Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA adalah
seorang ulama, sejarawan, sastrawan dan juga politikus yang sangat terkenal di Indonesia.
Buya HAMKA juga seorang pembelajar yang otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Hamka pernah
ditunjuk sebagai menteri agama dan juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Hamka lahir di
desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta,
24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.
Hamka juga diberikan sebutan Buya yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal
dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang
merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada
tahun 1906. Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil HAMKA dipenuhi
gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum
muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam,
tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Putra HAMKA bernama H.
Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah
Yusuf Hamka chiine yang masuk Islam.
HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan.
Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di
Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957-
1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan
Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke
Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul
Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi
Islam di Tanah Air.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh
Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali,
melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian
meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah
Indonesia.
HAMKA aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti
pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid’ah, tarekat dan
kebatinan sesat di Padan g Panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang
Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929 HAMKA mendirikan pusat latihan
pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah
di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di
Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada
tahun 1946. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
AKTIVITAS POLITIK HAMKA
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai
politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya
penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan
di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional,
Indonesia.
Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi
pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran HAMKA sering
bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran
nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di
Konstituante, HAMKA menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat
tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam
Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian besar anggota
Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir
ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Sukarno pada 1959. Masyumi
kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA
tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika Sukarno wafat, justru HAMKA
yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan
sikap HAMKA. “Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan,
namun HAMKA tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan
persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno adalah seorang muslim.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena
dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang
merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat sebagai
anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji
Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya
adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut
ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah
Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama.
Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap keras HAMKA
kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya.
Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat
itu pula HAMKA memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.
AKTIVITAS SASTRA HAMKA
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan,
penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah
akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada
tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau
menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi
editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen.
Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada 1950, ia mendapat kesempatan
untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis
beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di
Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman
yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat
perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura. Setelah itu
HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena
menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
AKTIVITAS KEAGAMAAN
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total
berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji
Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik
Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi
ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.
HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata
keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman atau
cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam.
Ada satu yang sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya memegang prinsip
yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu
sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada zamam pemerintah Soekarno, HAMKA
berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu
membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja,
HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka,
wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang
dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Sukarno karena menerbitkan tulisan Bung
Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam
terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi
disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA lebih banyak diisi dengan kuliah
subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
WAFATNYA HAMKA
Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya
masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima
sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di
seantero Nusantara, ter masuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
PENGHARGAAN
Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor
Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari
Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pengeran
Wiroguno dari pemerintah Indonesia
Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya Prof.
Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya HAMKA
menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau
imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan
keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.
Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA Tafsir Al-Quran 30 juz itu
salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya HAMKA semasa hidupnya. Tafsir
tersebut dimulainya tahun 1960.
HAMKA meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang
kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah
(Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi
Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf
Modern).
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908. Beliau
STA masih keturunan keluarga kerajaan. Ibunya, Puti Samiah adalah seorang Minangkabau
yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara. Puti Samiah merupakan
keturunan Rajo Putih, salah seorang raja Kesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan
Lingga Pura di Natal. Ayahnya, Raden Alisyahbana yang bergelar Sutan Arbi, adalah seorang
guru.
STA menikah dengan tiga orang istri serta dikaruniai sembilan orang putra dan putri. Istri
pertamanya adalah Raden Ajeng Rohani Daha (menikah tahun 1929 dan wafat pada tahun
1935) yang masih berkerabat dengan STA. Dari R.A Rohani Daha, STA dikaruniai tiga orang
anak yaitu Samiati Alisjahbana, Iskandar Alisjahbana, dan Sofjan Alisjahbana. Tahun 1941,
STA menikah dengan Raden Roro Sugiarti (wafat tahun 1952) dan dikaruniai dua orang anak
yaitu Mirta Alisjahbana dan Sri Artaria Alisjahbana. Dengan istri terakhirnya, Dr. Margaret
Axer (menikah 1953 dan wafat 1994), STA dikaruniai empat orang anak, yaitu Tamalia
Alisjahbana, Marita Alisjahbana, Marga Alisjahbana, dan Mario Alisjahbana. STA sangat
menghormati wanita, ia mengatakan bahwa wanita adalah motor penggerak dan pendukung
Kweekschool, Bukittinggi. Kemudian dia meneruskan HKS di Bandung (1928), meraih Mr.
dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari Universitas
Kariernya beraneka ragam dari bidang sastra, bahasa, dan kesenian. STA pernah menjadi
redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933). Kemudian mendirikan dan memimpin
majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-
1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929),
guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional,
Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang
(1956-1958), guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala
Lumpur (1963-1968).
STA merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat
dengan cendekiawan Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama
pendudukan Jepang, STA melakukan modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi
bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa
Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai
sampai sekarang. Serta Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh
negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa
tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan Bahasa
Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum
kemerdekaan, STA adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun
1970, STA menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi
Pertama Bahasa-bahasa Asia tentang The Modernization of The Languages in Asia (29
Selain sebagai ahli tata Bahasa Indonesia, STA juga merupakan seorang sastrawan
yang banyak menulis novel. Beberapa contoh novelnya yang terkenal yaitu Tak Putus
Dirundung Malang (1929), Dian Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936),
Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), dan Grotta Azzura (1970 & 1971).
STA menghabiskan masa tuanya di rumah, di Indonesia. Rumahnya sangat asri dan penuh
halaman belakang rumahnya yang luas, seperti angsa dan ayam. STA mengisi waktu
luangnya dengan membaca dan menulis, serta berenang di kolam renang yang dibuatkan oleh
anak-anaknya untuk menjaga kesehatan tubuh. STA meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada
usia 86 tahun.
b
Biografi Sastrawan W.S Rendra Salah satu tokoh sastra Indonesia yang terkenal dan berjasa
dalam pengembangan dunia kesusasteraan adalah W S Rendra. Beliau merupakan pelopor
didirikannya bengkel teater yang sangat terkenal pada jamannya. Sekarang, biarpun beliau
sudah meninggal namun namanya akan tetap dikenal di indonesia.
Bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, lahir di Solo, Jawa Tengah, 7
November 1935. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan
Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan
ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa kecil hingga remaja
Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
WS Rendra memang dilahirkan dikeluarga yang kental akan seni, tak heran jika darah seni
sangat mudah merasuk dalam diri Rendra. Ayahnya adalah seorang dramawan yang
merangkap sebagai guru Bahasa Jawa dan bahasa Indonesia di sebuah sekolah Katolik di
Solo, sedangkan ibunya adalah seorang penari serimpi yang banyak di undang oleh Keraton
Surakarta.
WS Rendra menghabiskan masa kecil hingga SMA nya di Solo dengan bersekolah TK
hingga SMA di Sekolah Katolik St. Yosef. Namun sejak lulus SMA, WS Rendra berhijrah ke
Jakarta demi meneruskan sekolah di Akademi Luar Negeri, akan tetapi malang nasibnya,
setelah sampai di Jakarta ternyata sekolahan tersebut telah tutup.
Pendidikan
• TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
• SD s.d. SMU Katolik, SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo (tamat pada tahun 1955).
• Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta - Tamat.
• mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).
Kehidupan pribadi
Rendra semula adalah seorang Kristen, tetapi kemudian ia menjadi muallaf yang memeluk
Islam ketika menikahi istrinya yang kedua.
Pada umur 24 tahun, WS Rendra melabuhkan hatinya pada seorang wanita bernama Sunarti
Suwandi yang kemudian memberinya lima orang anak yang bernama Teddy Satya Nugraha,
Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta.
Setelah menikah, WS Rendra bukannya menutup hati, ia malah kepincut dengan salah satu
muridnya di Bengkel Teater yang bernama Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat yaitu
putri Keraton Yogyakarta yang sering maindan belajar di teater Rendra. Jeng Sito adalah
panggilan akrabnya. Jeng Sito sering berbaur dalam rumah tangga WS Rendra – Sunarti
dengan ikut memandikan dan menyuapi anak-anak Rendra. Dari sinilah kedekatan itu
terjalin. Bahkan istri Rendra, Sunarti, mendukung dan ikut melamarkan Jeng Sito untuk
menjadi istri kedua WS Rendra. Namun ayahanda Sitoresmi keberatan karena perbedaan
agama. Rendra Katolik sedang Sitoresmi Islam.
WS Rendra pun membuat kejutan dengan bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat di hari
pernikahannya dengan Sitoresmi pada tanggal 12 Agustsu 1970 dan dua rekannya yaitu
Taufiq Ismail dan Rosidi sebagai saksinya.
Menjadi Muallafnya Rendra, membuat publik melontarkan komentar yang bernada sinis.
Publik banyak yang mempertanyakan ketlusan niat Rendra memeluk Islam, banyak yang
menganggap itu hanyalah sensasi Rendra agar dibolehkan poligami. Menanggapi hal itu, WS
Rendra mengungkapkan bahwa dirinya tertarik Islam sudah cukup lama yaitu ketika
melakukan persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum dirinya menikah
dengan Jeng Sito.
Pada tahun 1979, Rendra harus menceraikan dua istrinya ini pada tahun 1979 karena tak
menyetujui Rendra memiliki istri ketiga. Rendra menikahi Ken Zuraida dan dari
pernikahannya yang ketiga, Rendra mendapat dua anak yaitu Isaias Sadewa dan Maryam
Supraba.
Sebagai Sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah
mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan drama untuk
berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas
panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi
yang sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah
Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat
itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti
terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun '60-an dan
tahun '70-an.
Kaki Palsu adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan Orang-orang di
Tikungan Jalan adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama
dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia
sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof.
A. Teeuw, di dalam bukunya, Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam
sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan
atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan '60-an, atau Angkatan '70-an. Dari karya-
karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak
karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris,
Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Penghargaan
• Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954)
• Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
• Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
• Hadiah Akademi Jakarta (1975)
• Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
• Penghargaan Adam Malik (1989)
• The S.E.A. Write Award (1996)
• Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Karya Drama
• Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
• Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) - 1967
• SEKDA (1977)
• Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
• Mastodon dan Burung Kondor (1972)
• Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)-
dimainkan dua kali
• Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
• Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
• Lysistrata (terjemahan)
• Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
• Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
• Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
• Lingkaran Kapur Putih
• Panembahan Reso (1986)
• Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
• Shalawat Barzanji
• Sobrat
Kumpulan Sajak/Puisi
• Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan sajak)
• Blues untuk Bonnie
• Empat Kumpulan Sajak
• Sajak-sajak Sepatu Tua
• Mencari Bapak
• Perjalanan Bu Aminah
• Nyanyian Orang Urakan
• Pamphleten van een Dichter
• Potret Pembangunan Dalam Puisi
• Disebabkan Oleh Angin
• Orang Orang Rangkasbitung
• Rendra: Ballads and Blues Poem
• State of Emergency
• Do'a Untuk Anak-Cucu
Pada pertengahan tahun 2009, WS Rendra menderita sakit jantung koroner dan harus
menjalani perawatan intensif di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara. Setelah
satu bulan , penyakitnya semakin menggerogoti tubuhnya dan akhirnya sang penyair besar
Indonesia WS Rendra menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit itu juga pada 7 Agustus
2009 tepat jam 22.15 WIB di usianya yang ke 74 tahun.
Biografi RAMADAN K.H
Kang Atun, panggilan akrab Ramadan, adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara.
Ayahnya, Rd. Edjeh Kartahadimadja, adalah seorang patih Kabupaten Bandung pada masa
kekuasaan Hindia Belanda. Aktifitasnya adalah seorang penulis biografi Indonesia. Ia
meninggal setelah menderita kanker prostat selama ±3 bulan. Ia dilahirkan dari perkawinan
ayahnya dengan Saidah. Aoh K. Hadimadja (1911 - 1972) yang juga dikenal sebagai penyair
dan novelis itu, adalah kakak kandung seayah Ramadan yang lahir dari rahim istri pertama
ayahnya yakni Rd. Djuwariah binti Martalogawa. Ketika usia Ramadan masih belum genap
tiga bulan, ayahnya terpikat perempuan lain dan menceraikan Saidah yang langsung
dikembalikan ke kampung. Pengalaman tersebut membuat ia dekat dengan sosok ibu dan
menghayati derita kaum perempuan.
Ramadan pernah bekerja selama 13 tahun sebagai wartawan Antara. Lalu, dia minta berhenti
karena tak tahan melihat merajalelanya korupsi waktu itu. Dia tercatat sebagai
mahasiswa ITB dan Akademi Dinas Luar Negeri di Jakarta, kedua-duanya tidak tamat. Dia
juga pernah bertugas sebagai Redaktur Majalah Kisah, Redaktur Mingguan Siasat dan
Redaktur Mingguan Siasat Baru.
Semasa hidupnya Ramadan terkenal sebagai penulis yang kreatif dan produktif. Ia banyak
menulis puisi, cerpen, novel, biografi, dan menerjemahkan serta menyunting.
Kumpulan puisinya yang diterbitkan dengan judul "Priangan Si Djelita" (1956), ditulis saat
Ramadan kembali ke Indonesia dari perjalanan di Eropa pada 1954. Kala itu, ia menyaksikan
tanah kelahirannya, Jawa Barat, sedang bergejolak akibat berbagai peristiwa separatis.
Kekacauan sosial politik itu mengilhaminya menulis puisi-puisi tersebut.
