Anda di halaman 1dari 20

1. Periode Kepemimpinan KH.

Ahmad Dahlan (1912 – 1923)

Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari
Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia
menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada
beberapa guru di Makkah.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang
kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari
perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj
Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, KH. Ahmad
Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah
(adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang ditulisnya
dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :

"Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau,
yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga
engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri
bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari
sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya
(diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).

Dari pesan itu tersirat sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan
akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu
dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke
jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan
demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif,
artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-
upaya yang sistematis

Periode ini merupakan masa perintisan pembentukan organisasi dan jiwa serta amal usaha. Selain itu masa
pengenalan ide-ide pembaharuan dalam metode gerakan amaliah Islamiyah. Ahmad dahlan mengenalkan
Muhammadiyah melalui beberapa cara, antara lain silaturahmi, mujadalah (diskusi), Tausiyah-ma’idhoh
hasanah, dan memberikan keteladanan dalam praktek pengamalan ajaran Islam.

Pada periode ini dibentuk perangkat awal seperti : Majelis Tabligh, Majelis Sekolahan 9pengajaran), Majelis
Taman Pustaka, Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), ‘Aisyiyah, Kepanduan Hizbul Wathon (HW),
menerbitkan majalah “SWORO MOEHAMMADIJAH”. Selain itu mempelopori berdirinya rumah sakit umat Islam,
Rumah Miskin, dan Panti Asuhan Yatim/Piatu, serta menganjurkan dan mempelopori hidup sederhana,
terutama dalam menyelenggarakan Walimatul’Urusy (pesta perkawinan).

Dalam mengadakan perubahan untuk meluruskan kembali ajaran Islam, Ahmad dahlan menggunakan
pendekatan pesuasif (ngemong dan memberikan penjelasan), sehingga para para penentangnya simpati,
bahkan ada yang mengikuti gerakannya.

2. Periode Kepemimpinan KH. Ibrahim (1923 –1932)

Sebelum Dahlan wafat, ia berpesan pada sahabat-sahabatnya agar tongkat kepemimpinan Muhamadiyah
sepeniggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama besar
menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun atas desakan sahabat-sahabatnya
agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam
Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai
Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232). KH. Ibrahim dilahirkan di kampung
Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu
Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan ia
merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.

Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun
1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya segera dipanggil
menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah putri ragil dari KH.
Abdulrahman (adik kandung dari ibu Moechidah).

Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan baru
meninggal pada 9 September 1998. Menurut penilaian para sahabat dan saudaranya, Ibu Moesinah Ibrahim
merupakan potret wanita zuhud, penyabar, gemar sholat malam dan gemar silaturahmi. Karena kepribadiannya
itulah maka Hj. Moesinah sering dikatakan sebagai ibu teladan (Suara `Aisyiyah. No.1/1999: 20).

Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun.
Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh saudaranya sendiri (kakak tertua), yaitu KH. M. Nur. Ia
menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang
7-8 tahun. Pada tahun 1902 ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.

KH. Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal sebagai ulama besar dan berilmu tinggi.
Setibanya di tanah air, KH. Ibrahim mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang
berduyun-duyun untuk mengaji kehadapan KH. Ibrahim. Beliau termasuk seorang ulama besar yang cerdas, luas
wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia hafal (hafidh) al-Quran dan ahli qira'ah (seni baca Al-
Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena
keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan
takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres
Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab
yang fasih.

KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu supaya rajin beramal dan beribadah, senantiasa mengingat Allah, rajin
mengerjakan perintah agama Islam dan diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-
Dzakiraat ini banyak memberikan jasa kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya banyak membantu
pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Bagian Tabligh, dan bagian Taman Poestaka.

Pengajian yang diasuh KH. Ibrahim itu memakai metode sorogan dan weton. Pengajian dilaksanakan setiap hari,
kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam metode tersebut, dipakai waktu yang berbeda,
yaitu :

1. Pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, yaitu mengaji dengan diajar seorang
demi seorang/satu persatu, terutama untuk anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu.

2. Pada waktu sore hari sesudah ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton, yaitu cara mengajar
mengaji dengan cara Kyai membaca sedang santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya
masing-masing.

Semenjak kepemimpinan Ibrahim, kemajuan Muhammadiyah begitu pesat. Muhammadiyah berkembang di


seluruh Indonesia, dan meresap di seluruh Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar
kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di
Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres
Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang. Dengan berpindah-
pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah dapat meluas ke seluruh wilayah Indonesia.
Menurut catatan Bapak AR Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang
dapat dikatakan menonjol, penting dan patut dicatat adalah :

1. Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak
miskin. Pada tahun 1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan perbaikan
badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga
secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).

2. Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan
sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok
tanah air, yang kemudian di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).

3. Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada masa kepemimpinannya, Muhammadiyah
mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di
bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat
itu ada gejala mengkultuskan beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun
1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Untuk pelaksanaannya
diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.

4. KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama
periode kepemimpinannya. Ia lebih banyak memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk
mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga berhasil dalam
membimbing gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil dalam meningkatkan
kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi
Adz-Dzakirat.

5. Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka
akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus besarnya dianggap sebagai kaki tangan
Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki
Belanda. Tujun PEB ialah untuk mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa
Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam aspek sosial-budaya yang ada hubungannya dengan politik-
ekonomi pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang bertujuan untuk
menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka untuk mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di
pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Besar Muhammadiyah semakin besar karena
Pengurus Besar Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama dan menerima dana dari PEB yang merupakan
kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan KH.
Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan
notulensi rapat di Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak
benar.

6. Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah
yang terus-menerus memilihnya sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat
Tahunan Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah yang bertempat di Surabaya sebagai
Kongres Muhammadiyah ke-5.

KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit
agak lama. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan
pada Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam
periode kepemimpinan KH. Ibrahim) cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air

Pada periode ini Muhammadiyah mulai berkembang meluas sampai kedaerah-daerah luar Jawa. Perangkat yang
dibentuk antara lain : Majelis Tarjih, Nasyi’atul’Aisyiyah dan kemudian Pemuda Muhammadiyah. Adapun
Aktivitas yang menonjol antara lain :

Pada tahun 1924 mengadakan “Fonds Dachlan”, untuk membeayai sekolah anak-anak miskin. Mengadakan
khitanan massal pertama kali (1925). Pada konggres di Surabaya tahun 1926 diputuskan Pemakaian Tahun Islam
dalam catat-mencatat termasuk surat menyurat dan Sholat Hari Raya di tanah lapang. Pada tahun 927 pada
konggres di Pekalongan muncul persoalan politik dengan keputusan pokok “Muhammadiyah TIDAK bergerak
dalam bidang POLITIK, namun memperbaiki budi pekerti yang luhur (Akhlaqul Karimah) bagi orang yang akan
berpolitik (tidak melarang anggotanya berpolitik).

