tirto.id - Lebih dari seabad silam ketika Ahmad Dahlan pulang dari Mekkah, Haji
Hasyim menjadi lurah Keraton. Mereka sama-sama tinggal di kampung Kauman,
sebelah barat Keraton Yogyakarta. Di kampung ini gagasan “Islam berkemajuan”
bersemi dan berkembang pada awal abad 20.
Sedari awal Hasyim adalah seorang pendukung gagasan Ahmad Dahlan. Kepada
Dahlan, Hasyim menyerahkan kelima anaknya untuk belajar mengaji: Bagus
Hadikusumo, Fakhruddin, Jasimah, Syuja’, dan Muhammad Zain.
Setelah dewasa, kelima anak Hasyim menjadi sosok penting dalam
pengembangan Muhammadiyahpada era pergerakan di tanah Hindia. Jasimah
merintis 'Aisyiyah—organisasi perempuan di bawah naungan Muhammadiyah;
Syuja’ menjadi salah satu pendiri Penolong Kesengsaraan Umum (PKU)
Muhammadiyah; Fakhruddin mengembangkan jejaring dakwah dan politik; dan
Bagus Hadikusumo adalah salah satu anggota BPUPKI yang mendukung Piagam
Jakarta.
Pada masa awal pendirian Muhammadiyah, Ahmad Dahlan bersama Fakhrudin,
Syuja’, Tamim, Jisyam, Syarkawi, dan Abdul Gani masuk sebagai
anggota Boedi Oetomo—salah satu organisasi modern paling awal di Hindia
Belanda.
Ahmad Faizin Karimi dalam Pemikiran dan Perilaku Politik Kiai Haji Ahmad
Dahlan (2011: 150) menduga, masuknya ketujuh orang itu merupakan salah satu
syarat yang diajukan Boedi Oetomo guna membantu mengurus perizinan badan
hukum Muhammadiyah kepada pemerintah kolonial Belanda.
Namun, Muhammadiyah baru mendapatkan status badan hukum dari Gubernur
Jenderal Belanda melalui surat ketetapan Gouvernement Blesuit No. 81 tertanggal
22 Agustus 1914, atau 21 bulan setelah organisasi ini berdiri.
Fakhruddin belakangan tidak aktif lagi di Boedi Oetomo. Sekitar 1914, ia justru
bergabung dengan Inlandsche Journalisten Bond (IJB), organisasi jurnalis
bumiputera, bersama Mas Marco Kartodikromo. Marco adalah salah satu anak
didik Tirto Adhi Soerjo, pendiri Medan Prijaji, serta salah satu pengurus Sarekat
Islam (SI) Surakarta bersama Samanhudi dan Sosrokurnio.
IJB yang digerakkan oleh pengurus SI Surakarta menerbitkan Doenia
Bergerak. Koran mingguan ini dimodali para pedagang batik di Laweyan dan
Kauman Surakarta.
Sumber : https://tirto.id/kiprah-kh-fakhruddin-putra-lurah-keraton-membesarkan-
muhammadiyah-cArp
18 November 1912
tirto.id - Suatu kali di depan murid-muridnya, K.H. Ahmad Dahlan berucap tegas
dengan nada sedikit kesal. “Kalian sudah hafal surat Al Ma’un, tapi bukan itu yang
saya maksud. Amalkan! Diamalkan, artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya,
saudara-saudara belum mengamalkannya,” lantang sang kiai seperti diungkap
Junus Salam dalam K.H. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya (2009).
“Mulai hari ini,” lanjutnya, “Saudara-saudara pergi berkeliling mencari orang
miskin. Kalau sudah dapat, bawalah pulang. Berilah mereka mandi dengan sabun
yang baik, berilah pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, serta tempat
tidur di rumahmu” (hlm. 149).
Betapa pun bagusnya rencana atau rancangan, mustahil mencapai tujuan jika tidak
diterapkan. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan tidak terlalu banyak mengelaborasi
ayat-ayat al-Qur'an. Kiai ini, menurut Herry Mohammad dalam Tokoh-tokoh Islam
yang Berpengaruh Abad 20 (2006), lebih cenderung mengaplikasikannya langsung
dalam kehidupan melalui amal nyata (hlm. 10).
Itulah yang nantinya dilakukan ulama yang dijuluki "sang pencerah" ini dalam
merintis dan membesarkan Persjarikatan Moehammadijah sejak 18 November
1912. Meski tidak semua orang sepakat dengan gaya perjuangannya yang memang
tidak biasa itu.
Timbul kegelisahan dalam diri Ahmad Dahlan saat kembali dari tanah suci.
