyai irisan ideologis maupun biologis dengan Muhammadiyah.
Maka untuk memahami sikap Muhammadiyah yang cenderung ambigu dalam hal
tersebut, kita perlu mendalami case ini sampai pada akarnya. Pertama, pandangan
mainstream di lingkup Muhammadiyah yang menyebut bahwa Islam aldin wa al-dawlah,
Islam adalah agama dan negara, Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa
dipisahkan. Islam tidak berwatak sekuralistik yang memisahkan agama dan negara, tapi
berwatak integralistik. Pandangan ini diperkuat oleh realitas historis bahwa Muhammadiyah
yang lahir jauh sebelum kemerdekaan, mempunyai andil besar dalam kemerdekaan
Indonesia. Sebagai bentuk tanggung jawab, terlebih dalam konteks pergantian kepemimpinan
nasional, Muhammadiyah merasa perlu ikut cawe-cawe. Kedua, bangsa ini, terlebih di
lingkup pimpinan nasional yang terpilih dalam proses politik, utamanya sejak pasca orde
baru, kerap tidak proporsional dalam memposisikan Muhammadiyah sebagai Ormas
keagamaan. Perlakuannya terkadang persis seperti kepada partai politik, yang untuk
memperoleh kuasa politik sebagaimana lazimnya dituntut untuk terlibat dalam politik dukung
mendukung. Sikap yang tidak proporsional ini terkadang membawa Muhammadiyah pada
posisi politik yang terkesan partisan, posisi yang dalam konteks demokrasi hanya pantas
disandang oleh partai politik.

Daftar Referensi

Wildan Nurul Fajar, - (2022) PEMIKIRAN POLITIK MUHAMMADIYAH MENGENAI


NEGARA PANCASILA SEBAGAI DARUL AHDI WA SYAHADAH. S3 thesis, Universitas Pendidikan
Indonesia
Ma'mun Murid Al-Barbasy, - (2017) Muhammadiyah dan Politik: Dilema Antara Keep Close
dan Keep Distance. Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta
Alfian, Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammadiyah terhadap Kolonialisme Belanda,
Jakarta: Al-Wasat, 2010.
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2009.
Hambali, Hamdan, Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2006.

https://muhammadiyahponorogo.or.id/muhammadiyah-dan-politik/
https://m.mediaindonesia.com/opini/539982/muhammadiyah-dan-politik-dinamika-
yang-kompleks
https://m.mediaindonesia.com/opini/596024/muhammadiyah-politik-nilai-dan-
politik-kekuasaan
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/14/muhammadiyah-dan-politik-
kebangsaan
https://umsrappang.ac.id/muhammadiyah-positif-tentang-politik
https://www.umm.ac.id/id/arsip-koran/klikmuco/muhammadiyah-harus-lebih-peka-
politik-tapi-jangan-seperti-partai-politik.html

Anda mungkin juga menyukai