Anda di halaman 1dari 17

Tokoh Muhammadiyah

Sebelum Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan kepada para sahabatnya agar
tongkat kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji
Ibrahim, adik ipar KHA. Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama
besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun, atas
desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya
dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan
Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter
HoofdbestuurMoehammadijah Hindia Timur (Soedja, 1933: 232).

K.H. Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah
putra K.H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Kesultanan Yogyakarta
pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII OGRE(Soedja. 1933: 227), dan ia
merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.
Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja,
1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung
lama, karena istrinya segera dipanggil menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian
Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah, putri ragil dari K.H. Abdulrahman (adik kandung
dari ibu Moechidah).

Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup panjang yaitu
sampai 108 tahun, dan baru meninggal pada 9 September 1998. Menurut penilaian para
sahabat dan saudaranya, Ibu Moesinah Ibrahim merupakan potret wanita zuhud, penyabar,
gemar sholat malam dan gemar silaturahmi. Karena kepribadiannya itulah maka Hj.
Moesinah sering dikatakan sebagai ibu teladan (Suara Aisyiyah. No.1/1999: 20).
Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji Al-
Quran sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh saudaranya
sendiri (kakak tertua), yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun,
dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun
1902 ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.

K.H. Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal sebagai
ulama besar dan berilmu tinggi. Setibanya di tanah air, K.H. Ibrahim mendapat sambutan
yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang berduyun-duyun untuk mengaji ke hadapan
K.H. Ibrahim. Beliau termasuk seorang ulama besar yang cerdas, luas wawasannya,
sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia hafal (hafidh) Al-Quran dan ahli qiraah (seni baca
Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh
banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Quran dan bahasa
Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-
arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi
Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

KH Hisyam ( Ketua 1934 -1936)

Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka
pada akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool,
47 Standaardschool, 69 Hollands Inlandse School (HIS), dan 25Schakelschool, yaitu
sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs, setingkat SMP saat ini) bagi murid
tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah
tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah
Muhammadiyah saat itu merupakan lembaga pendidikan pribumi yang dapat menyamai
kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-
sekolah Protestan.

Berkat jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, ia


mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda
jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat
dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai
macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.

KH Mas Mansyur (Ketua 1937 - 1941)


Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam
Syarikat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya
pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan
pembaharuan merupakan modal baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu
organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto, dan terkenal sebagai
organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar
SI.

Selain itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah
yang diberi nama Taswir al-Afkar(Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini
diilhami oleh keadaan masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat
sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan
tradisi yang mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama
Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau
masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang
bersifat keagamaan murni sampai masalah politik perjuangan melawan penjajah.

Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota,
seperti Nahdhah al-Wathan(Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada
pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab
Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air),
kemudian madrasahAhl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Faru al-
Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan(Petunjuk Tanah Air) di
Jombang. Kalau diamati, dari nama yang dimunculkan, yaitu wathan yang berarti tanah
air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar. Mereka
berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk
membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan
bangsa lain, itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya, mau tidak mau permasalahan yang
mereka diskusikan, merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad dan madzhab. Terjadinya
perbedaan pendapat antara Mas Mansur dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai
masalah-masalah tersebut yang menyebabkan Mas Mansur keluar dari Taswir al-Afkar.
Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran
pembaharuannya dimuat di media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama
Suara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri
sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, majalah Suara Santri mendapat sukses
yang gemilang. Majalah Jinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh
Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan
huruf Arab (pegon). Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-
pikirannya dan mengajak para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk
tulisan. Melalui majalah itu, Mas Mansur mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan
kemusyrikan dan kekolotan. Selain itu, Mas Mansur pernah menjadi redaktur majalah
Kawan Kita di Surabaya. Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur
bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah
selalu diadakan tepat pada waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah
dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang
seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas
Mansur selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi,
karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap
karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi
para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang tidak
berkaitan dengan Muhammadiyah.

Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah


Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang dicanangkan. Mas Mansur juga
banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang
perlu juga dicatat, Mas Mansur tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank,
yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa
untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat
bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan
ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Oleh
karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu,
maka kondisi perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan
demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan
perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.

Dalam dunia politik ummat Islam saat itu, Mas Mansur banyak melakukan gebrakan.
Sebelum menjadi Ketua PB Muhammadiyah, Mas Mansur sebenarnya sudah banyak
terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua PB
Muhammadiyah, ia mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat
Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) bersama K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia
juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman
Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur
termasuk salah seorang dari empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang
terkenal dengan sebutan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar
Dewantara, dan Mas Mansur.

Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga


jabatan ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Namun,
kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya
tidak tahan dalam aktivitas empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk
kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagus
Hadikusumo.

Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakit.
Namun, ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk
melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya, ia ditangkap oleh tentara NICA
dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk
itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya
dimakamkan di Gipo Surabaya.
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan
Nasional bersama H. Fakhruddin.

Ki Bagus Hadikusuma (Ketua 1944 - 1953)

Secara formal, selain kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh
(1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah
(1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan
berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak
langkah serta perjuangan Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok pikiran itu menjadi
Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan dasar
ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya.
HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan
dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.

Ki Bagus juga sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara
lain Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain
yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka
Islam(1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). Dari buku-buku
karyanya tersebut tercermin komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam.
Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki
kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam.

Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi,
politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum
Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan
yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting
sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan
tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh
para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang
diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui
penetapan Ordonansi 1931. Kekecewaannya itu ia ungkap kembali saat menyampaikan
pidato di depan Sidang BPUKPKI.

Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat


terjadi pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus
Hadikusuma menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muhammadiyah
ketika diminta oleh Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap
tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah
ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di
Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi di bawah penjajahan Jepang,
Muhammadyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik. Ki Bagus Hadikusumo berani
menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam, untuk
memerintahkan ummat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian
tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari.

Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun


(1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.

Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur

Saat beliau memimpin, Muhammadiyah berhasil merumuskan Khittah Muhammadiyah


tahun 1956-1959 atau yang populer sebagai Khittah Palembang, yaitu:
(1) Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan
mempertebal tauhid,
menyempurnakan ibadah dengan khusyu dan tawadlu, mempertinggi akhlak,
memperluas ilmu
pengetahuan, dan menggerakkan Muham-madiyah dengan penuh keyakinan dan rasa
tanggung jawab.
(2) Melaksanakan uswatun hasanah.
(3) Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi.
(4) Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak.
(5) Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader.
(6) Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk
mengantisipasi bila
terjadi keretakan dan perselisihan.
(7) Menuntun penghidupan anggota.

Meskipun setelah 1959 tidak lagi menjabat sebagai ketua, Buya AR Sutan Mansur yang
sudah mulai uzur tetap menjadi Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari periode ke
periode. Ia, meski jarang sekali dapat hadir dalam rapat, konferensi, Tanwir, dan Muktamar
Muhammadiyah tetap menjadi guru pengajian keluarga Muhammadiyah.

Buya Sutan Mansur juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dari beberapa
tulisannya, antara lain berjudul Jihad, Seruan kepada Kehidupan Baru, Tauhid Membentuk
Kepribadian Muslim, dan Ruh Islam, nampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang
paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam Islam. Doktrin-doktrin Islam
ia uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan dengan tauhid melalui pembahasan ayat demi
ayat dengan keterangan Al-Quran dan hadis.

Buya H. Ahmad Rasyid Sutan Mansur meninggal pada hari Senin 25 Maret 1985
bertepatan 3 Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang ulama,
dai, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap Ahad pagi senantiasa memberikan
pelajaran agama terutama tentang Tauhid di ruang pertemuan Gedung Dakwah
Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62 Jakarta. Jenazah almarhum Buya dikebumikan di
Pekuburan Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan setelah dishalatkan di Masjid Kompleks
Muhammadiyah.
Buya Hamka menyebutnya sebagai seorang ideolog Muhammadiyah. Dan, M. Yunus
Anis dalam salah satu Kongres Muhammadiyah mengatakan, bahwa di Muhammadiyah
ada dua bintang. Bintang timur adalah K.H. Mas Mansur dari Surabaya, Ketua PP
Muhammadiyah 1937-1943 dan bintang barat adalah Buya AR. Sutan Mansur dari
Minangkabau, Ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.

Kyai Haji Muhammad Yunus Anis (Ketua 1959 - 1962)

Selama rentang pengabdiannya sebagai muballigh, Yunus Anis pernah mukim di berbagai
daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh Darussalam hingga ke Padang Panjang, Sumatera
Barat. Serta pernah pula mukim di Makassar dan Alabio, Kalimantan Selatan. Di berbagai
daerah yang disinggahi dan dimukiminya, Yunus Anis membuka jalan baru bagi
berkembangnya Muhammadiyah dan banyak mendirikan cabang-cabang Persyarikatan
Muhammadiyah. Besar andilnya dalam mengembangkan misi dakwah dan gerakan
Muhammadiyah, pada akhirnya menempatkan sosoknya sebagai Pengurus Besar
Muhammadiyah.