Abuddin Nata, dalam Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (2001),
menyatakan bahwa masyarakat muslim di Kauman cenderung bersifat Islam
tradisionalis yang belum bisa memisahkan antara ajaran dan yang bukan. Berbagai
praktik adat atau tradisi kejawen sangat berdampak pada penerapan agama Islam
(hlm. 146).
Sejak kecil, Ahmad Dahlan memang sudah terbiasa dengan lingkungan religius-
kejawen karena Kauman berada di dekat keraton. Banyak praktik tradisi dalam
kategori bid’ah yang sering diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Sebut saja
selamatan, ziarah kubur, bahkan perayaan Sekaten, dan seringkali disertai ritual-
ritual yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Meski pun dalam berbagai praktik tradisi Jawa itu diselipkan misi Islam
sebagaimana yang pernah diterapkan Walisanga di masa lalu, Ahmad Dahlan tetap
saja resah. Dari situlah muncul keinginan untuk berusaha memurnikan Islam,
setidaknya di lingkup tempatnya tinggal.
Ahmad Dahlan sadar, ia tidak bisa langsung menentang tradisi Jawa. Ia juga
mengakui bahwa unsur kejawen telah menjadi bagian dari identitasnya. Kendati
begitu, hal-hal yang menjurus kepada perbuatan musyrik harus diluruskan.
Demi menghindari potensi konflik yang lebih besar, Ahmad Dahlan memakai nalar
untuk menjelaskan kepada orang-orang di lingkungannya. Ia memberi pemahaman
baru tentang beberapa perbuatan yang selama ini dilakukan atas nama tradisi.
Dalam tradisi selamatan (syukuran), misalnya, disarankan kepada masyarakat
untuk tetap melakukannya tanpa harus membebani secara finansial maupun tenaga.
Warga masih bisa menggelar selamatan namun cukup hanya dengan berdoa
bersama saja, tidak perlu memakai sesaji, ubo rampe, dan sejenisnya.
Ahmad Dahlan, seperti diungkap M. Sanusi dalam Kebiasaan-kebiasaan Inspiratif
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asyari: Teladan-teladan Kemuliaan
Hidup (2013), berusaha menyederhanakan praktik-praktik sosial yang dianggap
rumit dan menjadi beban agar bisa tetap dilakukan tanpa mengeluarkan biaya yang
sebenarnya tidak perlu (hlm. 91). Selain itu, tentu untuk menghindari perbuatan
yang diyakininya tidak diajarkan dalam Islam.
Bagi sejarawan Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk
Aksi (2008), pendekatan logika yang diterapkan Ahmad Dahlan cukup berhasil.
Gagasan pembaharuan ini pada dasarnya merupakan rasionalisasi perubahan sosial
dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial, atau dari masyarakat tradisional
ke masyarakat modern (hlm. 450).
Melalui Muhammadiyah, Ahmad Dahlan telah menawarkan jembatan untuk
memperlancar transformasi sosial menuju masyarakat kota yang lebih modern.
Ahmad Dahlan tampaknya memang menggagas Muhammadiyah untuk mencapai
cita-cita semacam itu.
Biar sejarah yang membuktikan apakah Muhammadiyah, pengurus dan umatnya
mampu terus merawat dan melanjutkan cita-cita dan kehendak Ahmad Dahlan,
Sang Pencerah yang mulia itu.
Sumber : https://tirto.id/kiai-dahlan-amp-muhammadiyah-usaha-melumat-
kejumudan-umat-cAcw
Ada dua hal setidaknya yang memicu kerenggangan hubungan Sarekat Islam dan
Muhammadiyah. Keduanya semula juga “mesra” tapi berpisah jalan pada sekitar
tahun 1927.
Cekcok SI dan Muhammadiyah pertama dipicu terkait subsidi pemerintah Hindia
Belanda. Muhammadiyah menerima subsidi itu dengan alasan demi organisasi
sosial. Sebaliknya, SI menuding penerimaan subsidi itu sebagai "sikap kooperatif"
ke kolonial.
Dua organisasi ini bersitegang lagi karena Muhammadiyah menolak keras
terjemahan Alquran karya Tjokroaminoto, yang mengalihbahasakan The Holy
Qur'an karya pendiri Ahmadiyah Lahore, Muhammad Ali, ke dalam bahasa
Melayu. Klimaksnya, pada 1929, SI melakukan disiplin organisasi dengan
meminta anggotanya memilih: Muhammadiyah atau tetap jadi anggota partai itu.
Tjokroaminoto pernah berdalih menerjemahkan The Holy Qur'an sejak 1925 atas
persetujuan dan sepengetahuan pimpinan Muhammadiyah, Fakhruddin dan K.H.
Mas Mansur. Alasan lain Tjokro, karya itu cocok bagi kalangan terpelajar yang
belum banyak tahu soal ajaran Islam.
