Anda di halaman 1dari 3

PIMPINAN MUHAMMADIYAH

1. AR. Sutan Mansur (Rasid)

Ranah Minang pernah melahirkan salah seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Ahmad Rasyid
Sutan Mansur. Lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad malam Senin 26 Jumadil Akhir 1313
Hijriyah, bertepatan 15 Desember 1895 Masehi. Anak ketiga dari tujuh bersaudara yang merupakan
karunia Allah pada kedua orang tuanya, yaitu Abdul Somad al-Kusaij, seorang ulama terkenal di
Maninjau, dan ibunya Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Keduanya adalah
tokoh dan guru agama di kampung Ai Angek (Air Hangat), Maninjau.

Pada tahun 1923, Sutan Mansur menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua
pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak
yang tidak suka dengan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah Cabang Pekajangan,
Kedung Wuni, dan tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru agama.

Pada tahun 1927 bersama Fakhruddin, Sutan Mansur melakukan tabligh dan mengembangkan
Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan cara
mendekati raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir,
Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun
berhasil mendirikan Cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan
Amuntai. Dengan demikian, antara tahun 1926-1929 tersebut, Muhammadiyah mulai dikenal luas di
luar pulau Jawa.

Selain di Muhammadiyah, Sutan Mansur sebagaimana juga K.H. Ahmad Dahlan— pada dasawarsa
1920-an hingga 1930-an aktif dalam Syarikat Islam dan sangat dekat dengan HOS. Tjokroaminoto
dan H. Agus Salim. Keluarnya ia dari Syarikat Islam dapat dipastikan karena ia lebih memilih
Muhammadiyah setelah SI mengambil tindakan disiplin organisasi bagi anggota yang merangkap di
Muhammadiyah.

Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap
karesidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah.
Karena itu, pada tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah Daerah
Minangkabau (Sumatera Barat) yang meliputi Tapanuli dan Riau yang dijabatnya hingga tahun 1944.
Bahkan, sejak masuknya Jepang ke Indonesia, ia telah diangkat oleh Pengurus Besar Muhammadiyah
menjadi Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan
Sumatera dan Jawa.

Perjuangan dakwah terus dilakukan sejak masa muda hingga akhir hayat Ahmad Rasyid. Ketika
memasuki umur 80-an, ia kembali ke kampung halamannya di Maninjau, Agam, Sumatra Barat dan
pada akhirnya berpindah ke Jakarta sampai akhir hayatnya.[27][28] Ia beralamat di Jalan Lontar
Atas, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Di masa tuanya justru banyak tetamu yang
mengunjungi rumahnya untuk belajar ilmu tauhid, terutamanya Hamka selepas meletakkan jabatannya
sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia.[9]
Pada 22 Maret 1985, A. R. Fachruddin bersama dengan pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah
datang menjenguk Ahmad Rasyid di Rumah Sakit Islam, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Setelah
sebulan mendapat perawatan medis, ia meninggal dunia pada hari Senin, 25 Maret 1985 Masehi,
bertepatan tanggal 3 Rajab 1405 Hijriyah di usia 89 tahun. [1] Jenazah almarhum dimakamkan
di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir setelah disalatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah.
Pemakamannya dihadiri oleh Munawir Sjadzali selaku Menteri Agama, Mohammad Natsir, dan
sejumlah tokoh agama lainnya.

2. Kyai Haji Ahmad Badawi

Kiai Haji Ahmad Badawi (5 Februari 1902 – 25 April 1969), adalah seorang ulama, guru, politikus
Partai Masyumi, penasihat pribadi Presiden Soekarno di bidang agama, anggota Dewan Pertimbangan
Agung Republik Indonesia Periode 1966-1968, dan juga Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965.

Lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 5 Februari 1902, beliau adalah putra dari pasangan KH
Muhammad Fakih dan Nyai Hj Sitti Habibah. Kedua orang tuanya adalah warga Muhammadiyah.
Bahkan, Sitti Habibah merupakan adik kandung dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Dengan demikian, beliau adalah keponakan sang pendiri Muhammadiyah sekaligus salah satu di
antara murid-murid pertama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang pertama kali dirintis oleh
sang paman, KH Ahmad Dahlan (1911).

Karier

 Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963).


 Imam III Angkatan Perang Sabil (APS), 1947–1949.
 Anggota laskar rakyat (instruksi Sri Sultan Hamengku Buwono)
 Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta, 1950.
 Anggota Dewan Pertimbangan Agung, 1968.
 Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah,1933
 Kepala Madrasah Zai'mat,1942
 Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah periode 1962–1965
 Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah periode 1965–1968.
3. Muhammad Yunus Anis

Letnan Kolonel TNI (Tit.) K. H. Raden Muhammad Yunus Anis (lahir: Yogyakarta, 3 Mei 1903,


wafat: 1979) adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962.

Yunus Anis pernah mukim di berbagai daerah seperti di Sigli, Nangroe Aceh Darussalam hingga
ke Padang Panjang, Sumatra Barat. Serta pernah pula mukim di Makassar dan Alabio, Kalimantan
Selatan.
Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Bakat itu, Yunus Anis diminta
membina bagian pemuda Hizbul Wathan. Ia pernah mengantarnya sebagai Pengurus Cabang
Muhammadiyah Batavia, hingga kepemimpinannya semakin terlihat menonjol dan memperoleh
kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus Anis
dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam. Ummat Islam nyaris tidak
terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh
berbagai kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi Anggota DPR GR yang sedang
disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR GR sebenarnya mengundang banyak
kritik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak
mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi, serta bertindak secara
otoriter menyusun anggota parlemen. Namun, kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana:
bahwa keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, melainkan
untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam
parlemen.
Yunus Anis sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962. Selama
periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah.
Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Fakih Usman, dan akan
diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah
abad Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai