Anda di halaman 1dari 4

Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949.

Ada duabelas langkah yang dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansoer juga banyak membuat gebrakan
dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk pula dicatat, Mas Mansoer tidak ragu
mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan
dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum bunga bank adalah
haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan,
sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Oleh karena
itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi
perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi
keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi
perekonomian ummat Islam.

Politik
\

Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga banyak melakukan gebrakan. Sebelum
menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer sebenarnya sudah banyak terlibat dalam
berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia pun
mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai
berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasboellah yang
keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama
Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansoer termasuk dalam empat
orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai,
yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah
Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat serangkai
tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai
digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Akhir Hayat
1.1 GIATAN DI
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia
tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan
tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Kalisosok.
Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di
tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.

KMD
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir
pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan
nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui
media massa maupun pidato. Mas Mansoer juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca
tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di
Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah dulu
di Makkah selama satu tahun dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.

KePenulisan
1.3 GIATAN DI

Mas Mansoer juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran


pembaharuannya dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan
bernama Soeara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu
kata santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, Soeara Santri mendapat sukses
yang gemilang. Djinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansoer.
Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab.
Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan
mengajak para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui
majalah itu Mas Mansoer mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan
kekolotan. Di samping itu, Mas Mansoer juga pernah menjadi redaktur Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Siaran dan Kentoengan di
Surabaya; Pengandjoer dan Islam Bergerak di Jogjakarta; Pandji Islam dan Pedoman
Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansoer juga
menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadits Nabawijah; Sjarat
Sjahnja Nikah; Risalah Tauhid dan Sjirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah. Beberapa dari
tulisan-tulisan KH. Mas Mansoer yang tersebar di banyak media tersebut kemudian dihimpun
oleh Amir Hamzah Wirjosukarto dalam sebuah Buku Rangkaian Mutu Manikam Kyai Hadji Mas
Mansur yang diterbitkan oleh Penjebar Ilmu dan Al-Ichsan pada tahun 1968.

KeMuhmmadiyahan
1.2 GIATAN DI

Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer dalam
Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkukuh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi
pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari
jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi
Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur
menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah

KMD
Mas Mansoer dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres
Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada bulan Oktober 1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum
Mas Mansoer terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang
saat itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar
Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, yaitu hanya mengurusi persoalan sekolah-
sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam). Angkatan Muda
Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh
tiga tokoh tua, yaitu KH. Hisjam (Ketua Pengurus Besar), KH. Moechtar (Wakil Ketua), dan KH. Sjuja'
sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem).
Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada tahun 1937,
ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut.
Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi dialog, ketiga
tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.
Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagoes Hadikoesoemo diusulkan untuk menjadi Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia
dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada
Mas Mansoer (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansoer menolak,
tetapi setelah melalui dialog panjang ia bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar
Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan
demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah, bukan
demi kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas
Mansoer juga banyak didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan
progresif.
Terpilihnya Mas Mansoer sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah meniscayakannya untuk
pindah ke Jogjkarta bersama keluarganya. Untuk menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak
memberikan gaji, melainkan ia diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah
Yogyakarta, sehingga ia mendapatkan penghasilan dari sekolah tersebut. Sebagai Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer juga bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang
Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya. Demikian juga dengan para
tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya
yang sering kali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas
Mansoer selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena
Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan
perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah
dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.

KMD
Biografi
KH. Mas Mansyur
Keluarga
\
Lahir 25 Juni 1896
Surabaya, Hindia
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang Belanda
berasal dari keluarga Sagipodin. Ayahnya bernama KH. Mas Meninggal 25 April
Achmad Marzoeqi berasal dari Keluarga Pesantren Sidoresmo 1946 (umur 49)
Surabaya, Indonesia
Wonokromo Surabaya yang merupakan seorang pionir Islam, ahli
agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari Makam Gipu, Surabaya
keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal Indonesia
sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan
terhormat pada saat itu. Almamater Universitas Al-Azhar

OrganisasiMuhammadiyah
Istri Siti Zakijah
Pendidikan
keluargaa Halimah

Orang tua KH. Mas Achmad


Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya Marzoeqi (Ayah)
sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, Raudhah (Ibu)

dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun Pengharggaan Pahlawan Nasional
1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh Indonesia

ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di


sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan mendalami kitab Alfiyah ibnu
Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana kurang
lebih dua tahun, Kiai Khalil meninggal dunia, sehingga Mas
Mansur meninggalkan pesantren itu Raka
Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan untuk
menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren
Termas Pacitan Jawa Timur. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi
memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang
asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansoer
tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu
sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansoer tetap melaksanakan
keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup karena tidak mendapatkan kiriman
uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering
berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini
berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk belajar
di Mesir.

KMD

Anda mungkin juga menyukai