umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan pahlawan nasional Indonesia.
Keluarga
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo
Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli
agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi
Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan
terhormat pada saat itu.
Pendidikan
Nyantri pada Kyai Kholil Bangkalan
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di
Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas
Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan,
Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil.
Belum lama dia belajar di sana kurang lebih dua tahun, Kia Khalil meninggal dunia, sehingga Mas
Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.
lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah dulu di Makkah selama satu
tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.
Menikah
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti Zakijah yang
tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak,
yaitu Nafiah, Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim dan Loek-loek. Di samping menikah
dengan Siti Zakijah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini
tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Taswir Al-Afkar
Di samping itu, Mas Mansoer juga membentuk majelis diskusi bersama Wahab Hasboellah yang diberi
nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh Masyarakat
Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit
menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir al-Afkar
merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan
pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan
masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah politik perjuangan melawan
penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti
Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai
kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang
bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah
Air) di Wonokromo, Far'u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk
Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati dari nama yang mereka munculkan, yaitu wathan yang berarti
tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar. Mereka
berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk membebaskan tanah
air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa lain itulah yang mereka
harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidak mau permasalahan yang mereka
diskusikan merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat
antara Mas Mansoer dengan Abdoel Wahab Hasboellah mengenai masalah-masalah tersebut yang
menyebabkan Mas Mansoer keluar dari Taswir al-Afkar.
Kepenulisan
Mas Mansoer juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran
pembaharuannya dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama
Soeara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat
digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, Soeara Santri mendapat sukses yang gemilang. Djinem
merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansoer. Majalah ini terbit dua kali
sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab. Kedua majalah tersebut merupakan
sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih mengekspresikan
pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu Mas Mansoer mengajak kaum muslimin untuk
meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Di samping itu, Mas Mansoer juga pernah menjadi redaktur
Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Siaran dan Kentoengan di Surabaya; Penagandjoer dan
Islam Bergerak di Jogjakarta; Pandji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di
samping melalui majalah-majalah, Mas Mansoer juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk
buku, antara lain yaitu Hadits Nabawijah; Sjarat Sjahnja Nikah; Risalah Tauhid dan Sjirik; dan Adab
al-Bahts wa al-Munadlarah.
Kegiatan di Muhammadiyah
Mulai aktif di Muhammadiyah
Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun aktivitasnya
dalam organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk
organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan
memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang
dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni
setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah
Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.
Gaya kepemimpinan
Terpilihnya Mas Mansoer sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah meniscayakannya untuk
pindah ke Jogjkarta bersama keluarganya. Untuk menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak
memberikan gaji, melainkan ia diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah,
sehingga ia mendapatkan penghasilan dari sekolah tersebut. Sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, Mas Mansoer juga bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus
Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya. Demikian juga dengan para tamu
Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang
seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansoer selalu
menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar
Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya. Namun
ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di
rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 19381949. Ada duabelas langkah yang dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansoer juga banyak membuat
gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk pula dicatat, Mas
Mansoer tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan,
dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum
bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat
di masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk
sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan
demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna
memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.
Kegiatan politik
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga banyak melakukan gebrakan. Sebelum
menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer sebenarnya sudah banyak terlibat dalam
berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia pun
mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai
berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasboellah yang
keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII)
bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansoer termasuk
dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai,
yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah
Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat serangkai
tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat
serangkai digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Meninggal dunia
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia tetap
ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara
Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Kalisosok. Di tengah
pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada
tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.
Pahlawan nasional
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional bersama
teman seperjuangannya, yaitu KH. Fakhruddin.
malam ia didatangi seorang tamu yang memintanya agar setiap K.H. Ahmad Dahlan ke
Surabaya bersedia untuk menginap di rumahnya. Tamu itu ialah Kiai Haji Mas Mansur.
Mas Mansur selalu mengikuti pengajian yang diberikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dan ia
sangat tertarik oleh isi kajian yang diberikannya, serta tertarik juga akan
kesederhanaannya.
Mas Mansur lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 di Surabaya. Ibunya bernama
Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo,
Wonokromo, Surabaya. Ayahnya bernama K.H. Mas Ahmad Marzuqi, seorang pioneer
Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan
bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di
Masjid Agung Ampel Surabaya, suatu jabatan terhormat pada saat itu.
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia
juga belajar di Pesantren Sidoresmo dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya.
Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke
Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Quran dan
mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana,
kurang lebih dua tahun, Kiai Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan
pesantren itu dan pulang ke Surabaya.
Sepulang dari Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan
untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari
Pondok Pesantren Termas, Jawa Tengah. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di
sana, situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Sultan
Syarif Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah
supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansur tidak mengizinkannya
ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai
tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansur tetap
melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup
karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya
hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan
mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang
lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk belajar
di Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana
Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat
kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat
Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansur juga memanfaatkan kondisi
ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan
pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke
tanah air, terlebih dulu dia singgah kembali ke Makkah selama satu tahun, dan pada
tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti
Zakiyah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka
dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainurrafiq, Aminah, Muhammad Nuh, Ibrahim
dan Luk-luk. Disamping menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga menikah dengan Halimah.
Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun,
karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam
Syarikat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya
pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan
pembaharuan merupakan modal baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu
organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto, dan terkenal sebagai
organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar
SI.
Selain itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah
yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami
oleh keadaan masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit
diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi
yang mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama
Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di
surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan masalahmasalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah politik perjuangan melawan
penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota,
seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada
pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab
Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air),
kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Faru al-Wathan
(Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang.
Kalau diamati, dari nama yang dimunculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka
dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar. Mereka
berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk
membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur
tangan bangsa lain, itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya, mau tidak mau permasalahan yang
mereka diskusikan, merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad dan madzhab. Terjadinya
perbedaan pendapat antara Mas Mansur dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai
masalah-masalah tersebut yang menyebabkan Mas Mansur keluar dari Taswir al-Afkar.
Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran
pembaharuannya dimuat di media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan
bernama Suara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu
kata santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, majalah Suara Santri
mendapat sukses yang gemilang. Majalah Jinem merupakan majalah kedua yang pernah
diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan
bahasa Jawa dengan huruf Arab (pegon). Kedua majalah tersebut merupakan sarana
untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih
mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu, Mas Mansur
mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Selain itu,
Mas Mansur pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di majalah Siaran dan majalah Kentungan di
Surabaya; Penganjur dan Islam Bergerak di Yogyakarta; Panji Islam dan Pedoman
Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansur
juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadis
Nabawiyah; Syarat Syahnya Nikah; Risalah Tauhid dan Syirik; dan Adab al-Bahts wa alMunadlarah.
Selain aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun
aktivitas organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas
Mansur masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur di Muhammadiyah
membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai
organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan
mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang
Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa
Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943. Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua
terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua PB
Muhammadiyah, ia mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat
Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) bersama K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia
juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman
Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur
termasuk salah seorang dari empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan,
yang terkenal dengan sebutan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki
Hajar Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta,
sehingga jabatan ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo.
Namun, kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia
menyebabkannya tidak tahan dalam aktivitas empat serangkai tersebut, sehingga ia
memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai
digantikan oleh Ki Bagus Hadikusumo.
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakit.
Namun, ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk
melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya, ia ditangkap oleh tentara NICA
dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang
berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946.
Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan
Nasional bersama H. Fakhruddin.
KH Mas Mansur sangat dekat dengan KH Abdul Wahab Hasbullah (Ulama kharismatik NU), keduanya
sama-sama pernah belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas
Jawa Tengah, Beliau berdua membentuk majelis diskusi yang diberi nama Tashwirul Afkar (Pergolakan
Pemikiran) di Surabaya pada 1914. Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta
yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topiktopik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat
kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam
dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan
pelik yang dianggap penting. Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga
menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan
bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini
menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke daerah-daerah lain di
seluruh Jawa hingga makin kuatlah semangat dan cita cita membebaskan tanah air dari belenggu
penjajah.