Yunus Anis kembali ke Yogyakarta karena diminta membina bagian pemuda Hizbul
Wathan. Tugas itu diterimanya dengan penuh gairah, lalu berkiprah sungguh-sungguh
dalam membina pemuda yang berjiwa agresif dan kreatif bersendikan nilai-nilai Islam.
Dan, di kemudian hari diharapkan menjadi gemerasi penerus yang cakap, trampil, dilandasi
iman yang teguh. Dalam kesempatan Apel Besar Htzbul Wathan di akun-alun utara
Yogyakarta, Yunus Anis tampil membangkitkan semangat dengan hadir sambil
menunggang kuda untuk memeriksa pasukan. Tampaklah pada dirinya ditunjang postur
tubuhnya yang tinggi besar, sosok kepemimpinan yang tegas dan berkesan. Tak pelak,
kesan itu kemudian tersiar luas di kalangan Muhammadiyah.

Selain itu, Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Bakat itu,
pernah mengantarnya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia, hingga
kepemimpinannya semakin terlihat menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga
besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus Anis dipercaya
sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

KH Ahmad Badawi (Ketua 1962 - 1965)

Tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih remaja


membuatnya harus pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas organisasi. Masing-
masing organisasi berupaya menggalang anggota-anggotanya dengan berbagai macam
cara, dengan tujuan untuk bersatu mengusir pemerintah kolonial Belanda, dengan berbagai
variasi sesuai dengan misi dan visi organisasinya.

Keinginan Badawi untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya
dari berbagai pesantren akhirnya mengantarkannya pada Muhammadiyah sebagai
pilihannya dalam beraktivitas. Hal ini dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan orientasi
Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi. Keberadaannya di Muhammadiyah lebih
diperjelas dengan tercatatnya ia di buku Anggota Muhammadiyah nomor 8.543 pada
tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang sehingga ia
ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944 (Jusuf Anis, t.t., p. 25).

Pada masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Ia turut
beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan Kecabean Kulon Progo. Pada
tahun 1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan K.H. Mahfudz sebagai
Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia juga
menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono
IX, serta bergabung di Batalyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan.
Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di
Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini kemudian
membubarkan diri.

Semenjak berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya


untuk bertabligh. Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah
(madrasah) dan melalui kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke-
Muhammadiyah-an. Prestasi di bidang tabligh telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya
menjadi Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada
tahun-tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah Zaimat
(yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun 1942). Di Madrasah
Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan potensi wanita, sehingga mereka
akan bisa menjadi muballighat yang handal di daerahnya.

Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan Pusat


Muhammadiyah Ahmad Badawi selalu terpilih dan ditetapkan menjadi Wakil Ketua. Pada
waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar Muhammadiyah
ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
1965-1968.

Citra politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut,
karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi
yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang
sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila,
anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan dengan
adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.

KH Faqih Usman (Ketua 1968 - 1971)

Faqih Usman dikenal memiliki etos enterpreneurship yang kuat. Kegiatan bisnis yang
dilakukannya cukup besar dengan mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam
bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan,
dia juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik.

Keterlibatannya dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925, ketika ia diangkat


sebagai Ketua Group Muhammadiyah Gresik, yang dalam perkembangan selanjutnya
menjadi salah satu Cabang Muhammadiyah di Wilayah Jawa Timur. Selanjutnya, karena
kepiawaiannya sebagai ulama-cendekiawan, ia diangkat sebagai Ketua Majelis Tarjih
Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Ketika
Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia menggantikan
kedudukan Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur pada tahun 1936.
Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dia diangkat dan duduk dalam susunan
kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan seterusnya selalu terpilih sebagai salah
seorang staf Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menjelang meninggalnya, beliau
dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar
Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun,
jabatan itu sempat diemban hanya beberapa hari saja, karena ia segera dipanggil
menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968. Selanjutnya kepemimpinan
Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul Rozak Fachruddin yang masih sangat muda.

Faqih Usman banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang sangat membantu
pengembangan Muhammadiyah. Dia pernah memimpin majalah Bintang Islam sebagai
media cetak Muhammadiyah Jawa Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah
memperluas jaringan pergaulannya, sehingga iapun terlibat aktif di berbagai organisasi
masyarakat, seperti Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada tahun 1937.