Pada tahun 1928 mulai mengirim putera & puteri lulusan sekolah Muhammadiyah (dari Mu’allimien, Muallimat,
Tabigschool, Normalschool) di benum ke pelosok tanah air, sebagai “anak panah” Muhammadiyah. Pada
Konggres di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My (badan usaha penerbitan buku-buku
sekolah Muhammadiyah yang dikelola oleh Majelis Taman Pustaka). Di konggres ini pula terjadi “Penurunan
Gambar KHA Dahlan” (dan dilarang untuk sementara waktu dipasang, karena ada gejala kultus). Pada Konggres
di Minangkabau tahun 1930 muncul eselon CONSUL HOFD BESTUUR MUHAMMADIJAH (sekarang PWM). Pada
konggres di Makasar 1932 antara lain diputuskan penerbitan Koran Muhammadiyah (Dagblad Adil) dilaksanakan
oleh cabang Solo.

3. Periode Kepemimpinan KH. Hisyam (1932 – 1936)

Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga ialah Kiai Haji Hisyam. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia
adalah murid langsung dari KH. Ahmad Dahlan, yang juga adalah seorang abdi dalem ulama dalam Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. KH. Hisyam lahir di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November 1883 dan
wafat pada tanggal 20 Mei 1945. Ia memimpin Muhamadiyah selama tiga tahun. Pertama kali ia dipilih dalam
Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah
ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di
Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.

Yang paling menonjol pada diri Hisyam adalah ketertiban administrasi dan manajemen organisasi pada
zamannya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada
masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini tercermin dari
pendidikan putra-putrinya yang disekolahkan di beberapa perguruan yang didirikan pemerintah. Dua orang
putranya disekolahkan menjadi guru yang saat itu disebut sebagai bevoegd yang akhirnya menjadi guru di HIS
met de Qur'an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta. satu orang putranya menamatkan studi di Hogere
Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan studi di Europese Kweekschool Surabaya. Kedua
sekolah tersebut merupakan sekolah yang didirikan Pemerintah Kolonial Belanda untuk mendidik calon guru
yang berwenang untuk mengajar HIS Gubernemen.

Tak ayal lagi bahwa dunia pendidikan pada periode kepemimpinan Hisyam mengalami perkembangan yang
sangat pesat, dan juga bahwa ketertiban dalam administrasi dan organisasi juga semakin mantap. Hal ini terjadi
barangkali karena KH. Hisyam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua Bagian Sekolah
(saat ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar Muhammadiyah.

Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool
atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah
itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan
volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial
Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun mendirikan
sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandse School met de
Qur'an Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandse
School met de Bijbel.

Kebijakan Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah
Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin memasukkan putra-putrinya ke sekolah-
sekolah umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial,
karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama
dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri
mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan
Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat
itu.

Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah KH Hisyam mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial
dengan bersedia menerima bantuan keuangan, dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit
dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang
menyebabkan Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarikat Islam
yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif. Namun Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah saat
itu merupakan hasil pajak yang diperas oleh pemerintah kolonial dari masyarakat Indonesia, terutama ummat
Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi
pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima
subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi tersebut
akan dialihkan pada sekolah-sekolah Kristen yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat
posisi kolonialisme Belanda.

Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada akhir tahun
1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollands Inlandse School (HIS),
dan 25 Schakelschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs yang setingkat SLTP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Dalam
sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-
sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan pribumi yang dapat
menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah
Protestan.

Berkat jasa-jasa Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, maka ia pun akhirnya mendapatkan
penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje
Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya
dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia

Periode ini kegiatan pendidikan mendapatkan porsi yang mantap, selain itu pula diadakan penerbitan
administrasi organisasi. Pada konggres tahun 1934 lebih dimantapkan pengembangan lembaga pendidikan
tingkat menengah dan mengubah sekolah dengan nama Belanda menjadi nama khas kita, seperti : Volkschool
menjadi Sekolah Rakyat. Pada Konggres tahun 1935 memutuskan pembentukan Majelis Pimpinan
Perekonomian yang tugasnya membantu perbaikan ekonomi anggota (membentuk semacam kooperasi). Pada
tahun 1936 diadadkan Konggres Seperempat Abad (XXV) di Jakarta, diputuskan anatara lain mendirikan sekolah
Tinggi, dan mendirikan Majelis Pertolongan & Kesehatan Muhammadiyah (MPKM) di seluruh cabangdan
ranting.

4. Periode Kepemimpinan KH. Mas Mansyur (1936 – 1942)

Sebelum Muhammadiyah Cabang Surabaya didirikan, KH. Ahmad Dahlan sudah sering melakukan tabligh ke
daerah ini. Tabligh-tabligh itu dilaksanakan berupa pengajian yang diselenggarakan di Peneleh Surabaya. Dalam
pengajian-pengajian itulah Bung Karno dan Roeslan Abdul Gani untuk pertama kalinya mendengarkan
penjelasan tentang ajaran Islam dari KH. Ahmad Dahlan. Setiap melaksanakan tabligh di Surabaya, KH. Ahmad
Dahlan biasanya bermalam di penginapan. Akan tetapi suatu malam ia didatangi oleh seorang tamu yang
memintanya agar setiap KH. Ahmad Dahlan ke Surabaya bersedia untuk menginap di rumahnya. Tamu itu ialah
Kiai Haji Mas Mansur. Mas Mansur selalu mengikuti pengajian yang diberikan oleh KH. Ahmad Dahlan, dan ia
sangat tertarik oleh isi kajian yang diberikannya, serta tertarik juga akan kesederhanaannya.
Mas Mansur lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 Masehi di Surabaya. Ibunya bernama Raudhah, seorang
wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas
Ahmad Marzuqi, seorang pioneer Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari
keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Agung
Ampel Surabaya, suatu jabatan terhormat pada saat itu.

Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di Pesantren
Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia
sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia
mengkaji al-Qur`an dan mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana
kurang lebih dua tahun, Kia Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan
pulang ke Surabaya.

Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan untuk menunaikan
ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Jawa Tengah.
Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir.
Penguasa Arab Saudi, Syarif Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah
supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansur tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra
Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat.
Meskipun demikian, Mas Mansur tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan
kesulitan hidup--karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya
hidup--harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan
makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya
kembali mengiriminya dana untuk belajar di Mesir.

Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu
sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan
pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas
Mansur juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan
mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah
air, terlebih dulu dia singgah dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.

Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti Zakiyah yang tinggalnya
tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah,
Ainurrafiq, Aminah, Muhammad Nuh, Ibrahim dan Luk-luk. Di samping menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga
menikah dengan Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun,
karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.

Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam Syarikat Islam. Peristiwa
yang dia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu
munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk mengembangkan
sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, dan terkenal sebagai
organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.

Di samping itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama
Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh Masyarakat Surabaya yang
diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang
berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama
Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing.
Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai
masalah politik perjuangan melawan penjajah.

Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-
Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-
Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan
(Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far'u al-Wathan
(Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati dari nama
yang mereka munculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka
terhadap tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak
mereka untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan
bangsa lain itulah yang mereka harapkan.

Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidak mau permasalahan yang mereka diskusikan
merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara Mas Mansur
dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai masalah-masalah tersebut yang menyebabkan Mas Mansur keluar
dari Taswir al-Afkar.

Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaharuannya
dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Suara Santri. Kata santri
digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh
karena itu, Majalah Suara Santri mendapat sukses yang gemilang. Majalah Jinem merupakan majalah kedua
yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa
Jawa dengan huruf Arab. Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan
mengajak para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu Mas
Mansur mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Di samping itu, Mas Mansur
juga pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya.

Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Majalah Siaran dan Majalah Kentungan di Surabaya; Penaganjur
dan Islam Bergerak di Yogyakarta; Panji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di samping
melalui majalah-majalah, Mas Mansur juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain
yaitu Hadits Nabawiyah; Syarat Syahnya Nikah; Risalah Tauhid dan Syirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.

Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun aktivitasnya dalam
organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansur masuk organisasi
Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh
keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu
dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang
Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga
tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.

Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26
di Yogyakarta pada bulan Oktober 1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansur terpilih sebagai Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu ialah ketidakpuasan angkatan muda
Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan,
yaitu hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran
agama Islam). Angkatan Muda Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah
hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu KH. Hisyam (Ketua Pengurus Besar, KH. Mukhtar (Wakil Ketua), dan KH.
Syuja' sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem).

Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada tahun 1937, ranting-
ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di
lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas
mengundurkan diri.

Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagus Hadikusumo diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansur (Konsul Muhammadiyah
Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansur menolak, tetapi setelah melalui dialog panjang ia bersedia
menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.

Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar Muhammadiyah
tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi
kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah, bukan demi kepentingan perseorangan. Bahkan
Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas Mansur juga banyak didominasi oleh angkatan muda
Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif.

Terpilihnya Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah meniscayakannya untuk pindah ke
Yogyakarta bersama keluarganya. Untuk menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji,
melainkan ia diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, sehingga ia mendapatkan
penghasilan dari sekolah tersebut. Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur juga bertindak
disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada
waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar
Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-
masing, Mas Mansur selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena
Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya.
Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di
rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.

Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada
duabelas langkah yang dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansur juga banyak membuat gebrakan dalam hukum
Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk pula dicatat, Mas Mansur tidak ragu mengambil
kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama
keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat
bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan
saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak
memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam akan
semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk
memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.

Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansur juga banyak melakukan gebrakan. Sebelum menjadi
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur sebenarnya sudah banyak terlibat dalam berbagai aktivitas
politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan
politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia
(MIAI) bersama KHA. Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga
memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan
atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di
Indonesia, Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal
dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur.

Katerlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar
biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat serangkai tersebut, sehingga ia
memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagus
Hadikusumo.

Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia tetap ikut
berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA).
Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang
kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946.
Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya. Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat
sebagai Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu KH. Fakhruddin.

5. Periode Kepemimpinan Ki Bagus Hadikusuma (1942 – 1953)

Ki Bagus Hadikusumo dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir
1038 Hijriyah. Ia putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan
(pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta. Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh
pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di Kauman.

Setelah tamat dari 'Sekolah ongko loro' (tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus belajar di pondok pesantren
tradisional Wonokromo Yogyakarta. Di Pesantren ini ia mulai banyak mengkaji kitab-kitab fiqh dan tasawuf.
Dalam usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri Raden Kaji Suhud) dan memperoleh enam
anak. Salah seorang di antaranya ialah Djarnawi Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah dan pernah menjadi orang
nomor satu di Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, ia menikah lagi dengan seorang wanita pengusaha dari
Yogyakarta bernama Mursilah. Ia dikaruniai anak tiga orang anak. Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan Siti
Fatimah (juga seorang pengusaha) setelah istri keduanya meninggal. Dari istrinya yang ketiga ini ia memperoleh
lima anak.

Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di pesantren, Tetapi
berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia menjadi orang alim, mubaligh dan
pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan
Muqadimah UUD 1945, karena ia termasuk dalam anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI). Ki
Bagus Hadikusumo sangat besar peranannya dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan
landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan
landasan-landasan itu dalam Muqaddimah UUD 1945 itu disetujui oleh semua anggota PPKI.

Secara formal, disamping kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis
Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadijah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953).
Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan
mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok pikiran itu menjadi
Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini
menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari
muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian
Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.

Ki Bagus juga sangat produktif untuk menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara lain ialah Islam Sebagai
Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka
Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). Dari buku-buku karyanya
tersebut tercermin komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki
Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk menginstutisionalisasikan
Islam. Bagi Ki Bagus pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis, dan juga
intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan
beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama
(priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan
hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para
ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk
kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan ordonansi 1931. Kekecewaannya ia ungkap kembali
saat menyampaikan pidato di depan sidang BPUKPKI.

Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah adalah pada saat terjadi
pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendatipun Ki Bagus Hadikusuma menyatakan
ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ketika diminta oleh Mas Mansur pada
kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ketika Mas mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga
Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi di bawah penjajahan Jepang,
Muhammadyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik. Ki Bagus Hadikusumo berani menentang perintah
pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam untuk memerintahkan ummat Islam dan warga
Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari.

Ia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun (1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun.
Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indones
Ki Bagus Hadikusuma termasuk tokoh Muhammadiyah yang juga mengisi dan membentuk jiwa bagi gerakan
Muhammadiyah. Pada periode ini dilahirkan Muqaddimah Anggaran dasar Muhammadiyah, sebagai rumusan
singkat atas gagasan dan pokok-pokok pikiran KHA Dahlan (melalui murid-muridnya).

Periode ini menghadapi zaman Jepang, awal kemerdekaan, masa revolusi fisik mempertahankan Republik
Indonesia. Oleh karena itu, aktivitas Muhammadiyah banyak tersita dengan perjuangan kenegaraan, seperti
mempersiapkan kemerdekaan, mendirikan kelasykaran/badan perjuangan untuk membela Republik Indonesia
dan sebagainya.

Perlu dicatat dalam sejarah, bahwa masa periode ini Muhammadiyah berani menentang pemerintah Dai Nippon
yang mewajibkan “Syeikerai” (memuja Amaterasu Omikami dan Tenno Haika, syirik hukumnya), dalam hal ini
Jepang mundur dan Muhammadiyah berhasil. Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan Hizbullah Sabilillah,
Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masjumi) pengganti MIAI, dan mendirikan Asykar Perang Sabil (APS). Ketika
opsir Jepang mewakili Indonesia bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah
disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari RI, maka ki Bagus
Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pada Sidang Tanwir 1951 di Yogyakarta, diputuskan antara lain, Muhammadiyah tetap konsisten tidak akan
berubah menjadi partai politik, “Sekali Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah”. Selain itu juga menetapkan
batas-batas otonomi Aisyiyah.

Pada Sidang Tanwir di Bandung tahun 1952, ditetapkan mempertahankan Muhammadiyah menjadi anggota
Istimewa Partai Masjumi, dan mengadakan peremajaan dilingkungan Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di
Solo, 1953, diputuskan anggota Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.

6. Periode Kepemimpinan A.R. Sutan Mansyur (1952 – 1959)

Ranah Minang pernah melahirkan salah seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Ahmad Rasyid Sutan
Mansur. Ia lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad malam Senin 26 Jumadil Akhir 1313 Hijriyah yang
bertepatan dengan 15 Desember 1895 Masehi. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara yang merupakan karunia
Allah pada kedua orang tuanya, yaitu Abdul Somad al-Kusaij, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan ibunya
Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Keduanya adalah tokoh dan guru agama di kampung
Air Angat Maninjau. Ahmad Rasyid memperoleh pendidikan dan penanaman nilai-nilai dasar keagamaan dari
kedua orang tuanya.

Di samping itu, untuk pendidikan umum, ia masuk sekolah Inlandshe School (IS) di tempat yang sama (1902-
1909). Di sinilah ia belajar berhitung, geografi, ilmu ukur, dan sebagainya. Setamat dari sekolah ini, ia ditawari
untuk studinya di Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di Bukit tinggi dengan
beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus sekolah tersebut. Namun tawaran tersebut ditolaknya, karena
ia lebih tertarik untuk mempelajari agama, di samping saat itu ia sudah dirasuki semangat anti-penjajah
Belanda.

Sikap anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya, penjajahan tidak saja sangat bertentangan
dengan fitrah manusia akan tetapi bahkan seringkali berupaya menghadang dan mempersempit gerak syiar
agama Islam secara langsung dan terang-terangan atau sacara tidak langsung dan tersembunyi seperti dengan
membantu pihak-pihak Zending dan Missi Kristen dalam penyebarluasan agamanya. Tidaklah mengherankan
bila pada tahun 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Belanda menjalankan
peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin
mengajar dari Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan
kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-
ulama yang tidak mempunyai pendirian hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar
murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan
di waktu menjelang Maghrib.

Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr. Abu Hanifah) ia belajar kepada Haji Rasul, Dr. Abdul Karim
Amrullah, seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Di bawah bimbingan Haji Rasul (1910-1917) ia
belajar tauhid, bahasa Arab, Ilmu Kalam, Mantiq, Tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti syariat,
tasawuf, Al-Qur'an, tafsir, dan hadits dengan mustolah-nya. Pada tahun 1917 ia diambil menantu oleh gurunya,
Dr. Karim Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya HAMKA serta diberi gelar
Sutan Mansur. Setahun kemudian ia dikirim gurunya ke Kuala Simpang Aceh untuk mengajar. Setelah dua tahun
di Kuala Simpang (1918-1919), ia kembali ke Maninjau.

Pemberontakan melawan Inggris yang terjadi di Mesir untuk melanjutkan studinya di universitas tertua di dunia,
Universitas al-Azhar Kairo, karena ia tidak diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Akhirnya
ia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi para perantau dari Sumatera dan
kaum muslim lainnya. Kegelisahan pikirannya yang selalu menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran
Islam menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan Ahmad Dahlan yang sering datang ke
Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk bergabung dengan Persyarikatan
Muhammadiyah (1922), dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama para pedagang dari Sungai Batang
Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah di Pekalongan. Ketertarikan tersebut disebabkan karena ide yang
dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan yang dikembangkan di Sumatera Barat,
yaitu agar ummat Islam kembali pada ajaran Tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama dari
karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat ummat Islam terbelakang dan tertinggal dari ummat-
ummat lain. Di samping itu, ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata
dengan mengetahui dan menguasai seluk beluk hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di
Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi. Ia begitu terkesan
ketika anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih qurban seusai menunaikan Shalat Iedul Adha dan
membagi-bagikannya pada fakir miskin.

Pada tahun 1923, ia menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua pertamanya
mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan
keberadaan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah cabang Pekajangan, Kedung Wuni di samping
tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru agama.

Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di Ranah Minang pada
akhir 1925, Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah
yang mulai tumbuh dan bergeliat di Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak
frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun
dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat. Pada tahun 1927 bersama Fakhruddin, ia
melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaannya dan
kepiawaiannya dengan cara mendekati raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan
menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun
berhasil mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai.
Dengan demikian, antara tahun 1926-1929 tersebut, Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.

Selain dalam Muhammadiyah, Sutan Mansur--sebagaimana Ahmad Dahlan--pada dasawarsa 1920-an hingga
1930-an aktif dalam Syarikat Islam dan sangat dekat dengan HOS. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Keluarnya
ia dari Syarikat Islam dapat dipastikan karena ia lebih memilih Muhammadiyah setelah SI mengambil tindakan
disiplin organisasi bagi anggota Muhammadiyah.

Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap karesidenan
harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah. Oleh karena itu, pada
tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah (sekarang : Ketua Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah) daerah Minangkabau (Sumatera Barat) yang meliputi Tapanuli dan Riau yang dijabatnya
hingga tahun 1944. Bahkan sejak masuknya Jepang ke Indonesia, ia telah diangkat oleh Pengurus Besar
Muhammadiyah menjadi Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan
Sumatera dan Jawa.

Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur juga membuka dan memimpin
Kulliyah al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang, tempat membina muballigh tingkat atas. Di sini
dididik dan digembleng kader Muhammadiyah dan kader Islam yang menyebarluaskan Muhammadiyah dan
ajaran Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitar. Kelak muballigh-muballigh ini akan memainkan peran
penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan roda persyarikatan Muhammadiyah. Ia
oleh Konsul-konsul daerah lain di Sumatera dijuluki Imam Muhammadiyah Sumatera.

Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938, Sutan Mansur menjadi penasehat agama Islam bagi
Bung Karno. Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi salah seorang
anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR dan DPRD) mewakili Sumatera Barat. Setelah itu, sejak
tahun 1947 sampai 1949 oleh wakil Presiden Mohammad Hatta, ia diangkat menjadi Imam atau Guru Agama
Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukit tinggi, dengan pangkat
Mayor Jenderal Tituler.

Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1950, ia diminta menjadi Penasehat TNI Angkatan Darat, berkantor di
Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Akan tetapi, permintaan itu ia tolak karena ia harus berkeliling ke semua
daerah di Sumatera, bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden Soekarno
memintanya lagi menjadi penasehat Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukit tinggi ke
Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya . Ia hanya bersedia menjadi penasehat tidak resmi sehingga tidak
harus berhijrah ke Jakarta.

Dalam konggres Masyumi tahun 1952, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Syura Masyumi Pusat. Setelah pemilihan
umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari
Masyumi sejak Konstituante berdiri sampai dibubarkannya oleh presiden Soekarno. Tahun 1958 ketika pecah
pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Padang, ia pun berada di tengah-tengah
mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan kediktatoran Bung Karno, meskipun peran yang
dimainkannya dalam pergolakan itu diakuinya sendiri tidak terlalu besar.