Gelora Pergerakan Politik menuju Indonesia Merdeka
Dalam gelora pergerakan dan perpolitikan ummat Islam, Mas Mansur mengawali bergabung dalam
Syarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto bahkan beliau dipercaya sebagai Penasehat
Pengurus Besar SI. Kedekatan dengan HOS Cokroaminoto berlanjut ketika KH Mas Mansur terpilih
sebagai Ketua MAIHS (Muktamar Alam Islami Farul Hindisj Syarqiyah) pada tahun 1926, keduanya
terpilih untuk mewakili Indonesia dalam Muktamar Alam Islami sedunia di Makkah.
Pada tahun 1937, KH Mas Mansur berhasil melakukan gebrakan politik bagi ummat Islam dengan
memprakarsai berdirinya Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) bersama dengan KHA Dahlan dan KH
Wahab Hasbullah (Keduanya dari Nahdlatul Ulama. MIAI inilah rintisan awal yang di kemudian hari
menjelma menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada Tahun 1938, Beliau memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman
Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII).
Pada Tahun 1939, Terbentuk Majelis Rakyat yang dipelopori oleh GAPI (Gabungan Partai Politik
Islam) dan MIAI (sebagai Federasi organisasi organisasi Islam Indonesia) yang melancarkan tuntutan
INDONESIA BERPARLEMEN kepada Pemerintah hindia belanda, pada waktu itu KH Mas Mansur
terpilih secara aklamasi sebagai ketua majelis rakyat namun beliau menolak lantaran merasa masih
banyak yang dianggapnya lebih siap dan mampu.
Pada Tahun 1942, Balantentara Jepang menduduki Tanah Air, KH Mas Mansur bersama beberapa
tokoh terkemuka dan berpengaruh pada masa itu yaitu Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Ki
Hajar Dewantara (empat serangkai) memimpin PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), organisasi bentukan
jepang yang dijadikan alat perjuangan kemerdekaan dan menjadi cikal bakal lahirnya tentara Peta
(Pembela Tanah Air), BPUPKI dan PPKI
Sejak tahun 1944 hingga 1945 kembali ke Surabaya dan bersama para pemuda terlibat dalam
perjuangan merebut kemerdekaan
Pada Tahun 1946, ditangkap oleh NICA dan dipaksa berpidato untuk menghentikan perlawanan rakyat
terhadap sekutu / Inggris di Surabaya, tetapi beliau dengan tegas menolak hingga dijebloskan kedalam
tahanan hingga akhirnya meninggal dunia dalam tahanan pada tanggal 25 April 1946.
1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan tahun 1960, yaitu pada saat Masyumi
dibubarkan.
Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan luka yang mendalam
bagi para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang digantikan oleh
rezim Orde Baru, maka Faqih Usman bersama dengan Hasan Basri (mantan Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia) dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota politik ini kemudian
dikenal dengan Nota K.H. Faqih Usman, yang isinya permintaan agar Pemerintah RI Orde
Baru mau merehabilitasi Masyumi dari partai terlarang.
Faqih Usman banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah dipercaya
Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim
Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Pada tahun 1951 ia
ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak stabil
saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia dipercaya kembali sebagai
Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April l952 sampai 1 Agustus 1953.
Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat
menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab
Hasbullah yang merupakan representasi kubu NU menuntut agar jabatan Menteri Agama
diberikan kepada unsur NU. Namun, setelah diadakan pemungutan suara, ternyata Faqih
Usman (representasi Masyumi) yang terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di
tanah air, karena akhirnya justru mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU)
dari Masyumi.
Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih tetap duduk sebagai anggota aktif
Konstituate, di samping jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada
Departeman Agama sejak tahun l954. Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, dia juga
terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang
meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera
Utara. Bersama dengan Mohammad Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk
mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat saat itu. Ia berusaha
menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti
Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk
mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut.
Upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal. Dalam
keputusasaan tersebut, akhirnya Fakih Usman kembali ke Muhammadiyah yang menjadi
basis aktivitas kemasyarakatannya.
Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada kepengurusan
KHA. Badawi yang pertama (1962-1965), KH Fakih Usman merumuskan sebuah konsep
pemikiran yang kemudian dikenal dengan Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan
pemikirannya ini diajukan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta,
yang akhirnya diterima sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.