Pada tahun 1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia
menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya.
Pada tahun 1959, dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) bersama-sama
dengan Buya Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad. Majalah ini memiliki
ikatan yang erat dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil dalam Partai Masyumi sejak
didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar Ummat Islam di
Yogyakarta. Dia duduk sebagai salah seorang Pengurus Besar Masyumi, dan pada tahun
1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan tahun 1960, yaitu pada saat Masyumi
dibubarkan.
Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan luka yang mendalam
bagi para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang digantikan oleh
rezim Orde Baru, maka Faqih Usman bersama dengan Hasan Basri (mantan Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia) dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota politik ini kemudian
dikenal dengan Nota K.H. Faqih Usman, yang isinya permintaan agar Pemerintah RI Orde
Baru mau merehabilitasi Masyumi dari partai terlarang.

Faqih Usman banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah dipercaya
Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim
Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Pada tahun 1951 ia
ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak stabil
saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia dipercaya kembali sebagai
Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April l952 sampai 1 Agustus 1953.
Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat
menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab
Hasbullah yang merupakan representasi kubu NU menuntut agar jabatan Menteri Agama
diberikan kepada unsur NU. Namun, setelah diadakan pemungutan suara, ternyata Faqih
Usman (representasi Masyumi) yang terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di
tanah air, karena akhirnya justru mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU)
dari Masyumi.

Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih tetap duduk sebagai anggota aktif
Konstituate, di samping jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada
Departeman Agama sejak tahun l954. Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, dia juga
terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang
meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera
Utara. Bersama dengan Mohammad Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk
mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat saat itu. Ia berusaha menemui
rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti
Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk
mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut. Upaya
ini tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal. Dalam
keputusasaan tersebut, akhirnya Fakih Usman kembali ke Muhammadiyah yang menjadi
basis aktivitas kemasyarakatannya.

Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada kepengurusan
KHA. Badawi yang pertama (1962-1965), KH Fakih Usman merumuskan sebuah konsep
pemikiran yang kemudian dikenal dengan Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan
pemikirannya ini diajukan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta,
yang akhirnya diterima sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.

KH Abdur Rozak Fachdrudin (1971 - 1985)

Pak AR adalah ulama besar yang berwajah sejuk dan bersahaja. Kesejukannya sebagai
pemimpin ummat Islam bisa dirasakan oleh ummat beragama lain. Ketika menyambut
kunjungan pimpinan Vatikan, Paus Yohanes Paulus II di Yogyakarta, sebenarnya Pak AR
menyampaikan kritikan kepada umat Katholik, tetapi kritik itu disampaikannya secara
halus dan sejuk berupa sebuah surat terbuka.

Dalam surat itu, Pak AR mengungkapkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah
muslim. Namun, ada hal yang terasa mengganjal bagi umat Islam Indonesia, bahwa umat
Katholik banyak menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi ummat Islam yang
masih menderita dan miskin agar mau masuk ke agama Katolik. Mereka diberi uang,
dicukupi kebutuhannya, dibangunkan rumah-rumah sederhana, dipinjami uang untuk
modal dagang, tetapi dengan ajakan agar menjadi umat kristen. Umat Islam dibujuk dan
dirayu untuk pindah agama. Dalam tulisannya kepada Paus Yohanes Paulus II itu, Pak AR
menyatakan bahwa agama harus disebarluaskan dengan cara-cara yang perwira dan sportif.
Kritik ini diterima dengan lapang dada oleh ummat lain karena disampaikan dengan lembut
dan sejuk dalam bahasa Jawa halus, serta dijiwai semangat toleransi yang tinggi.
Orang mengatakan bahwa Pak AR adalah penyejuk. Orang selalu mengatakan bahwa
kelebihan Pak AR adalah kesejukan dalam menyampaikan dakwah. Gaya kepemimpinan
Pak AR yang terasa adalah kesejukan.

Semasa hidupnya Pak AR memberi contoh hidup welas asih dalam ber-Muhammadiyah.
Sikap hidup beliau yang teduh, sejuk, ramah, menyapa siapa saja, sering humor, dan
bersahaja, adalah pantulan dari mutiara terpendam dalam nuraninya. Pak AR adalah
penyebar rasa kasih sayang dalam kehidupan ber-Muhammadiyah, baik dengan sesama
Muslim, bahkan juga non Muslim dalam persaudaraan kemanusiaan yang luhur. Beliau
tidak pernah menyebarkan sikap dan suasana saling membenci, curiga, iri hati, saling ingin
menapikan, apalagi suka menebar aib sesama dalam kehidupan ber-Muhammadiyah.

Selain dikenal sebagai seorang mubaligh yang sejuk, ia juga dikenal sebagai penulis yang
produktif. Karya tulisnya banyak dibukukan untuk dijadikan pedoman. Di antara karya-
karyanya ialah Naskah Kesyukuran; Naskah Enthengan, Serat Kawruh Islam Kawedar;
Upaya Mewujudkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Amal; Pemikiran dan Dakwah
Islam;Syahadatain Kawedar; Tanya Jawab Entheng-Enthengan; Muhammadiyah adalah
Organisasi Dakwah Islamiyah; Al-Islam Bagian Pertama; Menuju Muhammadiyah;
Sekaten dan Tuntunan Sholat Basa Jawi; Kembali kepada Al-Quran dan Hadis; Chutbah
Nikah dan Terjemahannya; Pilihlah Pimpinan Muhammadiyah yang Tepat; Soal-
Jawab Entheng-enthengan;Sarono Entheng-enthengan Pancasila; Ruh Muhammadiyah;
dan lain-lain.

Ulama kharismatik ini tidak bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta,
walaupun masih banyak Muktamirin yang mengharapkannya. Ia berharap ada alih generasi
yang sehat dalam Muhammadiyah. Setalah tidak menjabat sebagai Ketua PP
Muhammadiyah, dan menjabat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah, Pak AR masih aktif
melaksanakan kegiatan tabligh ke berbagai tempat. Hingga akhirnya, penyakit vertigo
memaksanya harus beristirahat, sesekali di rumah sakit. Namun, dalam keadaan demikian,
sepertinya beliau tidak mau berhenti. Pak AR wafat pada 17 Maret 1995 di Rumah Sakit
Islam Jakarta pada usia 79 tahun.

Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA (Ketua 1990 - 1995)

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1995, Azhar Basyir terpilih
sebagai Ketua Muhammadiyah menggantikan KH AR Fakhruddin. Berkenaan dengan
dimensi tasawuf dalam Muhammadiyah, Azhar Basyir menyatakan bahwa
Muhammadiyah juga menganut tasawuf, seperti yang ditulis Buya Hamka dalam
buku Tasauf Modern. Menurutnya, orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi
dunia tanpa meninggalkan dzikir. Demikianlah ketegasan tokoh ini dalam menetapkan
garis kebijakan Muhammadiyah. Melalui gagasan dan pemikirannya itulah Azhar Basyir
dikenal sebagai ulama yang banyak menguasai ilmu agama, kehadirannya dalam khazanah
pemikiran Islam seumpama sumur yang tak surut ditimba. Dapatlah dikata, Azhar Basyir
merupakan sosok perpaduan ulama dan intelektual. Oleh karenanya, Muhammadiyah di
bawah kepemimpinannya cukup intens memunculkan kegiatan yang berbentuk pengajian
dan kajian dalam mengurai berbagai persoalan keummatan dan pemikiran keislaman.
Karya ilmiah yang pernah ditulis Azhar Basyir cukup banyak dijadikan rujukan dalam
kajian ilmiah di berbagai Universitas di Tanah Air. Di waktu senggangnya, Azhar Basyir
juga bergiat menulis buku. Di antara karya-karyanya adalah Refleksi Atas Persoalan
Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi); Garis-garis Besar Ekonomi
Islam; Hukum Waris Islam; Sex Education; Citra Manusia Muslim;Syarah Hadits; Missi
Muhammadiyah; Falsafah Ibadah dalam Islam; Hukum Perkawinan Islam; Negara dan
Pemerintahan dalam Islam; Mazhab Mutazilah (Aliran Rasionalisme dalam Filsafat
Islam); Peranan Agama dalam Pembinaan Moral Pancasila; Agama Islam I dan II, dan
lain-lain. Selain itu, Magister dalam ilmu Dirasat Islamiyah ini diakui secara internasional
sebagai ahli fiqih yang disegani. Itulah mengapa, sosoknya dengan mudah diterima duduk
di Lembaga Fiqih Islam: Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang memiliki persyaratan
ketat.
Tepatnya pada awal Juni 1994, ulama ini masuk rumah sakit karena komplikasi penyakit
gula, radang usus, dan jantung. Kondisinya kian memburuk. Hingga akhirnya, wafad di
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sarjito setelah dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Azhar Basyir wafad tepat pada tanggal 28 Juni 1994 dalam usia 66 tahun dan dimakamkan
di Pemakaman Umum Karangkajen Yogyakarta.

Prof. Dr. H. Amien Rais (Ketua 1995 -1998)


Prof. Dr. Ahmad Safi'i Ma'arif (Ketua 1998 - 2005)
Prof. Dr. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA (Ketua 2005 - sekarang
http://yovizainudin.blogspot.nl/2013/04/tokoh-muhammadiyah.html

https://id.scribd.com/doc/312571138/Biografi-KH-faqih-usman

Anda mungkin juga menyukai