Ia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam dua kali periode kongres. Kongres
Muhammadiyah ke-32 di Banyumas Purwokerto pada tahun 1953 mengukuhkannya sebagai Ketua PB
Muhammadiyah periode tahun 1953-1956. Oleh karena itu, ia pun pindah ke Yogyakarta. Pada kongres
berikutnya yaitu kongres Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang ia terpilih lagi menjadi ketua PB
Muhammadiyah periode tahun 1956-1959. Dalam masa kepemimpinannya, upaya pemulihan roh
Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan
dua hal, pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam
roh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhid; kedua, mengusahakan buq'ah mubarokah (tempat yang diberkati)
di tempat masing-masing, mengupayakan shalat jamaah pada awal setiap waktu, mendidik anak-anak
beribadah dan mengaji al-Qur'an, mengaji al-Qur'an untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunat hari senin
dan kamis, juga pada tanggal 13 ,14, dan 15 bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan
tetap menghidupkan taqwa. Di samping itu juga diupayakan kontak-kontak yang lebih luas antar pemimpin dan
anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja diantara majelis dengan cabang atau ranting banyak di
selenggarakan.

Dalam periode kepemimpinannya, Muhammadiyah berhasil merumuskan khittahnya tahun 1956-1959 atau
yang populer dengan Khittah Palembang, yaitu : (1) menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah
dengan memperdalam dan mepertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyu' dan tawadlu',
mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh
keyakinan dan rasa tanggung jawab; (2) melaksanakan uswatun hasanah; (3) mengutuhkan organisasi dan
merapikan administrasi; (4) memperbanyak dan mempertinggi mutu anak; (5) mempertinggi mutu anggota dan
membentuk kader; (6) memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan islah untuk
mengantisipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan; dan (7) menuntun penghidupan anggota.

Meskipun setelah 1959 tidak lagi menjabat ketua, Sutan Mansur yang sudah mulai uzur tetap menjadi
penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari periode ke periode. Ia meski jarang sekali dapat hadir dalam
rapat, konferensi, tanwir, dan Muktamar Muhammadiyah akan tetapi ia tetap menjadi guru pengajian keluarga
Muhammadiyah.

Buya Sutan Mansur juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dari beberapa tulisannya yang antara
lain berjudul Jihad; Seruan kepada Kehidupan Baru; Tauhid Membentuk Kepribadian Muslim; dan Ruh Islam
nampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam
Islam. Doktrin-doktrin Islam ia uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan dengan tauhid melalui pembahasan
ayat demi ayat dengan keterangan al-Qur'an sendiri dan hadits.

Buya H. Ahmad Rasyid Sutan Mansur akhirnya meninggal pada hari Senin tanggal 25 Maret 1985 yang
bertepatan 3 Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang ulama, da'i, pendidik, dan
pejuang kemerdekaan ini setiap hari Ahad pagi senatiasa memberikan pelajaran agama terutama tentang
Tauhid di ruang pertemuan Gedung Muhammadiyah jalan Menteng Raya 62 Jakarta. Jenazah almarhum buya
dikebumikan di Pekuburan Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan setelah dishalatkan di masjid Kompleks
Muhammadiyah.

Buya Hamka menyebutnya sebagai ideolog Muhammadiyah dan M. Yunus Anis dalam salah satu kongres
Muhammadiyah mengatakan, bahwa di Muhammadiyah ada dua bintang. Bintang Timur adalah KH. Mas
Mansur dari Surabaya, ketua PP Muhammadiyah 1937-1943 dan bintang Barat adalah AR. Sutan mansur dari
Minangkabau, ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.

Kepemiminan AR Sutan Mansyur dikenal sebagai masa memperkokoh Ruh Tauhid, yaitu dengan disusunnya
Khittah Palembang. Pada periode ini yang penting dicatat sejarah antara lain :

a. Sidang Tanwir di Pekajangan, 1955 membicarakan Konsepsi Negara Islam.

b. Sidang Tanwir 1956 di Yogyakarta memutuskan :

- Muhammadiyah tetap bergerak dalam bidang agama & kemasyarakatan,

- Masalah politik diserahkan pada Partai Masjumi,

- Bagi warga Muhammadiyah yang aktif politik dianjurkan ke Partai Islam

- Keanggotaan Istimewa dihapus, namun tetap hubungan baik dengan Masjumi.

7. Periode Kepemimpinan H. Muh. Yunus Anis (1959 – 1962)

Muhammad Yunus Anis dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 3 Mei 1903. Ayahnya, Haji
Muhammad Anis, adalah seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta. Berdasarkan surat kekancingan dari Swandana
Tepas Dwara Putera Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1961, disebutkan bahwa Yunus Anis masih
ada hubungan kekerabatan dengan Sultan Mataram. Sejak kecil ia dididik agama oleh kedua orang tuanya dan
datuknya sendiri, terutama membaca al-Qur'an dan pendidikan akhlaq. Pendidikan formalnya dimulai di
Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad di
Batavia (Jakarta) yang dibimbing oleh Syekh Ahmad Syurkati, seorang kawan akrab Kiai Dahlan. Pendidikan yang
diterima di sekolah tersebut membawa dirinya tampil sebagai pemimpin Islam di Indonesia yang tangguh.

Setelah menamatkan pendidikannya, Yunus Anis mengaktifkan diri sebagai muballigh. Ia banyak terjun ke
masyarakat di berbagai daerah di Indonesia untuk mengembangkan misi dakwah dan Muhammadiyah. Ia juga
banyak mendirikan cabang Muhammadiyah di berbagai daerah di Indonesia.

Ia dikenal juga sebagai organisator dan administrator. Tahun 1924-1926 ia menjabat sebagai Pengurus Cabang
Muhammadiyah di Batavia. Kepemimpinannya semakin menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga
besar Muhammadiyah. Pada tahun 1934-1936 dan 1953-1958 ia dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah.

Kepiawaiannya dalam pengetahuan agama menyebabkan banyak orang percaya kepadanya, termasuk tentara.
TNI pada tahun 1954 mengangkatnya sebagai Kepala Pusroh Angkatan Darat Republik Indonesia (Imam
Tentara). Berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai imam tentara, ia banyak memberikan pembinaan
mental bagi tentara saat itu.

Pembubaran Masyumi membawa implikasi yang buruk terhadap ummat Islam, karena ummat Islam nyaris tidak
terwakili di parlemen saat itu (DPRGR). Dalam kondisi seperti itu, ia diminta oleh beberapa orang, termasuk oleh
AH. Nasution, untuk bersedia menjadi anggota DPRGR yang sedang disusun oleh Presiden Soekarno sendiri.
Kesediaannya menjadi anggota DPRGR sebenarnya mengundang banyak kritikan dari para tokoh
Muhammadiyah saat itu, karena Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang
membubarkan Masyumi dan bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun kritik itu dijawab
bahwa keterlibatannya dalam DPRGR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, tetapi untuk
kepentingan jangka panjang, yaitu mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen saat itu.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya kembali UUD'45 dalam negara kesatuan republik
Indonesia menimbulkan berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat. Manuver dan intrik yang dilakukan
oleh partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia, sangat membahayakan bagi kondisi politik yang sehat di
negeri ini. Dalam situasi seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
periode 1959-1962 dalam Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.