Ammar Faqih adalah salah seorang ulama yang berasal dari Jawa Timur, pengasuh Pondok Pesantren
Maskumambang, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik. Ia banyak menulis tentang masalah-masalah
Aqidah, Filsafat dan Fiqih dalam bahasa Arab dan Jawa (Pegon). Antara lain tulisannya adalah
Tuhfatul Ummah fil Aqaaid wa Raddi al Mafaasid, yang mendapat sambutan baik dari ulama-ulama di
Mesir.
Pemikiran-pemikiran Ammar Faqih, banyak mendapat pengaruh langsung dari Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab, dan dari sini membawa pengaruh yang sangat positif terutama dalam pola penanaman
jiwa tauhid di lingkungan Pondok Pesantren Maskumambang sampai saat ini.
Ammar Faqih adalah cucu dari K.H. Abdul Djabbar, pendiri Pondok Pesantren Maskumambang dari
putranya yang bernama K.H. Faqih bin Abdul Djabbar. Ammar Faqih dilahirkan pada tanggal 8
Desember tahun 1902 di Kampung Maskumambang, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, dan
meninggal pada hari Selasa malam Rabu tanggal 25 Agustus 1965.
Bersama-sama dengan beberapa orang tokoh seperti K.H. Fatah Yasin (mantan Menteri Sosial), K.H.
Wahid Hasyim (mantan Menteri Agama), dan beberapa pengasuh Pondok Pesantren di Indonesia yang
pernah nyantri di Maskumambang, Ammar Faqih memperoleh pengetahuan agama dari lembaga
pendidikan yang diasuh oleh ayahnya. Materi pengajaran, ditekankan pada masalah-masalah Aqidah,
Fiqih, Nahwu, Sharaf, Ushul Fiqih, dan Akhlaq.
Pada tahun 1925, dalam usia remaja, Ammar Faqih berkesempatan memperdalam pengetahuan
agamanya. Ia belajar di Mekah selama lebih kurang dua tahun, yaitu dari tahun 1926 sampai dengan
tahun 1928 M. dan pada tahun 1931 M. ia belajar Ilmu Falak kepada K.H. Mansur di Madrasah
Falakiyah Jakarta. Kemudian tahun 1943, ia mengikuti latihan para kiai selama 20 hari di Jakarta.
Di dalam pengalaman organisasinya sebelum Ammar Faqih berangkat ke Mekah, atas dasar
kemampuan di bidang ilmu yang dimilikinya, ia sudah mendapat kepercayaan untuk memimpin
Pondok Pesantren sejak K.H. Faqih bin Abdul Djabbar wafat pada tahun 1937 M. dan pada masa
penjajahan Jepang, segala aktivitasnya senantiasa diawasi dan dicurigai. Dan seperti para pemimpin
masyarakat yang lain, Ammar Faqih dalam beberapa bulan juga sempat menghuni di dalam penjara
Jepang.
Pada masa revolusi fisik, kompleks Pondok Pesantren yang dipimpinnya, digunakan sebagai tempat
latihan, sekalian digunakan sebagai markas para pejuang bersenjata yang mundur dari daerah
Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Karena digunakan sebagai markas, segala aktivitas yang
berhubungan tentang perang, baik itu dalam mengatur strategi, taktik dan lainnya, semua dilakukan di
dalam kompleks Pondok Pesantren ini.
Pada masa setelah kemerdekaan, dengan dikeluarkannya Maklumat pemerintah yang memberi
kebebasan untuk mendirikan Partai, Ammar Faqih pun tidak ketinggalan dalam organisasi tersebut.
Salah satu Partai yang kemudian digelutinya adalah Partai Masyumi. Di dalam Partai ini, Ammar Faqih
pertama-tama aktif sebagai pimpinan anak cabang di Dukun. Kemudian pada tahun 1959, ia terpilih
sebagai ketua DPRD kabupaten Surabaya (sekarang kabupaten Gresik).
Dalam perjalanan organisasi Ammar Faqih selanjutnya, ia ditunjuk sebagai anggota Majelis Syuro
Pusat. Namun, setelah dalam tubuh partai tersebut mengalami perpecahan dengan sesama umat Islam,
ia lebih baik mengundurkan diri. Dan sampai akhir hayatnya (1965 M.), tenaganya dan hidupnya hanya
dicurahkan untuk mengasuh pondok Pesantren.
Mengenai pemikiran-pemikirannya Ammar Faqih, masalah-masalah yang sering dilontarkannya adalah
hal-hal yang selalu berkaitan dengan aqidah Islamiyah. Dalam menanggapi kemunafikan misalnya,
Ammar Faqih mengemukakan empat faktor. Faktor pertama, Iman dan Islam diterjemahkan dengan
istilah bahasa Jawa Nyandel (percaya tanpa bukti) dan selam atau sunnat (memotong kulit kemaluan).
Kedua, Syahadat bagi mereka (orang Islam) yang dipentingkan adalah mengucapkan. Ketiga adalah
Istikat disamakan dengan anggapan, dan yang keempat; Ilah diartikan pangeran.
Atas dasar kenyataan tersebut, ia berkesimpulan bahwa menghukumi Islam atas sembarang orang
dengan alasan pernah nikah di hadapan penghulu adalah tidak benar. Alasan yang dikemukakan
Ammar Faqih adalah karena cara seperti itu sekadar mematuhi peraturan pemerintah lagi pula ucapan
syahadat tersebut didikte pada saat akan melangsungkan nikah.
Dalam masalah filsafat, Ammar Faqih menekankan beberapa masalah. masalah pertama yaitu Burhan.
Masalah Burhan sebagai pengkajian masalah akal, menemukan hukum bahwa sesuatu itu dianggap
mustahil, atau sesuatu itu dianggap wajib, atau sesuatu itu mungkin (boleh ada dan boleh tidak).
Kedua, adalah Musyahadat; hukum yang diterima oleh akal ketika merasakan sesuatu dengan indera.
Ketiga adalah Mujarrabat, adalah hukum yang diterima oleh akal dari percobaan yang berulang-ulang,
dan keempat, Mutawaafitaat, yaitu hukum yang diterima oleh akal dari berita kenyataan yang tidak
dapat dihitung pemberitaannya. Kelima, Hadatsiyah, yaitu hukum yang diterima oleh akal ketika
ditampakkan sesuatu dengan panca indera lahir. Dan yang keenam, Mahsuusat, yaitu hukum yang
diterima oleh akal menurut keadaan lahir.
Dalam masalah Fiqih, dari pemikiran-pemikiran Ammar Faqih menegaskan bahwa orang Islam dapat
berpegang pada pemikiran para imam mujtahid dengan tanpa mewajibkan umat Islam untuk taklid
kepada salah satu madzhab.
Di dalam hidupnya, Ammar Faqih merupakan seorang yang sangat produktif dalam hal penulisan.
Banyak karya tulis yang sudah diselesaikannya dan bahkan ada yang sudah dicetak untuk
disebarluaskan ke seluruh masyarakat. Di antara karya-karya dari karangannya adalah;
1. Tuhfatul Ummat.
2. Ar Raddu wan Nawadhir
Sebuah Kitab yang memakai bahasa Arab dan diterbitkan di Mesir tahun 1354 H./1935 M. Di
dalam Kitab ini, mengupas tentang masalah-masalah fiqhiyyah terutama masalah berbilangan
tempat shalat Jumat yang sebelumnya pernah diperselisihkan beberapa ulama Jawa Timur dalam
mentekel kasus Masjid Dukun Majid Sembungan.
3. Al Fashlul Mubin
4. Nurul Islam
5. Al Hujjatul Baoighoh
6. Filsafat Ketuhanan
Buku ini merupakan karya yang ditulis dengan mamakai bahasa Indonesia yang mengupas tentang
masalah ketuhanan dan agama. Buku ini lebih kecil di bandingkan dengan kitab-kitab yang
lainnya. Di dalam buku ini, Ammar Faqih membagi Hujjah menjadi dua; yang pertama adalah
Hujjah Naqliyah dan yang kedua Hujjah Aqliyah. Hujjah Aqliyah, bagi dia, meliputi Jadal,