Penamaan Muhammad Saggaf memiliki cerita yang cukup unik. Tiga hari
menjelang kelahirannya, ayahnya didatangi oleh dua orang wali yang berasal dari
Hadlramaut dan Maghrabi. Kedua wali tersebut secara kebetulan mempunyai nama
yang sama, yakni Saqqaf. Keduanya berpesan kepada Tuan Guru Kyai Haji Abdul
Majid, jika mempunyai anak, agar diberi nama Saqqaf, seperti nama mereka berdua.[2]
Kata Saqqaf balam bahasa arab berarti mrmbuat atap atau mengatapi. Kata ini
kemudian di Indonesiakan menjaddi Saggaf dan di karenakan berada di daerah
Lombok Nusa Tenggar Barat yang masih kental dengan budaya daerahnya sehingga
nama tersebut di dialekkan kedalam bahasa daerah yang biasa disebut bahasa sasak
menjadi Segep, dan pada masa kecilnya pun beliau kerap dipanggil dengan panggilan
Gep.
Disamping itu, terdapat keunikan lain seputar kelahirannya, yaitu adanya cerita
gembira yang dibawa oleh seorang wali, bernama Syeikh Ahmad Rifa’I yang juga
berasal dari Maghrabi. Ia menemui Tuan Guru Haji Abdul Majid menjelang kelahiran
putranya. Syekh Ahmad Rifa’I berkata kepada Tuan Guru Haji Abdul Majid “Akan
segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang akan menjadi ulama’ besar”.[3]
Dengan adanya keunikan-keunikan yang terjadi menjelang kelahiran putranya
yang kemudian dimamakan Muhammad Saggaf, Tuan Guru Haji Abdul Majid dan
istrinya merasa senang dan gembira karena kelahiran puteranya disambut dan
dinantikan oleh para ulama dan para wali-wali Allah.
Beliau adalah anak bungsu yang lahir dari perkawinan antara Tuan Guru Haji
Abdul Majid dengan seorang wanita shalihah yang berasal dari desa Kelayu Lombok
Timur, yang bernama Inaq Syam dan lebih dikenal dengan nama Hajjah Halimatus
Sya’diyah. Beliau memiliki saudara kandung sebanyak lima orang, diantaranya yaitu:
Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajjah Masyithah.
Sejak kecil beliau terkenal sangat jujur dan cerdas. Kerena itu, tidak
mengherankan kalau ayah bundanya memberikan perhatian khusus dan meumpahkan
kecintaan serta kasih sayang demikian besar kepada beliau. Ketiaka beliau melawat ke
tanah suci Makkah Al Mukarramah untuk melanjutkan studi, ayah bundanya ikut
mengantar ke tannah suci. Ayahandanyalah yang mencarikan beliau guru, tempat
beliau pertama kali belajar di Masjidil Haram, bahkan ibundanya, Hajjah Halimatus
Sya’diyah ikut mukim di tanah suci mengasuh dan mendampingi beliau sampai
ibundanya yang tercinta itu berpulang ke rahmatullah tiga setengah tahun kemudian
dan dimakamkan di Mu’alla Makkah.[4]
Nama Muhammad Saggaf masih disandangnya sampai ia berangkat ke tanah
suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya. Setelah menunaikan
ibadah haji, nama Muhammad Saggaf diganti menjadi Haji Muhammad Zainuddin oleh
ayahnya sendiri sebagaimana yang tertera pada paragfaf di atas dan sejak saat itu
nama beliau berubah menjadi Haji Muhammad Zainuddin.
Tentang silsilah keturunan beliau yang lengkap tidak dapat dikemukakan secara
utuh dikarenakan dokumen dan catatan silsilah keturunan beliau ikut terbakar ketika
rumah orang tua beliau mengalami kebakaran. Namun yang jelas beliau terlahir dari
keturunan keluarga yang terpandang dan garis keturunan terpandang pula yaitu
keturunan Selaparang. Selaparang adalah nama Kerajaan Islam yang pernah berkuasa
di Pulau Lombok.
Tuan Guru Kyai haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid selama hayatnya telah
menikah sebanyak tujuh kali. Dari ketujuh perembuan yang pernah dinikahinya itu, ada
yang mendapinginya sampai wafat, ada yang wafat terlebih dahulu semasih ia hidup
dan ada yang diceraikannya setelah beberapa bulan menikah. Disamping itu, ketujuh
perempuan yang telah dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok,
dan dari berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari keluarga biasa, ada pula yang
berlatar belakang bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajjah Baiq[5] Siti
Zahriyah Makhtar, berasal dari desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Adapun nama-nama perempuan yang pernah dinikahi oleh Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Majid, adalah: Satu, Chasanah; Dua, Hajjah Siti Fatmah;
Tiga, Hajjah Raihan; Empat, Hajjah Siti Jauhariyah; Lima, Hajjah Siti Rahmatullah;
Enam, Hajjah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar; Tujuh, Hajjah Adniyah.[6]
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid Sulit sekali memperoleh
keturunan, sehingga beliau pernah dianggap mandul padahal beliau sendiri sangat
mengiginkan keturunan yang akan melanjutkan perjuangan beliau untuk
mengembangkan dan menegakkan ajaran-ajaran Islam. Dan pada akhirnya beliau
dianugrahkan dua orang anak dari istri yang berbeda yaitu:
Karena dengan hanya memiliki dua orang anak tersebut beliau kerap dipanggil
dengan sebutan Abu Rauhun wa Raihanun.
12. Al-‘Allamah al-Muhadditsin al-Syaikh Abdus Sattar al-Syiddiqi Abdul Wahab al-Kutbi al-
Maliki;
[1] TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal Terjemah
Tuhfatul Atfal, (Jakarta: Nahdlatul Wathan Jakarta, 1996), hal. 9.
[2] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan
Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid 1904-1997,
(Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2004), Cet, Ke-1, hal. 122.
[3] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 123.
[4] TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal…, hal. 9-
10.
[5] Baiq adalah gelar kebangsawanan bagi perempuan yang secara stratifikasi
social masyarakat Lombok berada satu tingkat di atas masyarakat umum, dan dua
tingkat di bawah strata tertinggi, yakni Datu Bini dan Denda. Biasanya gelar Baiq
ditujukan kepada mereka yang belum menikah. Setelah menikah gelar tersebut
berubah menjadi Mamiq Bini.
[6] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 125.
[7] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 134.
[8] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 136.
[9] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 142.
[10] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 144-145.
[11] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 147.
[12] Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah faham teologis yang menekankan
harmonitas antar dua variable, yaitu rasionalitas Mu’tazillah dan predetermenisme
Jabariah. Faham ini secara teologis mengacu pada pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan
Abu Mansur al-Maturidi. Faham ini kemudian memasuki wilayah fiqh yang dapat di
temukan pada pemikiran Imam Mazahib al-Arba’ah, dan pada wilayah tasawuf dapat
dilihat pada pemikiran sufistik Abu Hamid al-Gozali.
[13] TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal…, hal.
15.
[14] TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal…, hal.
16-17.
http://yusran07.blogspot.com/2010/10/biografi-tgkh-muhammad-zainuddin-abdul.html