Sastrawan Sapardi Djoko Damono, menilai buku tersebut sebagai puncak prestasi Ramadan
di dunia sastra Indonesia. Menurut Sapardi, buku itu adalah salah satu buku kumpulan puisi
terbaik yang pernah diterbitkan di Indonesia. "Dia adalah segelintir, kalau tidak satu-satunya,
sastrawan yang membuat puisi dalam format tembang kinanti," papar Sapardi.
Korban fitnah Pada tahun 1965 Ramadan sempat ditahan selama 16 hari di Kamp Kebon
Waru, Bandung, bersama-sama dengan Dajat Hardjakusumah, ayah kelompok
pemusik Bimbo yang saat itu menjabat pimpinan Kantor Antara Cabang Bandung.
Keduanya ditahan karena dilaporkan bertemu A. Karim DP dan Satyagraha, pimpinan
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat yang masa itu dianggap berideologi kiri dan
mendukung G-30-S. Oleh karena itu, mereka juga dianggap pendukung G-30-S.
Belakangan ia baru tahu bahwa mereka difitnah kelompok lain dapat menguasai kantor
Antara cabang Bandung. Sesudah enam belas hari dalam tahanan, keduanya dibebaskan
dan pimpinan pusat Antara memindahkannya ke Jakarta. Ramadan langsung pindah ke
Jakarta.
Kuantar ke Gerbang: kisah cinta kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno(1981)
Gelombang hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982)
Soeharto pikiran, ucapan, dan tindakan saya: otobiografi (1988)
A.E. Kawilarang - untuk Sang Merah Putih: pengalaman, 1942- 1961 (1988)
Bang Ali demi Jakarta (1966-1977): memoar (1992)
Hoegeng, polisi idaman dan kenyataan: sebuah autobiografi (ditulis bersama dengan Abrar
Yusra) (1993)
Soemitro, mantan Pangkopkamtib: dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib
(1994)
Gobel, pelopor industri elektronika Indonesia dengan falsafah usaha pohon pisang (1994)
Sjamaun Gaharu, cuplikan perjuangan di daerah modal: sebuah autobiografi (ditulis bersama
dengan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu) (1995)
D.I. Pandjaitan, pahlawan revolusi gugur dalam seragam kebesaran: biografi (ditulis bersama
dengan Sugiarta Sriwibawa) (1997)
Demi bangsa - liku-liku pengabdian Prof. Dr. Midian Sirait: dari guru SR Porsea sampai
Guru Besar ITB (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (1999)
H. Priyatna Abdurrasyid - dari Cilampeni ke New York: mengikuti hati nurani (2001)
H. Djaelani Hidajat - dari tukang sortir pos sampai menteri: sebuah otobiografi (ditulis
bersama dengan Tatang Sumarsono) (2002)
Pergulatan tanpa henti - Adnan Buyung Nasution (dibantu dituliskan oleh Ramadan K.H. dan
Nina Pane) (2004)
Novel
Puisi
Terjemahan
Yerma: drama tragis dalam tiga babak dan enam adegan oleh Federico García Lorca (1956)
Romansa Kaum Gitana oleh Federico García Lorca (1973)
Rumah Bernarda Alba oleh Federico García Lorca (1957)
Lain-lain
Taufiq Ismail adalah seorang sastrawan ternama di Indonesia. Taufiq lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat 25 Juni 1935. Ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka
membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Masa kanak-kanak
sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo.
Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya.
Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan.Pada tahun 1956–
1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti
Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia.
Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi
Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–
1962). Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965),
guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten
dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB
(1961-1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang
oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan
Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.
Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama
Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang
kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin
majalah itu.
Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail
Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga
lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur
TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di
perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).
Taufiq Ismail saat menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia
Pada tahun 1993 Taufik diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai
tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah
di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim
Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali.
Hasil karya:
1. Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
2. Benteng, Litera ( 1966)
3. Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)
4. Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
5. Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)
6. Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
7. Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)
8. Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
9. Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri
Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua
bahasa, memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan Ananda (1995)
10. Seulawah — Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S.), Yayasan
Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995)
11. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (1998)
12. Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni
Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra
Indonesia dalam program SBSB 2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
13. Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab
Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bersama Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono,
Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar,
antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2000-2001, Horison-Kakilangit-Ford
Foundation (2002)
Karya terjemahan:
Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960)
Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962)
Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of
Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad),
Tintamas (1964)
Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo
(Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah
menghasilkan sebanyak 75 lagu.
Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika,
Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa,
Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.
Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam
kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan Narkoba”
dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu,
bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden
Megawati (2002).
Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai
Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.