Pada periode kepemimpinannya diusahakan melahirkan Rumusan Keperibadian Muhammadiyah. Perumusan


tersebut digarap oleh sebuah team yang diketuai oleh KH. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar
Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.

Masa kepemimpinan KH Mas Mansyur merupakan tokoh yang kreatif dan terkenal sikapnya yang istiqomah dan
pemberani, sehingga ikut dalam pengisian jiwa gerakan Muhammadiyah, dan penegasan kembali faham agama
yang menjadi garis besar Muhammadiyah. Pada periode ini memaksimalkan Majelis Tarjih, sehingga
menghasilkan “Masalah Lima” (Dunia, Agama, Qiyas, Sabilillah, dan ibadah). Selain itu menggerakkan
Muhammadiyah lebih dinamis dan berbobot, dengan konsepnya yang terkenal “Langkah Dua belas”nya.
Catatan kekiatan yang menonjol saat itu antara lain :

a. Membentuk Komisi Perjalanan Haji (HM Suja’, HA Kahar Mzkr & R. Sutomo)

b. Pembentukan Bank Muhammadiyah (Konggres di Yogyakarta 1937)

c. Menentang Ordonansi Pencatatan Perkawinan Oleh Pemerintah Belanda

d. Menentang Ondewijs Ordonansi (larangan guru mengajar di Sekolah Muh.)

e. Mengganti seluruh istilah Hindia Belanda dengan Indonesia

f. Mengeluarkan “Franco Amal” menghimpun dana untuk kaum dhu’afa

g. Mulai dirintis semacam Khittah Muhammadiyah

h. Ikut mempelopori beririnya MIAI (Majelisul Islam A’la Indonesia

Pada periode ini situasi negara dalam goncangan sosial politik, sehingga baik langsung maupun tidak langsung
berpengaruh pada gerak perjuangan Muhammadiyah. Namun HM Yunus Anis mampu membawa
Muhammadiyah untuk tetap pada jati dirinya, yaitu tetap menempatkan kedudukannya sebagai Gerakan
Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dalam bidang sosial keagamaan. Selain itu, penataan administrasi
Muhammadiyah dibangun dengan baik sebagaimana organisasi modern. Dokumentasi Muhammadiyah mulai
dibenahi dan diatur rapi, sehingga memudahkan penulisan dan penelitian dalam Muhammadiyah.

Pada periode ini Majelis Pustaka sangat berperan, baik dalam bidang perpustakaannya, dokumentasi arsip-arsip
dan penerbitan Muhammadiyah, serta banyak menghasilkan penerbitan RIDUP (riwayat hidup) tokoh-tokoh
Muhammadiyah, dan Almanak Muhammadiyah.

8. Periode Kepemimpinan KH. Ahmad Badawi (1962 – 1968)

Periode ini merupakan periode Muhammadiyah menghadapi PKI, dan kehidupan kenegaraan yang cenderung
terkontaminasi politik PKI. Situasi Sosial Ekonomi sangat buruk, kemiskinan merajalela, gerak politik yang
revolusioner yang tidak menentu. Pimpinan Muhammadiyah periode ini bertugas terus memperkokoh kekuatan
umat Islam dalam melawan PKI dan antek-anteknya. Selain itu, menyelamatkan negara dengan pendekatan
pada presiden agar tidak terseret jauh terpengaruh oleh politik PKI yang memusuhi umat Islam Indonesia.
Pada saatnya berhadapan dengan PKI, KHA Badawi dengan tegas menyatakan bahwa “Membubarkan PKI adalah
ibadah”. Pada saat PKI berontak tahun 1965, Muhammadiyah telah siap menghadapinya dengan Tapak Suci
(1963) dan pasukan KOKAM (1964), sehingga Muhammadiyah ikut aktif bersama pemerintah yang anti komunis
untuk menumpak G.30 S/PKI.

Oleh pemerintah Muhammadiyah diberikan fungsi politik dapat duduk dalam DPR GR dan MPRS, dan para
fungsionarisnya juga ada yang didudukkan dalam eksekutif. Namun kemudian, setelah situasi mereda,
Muhammadiyah kembai pada khittahnya semula sebagai organisasi sosial keagamaan.

9. Periode Kepemimpinan KH. Fakih Usman / H. Ar Fakhrudin (1968 – 1971)

Kiai Haji Faqih Usman dilahirkan di Gresik Jawa Timur tanggal 2 Maret 1904. Ia berasal dari keluarga santri
sederhana dan taat beribadah. Ia merupakan anak keempat dalam keluarga yanga gemar akan ilmu
pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.

Masa kecilnya dilalui dengan belajar membaca al-Quran dan ilmu pengetahuan umum dari ayahnya sendiri.
Menginjak usia remaja ia belajar di pondok pesantren di Gresik yang ditempuhnya antara tahun 1914-l918.
Antara tahun 1918-1924 dia menimba ilmu pengetahuan di pondok pesantren di luar daerah Gresik. Dengan
demikian, ia juga banyak menguasai buku-buku yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional, karena
penguasaannya dalam bahasa Arab. Dia juga terbiasa membaca surat kabar dan majalah berbahasa Arab,
terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan kemerdekaan. Apalagi pada abad 19 dan awal abad 20 di
dunia Islam yang pada umumnya sedang terjadi gerakan kebangkitan.

Faqih Usman dikenal memiliki etos entrepreneurship yang kuat. Kegiatan bisnis yang dilakukannya cukup besar
dengan mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan,
galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan, dia juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang
Sekawan Se-Daerah Gresik.

Keterlibatannya dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925, ketika ia diangkat sebagai Ketua Group
Muhammadiyah Gresik yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah satu cabang Muhammadiyah di
Wilayah Jawa Timur. Selanjutnya karena kepiawaiannya sebagai ulama-cendekiawan, ia diangkat sebagai Ketua
Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas
Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia menggantikan kedudukan Mas Mansur
sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur menggantikan Mas Mansur pada tahun 1936. Pada tahun 1953,
untuk pertama kalinya dia diangkat dan duduk dalam susunan kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dan seterusnya selalu terpilih sebagai salah seorang staf ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menjelang
meninggalnya, ia dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar
Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun jabatan itu sempat diemban
hanya beberapa hari saja, karena ia segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober
1968. Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh KH. AR Fachruddin.