Ia menggarap terjemahan itu saat berlayar ke Mekkah bareng Mas Mansur untuk
hadir dalam Kongres Islam Dunia pada 1926. Salah satu bagian terjemahan itu
sempat terbit dalam surat kabar Fadjar Asia dan sama sekali tak menuai kritik
hingga digelar Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada 1928.
“Selama kongres Al-Islam, 26-29 Januari 1928, karya itu menerima serangan
sengit dari delegasi Muhammadiyah,” catat Ahmad Najib Burhani dalam artikel
“Sectarian Translation of The Quran in Indonesia, The Case of the
Ahmadiyya” (Jurnal al-Jami'ah Vol. 53, Non. 2, 2015: 260).
Najib menjelaskan delegasi Muhammadiyah menuding pemahaman Muhammad
Ali pada ayat suci dalam The Holy Qur'an memuat metode penafsiran alegoris dan
metaforis yang ditolak mayoritas ulama. Tjokroaminoto juga dikritik “tak memiliki
pengetahuan agama memadai” untuk menerjemahkan Alquran. Sebaliknya, Tjokro
dibela kameradnya di SI, terutama Haji Agus Salim, yang menilai The Holy
Qur'an mendamaikan agama dan sains tanpa terjebak pada materialisme,
rasionalisme, dan mistisisme (Najib Burhani, Jurnal al-Jami'ah, 2015: 261).
Kontroversi “terjemahan atas terjemahan” Alquran ini bahkan melebar ke Mesir.
Mufti kesultanan Sambas, Kalimantan Barat, Syekh Muhammad Basyuni Imran,
sampai meminta fatwa ke bekas gurunya, Rashid Ridha, ulama reformis Mesir,
soal keabsahan The Holy Qur'an.
Moch. Nur Ichwan dalam artikel "Differing Responses to an Ahmadi Translation
and Exegesis The Holy Qur'ân in Egypt and Indonesia" (Jurnal Archipel, volume
62, 2001: 149), mengemukakan bahwa jawaban Rashid Ridha atas pertanyaan
Basyuni dimuat dalam Jurnal al-Manar volume 29 tahun 1928.
Kesimpulan jawaban Rashid Ridha, The Holy Qur`an tak layak beredar di
kalangan muslim, seperti pendapat mayoritas ulama di Mesir dan Suriah.
Alasannya, isinya mengarah ke pembenaran bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
mesias atau al-masih yang diramalkan. Ia menilai karya itu hanya layak untuk
nonmuslim yang ingin mengetahui soal Islam (Nur Ichwan, Jurnal Archipel, 2001:
150).
Adapun Sarekat Islama membentuk forum ulama yang membahas khusus soal
karya terjemahan Tjokroaminoto tersebut. Hasil rapat mereka di Kediri, sekitar
September 1928, mengizinkan Tjokroaminoto melanjutkan penerjemahannya
dengan pengawasan forum ulama. Namun, hingga Tjokro wafat pada 1934, ia
hanya menuntaskan terjemahannya dalam tiga bagian pertama The Holy Qur'an.
Sumber : https://tirto.id/kisah-elite-muhammadiyah-yang-menyeberang-ke-ahmadiyah-
lahore-cArv
"Aktivis Muhammadiyah
Kini Tak Menangkap
Ruh Gerakan Sosial
Dahlan"
Reporter: Agung DH & Dipna Videlia Putsanra | 22 November, 2017 | tirto.id
Munir mengingatkan para kader Muhammadiyah agar berpikiran terbuka sebagaimana 'sang
pencerah' Ahmad Dahlan
"Islam itu harus berpikir produktif, harus berkarya bagi kemanusiaan.
Muhammadiyah bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk kemanusiaan."
tirto.id - Abdul Munir Mulkhan punya perhatian besar terhadap sejarah awal
Muhammadiyah. Ia seorang guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang banyak menulis tentang sepak terjang Ahmad Dahlan dan
Muhammadiyah.
Dari tangan Munir, beberapa karya dilahirkan, di antaranya Pemikiran Kyai Haji
Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam perspektif perubahan
sosial (1990), Islam sejati: Kiai Ahmad Dahlan dan petani
Muhammadiyah (2003), dan Islam kultural Kiai Dahlan: mengembangkan dakwah
dan Muhammadiyah secara cerdas dan maju bersama Kiai Ahmad
Dahlan (2013).
Kami menemui Munir di kediamannya di Perumahan Kementerian Agama
Yogyakarta pada Senin sore, 20 November 2017. Munir berbicara banyak
mengenai spirit Ahmad Dahlan saat mendirikan Muhammadiyah.
