Anda di halaman 1dari 2

BIOGRAFI

Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur (Ketua 1956 - 1959)


Buya Haji Ahmad Rasyid (A.R) Sutan Mansur
merupakan salah sato tokoh utama Muhammadiyah.
Ketokohannya tak hanya dikenal di kalangan Muhammadiyah
saja, tapi juga di kalangan luar Muhammadiyah pun ia sangat
dikenal. Buya Haji AR. Sutan Mansur dikenal sebagai tokoh
yang hidup serba sederhana, tetapi memiliki pandangan luas.
Lahir sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara, pada tanggal
26 Jumadil Akhir 1313 H, bertepatan dengan 15 Desember
1895 di Maninjau Sumatra Barat. Orang tuanya bernama
Abdul Shomad al-Kusaij, serta ibunya Siti Abbasiyah atau
dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Kedua orang tuanya
adalah tokoh dan guru agama Islam di kampung Air Angek.
Oleh karenanya, pengetahuan agama Islam didapatkan
pertama kali langsung dari kedua orang tuanya. Sedangkan
untuk pendidikan umum, ia mendapatkannya di sekolah
Indische School (IS) dari tahun 1902 sampai dengan 1909. di
Indische School inilah ia mendapatkan belajar berhitung, geografi, ilmu ukur, dan sebagainya.
Selain itu, sejak muda belia sudah tertanam dalam dirinya semangat anti penjajah
Belanda. Karena baginya, penjajahan sudah bertentangan dengan fitrah manusia. Ia mendalami
ilmu agama seperti, tauhid, bahasa Arab, ilmu kalam, mantiq, tarikh, syariat, tasawuf, Al-Quran,
Tafsir, dan hadits dengan musthalahnya di bawah bimbingan Haji Rasul, tokoh pembaru Islam
di Minangkabau pada tahun 1910-1917, atas saran gurunya Tuan Ismail (Dr. Abu Hanifah). Pada
tahun 1917 ia diambil mantu oleh gurunya, Haji Rasul, dinikahkan dengan putri sulungnya yang
bernama Fatimah.
Ia bercita-cita untuk dapat melanjutkan studinya ke Mesir, tetapi pemberontakan
terhadap penjajahan Inggris yang terjadi di Mesir menggagalkan keinginannya tersebut.
terlebih, ia juga tidak mendapat izin dari Pemerintah Belanda untuk berangkat. Akhirnya ia
merantau ke Pekalongan, Jawa Tengah untuk berdagang batik dan menjadi guru agama Islam
bagi para perantau dari Sumatra dan kaum Muslim lainnya.
Selama di Pekalongan ini, sering terjadi interaksi dengan Ahmad Dahlan yang sering
datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Selain itu kesamaan persepsi dan ide pembaruan yang
dikembangkan, membuat pilihannya untuk bergabung ke Persyarikatan Muhammadiyah dan
mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama para pedagang dari Sungai Batang Maninjau
yang telah masuk Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di Muhammadiyah ini pula ia
menemukan Islam tidak hanya sebagai ilmu semata, tetapi ada upaya nyata untuk
mengamalkan dan membuatnya membumi.
Pada tahun 1923, Sutan Mansur diangkat menjadi Ketua Muhammadiyah cabang
Pekalongan dan cabang Pekajangan, Kedung Wuni, selain tetap aktif mengadakan tabligh dan.
menjadi guru agama. Pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus PB Muhammadiyah untuk
memimpin dan menata Muhamamdiyah yang mulai tumbuh dan berkembang di tengah terjadi
ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dan orang-orang Komunis di Ranah Minang. Cara
berdakwah yang tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh
setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami
perkembangan pesat .
Keberhasilan Sutan Mansur di Minangkabau menarik perhatian Pengurus Besar (PB)
Muhammadiyah di Yogyakarta. Pada tahun 1927 ia diutus bersama Fachruddin dan Hamka
bertabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh.Tiga tahun berikutnya,
yakni pada 1930, di Bukittinggi, Sumatra Barat, diselenggarakan Mukatamar Muhammadiyah
ke-19. penyelenggaraan Muktamar Muhammadiyah di Bukittinggi merupakan bukti
keberhasilan Sutan Mansur mengembangkan Muhammadiyah. Sejak itu, ketokohan Sutan
Mansur terkenal di seluruh cabang Muhammadiyah di Nusantara.
Sutan Mansur dijuluki oleh konsul-konsul daerah lain dengan julukan “Imam
Muhammadiyah Sumatra”, karena ia membuka dan memimpin “Kulliyah al-Mubalighin
Muhammadiyah” di Padang panjang, tempat membina Mubaligh tingkat atas. Kader
Muhammadiyah dididik dan digembleng untuk menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran
Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitar.
Pada tahun 1950, Sutan Mansur ditawari jabatan sebagai penasihat TNI Angkatan Darat,
berkantor di Markas Besar Angkatan Darat (MABAD), namun ia tolak, karena harus berkeliling
ke daerah Sumatra, bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden
Soekarno memintanya untuk menjadi penasihat Presiden, dengan catatan keluarganya harus
diboyong ke Jakarta. Lagi-lagi tawaran tersebut ditolak dan ia hanya bersedia menjadi
penasihat tidak resmi sehingga tidak harus hijrah ke Jakarta.
Kontribusi besar Sutan Mansur yang sering kali dikenang oleh kalangan
Muhammadiyah adalah ketika Muhammadiyah akan melakukan Kongres ke-26 di Yogyakarta
pada tahun 1937, adalah mencuatnya permasalahan angakatan muda yang sangat
bersemangat melancarkan kritik di luar sidang. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi fitnah.
Kemudian Ki Bagus Hadikusumo bersama R.H. Hadjid menghubungi dan meminta
bantuan Sutan Mansur (Konsul daerah Minangkabau), Tjirtosoewarno (Konsul Daerah
Pekalongan), dan Moeljadi Djojomartono (Konsul Daerah Surakarta). Ketiga funsionaris ini
berhasil memediasi kalangan tua, yang anatara lain KH. Hasyim, KH. Mukhtar, dan KH. Sudja’,
dan kalangan muda terdiri dari H.A. Badawi, H. Hasyim, H. Basyiran, H. Abdulhamid, dan H.M.
Farid Ma’ruf. Pertemuan itu berjalan dengan baik dengan dijiwai semangat keikhlasan dan
keterbukaan.
Pada tahun 1953, Sutan Mansur yang kemudian mendapat gelar buya (kiai di luar Jawa)
terpilih menjadi Ketua Umum PB Muhammadiyah. Dalam Mukatmar ke-33 di Palembang,
Sumatra Selatan pada tahun 1956, ia terpilih kembali menjabat Ketua Umum PB
Muhammadiyah. Tidak hanya itu, ia juga terpilih menjadi anggota Konstituante dari Partai
Masyumi setelah Pemilihan Umum 1953.
Dalam masa kepemimpinannya disebut sebagai penanaman kembali dan pemantapan
“roh tauhid” (semangat tauhid) dalam Muhammadiyah. Untuk itu, Sutan Mansur
memasyarakatkan dua hal, sebagai berikut: pertama, merebut khasyyash (takut pada
kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam roh tauhid, dan mewujudkan
akhlak tauhid. Kedua, mengusahakan buq’ah mubarakah (tempat yang diberkati) di tempat
masing-masing mengupayakan shalat jamaah pada awal setiap waktu, mendidik anak-anak
beribadah dan mengaji Al-Qur’an untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunat hari Senin dan
Kamis, juga pada tanggal 13, 14, dan 15 bulan Islam sesuai dengan yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW, dan tetap menghidupkan takwa.
Dalam periode kepemimpinannya pula, Muhammadiyah juga berhasil merumuskan
khittahnya tahun 1956-1959 atau yang populer dengan “khittah Palembang”, yaitu, pertama,
menjiwai pribadi dan pemimpin Muhammdiyah dengan memperdalam dan mempertebal
tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusu’ dan tawadu’, mempertinggi akhlak,
memperluas ilmu pengetahuan dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan
dan rasa tanggung jawab. Kedua, melaksanakan uswatun hasanah. Ketiga, mengutuhkan
organisasi dan merapikan administrasi. Keempat, memperbanyak dan mempertinggi mutu
anak. Kelima, memperoleh ukhuwah sesama Muslim dengan mengadakan badan islah untuk
mengantisipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan. Keenam, menuntun penghidupan
anggota.
M. Yunus Anis, dalam salah satu kongres Muhammadiyah mengatakan bahwa di
Muhammadiyah ada dua bintang, yaitu Bintang Timur adalah KH. Mas Mansur dari Surabaya,
Ketua PP Muhammadiyah 1937-1943, dan Bintang Barat adalah Sutan Mansur dari
Minangkabau, ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.
Sutan Mansur menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 25 Maret 1985 yang
bertepatan dengan 3 Rajab 1405, di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang
ulama, dai, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap hari Ahad pagi menjelang akhir hayat
senantiasa masih memberikan pelajaran agama Islam terutama tentang tauhid di ruang
pertemuan Gedung Muhammadiyah jalan Menteng Raya 62 Jakarta.
Jenazah almarhum dikebumikan di pemakaman umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan,
setelah sebelumnya dishalatkan di Masjid Komplek Muhammadiyah. Hari itu, warga
Muhammadiyah dan seluruh kaum Muslim di Indonesia berduka.

Anda mungkin juga menyukai