Faqih Usman pun banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang sangat membantu pengembangan
Muhammadiyah. Dia pernah memimpin majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammadiyah wilayah
Jawa Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah memperluas jaringan pergaulannya, sehingga iapun terlibat
aktif di berbagai organisasi masyarakat, seperti Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937. Pada tahun
1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia menjadi anggota Komite Nasional
Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya. Pada tahun 1959, dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat
(Panjimas) bersama-sama dengan Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad. Majalah ini merupakan
majalah yang memiliki ikatan yang erat dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil dalam pendirian Partai
Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta. Dia
duduk sebagai salah seorang Pengurus Besar Masyumi, dan pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai
dengan tahun 1960, yaitu pada saat Masyumi dibubarkan. Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno
menancapkan luka yang mendalam bagi para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang
digantikan rezim Orde Baru, maka Faqih Usman bersama dengan Hasan Basri (Mantan Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia yang sudah meninggal) dan Anwar Haryono (Mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota politik ini kemudian dikenal dengan Nota
KH. Faqih Usman, yang isinya permintaan agar Pemerintah RI Orde Baru mau merehabilitasi Masyumi sebagai
partai terlarang.

Faqih Usman pun banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah dipercaya Pemerintah RI untuk
memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim Perdanakusumah sejak tanggal 21 Januari 1950
sampai dengan tanggal 6 September 1950, dan pada tahun 1951 ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama
Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak stabil saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia
dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa kabinet Wilopo sejak tanggal 3 April l952 sampai tanggal
1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat
menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan NU. KH. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan representasi
kubu Nahdhatul Ulama menuntut agar jabatan Menteri Agama tetap diberikan kepada unsur NU. Namun
setelah diadakan pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang terpilih. Hal ini
mempengaruhi peta politik Islam di tanah air, karena akhirnya justru mempercepat proses pemisahan
Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.

Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih tetap duduk sebagai anggota aktif Konstituate, di samping
jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada Departeman Agama sejak tahun l954. Sebagai
salah seorang tokoh Masyumi, dia juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam negeri. Hal itu terlihat
menjelang meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara.
Bersama dengan Moch. Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk mendamaikan konflik antara PRRI dengan
pemerintah pusat saat itu. Ia berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI
tersebut, seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk
mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut. Upaya ini tidak membawa
hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal. Dalam keputusasaannya tersebut, akhirnya ia kembali ke
Muhammadiyah sebagai basis aktivitas kemasyarakatannya.

Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada periode kepengurusan Badawi yang
pertama, yakni antara tahun 1962-l965, ia merumuskan seuah konsep pemikiran yang kemudian dikenal dengan
Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan pemikirannya ini diajukan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35
tahun 1962 di Jakarta, dan akhirnya diterima sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.

Pada Muktamar ke 37 di Yogyakarta KH Fakih Usman dikukuhkan sebagai Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, namun tiada berapa lama beliau wafat, dan Sidang Tanwir menetapkan H. AR Fakhrudin (WK
Ketua I) sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (1968 – 1971). Periode ini yang lebih menonjol adalah
“Me-Muhammadiyahkan kembali Muhammadiyah”. Dalam hal ini mengadakan tajdid dalam bidang ideologinya
dengan “merumuskan “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah”, dalam bidang organisasi dan
usaha perjuangannya dengan menyusun “Khittah Perjuangan Muhammadiyah”.

10. Periode Kepemimpinan H. Ar Fakhrudin (1971 – 1990)

Periode ini meneruskan sebelumnya, yaitu usaha untuk meningkatkan kualitas persyarikatan baik pemurnian
amal usaha Muhammadiyah. AR Fakhrudin dipilih sebagai ketua Muhammadiyah pada Muktamar ke 39 di Ujung
Pandang 1971, Muktamar ke 40 di Surabaya tahun 1978, dan Muktamar ke 41 di Surakarta, 1985.

Pada periode ini mengalami tantangan untuk mengubah Azas Islam dengan Pancasila sebagai stu-satunya azaz
organisasi di Indonesia. Ddengan kebijakan “Siasat Jalur Helem” (yang artinya untuk sementara, dan tetap
beraqidah Islam), Muhammadiyah dalam selamat.

Beberapa keputusan penting antara lain :

a. Mengukuhkan Khittah Muhammadiyah (Khittah Ponorogo) di Muktamar 40.

b. Ikut membidani kelahiran partai Muslimin Indonesia (Parmusi)

c. Tersusunnya konsep-konsep Dakwah oleh Majelis Tabligh dan tuntunan praktis.


d. Tersusunnya konsep kaderisasi dan pedoman praktis pembinaannya.

e. Tersusunnya berbagai pedoman pendidikan oleh Majelis Dikdasmen & Dikti.

f. Pengaktifan kembali Majelis Pustaka, dalam rangka penyelamatan arsip dokumen Muhammadiyah dan
penerbitan-penerbitannya.

11. Periode Kepemimpinan Kh. Ahmad Azhar Basyir (1990 – 1995)

Pada periode ini berhasil dirumuskan Program Jangka Panjang Muhammadiyah 25 Tahun, yang meliputi Bidang
Konsolidasi Gerakan, Bidang Pengkajian dan Pengembangan, dan Bidang Kemasyarakatan. Program itu
dijabarkan secara strategis menjadi :

a. Bidang Konsolidasi gerakan, meliputi antara lain Konsolidasi Organisasi, Kaderisasi dan Pembinaan AMM,
Bimbingan Keagamaan, dan Peningkatan Hubungan Kerjasama.

b. Bidang Pengkajian dan Pengembangan meliputi antara lain Pengkajian & Pengembangan pemikiran Islam;
Penelitian & pengembangan; dan Pusat informasi Kepustakaan dan penerbitan.

c. Bidang kemasyarakatan meliputi, pendidikan; penanaman keyakinan Islam kesehatan; Pengembangan Sosial
Kemasyarkaatan; Kebudayaan; Ekonomi dan Kewiraswastaan; Partisipasi Politik; Pengembangan General Muda;
Pembinaan keluarga; Pengembangan Peranan Wanita; Lingkungan Hidup; dan PeningkatanKualitas Sumber
daya manusia.

KH Ahmad Azhar Basyir memimpin Muhammadiyah tidak sampai akhir periode, karena Allah SWT. Memanggil
untuk menghadap keharibaannNya. Kepemimpinan PP Muhammadiyah periode ini diteruskan oleh Dr. H. Amien
Rais (yang sebelumnya sebagai staf ketua).

Pada Muktamar di Jogjakarta tahun 1995, Dr. H. Amien Rais dipilih dan dikukuhkan kembali sebagai ketua PP
Muhammadiyah (periode 1995 sampai 2000). Namun, oleh karena Prof. Dr. H. Amien Rais mengundurkan diri
dari ketua umum PP Muhammadiyah (karena menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional), maka sebagai
ketua umum PP Muhammadiyah digantikan Prof. Dr. H. Syafi’i Ma’arief. Sampai disini dulu uraian tentang
Fragmenta Lintasan Sejarah Muhammadiyah. Untuk periode Prof. Dr. H. Amien Rais; Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i
Ma’arief; dan periode Prof. Dr. H. Dien Syamsuddin, belum dapat ditulis dalam makalah ini. Alhamdulillah.