Menurut Munir, Ahmad Dahlan digerakkan oleh pemikiran dunia Islam saat itu,
kolonialisme, dan kondisi masyarakat Islam di Hindia Belanda. Dari situ Dahlan
bermimpi mewujudkan masyarakat Islam berkemajuan.
Apa yang mendasari Ahmad Dahlan Mendirikan Muhammadiyah?
Untuk memahami itu, kita mesti melihat konteks sosial budaya pada tahun-tahun
awal abad 20, tahun 1900-an. Bukan hanya Indonesia, tapi dunia Islam yang boleh
disebut sebagai puncak-puncak kenadirannya—seluruh dunia dalam penjajahan.
Pikiran Dahlan pada waktu itu bukan hanya Islam (di) Indonesia tapi dunia.
Sementara ia berada dalam situasi kultural Kerajaan Islam, berada dalam
cengkeraman pemerintah kolonial Belanda.
Aspek lain, kalau orang membaca, bacaan Dahlan mendunia, karena ia baru saja
pulang dari Mekkah, tempat pertemuan bangsa-bangsa Muslim dari seluruh dunia.
Pada saat yang sama sedang terjadi kebangkitan Islam. Itu dipelopori oleh
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dunia Islam sedang bergerak
walaupun berada pada cengkeraman kolonialisme.
Pada aspek satunya lagi, ketika orang membaca ajaran-ajaran Islam, betapa
indahnya, betapa heroiknya, betapa “provokatifnya” agar orang kreatif, agar orang
sukses, peduli sesama.
Jadi, memang [kita] harus [melihatnya] multiaspek dan memberi makna bagaimana
kelahiran Muhammadiyah.
Di sisi lain lagi soal bagaimana orang Islam pada waktu itu. Justru yang
terjadi sebaliknya: saling tidak peduli, saling menyakiti diri sendiri, seperti lari dari
dunia objektifnya. Enggan menerima kenyataan bahwa mereka sedang berada
dalam puncak ketidakberdayaan, kemudian menikmati “penderitaannya”
Mungkin, kalau sekarang agak sulit bagi anak muda melihat masyarakat Islam
pada saat itu. Lari ke kuburan, lari ke kekuatan-kekuatan magis yang dianggap bisa
mengubah, menciptakan kehidupan sehat, sejahtera. Tapi justru hal itu lari dari
keadaan sebenarnya.
Di saat yang sama Kiai Dahlan berada di pusat kekuasaan Islam dan kekuasaan
Belanda, karena berada di lingkungan Keraton. Jadi ada dua hal yang saling
berhadapan di depan matanya.
Seperti tadi saya katakan, ada provokasi ketika dia membaca ayat-ayat suci
Alquran, membaca surat Nabawi. Lalu dia melihat di pusat peradaban saat
itu, Yogya benar-benar sebuah suatu titik lampu di tengah-tengah hutan belantara,
benar-benar kelihatan betul pusat kehidupan itu ada di Yogya, di Keraton itu.
Lantas, ketika keluar dari Keraton, dia melihat masyarakat yang mestinya punya
agama, yang hebat itu, hidup di dalam puncak-puncak penderitaan, kelaparan,
saling menikam, saling bertengkar.
Dia juga belajar bagaimana orang-orang Belanda, orang-orang Katolik, orang
Kristen, mengelola dirinya. Kalau sakit, mereka tidak pergi ke kuburan, tidak pergi
ke pohon beringin. Tapi konsultasi ke dokter, ke rumah sakit. Mereka mengelola
anak-anak kecil mempersiapkan masa depannya dengan sekolah. Semua ini dia
alami karena berada di Yogya.
Dia berontak kepada dirinya sendiri. Bukan karena ingin bersaing dengan Kristen,
tapi justru bagaimana dia mengubah nasibnya dengan jalan kebudayaan. Karena
itu, pekerjaan pertama kali yang dilakukannya adalah melalui pendidikan, santunan
kepada orang-orang yang menderita. Dahlan bahkan membuat pasukan
penanggulangan bencana, semacam Satgas Kebakaran.
Saya bayangkan situasi saat itu chaostic. Di mana-mana ada orang meninggal,
keleleran di tengah jalan karena memang Yogya itu pusat ekonomi, pusat
peradaban, tempat paling aman, sehingga Yogya menjadi tumpuan, tempat
pelarian. Tapi kemudian orang enggak dapat apa-apa di Yogya.
Kalau saya bayangkan, banyak orang kemudian meninggal di jalan, pengemis yang
kemudian telantar di jalan
Maka, dalam sejarah, meski saya enggak menemukan dokumennya sampai
sekarang, yang sering saya sebut legenda, adalah tentang pengajian Al-
Ma'un. Kasarnya, harusnya orang Islam itu peduli sesama, saling membantu, tapi
mengapa orang Islam salat tetapi enggak peduli terhadap sesama? Kalau begitu
semua orang ini pendusta. Mengabdi kepada Tuhan tapi membiarkan orang lain
sengsara. Itu diulang-ulang dalam pengajian Al-Ma'un.
Waktu itu Kiai Dahlan jadi pusat perhatian karena orang ini aneh, wong ngaji kok
ngurusi orang-orang yang menderita, ngaji kok kemudian bertanya apa yang kamu
lakukan untuk orang yang menderita. Sehingga orang yang datang kepadanya
datang dari mana-mana, karena aneh pemikirannya, tidak sesuai dengan tradisi
zamannya.
Singkat cerita, mulailah dia mendirikan apa yang dikenal dengan sekolahan, tapi
jangan dibayangkan sekolahan itu ada gedungnya. Sekolahan itu di rumahnya.
Dikenallah kemudian, karena banyak orang menderita, muncullah gagasan untuk
mengumpulkan anak-anak yang keleleran itu.
Orang datang dari mana-mana, dari Magelang, Purworejo, Purwokerto, karena apa
yang disampaikan Kiai Dahlan berbeda dengan model-model pengajian di
masyarakat.
Sampailah apa yang diberikan Kiai Dahlan menarik minat kalangan elite, orang-
orang yang berpendidikan, yang kaya. Dia terlibat dalam Sarekat Islam yang lahir
terlebih dahulu. Lalu Boedi Oetomo dan macam-macam—kumpulan orang
pergerakan, orang-orang pribumi yang lebih berorientasi pada politik, sebagian
didasarkan pada rasa kemanusiaan.
Mereka melihat Kiai Dahlan menarik, tidak seperti dulu yang namanya khotbah itu
tidak dimengerti karena pakai bahasa Arab; sementara Kiai Dahlan berbeda.
Di dalam dinamika itulah kemudian ada suatu gagasan untuk disusun dalam
organisasi. Singkat cerita, diberilah nama Muhammadiyah.
Karena sifatnya gerakan kebudayaan, pertama-tama bukan menempatkan diri
sebagai gerakan yang “melawan penjajahan”. Ini karena memang awalnya gerakan
penyadaran—enlightenment.
Dalam kisah-kisah awal itu, sampailah kemudian orang mendengar ada organisasi
yang ketuanya disebut presiden. Ini, kan, menimbulkan pertanyaan.
Maka, diberilah penjelasan-penjelasan. Bahkan penghulu Keraton yang tadinya
kurang mendukung, jadi mengerti maksudnya.
Singkat cerita, Ahmad Dahlan mengajukan izin ke pemerintah Hindia Belanda.
Surat itu diajukan seperti yang diperingati sekarang: 18 November 1912. Tapi
izin itu baru keluar dua tahun kemudian.
Dulu anggotanya ada tiga macam. Pertama, yang disebut anggota biasa—ya
seperti saya, Pak Haedar Nashir (Ketua PP Muhammadiyah 2015-2020), Pak
Yunahar Ilyas (Wakil Ketua Umum MUI Pusat 2015-2020). Itu anggota biasa,
orang-orang Islam yang mempunyai komitmen, setuju terhadap
tujuanMuhammadiyah.
Kedua adalah anggota istimewa: siapa saja, bangsa siapa saja, agama apa saja,
sepanjang orang itu punya jasa besar terhadap Muhammadiyah; mereka diberi
kartu anggota Muhammadiyah. Tetapi orang ini beda, tidak boleh dipilih dan tidak
boleh memilih.
Ketiga disebut anggota donatur: siapa saja, agama apa saja, yang memberi bantuan
donasi pada Muhammadiyah tiap bulan, dia boleh menjadi anggota
Muhammadiyah, tetapi dia tidak boleh memilih dan tidak boleh dipilih.
Kembali ke masa awal pendirian Muhammadiyah, pada waktu itu masih tidak
lazim mendirikan gerombolan-gerombolan, atau kalau sekarang disebut ranting.
Dulu Muhammadiyah hanya di Yogyakarta, kemudian melebar di Hindia Belanda,
di daerah di bawah kekuasaan Belanda.
Yang dikerjakan itu sekolah. Waktu itu aneh. Orang Islam kok sekolah, apalagi
pakai bangku. Itu luar biasa. Bagi masyarakat itu aneh.
“Islam kok koyo ngono, kafir itu, niru orang Belanda.”
Di saat yang sama, Muhammadiyah mendirikan panti asuhan, rumah sakit—waktu
itu namanya poliklinik—didirikan tahun 1923. Saat itu Kiai Dahlan sudah
meninggal.
Kemudian Sukarno tertarik pada pemikiran-pemikiran Kiai Dahlan, atau dalam
bahasa Muhammadiyah sekarang, "Islam yang berkemajuan." Boedi Oetomo juga
tertarik pada Muhammadiyah.
Ini kok Islam tapi ngurusi orang-orang yang menderita, berdasarkan welas asih?
Kalau Anda baca buku saya yang diterbitkan Kompas tahun 2010, Kiai
Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan, yang namanya etika
welas asih itu isi pidato Dr. Sutomo.
Dulu yang namanya mencari ilmu itu ya orang datang ke guru. Kiai Dahlan enggak
begitu. Dia jalan; gurukeliling. Sering saya lukiskan seperti tukang jamu, tukang
obat. Datang ke mana-mana ke banyak orang, lalu disampaikanlah ajaran-ajaran
Islam. Waktu itu juga dikritik habis-habisan karena melecehkan ulama karena
dituduh "ngecer agama."
Terakhir, saya kira, setelah didirikan PKU, akronim dari Penolong Kesengsaraan
Umum, siapa saja kalau memang menderita harus ditolong, maka muncullah yang
namanya asas PKU.
Muhammadiyah itu berjuang, bekerja, menolong, mendidik, mengobati; bukan
dengan maksud mengubah agama yang bukan Islam jadi Islam, yang bukan Islam
Muhammadiyah jadi Muhammadiyah—bukan begitu. Semua dilakukan
Muhammadiyah semata-mata demi kemanusiaan, berdasarkan ajaran Islam. Itu
yang namanya asas PKU
Ahmad Dahlan juga mendorong perempuan yang dulunya macak, masak,
manak harus keluar rumah, untuk bekerja, mencari ilmu. Itu yang kemudian berdiri
secara resmi 'Aisyiyah pada 1917.
Begitulah kira-kira suasana awal [sejarah] Muhammadiyah.
Tentu yang sebenarnya jauh lebih kaya, lebih detail, lebih rumit dari sekadar cerita
saya. Dan tidak terlalu tepat kalau kelahiran Muhammadiyah itu untuk melawan
Kristenisasi. Tapi justru Kiai Dahlan belajar pada orang-orang Kristen.
Jadi betapa revolusionernya pemikiran-pemikiran Kiai Dahlan karena melawan
arus tradisi yang berkembang di masyarakat.
Jadi kalau bisa disederhanakan, Kiai Dahlan ini punya bayangan sebuah
tatanan baru dalam masyarakat Islam?
Tatanan baru karena memang tidak sesuai dari yang ada di masyarakat. Itu bukan
baru, tapi itulah Islam. Tapi waktu itu sesuatu yang baru. Misalnya, Kiai Dahlan-
lah yang memulai ceramah-ceramah dengan bahasa Jawa.
Membumikan Islam?
Iya. Waktu itu dianggap melecehkan Islam karena Alquran di-bahasa Jawa-kan.
Bagi Dahlan, ini gimana kitab suci yang jadi pedoman, kok, tidak dimengerti
banyak orang? Guru keliling itulah yang menjadi bibit kawit yang tidak ada di
negara-negara Islam lain.
Pada awal berdiri, Kiai Dahlan jadi anggota Boedi Oetomo, apakah ini upaya
Muhammadiyah untuk dibantu mendapatkan izin dari kolonial?
Ini yang secara logis saya tidak punya dokumennya, seolah-olah Boedi Oetomo
tidak penting; bukan begitu. Tapi Kiai Dahlan itu yang ditarik sana-sini dan Kiai
Dahlan juga tertarik. Di tengah pergaulan dengan Boedi Oetomo itulah muncul
gagasan untuk membuat organisasi.
Pengalaman organisasi Boedi Oetomo ini yang menjadi inspirasi untuk gagasan
kebersatuan dalam organisasi. Jadi, bukan sekadar masuk Boedi Oetomo untuk
mempermudah izin.
Kalau gagasan tatanan baru pemikiran-pemikiran organisasi pada abad itu,
apa yang paling membedakan dari Kiai Dahlan?
Pencerahannya, enlightenment. Itu yang tidak ada di Boedi Oetomo dan organisasi
lain. Ini gerakan bawah, mengumpulkan orang-orang yang menderita, lalu
kemudian disadarkan.
Tapi Muhammadiyah sendiri berangkat dari golongan elite?
Iya, tapi kemudian yang digarap adalah orang-orang bawah. Ini yang tidak ada di
Sarekat Islam, tidak ada di Boedi Oetomo. Orang-orang yang kudisan, korengan,
kan, enggak diopeni oleh yang lain, tapi diopeni [ditolong] oleh Kiai Dahlan.
Pendirian Muhammadiyah cenderung didasarkan pada gerakan Wahabi atau
kondisi sosial saat itu?
Waktu itu bukan hanya Wahabi. Saya sering melukiskan Kiai Dahlan itu berbeda
dari Abduh. Abduh tidak punya ratusan rumah sakit. Walaupun memang Abduh
memberikan inspirasi pada kita. Walaupun saya juga mengkritik pada aktivis
Muhammadiyah sekarang karena tidak menangkap ruhnya gerakan sosial Dahlan.
Sehingga yang ditangkap itu mendirikan sekolah, lalu mendirikan rumah sakit—ya
itu bagus. Tapi sekolah itu mendorong perubahan apa? Itu yang tidak ditangkap
pada pengelola-pengelola sekolahan.
Kemudian rumah sakit itu mendorong perubahan apa? Karena ini kepedulian kok
kepada mereka-mereka yang gagal sehat itu. Dulu itu gratis. Tentu saya bukan
menolak rumah sakit berbayar, tapi spiritnya itu, loh.
Kiai Suja’ ya yang mengembangkan?
Iya, yang kemudian mengorganisir adalah Kiai Suja’, tapi idenya, kan, dari Kiai
Dahlan.
Jadi Kiai Dahlan menggarap pendidikan, kesehatan, karena tidak digarap
organisasi lain?
Kalau tidak disentuh organisasi lain, ya memang tidak ada dulu organisasi Islam
selain Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama belum, Persatuan Islam juga belum,
Sarekat Dagang Islam di kalangan elite. Soal pendidikan ini kunci untuk mengubah
cara pandang. Islam itu harus berpikir produktif, harus berkarya bagi kemanusiaan.
Berkali-kali saya mengatakan, Muhammadiyah itu bukan untuk dirinya sendiri,
tapi untuk kemanusiaan.
Maka saya juga mengkritik tujuan pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak
kader—itu tidak bisa, itu omong kosong. Wong yang masuk itu orang macam-
macam, kok, lalu masuk lima tahun lalu jadi kader. Enggak. Tujuan yang terutama
itu manusia yang baik, Muslim yang baik, lalu sebagian kecil jadi Muhammadiyah
yang baik. Sebab, kalau [untuk tujuan] kader itu ya gagal semua.
Dulu pernah jadi perdebatan apakah Muhammadiyah itu organisasi kader atau
organisasi massa? Kalau dalam perdebatan itu, ya organisasi Muhammadiyah
adalah organisasi kader: mencetak orang-orang—yang dalam sebuah dokumen itu
disebutkan sebagai anggota Muhammadiyah—di manapun berada harus bisa
mengubah masyarakat tanpa harus menggunakan embel-embel Muhammadiyah.
Nah, kalau begitu, berarti organisasi kader.
Tadi Anda bilang, Muhammadiyah lebih cenderung gerakan kebudayaan,
tapi di awal pendirian, Muhammadiyah tidak bisa lepas dari politik kolonial,
terutama misalnya, Kiai Dahlan juga pernah terlibat di Sarekat Islam?
Memang kita bisa memperdebatkan apa maknanya, mungkin lebih pas kalau
disebut kooperatif, walaupun tidak sesederhana itu. Jadi, kalau kita melawan begitu
besarnya Belanda dan di belakang itu ada kolonialisme, kapitalisme, tidak hanya di
Indonesia tapi dunia, maka jalan yang ditempuh adalah kooperatif.
Menggunakan kekuasaan Belanda untuk mengubah kesadaran baru—yang dalam
kampanye dengan Jokowi dulu saya katakan, "Muhammadiyah itu sebetulnya
menciptkan infrastruktur kebangsaan". Orang lalu sadar berorganisasi, orang lalu
sadar tujuan hidupnya, sadar bagaimana orang harus bersatu, bergotong-royong.
Mengapa begitu? Karena Muhammadiyah lebih dulu ada daripada gerakan-gerakan
yang lain
Pada momentum apa terjadi perubahan gerakan kultural ke arah politik di
Muhammadiyah?
Tentu sekali lagi penjelasan itu harus memilih, karena tidak semuanya dapat
memilih. Itu dimulai ketika dibentuknya Majelis Tarjih yang memulai gerakan
kebudayaan, tapi ditangkap kemudian sebagai gerakan Fikih. Fikih itu hukum,
hukum itu politik. Saya punya dokumennya, yang Anda bisa baca, sesungguhnya
itu didirikan Majelis Tarjih untuk mendamaikan pertengkaran antara orang-orang
Islam yang berkaitan dengan bagaimana laku agama.
Muhammadiyah itu menempatkan diri sebagai saudara tua. Saya curiga, Jepang
baca itu jadi menempatkan diri sebagai saudara tua, begitu dulu. Jadi bukan
gerakan Fikih. Baru tahun 1930-an dan 1935-an itu jadi gerakan Fikih yang
sebetulnya diperbarui oleh Muhammadiyah: Majelis Tarjih diubah lalu dibentuk
delapan divisi.
Bersamaan itu ada gerakan kemerdekaan. Itu ada di disertasi saya yang diterbitkan
Galang Press. (Marhaenis Muhammadiyah, 2010)
Embrio gerakan politik Muhammadiyah paling kentara pada kepemimpinan
Kiai Ibrahim?
Saya tidak terlalu banyak membaca Kiai Ibrahim, tapi kalau kekuasaan itu
menggunakan politik ya sejak Kiai Dahlan. Misalnya, Kiai Dahlan mengusulkan
kepada pemerintah agar di tempat-tempat umum didirikan musala. Dulu mencari
Musala itu susahnya bukan main.
Lalu dia usul pada pemerintah Hindia Belanda, kalau memeriksa orang mati, bila
perempuan, ya harus dokter perempuan. Tapi bagaimana menangkap upaya-upaya
politik ini dilembagakan? Nah, sekali lagi saya tidak terlalu banyak membaca soal
Kiai Ibrahim.
Mungkin saya hanya melihat begini: Bersamaan Indonesia bergerak mencapai
kemerdekaannya, sehingga kesadaran politik jadi kesadaran para aktivis
pergerakan, termasuk Muhammadiyah, kemudian bergabung ke Masyumi; hanya
Muhammadiyah tetap pada gerakannya. Dan itu jauh sebelum kemerdekaan
terjadi.
Lalu ada istilah politik praktis. Itu kemudian dipercayakan kepada Masyumi.
Sehingga Muhammadiyah jadi anggota istimewa Masyumi. Itu yang saya kritik
sekarang. Karena Muhammadiyah jadi tidak jelas sikap politiknya. Karena
bersumber pada dokumen lama yang diterbitkan sebelum Masyumi bubar, itu
menjelang pemilu pertama yang namanya Mukadimah Anggaran Dasar, bersamaan
keterlibatan Ki Bagus Hadikusumo di dalam menyusun UUD 45.
Jadi, gerakan Muhammadiyah ada dua sisi: politik yang diserahkan kepada
Masyumi; dan gerakan dakwah yang sekarang ini. Namun, ini belum diperbarui.
Usul saya: ini harus diredefinisi supaya “kerja politik” Muhammadiyah jadi jelas.
Tidak seperti sekarang. Di satu sisi pengin kekuasaan, di sisi lain anti-kekuasaan—
kan, jadi lucu.
Tapi ya terserah generasi muda Muhammadiyah bagaimana menangkap zaman.
Kan saya sudah tua, saya sudah 72 tahun sekarang.
Ada perubahan enggak dari Muhammadiyah setelah Ahmad
Dahlan meninggal?
Banyak sekali. Tadi pernah saya sampaikan, misalnya bagaimana Muhammadiyah
menghadapi tradisi? Tidak sekasar sekarang. Itu sudah saya tulis di Museum
Kebangkitan Nasional ketika memperingati 20 Mei 2016. Kiai Dahlan dulu
mengubah tradisi gugon tuhon tidak langsung face a face tapi lewat penyadaran,
lewat pendidikan; Muhammadiyah tidak kemudian bertabrakan dengan tradisi
Itu kemudian juga dikritik oleh Kuntowijoyo: “Muhammadiyah itu gerakan
kebudayaan tanpa kebudayaan”.
Muhammadiyah itu, kalau kritik Kuntowijoyo, seolah-olah mematikan tradisi tapi
enggak menciptakan tradisi baru. Jadi, kami memimpin bersama Buya (Syafi'i
Ma'arif) mengembangkan dakwah kultural. Tapi kemudian ditolak, seolah-olah
Muhammadiyah itu mengadopsi tradisi. Tujuan kami bagaimana masyarakat
menyadari dirinya sendiri, membawa dirinya sendiri berpikiran terbuka. Itu yang
berangkali patut dicatat dalam peringatan Milad Muhammadiyah ke-105 tahun ini.
Jadi ini penyadaran. Gerakan kebudayaan itu penyadaran. Tidak struktural.
Sehingga kesannya Muhammadiyah itu anti-seni, anti-tradisi. Dulu pakaian
Muhammadiyah itu Jawa, justru yang di luar Muhammadiyah itu ke-arab-arab-an,
pakai sorban. Muhammadiyah tu justru Jawa, karena memang gerakan kebudayaan
tadi.
Sumber : https://tirto.id/aktivis-muhammadiyah-kini-tak-menangkap-ruh%C2%A0gerakan-
sosial-dahlan-cArH