Anda di halaman 1dari 12

Ahmad Dahlan

Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (bahasa Arab: ‫ ;أحمد دحالن‬lahir di Yogyakarta, 1


Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Muhammadiyah. Dia adalah putra
keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari
K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.

Latar belakang keluarga dan pendidikan

Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Dia merupakan anak keempat dari tujuh
orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dia termasuk
keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di
antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Pada umur 15 tahun, dia pergi haji dan
tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid
Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi
Ahmad Dahlan.

Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, dia sempat
berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada
tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Sepulang dari Mekkah, dia
menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak kiai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal
dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. KH. Ahmad Dahlan
meninggal pada tahun 1923 dan dimakamkan di pemakaman Karangkajen, Yogyakarta 

Pengalaman organisasi

Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut
tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut
tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912.
Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat
sosial dan bergerak di bidang pendidikan.Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru
dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin
itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah
Yogyakarta. 

Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada
tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Pahlawan Nasional

1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam
yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam.
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan
yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan
wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

Mas Mansoer

Kiai Haji Mas Mansoer (lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 – meninggal di Surabaja, 25


April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan pahlawan nasional Indonesia.

Pendidikan

Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di
Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas
Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren
Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan mendalami kitab Alfiyah ibnu
Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana kurang lebih dua tahun, Kiai Khalil meninggal
dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.
Kegiatan di Muhammadiyah

Mulai aktif di Muhammadiyah


Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun aktivitasnya
dalam organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk
organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan
memperkukuh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui
Mas Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah
Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa
Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.

Gaya kepemimpinan
Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer juga bertindak disiplin dalam
berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya.
Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar
Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya
masing-masing, Mas Mansoer selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin
organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap
karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu
Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan
Muhammadiyah.

Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-
1949. Ada duabelas langkah yang dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansoer juga banyak membuat
gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk pula dicatat, Mas
Mansoer tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan,
dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum
bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat
memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di
masyarakat.
Meninggal dunia

Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia tetap ikut
berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda
(NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Kalisosok. Di tengah pecahnya
perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April
1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.

Pahlawan nasional
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional bersama
teman seperjuangannya, yaitu KH. Fakhruddin.

Bagoes Hadikoesoemo

Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Ki Bagus Hadikusumo (lahir di Yogyakarta, 24


November 1890 – meninggal di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 63 tahun) adalah seorang tokoh
BPUPKI. Ia dilahirkan di kampung Kauman dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1308 H (24
November 1890). Ki Bagus adalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang
abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta.

Kiprah & Pendidikan

Ia mendapat pendidikan sekolah rakyat (kini SD) dan pendidikan agama di pondok pesantren tradisional
Wonokromo Yogyakarta. Kemahirannya dalam sastra Jawa, Melayu, dan Belanda didapat dari seorang
yang bernama Ngabehi Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga belajar bahasa Inggris dari seorang tokoh
Ahmadiyah yang bernama Mirza Wali Ahmad Baig.
Selanjutnya Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota
Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadijah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Ia
sempat pula aktif mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul. Selain itu, bersama kawan-
kawannya ia mendirikan klub bernama Kauman Voetbal Club (KVC), yang kelak dikenal dengan nama
Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW).
Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah.
Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa Jepang untuk menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga
Rakyat), Ki Bagus menggantikan posisi ketua umum Muhammadiyah yang ditinggalkannya.[1]Posisi ini
dijabat hingga tahun 1953. Semasa menjadi pemimpin Muhammadiyah, ia termasuk dalam
anggota BPUPKI dan PPKI.
Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah UUD 1945
dalam PPKI. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Muqodimah UUD 1945 dibacakan sebelum Proklamasi
Kemerdekaan. Isi dari Muqodimah UUD 1945 itu adalah Piagam Jakarta, yang menyebutkan “Negara
berdasarkan atas Ketuhan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Ki Bagus Hadikoesoemo selaku Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu
sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk
dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot beliau, sehingga Bung
Karno dan Bung Hatta (karena sungkan), menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putera Aceh sebagai
lambang daerah dominan Islam menemui/melobi Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya dan
meluluhkan hatinya. Bahkan wakil Nahdatul Ulama pun tidak mampu meluluhkan hati Ki Bagus
Hadikoesoemo. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan
bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-undang Dasar yang tetap,
maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Hatta masuk ke dalam ruang sidang Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan membacakan
empat perubahan dari hasil lobi tersebut. Berikut hasil perubahan kemudian disepakati sebagai preambule
dan batang tubuh UUD1945 yang saat ini biasa disebut dengan UUD 45 Pertama, kata “Mukaddimah”
yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”. Kedua, anak kalimat
Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan,”negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa. Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam
seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”. Keempat,
terkait perubuahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa” sebagai ganti dari, “Negara berdasarkan atas Ketuhan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Soekarno

Dr. (H.C.) Ir. H. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir


di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69
tahun) adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode 1945–1967. Ia adalah
seorang tokoh perjuangan yang memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta)
yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep
mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya.
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang kontroversial, yang isinya —
berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat— menugaskan Letnan
Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.
Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah
pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum
ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa
MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik
Indonesia.

Nama

Soekarno lahir dengan nama Kusno yang diberikan oleh orangtuanya. Akan tetapi, karena ia sering sakit
maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.Nama tersebut
diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna. Nama "Karna" menjadi
"Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti
"baik".Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri
menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap
menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan
yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah, selain itu tidak
mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun. Sebutan akrab untuk Soekarno
adalah Bung Karno.

Sebagai arsitek
Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga dikenal sebagai arsitek alumni dari Technische
Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat
pada tahun 1926.

Pekerjaan

 Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan
rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun
rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya.
 Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid
Jami' di tengah kota.

Pengaruh terhadap karya arsitektur


Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau dicetuskan oleh
Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai Juli pada tahun 1956 ke negara-
negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat, dan Swiss. Membuat cakrawala alam pikir
Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara
yang baru merdeka. Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa
kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan sebuah kota sejak
awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan pada masa datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh
Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti Frederich Silaban dan
R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek junior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga
dibuat melalui sayembara.

Masa penjajahan Jepang

Pada awal masa penjajahan Jepang (1942–1945), pemerintah Jepang sempat tidak memerhatikan tokoh-
tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat
pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memerhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh-
tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan
lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi
seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno,
Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan lain-lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif.
Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan
Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Masa Perang Revolusi

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan


Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Sembilan (yang menghasilkan
Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Soekarno-Hatta mendirikan
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Masa kemerdekaan

Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan),


Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta
diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada
Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat
Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali
berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat
sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Soekarno. Resminya kedudukan
Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah
dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.

Masa marabahaya

Soekarno, Presiden Indonesia pertama, sedikitnya pernah mengalami percobaan pembunuhan lebih dari


satu kali, Putrinya, Megawati Soekarnoputri pernah menyebut angka 23. "Saya ingin mengambil satu
contoh konkrit, Presiden Soekarno itu mengalami percobaan pembunuhan dari tingkat yang namanya baru
rencana sampai eksekusi (sebanyak) 23 kali," tutur Mega pada Juli 2009. Sementara itu, angka lebih kecil
keluar dari mulut Sudarto Danusubroto. Dia ajudan presiden pada masa-masa akhir kekuasaan Soekarno.
Sudarto pernah mengatakan ada 7 kali percobaan pembunuhan terhadap Soekarno. Jumlah ini pernah
diamini oleh eks Wakil Komandan Tjakrabirawa, Kolonel Maulwi Saelan. Namun bekas pengawal
pribadinya, hanya mampu mengingat 7 kali upaya percobaan pembunuhan.

Peran Di Muhammadiyah

Di Bengkulu, pertautan Sukarno dengan Islam kian rapat. Seperti penuturan Sukarno dalam Bung Karno
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2011), Sukarno ditemui tokoh Muhammadiyah setempat Hassan
Din, ayah Fatmawati. Sukarno diminta menjadi guru di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Rupanya,
Hassan Din mengajak Sukarno karena mengetahui rekam jejak Sukarno sejak di Ende yang
berkorespondensi dengan A Hassan.

Bagi Hassan Din, korespondensi itu menunjukkan ada kesepahaman antara paham keagamaan Sukarno
dan A Hassan yang disebut di beberapa laporan penelitian, misalnya dalam Gerakan Modern Islam di
Indonesia: 1900-1942 yang ditulis Deliar Noer, sebagai tokoh Islam modern sebagaimana Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Itu artinya, Sukarno memiliki pandangan modernis sebagaimana
Muhammadiyah. Di Bengkulu, pemikiran modernis Sukarno, antara lain, terlihat pada kritiknya terhadap
tradisi penggunaan tabir sebagai pemisah jamaah laki-laki dan perempuan dalam upacara keagamaan.

Di Bengkulu, Sukarno tidak hanya menaruh harapan pada Muhammadiyah, tetapi juga semakin tertantang
mewujudkan harapannya itu karena kemudian menjadi anggota resmi dan pengurus Muhammadiyah.
Selepas pengasingan di Bengkulu lalu menjadi presiden, Sukarno merawat identitas
kemuhammadiyahannya. Bisa dikatakan, Sukarno dengan Muhammadiyah dipertemukan dengan visi
keislaman yang sama, yaitu Islam berkemajuan.

Sakit hingga meninggal


Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965. Sebelumnya, ia telah dinyatakan
mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964. Prof.
Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno
diangkat, tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional. Ia bertahan selama 5 tahun
sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
(RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik. Jenazah Soekarno pun
dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi. Sebelum dinyatakan
wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang
merupakan anggota tim dokter kepresidenan. Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang
ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI
AD) Rubiono Kertopati.

Kasman Singodimedjo
Mr. Kasman Singodimedjo (lahir di Poerworedjo, Jawa Tengah, 25 Februari 1904 – meninggal
di Jakarta, 25 Oktober 1982 pada umur 78 tahun) adalah Jaksa Agung
Indonesia periode 1945 sampai 1946 dan juga mantan Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir
Sjarifuddin II. Selain itu ia juga adalah Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjadi
cikal bakal dari DPR.

Jabatan politik

Diteruskan oleh:
Ketua Komite Nasional Indonesia Sartono
Jabatan baru Pusat (Sebagai Ketua Dewan
1945-1950 Perwakilan Rakyat
Sementara)

Jabatan peradilan

Didahului oleh: Jaksa Agung Republik Indonesia Diteruskan oleh:


Gatot Taroenamihardja 1945 - 1946 Tirtawinata

Anda mungkin juga menyukai