12. Periode Kepemimpinan Prof. Dr. H. Amien Rais

PROF. DR. H. AMIEN RAIS (lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944; umur 68 tahun) adalah politikus Indonesia
yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999 – 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh
MPR hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober 1999.

Namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat akhir pemerintahan Presiden
Soeharto sebagai salah satu orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setelah partai-partai
politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien Rais ikut mendeklarasikan Partai
Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005.

Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai “King Maker“. Julukan itu merujuk pada besarnya peran Amien
Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun
2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam pemilu 1999.

Lahir di solo pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga aktivis Muhammadiyah. Orangtuanya, aktif
di Muhammadiyah cabang Surakarta. Masa belajar Amien banyak dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana
dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1968 dan lulus Sarjana
Muda Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1969), ia melanglang ke berbagai negara dan baru
kembali tahun 1984 dengan menggenggam gelar master (1974) dari Universitas Notre Dame, Indiana, dan gelar
doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.

Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah Mada sebagai dosen. Ia bergiat pula
dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT, dan beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru,
Amien adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap dijuluki Lokomotif Reformasi.

13. Periode kepimimpinan Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif

(lahir di Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei 1935; umur 77 tahun) adalah mantan Ketua Umum
Pengurus Pusat Muhammadiyah dan pendiri Maarif Institute, yang juga dikenal sebagai seorang tokoh dan
ilmuwan yang mempunyai komitmen kebangsaan yang kuat. Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja telah
memposisikannya sebagai “Bapak Bangsa”. Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang
dikritik itu adalah temannya sendiri.

Kehidupan awal

Ahmad Syafii Maarif lahir di Minangkabau, Sumatera pada 31 Mei 1935. Ia bersaudara dengan 15 orang yang
seayah tetapi tidak seibu. Ayahnya, Ma’rifah Rauf adalah seorang saudagar gambir yang belakangan diangkat
sebagai kepala suku Malayu. Namun, sewaktu ia berusia satu setengah tahun, ibunya, Fathiyah meninggal
sehingga ia kemudian dititipkan oleh ayahnya ke rumah bibinya yang bernama Bainah.

Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke Sekolah Rakyat di Sumpur Kudus.[1] Sepulang sekolah, Pi’i, panggilan
akrabnya semasa kecil,[4] belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah

Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal,
sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.[3] Pendidikannya di Sekolah Rakyat, yang
harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Ia tamat dari Sekolah Rakyat
pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan.[5]
Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya
selama beberapa tahun.Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin di Balai Tangah, Lintau dan
belajar di sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah tersebut sampai duduk di bangku kelas tiga.

Merantau ke Jawa

Pada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa.
Bersama dua adik sepupunya, yakni Azra’i dan Suward, ia diajak belajar ke Yogyakarta oleh M. Sanusi Latief.
Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke Madrasah Muallimin di kota
itu tidak terwujud, karena pihak sekolah menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah
penuh. Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah
tersebut tetapi tidak lama. Pada saat bersamaan, ia bersama Azra’i mengikuti sekolah montir sampai akhirnya
lulus setelah beberapa bulan belajar. Setelah itu, ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima
tetapi ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga. Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi
kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar, sebuah majalah pelajar
Muallimin di Yogyakarta.

Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia
memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya.[4] Dalam usia 21 tahun,
tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok
untuk menjadi guru. Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu
menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru.Setelah setahun lamanya mengajar di
sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi
kampung halamannya, kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di
Surakarta. Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda
pada tahun 1964. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat doktoral pada Fakultas Keguruan
Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968.Selama kuliah, ia sempat
menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh
sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958. Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan
toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di
Baturetno dan Solo. Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan
Wartawan Indonesia.

Karier

Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan
mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh
dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi : Islam as the
Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in
Indonesia.

Selama di Chicago inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian
terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana
pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti
pendidikan doktornya.

Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi’i Maarif, yang berjudul ‘Si
Anak Kampung’.Novel ini telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival
(AIFF).

Aktivitas

Setelah meninggalkan posisnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas Maarif
Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam
sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah
media cetak. Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara
lain berjudul : Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press,
1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada
tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.

Karya tulis

 Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, Yayasan FKIS-IKIP, Yogyakarta, 1975
 Dinamika Islam, Shalahuddin Press, 1984
 Islam, Mengapa Tidak?, Shalahuddin Press, 1984
 Percik-percik Pemikiran Iqbal, Shalahuddin Press, 1984
 Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, 1985

14. Periode Kepemimpinan Prof. Dr. Sirajuddin Syamsuddin, atau dikenal dengan Din Syamsuddin

Prof. Dr. Sirajuddin Syamsuddin (lahir di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, 31 Agustus 1958; umur 54
tahun), adalah seorang politisi yang saat ini menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
2005-2010. Istrinya bernama Fira Beranata, dan memiliki 3 orang anak.

Ia menempuh pendidikan sarjana di IAIN Jakarta, dan kemudian melanjutkan pascasarjana dan doktornya di
University of California at Los Angeles (UCLA) di Amerika Serikat.

Din pernah berkarier di birokrasi menduduki jabatan sebagai Direktur Jenderal Binapenta Departemen Tenaga
Kerja Republik Indonesia. Sedangkan dalam kegiatan organisasi, Din pernah menjabat sebagai Ketua DPP
Sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1985), Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (1989-1993),
Wakil Ketua PP Muhammadiyah (2000-2005), Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Ketua
Litbang Partai Golongan Karya.

Sebagai ketua PP Muhammadiyah, ia seringkali diundang untuk menghadiri berbagai macam konferensi tingkat
internasional berkenaan dengan masalah hubungan antara umat beragama dan perdamaian. Baru-baru ini,
misalnya, ia diundang ke Vatican untuk memberikan ceramah umum tentang terorisme dalam konteks politik
dan idiologi. Ia memandang bahwa terorisme lebih relevan bila dikaitkan dengan isu politik dibandingkan
dengan isu idiologi. Sejalan dengan itu, ia juga tidak senang bila sebagian kelompok umat Islam menggunakan
label Islam dalam melakukan aksi-aksi terorisme mereka. Menurutnya, aksi-aksi terorisme yang
mengatasnamakan Islam justru sangat merugikan umat Islam baik pada tingkat internal umat Islam maupun
pada skala global.

Din Syamsuddin dipandang sebagai sosok pemimpin umat Islam bukan hanya karena dia Ketua Umum
Muhammadiyah, tetapi lebih dari itu karena kemampuannya untuk melakukan dialog dengan seluruh elemen
umat beragama baik antar sesama umat Islam, maupun dengan umat beragama lainnya.

Din Syamsuddin merupakan salah-satu penumpang dalam Garuda Indonesia Penerbangan 200, ia mengalami
luka ringan dalam penerbangan yang menewaskan 21 orang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai