1Kelahiran
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang nama kecilnya Muhammad Saggaf
dilahirkan pada hari Rabu, 17 Rabi’ul Awal 1326 [1904 M] di Kampung Berini, Desa Pancor,
Kecamatan Rarang Timur [Sekarang Kecamatan Selong] Lombok Timur Nusa Tenggara Barat.
Adalah Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, yang namanya disingkat
HAMZANWADI [Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah],
yang akrab dipanggil Maulana Syaikh atau juga akrab dengan panggilan “Tuan Guru Pancor”, oleh
para murid dan jamaahnya secara umum, semasa kecilnya diberi nama Muhammad Saggaf oleh
ayahnya sendiri, yaitu Tuan Guru Haji Abdul Madjid.
Terdapat keunikan lain seputar kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang di bawa oleh seorang
wali, bernama Syaikh Ahmad Rifa’i yang juga berasal dari Maghrabi. Ia menemui Tuan Guru Haji
Abdul Madjid menjelang kelahiran putranya. Syaikh Ahmad Rifa’i berkata kepada Tuan Guru Haji
Abdul Madjid “Akan segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang akan menjadi ulama besar”.
Muhammad Saggaf adalah anak bungsu dari enam bersaudara, yaitu; Siti Sarbini, Siti Cilah, Hajah
Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajah Masyithah. Keenam putera-puterinya ini merupakan
hasil perkawinan Tuan Guru Haji Abdul Madjid dengan seorang perempuan yang shalihah, berasal
dari desa Kelayu Lombok Timur, bernama Inaq Syarn dan lebih dikenal dengan Hajah
Halimatussa’diyah.
Nama Muhammad Saggaf masih disandangnya sampai ia berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk
melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya. Setelah menunaikan ibadah haji, nama Muhammad
Saggaf diganti menjadi Haji Muhammad Zainuddin oleh ayahnya sendiri.
Ikhwal penggantian nama ini, dilatar belakangi oleh ketertarikan ayahnya kepada nama seorang
ulama yang memiliki kepribadian dan akhlak mulia, yaitu Syaikh Muhammad Zainuddin Senawak,
seorang ulama di Masjid al-Haram. Sejak saat itu namanya kemudian berubah menjadi Haji
Muhammad Zainuddin.
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selama hayatnya telah menikah sebanyak
tujuh kali. Dari ketujuh perempuan yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendampinginya sampai
wafat, ada yang wafat terlebih dahulu semasih ia hidup dan ada juga yang diceraikannya setelah
beberapa bulan menikah. Di samping itu, ketujuh perempuan yang telah dinikahinya itu, berasal dari
berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari keluarga
biasa dan ada pula yang berlatar belakang bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajah Baiq Siti
Zuhriyah Mukhtar, berasal dari Desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Adapun nama-nama perempuan yang pernah dinikahi oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid, adalah: 1] Chasanah; 2] Hajah Siti Fatmah; 3] Hajah Raihan; 4] Hajah Siti
Jauhariyah; 5] Hajah Siti Rahmatullah; 6] Hajah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar; dan, 7] Hajah Adniyah.
Selanjutnya dari ketujuh orang perempuan yang dinikahinya, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid, hanya mendapatkan dua orang puteri, yakni Siti Rauhun dari
perkawinannya dengan Hajah Siti Jauhariyah dan Siti Raihanun dari perkawinannya dengan Hajah Siti
Rahmatullah.
Hajah Siti Jauhariyah adalah seorang perempuan yang tenkenal cantik, hingga pada masa gadisnya,
onang sering menyebutnya sebagai “Kembang dari Kampung Jawa”. Disebut demikian karena ia
adalah puteri dari perkawinan antara seorang wanita Selong yang bernama Masnah dan pria berasal
dan Jawa yang bernama Abdurrahim. Abdurrahim adalah seorang muballigh yang mengembangkan
ajaran Islam di Kampung Jawa. Tugas sehari-harinya adalah sebagai seorang pejabat pemerintah
pada waktu itu.
Hajah Siti Jauhariyah dipersunting oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
pada usia yang sangat muda, yaitu ketika berusia 12 tahun. Setelah menikah pasangan ini tidak
langsung tinggal serumah. Mereka baru tinggal serumah setelah Hajah Siti Jauhariyah berusia 19
tahun.
Pada tahun 1947, ketika Siti Jauhariyah telah berusia sekitar 20 tahun, ia dinyatakan positif hamil.
Kehamilan ini disambut dengan senang dan gembira, karena setelah lama menikah Tuan Guru Kyai
Haji Muhammad Zaiuddin belum juga diberikan keturunan oleh Allah SWT. Ia bahkan pernah
dikatakan mandul dan tidak akan mendapatkan keturunan.
Mendengar informasi kehamilan Siti Jauhariyah, Tuan Guru Kyai Muhammad Zainuddin segera
datang ke rumahnya untuk menantikan saat-saat kelahiran anak pertamanya. Pucuk dicinta ulam
tiba. Jabang bayi yang ditunggu-tunggu lahir dengan selamat dan berjenis kelamin perempuan. Ia
kemudian diberi nama Siti Rauhun. Nama tersebut diambil dari bahasa Arab yang artinya
“kegembiraan/ kenikmatan”.
Sedangkan puteri keduanya diberi nama Siti Raihanun, yang akrab dipanggil Ummi Raihanun.
Sebagaimana disebutkan di atas, puteri kedua adalah buah dari perkawinannya dengan Hajah Siti
Rahmatullah.
Siti Rahmatullah adalah puteri dan Guru Hasan, seorang imam khatib di Masjid distrik Rarang.
Perkenalan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin dengan Siti Rahmatullah tenjadi ketika pada
suatu hari ayahnya datang bersilaturrahmi ke rumah Guru Hasan di Rarang. Saat itulah ia
mengutarakan keinginannya untuk menikahkan puteranya dengan puteri Guru Hasan.
Karena waktu itu Siti Rahmatullah masih sangat kecil dan belum mempunyai keinginan sama sekali
untuk menikah, Tuan Guru Haji Abdul Madjid hanya berjanji akan menikahkan puteranya dengan Siti
Rahmatullah. Semenjak itu hubungan di antara kedua keluarga ini terbangun dengan sangat erat.
Setiap tahun Tuan Guru Haji Abdul Madjid bersilaturrahmi ke Rarang, demikian pula sebaliknya.
Setelah mencapai usia yang cukup, barulah keduanya dinikahkan. Dan dari pernikahan ini kemudian
lahir seorang puteri yang diberi nama Siti Raihanun.
Adapun dari istrinya yang lain, ia tidak mendapatkan keturunan, baik putra ataupun putri. Dan
karena hanya mempunyai dua orang puteri yang bernama Siti Rauhun dan Raihanun, ia juga populer
dengan sebutan “Abu Rauhun wa Raihanun”.
Beliau mengakui bahwa nama kedua puterinya diambil dari Al-Qur’an Surat Al-Waqi’ah ayat 89 yang
berbuyi “Fa rauhun wa raiharnen wajannatu na’im”, [maka dia memperoleh ketenteraman dan
rezeki serta sorga kenikmatan].
Dari kedua orang putrinya, ia mendapatkan banyak cucu dan keturunan. Dari Siti Rahun ia
memperoleh enam orang cucu, yaitu: 1] Siti Rahmi Jalilah; 2] Syamsul Lutfi; 3] M. Zainul Majdi; 4] M.
Jamaluddin; 5] Siti Suraya; dan, 6] Siti Hidayati.
Sedangkan cucunya yang lalir dari Siti Raihanun, sebanyak tujuh orang putra dan putri, yaitu: 1] Lalu
Gede Wiresakti Amir Murni; 2] Lale Laksemining Puji Jagat; 3] Lalu Gede Syamsul Mujahidin; 4] Lale
al Yaqutunnafis; 5] Lale Syifa’un Nufus; 6] Lalu Gede Zainuddin al-Tsani; dan, 7] Lalu Gede
Muhammad Fatihin.
Keluarga Besar Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
PENGEMBARAAN MENUNTUT ILMU
Pengembaraan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menuntut ilmu
pengetahuan berawal dari pendidikan di dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji [membaca Al
Qur’an] dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh Ayahnya, Tuan Guru Haji
Abdul Madjid. Pendidikan yang didapatkan dari Ayahnya ini, dimulai sejak berusia 5 tahun. Baru
setelah berusia 9 tahun ia memasuki pendidikan formal pada sebuah sekolah umum yang disebut
Sekolah Rakyat Negara [Sekolah Gubernemen] di Selong Lombok Timur.
Setelah menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia
kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang lebih luas lagi pada
beberapa kiyai lokal saat itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin dan Tuan Guru Haji Muhammad
Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari
beberapa kyai lokal ini, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu
agama dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajani ilmu-ilmu
gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Sharf.
Menjelang musim haji tahun 1341 [1923 M], Muhammad Saggaf yang saat itu telah mencapai usia
15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah dengan diantar langsung oleh ayah dan ibunya bersama
tiga orang adiknya, yaitu: H. Muhammad Faishal, H. Ahmad Rifa’i dan seorang kemenakannya.
Bahkan ikut serta dalam rombongan ini, salah seorang gurunya, yaitu Tuan Guru Haji Syarafuddin
dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya.
Ketika sampai di Makkah Zainuddin Muda belajar pertama kali pada Syeikh Marzuki, Syeikh Marzuki
adalah seorang keturunan Arab kelahiran Palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengajar
mengaji di Masjidil Haram.
Beliau mempelajani ilmu sastra dengan spesifikasi syair-syair Arab kepada ahli syair terkenal di
Makkah, yakni Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi. Pada saat itulah ia berkenalan dengan Sayyid
Muhsin al-Palembani, seorang keturunan Arab kelahiran Palembang. Ternyata ia kemudian menjadi
gurunya di Madrasah al-Shaulatiyah. Sayyid Muhsin juga pendiri Madrasah Darul Ulum yang saat itu
amat terkenal di Makkah dan sebagian besar muridnya berasal dari Indonesia.
Dua tahun setelah terjadinya huru hara di Tanah Suci Makkah, stabilitas keamanan relatif terkendali.
Pada saat itu Muhammad Zainuddin berkenalan dengan seseorang yang bernama Haji Mawardi dari
Jakarta. Dari perkenalan itu, Zainuddin diajak untuk masuk belajar di sebuah madrasah legendaris di
Tanah Suci, yakni Madrasah al-Shaulatiyah. Madrasah ini didirikan pada tahun 1219 H, oleh seorang
ulama besar imigran India, yaitu Syaikh Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi al-Dahlawi. Madrasah ini
adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudi Arabia.
Gaungnya telah menggema ke seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar
dunia.
Muhammad Zainuddin masuk di madrasah ini, pada tahun 1345 H [1927 M], Madrasah al-
Shaulatiyah di bawah pimpinan cucu dari pendirinya, yaitu Syaikh Salim Rahtnatullah. Petama kali
masuk, ia diantar oleh Haji Mawardi dan langsung menghadap kepada Syaikh Salim Rahmatullah
selaku pimpinan [Mudir/ Direktur]. Pada hari pertama masuknya, ia bertemu dengan Syaikh Hasan
Muhammad al-Masysyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya paling dekat. Di
sana juga ia bentemu Syeikh Sayyid Muhsin al-Musawa, diantara temannya sewaktu belajan syair
pada Syeikh Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata juga sebagai salah seorang guru di madrasah ini.
Setiap thullab baru yang masuk, harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang tepat dan
cocok bagi thullab baru tersebut. Demikian juga dengan Muhammad Zainuddin, ia diuji juga terlebih
dahulu. Dan secara kebetulan ia langsung diuji oleh Mudir al-Shaulatiyah sendiri, yaitu Syaikh Salim
Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath.
Akhirnya, Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath menentukannya masuk di kelas III. Padahal ilmu
Nahwu-Sharaf yang belum dikuasai diajarkan di kelas II. Mendengar keputusan tersebut, ia meminta
agar diperkenankan masuk kelas II, dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran Nahwu-Sharaf.
Walau pada awalnya Syeikh Hasan bersikeras dengan keputusannya, namun argumentasi
Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir kembali. Kemudian ia mengabulkan permohonan sang
murid. Maka resmilah ia diterima di kelas II.
Ketekunannya dalam belajar membuahkan hasil. Beberapa orang gurunya mengakui ia tergolong
murid yang cerdas. Syaikh Salim Rahmatullah selalu mempercayakan kepadanya untuk menghadapi
Penilik Madrasah pemerintah Saudi yang seringkali datang ke madrasah itu, Penilik madrasah itu
menganut faham Wahabi. Dan ia satu-satunya murid Madrasah al-Shaulatiyah yang dianggap
menguasai faham Wahabi. Pentanyaan Penilik itu biasanya menyangkut soal-soal hukum ziarah
kubur, tawassul kepada Anbiya’ dan Auliya’, bernazar menyembelih kambing berbulu hitam atau
putih dan sebagainya. Dan ia selalu berhasil menjawab pertanyaan Penilik itu dengan memuaskan.
Ketekunannya dalam belajar dan bendiskusi juga diakui oleh salah seorang teman sekelasnya di
Madrasah al-Shaulatiyah tersebut, yaitu Syaikh Zakaria Abdullah Bila, seorang ulama besar di Tanah
Suci Makkah. Ia mengatakan: “saya teman seangkatan Syaikh Zainuddin, saya telah bengaul dekat
dengannya beberapa tahun. Saya sangat kagum padanya. Dia sangat cerdas, akhlaknya mulia. Dia
sangat tekun belajar, sampai-sampai jam keluar mainpun diisinya menekuni kitab pelajaran dan
berdiskusi dengan kawan-kawannya.”
Prestasi akademiknya sangat membanggakan. Ia berhasil meraih peringkat pertama dan juara
umum. Di samping itu, dengan kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya dalam
kurun waktu 6 tahun. Padahal lama belajar normal adalah selama 9 tahun, yaitu mulai dari kelas I
sampai dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas IV. Tahun berikutnya ke kelas VI, dan
kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara berturut-turut naik ke kelas VII, VIII dan IX.
Dengan tingkat kecerdasan [IQ] yang sangat tinggi ini, Syaikh Zakaria Abdullah Bila mengatakan,
“Syeikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di kelasku, karena kegeniusannya yang sangat tinggi dan
luar biasa, saya sungguh menyadari hal ini. Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, karibku, dan kawan
sekelasku. Saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam
berprestasi dikala saya dan dia bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah As-Saulatiyah Makkah.”
Lebih jauh Syaikh Zakaria menceritakan: “Pernah sehari sebelum ujian, saya mengambil sebuah kitab
di perpustakaan secara diam-diam dan membawanya pulang Kitab itu hanya satu di perpustakaan,
yang berisi mata pelajaran yang akan diujikan esok harinya. Hal ini saya lakukan dengan sengaja agar
Syaikh Zainuddin tidak bisa menelaahnya, sehingga dalam ujian nanti dapat mengalahkannya.
Ternyata keesokan harinya dalam ujian, dia benhasil menjawab semua, pertanyaan dengan sangat
baik dalam bentuk syair [puisi] dalam bahasa Arab.”
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berhasil menyelesaikan studinya di
Madrasah al-Shaulatiyah Makkah pada tahun 1351 H. [1933 M] dengan predikat istimewa [Mumtaz].
Predikat istimewa tersebut disertai pula dengan perlakuan yang istimewa dari Madrasah al-
Shaulatiyah.
Ijazahnya ditulis tangan langsung oleh seorang ahli khat terkenal di Makkah saat itu, yaitu al-
Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul dari Direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Kemudian
ijazah tersebut ditanda tangani oleh beberapa orang gurunya. Ijazah tersebut diserah terimakan
kepadanya pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H.
Setelah tamat di Madrasah al-Shauladyah, ia tidak langsung pulang ke Indonesia. Tetapi bermukim
lagi di Makkah selama 2 tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar yaitu Haji Muhammad
Faishal. Dua tahun ini dimanfaatkannya untuk belajar, antara lain belajar ilmu Fiqh kepada Syaikh
Abdul Hamid Abdullah al-Yamani.
Dengan demikian, waktu belajar yang ditempuh di Tanah Suci Makkah adalah selama 13 kali musim
haji atau kurang lebih 12 tahun. Berarti sampai pulang ke kampung halamannya, ia sempat
mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.
Guru-gurunya di Masjid al Haram dan Madrasah al-Shaulatiyah
Selama dalam pengembaraannya menuntut ilmu pengetahuan di Tanah Suci, dan Masjid al-Haram
hingga Madrasah al-Shauladyah, ia telah menuntut ilmu dari beberapa orang guru. Mereka adalah
sebagai berikut :
12. A1-’Allamah Muhaddits al-Syaikh Abdus Sattar al-Shiddiqi Abdul Wahab al-Kuthi al-Maliki;
Di dalam mengkaji atau mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, ia rnempelajarinya sesuai dengan
konsentrasi dan spesialisasi dan masing-masing guru. Untuk ilmu Tajwid, A1-Qur’an, dan Qira’at al-
Saba’ah, ia belajar pada:
Sementara pada disiplin ilmu Fiqh, Tashawwuf, Tauhid, Ushul Fiqh dan Tafsir, beliau belajar pada:
Pada disiplin ilmu Hadits, Mushthalah al- Hadits, Mushthalah at-Tafsir, Fara’idh, Sirah/ Tarikh, dan
berbagai ilmu gramatika bahasa Arab [Nahwu, Sharf], ia belajar pada:
5. Maulana wa Murabbina Abi al-Barakat al-’Allamah Ushuli al-Muhaddits al-Shufi al-Syaikh Hasan
Muhammad al-Masysyath Maliki;
Sedangkan pada disiplin Ilmu al-Khath [Kaligrafi bahasa Arab, Ia belajar pada:
Jika diklasifikasikan guru-gurunya berdasarkan latar belakang mazhab yang berbeda, maka akan
terlihat katagorisasi mazhab sebagai berikut:
Berdasarkan katagorisasi mazhab di atas terlihat bahwa semua gurunya masih berada dalam satu
faham teologis, yakni faham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Dengan kata lain, bahwa tidak ada
seorangpun gurunya yang menganut faham yang berbeda, seperti Mu’tazilah, Syi’ah ataupun
Wahabi.
Dalam konteks menuntut ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama yang bersifat praktis, Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menekankan pemenuhan aspek-aspek moralitas, seperti sikap
efektif dalam memilih guru dan sikap hormat terhadap guru. Keduanya merupakan jalinan sinergis
yang bermuara pada kemanfaatan ilmu. Dalam terminologi agama, kemanfaatan ini dikenal dengan
istilah barakah, yang secara etimologi berarti ziyadah al-khairi fi al asyya’ ‘ala ma tsabata fiha al khair
[bertambahnya kebaikan pada sesuatu yang mengandung unsur kebaikan].
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid setelah selarna 12 tahun menuntut ilmu di
Tanah Suci Makkah al-Mukarramah, diperintah gurunya, Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath
kembali ke kampung halamannya di Indonesia untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan
mendorong terbentuknya tatanan moralitas dan akhlaq yang mulia di kalangan saudara seiman dan
masyarakat pada umumnya. Perintah gurunya ini, sempat ditolaknya dengan mengemukakan
argumentasi, bahwa ia masih ingin tetap belajar, bahkan ia ingin tetap tinggal dan mengabdi di
Tanah Suci saja. Namun gurunya tetap menolak argumentasinya itu, karena peranannya di Indonesia
akan lebih bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan pemberdayaan terhadap masyarakat,
dibandingkan jika ia tetap berada di Makkah.
Setelah sampai di tanah kelahirannya, masyarakat langsung mempercayainya sebagai imam dan
khatib. Jabatan sebagai imam dan khatib pada saat itu merupakan posisi yang penting dalam
masyarakat, setidaknya, karena posisi tersebut umumnya diisi oleh seseorang yang memiliki
kapabilitas keilmuan yang tinggi, atau biasa disebut “Tuan Guru” dalam kultur masyarakat Lombok.
Disamping menjadi imam dan khatib, ia juga banyak melakukan safari dakwah ke berbagai tempat di
pulau lombok, sehingga ia mulai dikenal secara luas oleh masyarakat. Masyarakat menyebutnya
sebagai seorang anak muda ‘alim yang memiliki integritas keilmuan, sehingga ia disebut dengan
“Tuan Guru Bajang”.
Sebutan Tuan Guru Bajang diperoleh setelah melalui serangkaian proses uji di tengah-tengah
masyarakat. Sekedar contoh, Tuan Guru Haji Mukhtar dari Mamben tidak dengan serta merta
mengamini sebutan tersebut. Ia melakukan verifikasi terlebih dahulu dengan sejumlah pertanyaan
sebagai test case terhadap kapabilitas keilmuannya. Setelah memperoleh jawaban-jawaban yang
memuaskan, maka Tuan Guru Haji Mukhtar mengakui kemampuannya, bahkan bertekad untuk
mengirim anggota keluarganya untuk menimba ilmu padanya.
Pada awalnya Pesantren al-Mujahidin menerapkan sistem pembelajaran dengan metode halaqah.
Namun kemudian sistem ini dipandang kurang efektif, karena pertama, sulitnya mengukur tingkat
keberhasilan prestasi santri, dan kedua, tidak dapat mengawasi secara maksimal proses
pembelajaran yang efektif. Akan tetapi, untuk menggantinya dengan sistem klasikal murni, masih
menghadapi kendala, terutama pada persoalan kategori usia santri. Untuk itulah maka ia
memperkenalkan sistem semi klasikal, dengan gambaran ada beberapa perangkat kelas, seperti
papan tulis, sementara para santri tetap duduk di lantai dengan bersila. Di samping itu, masih belum
ada pembatasan usia.
Sistem semi klasikal ini, ternyata menarik perhatian masyarakat setempat dan juga sangat di senangi
oleh para santri. Hingga dalam waktu yang singkat telah terdaftar ± 200 orang santri. Para santri
tidak saja berasal dari desa Pancor, tetapi juga dari luar. Melihat fenomena ini, ayahnya langsung
nembuat lokal-lokal kelas darurat di serambi dan di belakang rumahnya. Prosesi belajar mengajar di
pesantren ini, berlangsung dari pukul 05.00 - 06.00 WIT, yang dikhususkan untuk masyarakat dari
kalangan orang-orang tua. Mereka juga disediakan waktu pada malam hari. Adapun untuk anak-anak
muda pelajaran dimulai dari jam 14.00 - 17.00 WIT.
Kitab-kitab yang dikaji dalam pengajian tersebut adalah kitab Minhaj al-Thalibin, Jam’al al-Jawami,
Qatr al-Nada, Tafsir al-Jalalain dan lain-lainnya dari kitab-kitab Fiqih dan Tafsir.
Keberhasilan TGH. Zainuddin dalam memberikan pengajian menimbulkan banyak iri dari orang lain
yang merasa tersaingi, berbagai cobaan, tantangan, dan berbagai reaksi minor dari masyarakat
belum reda, maka ada sebuah harapan datang, ketika seorang familinya, Haji Syazali menawarkan
tanahnya menjadi tempat pendirian madrasah. Tawaran tersebut diterima dengan senang hati.
Untuk merespon tawaran tersebut, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid,
kalangan keluarganya dan tokoh-tokoh masyarakat bermusyawarah untuk merealisasikan cita-cita
mendirikan madrasah. Fisik bangunan madrasah pada awalnya tendiri dari 10 [sepuluh] lokal kelas
yang terdiri dari: 2 [dua] lokal untuk Bustan al-Athfal, 7 [tujuh] lokal untuk ruang belajar; dan 1 [satu]
lokal untuk ruang guru/kantor. Bangunannya sangat sederhana, bendinding pagar, dengan tiang
bambu dan beratap genteng.
Setelah pembangunan fisik madrasah dianggap selesai dan telah dirumuskan berbagai persiapan
untuk aktifitas belajar-mengajar, maka Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
mengajukan sebuah permohonan pendirian madrasah kepada pemerintah Hindia Belanda Kontrober
Oost Lombok di Selong Lombok Timur. Kemudian pemerintah Belanda memberikan surat izin akte
pendirin madrasah tersebut pada tanggal 17 Agustus 1936 M. Selanjutnya selang satu tahun
berikutnya, yakni pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, yang bertepatan dengan tanggal 22 Agustus
1937 madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah lslamiyah [NWDI] diresmikan.
Bagi Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, tanggal 17 Agustus 1936 di atas
memiliki makna signifikan dan monumental, karena 9 [sembilan] tahun kemudian, yakni tanggal 17
Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Kondisi ini merupakan
hikmah tersendiri dalam perjalanan sejarah Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiah.
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah sebagai nama madrasah, adalah nama yang berasal dari bahasa
Arab. Secana etimologis, Nahdlah, berarti penjuangan, kebangkitan, dan pergerakan. Wathan,
berarti tanah, bangsa atau negara. Sedangkan Diniyah Islamiyah, berarti agama Islam. Nama
tersebut merefleksikan suasana psikologis dan kondisi sosial pada saat itu, terutama yang berkaitan
dengan jargon-jargon jihad’ [penjuangan] untuk menggelorakan semangat patriotisme dalam
melakukan perlawanan terhadap penetrasi kolonialisme Belanda dan Jepang, serta upaya
memberdayakan pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat yang sedang terpuruk dan
terbelakang.
Dalam operasionalisasinya, Madrasah NWDI pada mulanya diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan,
yaitu: tingkat Ilzamiyah, Tahdhiriyah dan Ibtida’iyah. Tingkat Ilzamiyah adalah tahap pernsiapan
dengan lama belajar satu tahun. Murid-murid pada tingkatan ini terdiri dari anak-anak yang belum
mengenal huruf Arab dan huruf latin. Tingkat Tahdhiriyah adalah kelanjutan dari tingkat Ilzamiyah
dengan lama belajar tiga tahun. Murid-muridnya selain berasal dari lulusan tingkat Ilzamiyah, juga
diterima lulusan dari sekolah dasar [Volgschool]. Materi pelajaran yang diberikan adalah tauhid, fiqh,
dan pengetahuan dasar Qawa’id al-Lughah al-Arobiyyah. Sedangkan tingkat Ibtida’iyah adalah
tingkatan terakhir setelah Tahdhiriyah dengan lama belajar empat tahun. Tingkatan ini selain
menerima murid dari lulusan Tahdhiriyah, juga menerima dari lulusan sekolah dasar [volgschool].
Materi pelajaran pada tingkatan ini difokuskan pada materi Kitab Kuning, seperti Nahwu, Sharf
Balaghah, Ma’ani, Badi’, Bayan, Manthiq, Ushul al-Fiqh, Tashawwuf dan lain-lain. Khusus pada kelas
tenakhir [rabi’ ibtida’iy], semua pelajaran agama mengacu kepada kurikulum madrasah al-
Shaulatiyyah. Aktivitas belajar mengajar pada semua tingkatan dimulai dari pukul 07.30 - 13.00
WITA.
Madrasah ini selanjutnya terus mengalami kemajuan dan perkembangan sehingga oleh pendirinya
pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, bertepatan dengan tanggal 22 Agustus 1937 M, dipandang
sebagai momentum kemenangan moral perjuangan menegakkan syiar Islam. Sehingga saat itu dan
setiap tahunnya diperingati sebagai hari ulang tahun berdirinya madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah yang kemudian populer disebut dengan HULTAH NWDI.
Berdirinya madrasah NWDI di Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada tahun 1937,
mencatat sejarah baru dalam perkembangan pendidikan Islam di Nusa Tenggara Barat. Paling tidak
dengan penerapan sistem klasikal dan klasifikasi siswa berdasarkan tingkatan, maka orang mulai
mengenal pendidikan Islam dengan sistem klasikal dan berjenjang, sebagaimana pendidikan umum,
seperti Sekolah Rakyat, atau sekolah-sekolah yang didirikan pada masa kolonial. Atas dasar inilah,
madrasah ini dipandang sebagai pelopor pendidikan Islam modern di NTB.
MENDIRIKAN MADRASAH NAHDLATUL BANAT DINIYAH ISLAMIYAH [NBDI]
Berangkat dari kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Madrasah NWDI, kemudian melahirkan
gagasan untuk mendirikan lembaga pendidikan agama yang dikhususkan untuk kaum perempuan.
Karena, pada masa Pesantren Al-Mujahidin, mereka juga mendapat kesempatan yang sama dengan
kaum laki-laki.
Gagasan mendirikan madrasah dimaksud dilatar belakangi oleh kondisi sosial perempuan pada saat
itu yang tersubordinasi oleh hegemoni kaum laki-laki. Padahal keberadaannya memiliki peranan
penting dalam kehidupan masyarakat. Bentuk peranan aktual perempuan dalam konteks kehidupan
bermasyarakat dimulai dan peranannya sebagai ibu rumah tangga dalam lingkup keluarga. Peranan
ini memiliki signifikansi dalam pembentukan karakter keluarga, seperti pendidikan anak, yang
akhirnya menentukan karakter masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.
Di sisi lain, gagasan pendirian madrasah khusus untuk kaum perempuan ini, merupakan
pengejawantahan dari hadits Rasulullah SAW mengenai kewajiban menuntut ilmu bagi kaum
perempuan sama dengan kewajiban bagi kaum laki-laki.
Sebagai realisasi dari pemikiran-pemikiran tersebut, maka pada tanggal 15 Rabi’ul akhir 1362 H
bertepatan dengan tanggal 21 April 1943, resmilah berdiri sebuah madrasah khusus kaum
perempuan yang diberi nama dengan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyyah [NBDI].
Seperti halnya Madrasah NWDI, Madrasah NBDI juga memiliki makna khusus bagi pendirinya.
Setidaknya karena tanggal dan bulan berdirinya dikemudian hari dikenal sebagai hari Kartini sebagai
tonggak bagi kebangkitan peran aktualisasi perempuan di Indonesia. Dalam operasionalisasinya,
Madrasah NBDI dipimpin langsung oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid,
dan dibantu oleh Ustaz Lalu Faishal, Ustaz Lalu Wildan, Ustaz Dahmuruddin Mursyid, dan lain-lain.
Pada awalnya, Madrasah NBDI dipusatkan di lokasi pesantren al-Mujahidin pada sebuah bangunan
yang terdiri dari tiga buah local, dengan waktu belajar dari pukul 13.30 - 17.00 WITA. Sementara
materi pelajarannya mengacu kepada kurikulum Madrasah NWDI.
Setelah posisi kedua madrasah induk itu semakin mantap, ditambah berkembangnya cabang-cabang
di berbagai daerah, maka Madrasah NWDI dan NBDI melakukan upaya-upaya pengembangan
konstruktif dalam bidang kurikulum, jenjang, dan jenis madrasah sesuai dengan perkembangan
zaman.
Pada mulanya, semua kurikulum dan jenjang madrasah disesuaikan dengan sistem yang berlaku di
Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah. Namun pada tahun 1951, tingkat Tahdhiriyah ala Makkah itu di
reformulasi menjadi Ibtida’iyah ala Indonesia, yaitu Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun, dengan kompisisi
60 % pengetahuan agama dan selebihnya, yaitu 40 % diberikan pengetahuan umum. Dan sebagai
kelanjutannya, pada tanggal 2 November 1952 dibuka Sekolah Menengah Islam [SMI] dengan lama
belajar tiga tahun. Pada tahun yang sama, dibuka pula Madrasah Mu’allimin 4 tahun, Madrasah
Mu’allimat 4 tahun, dan Pendidikan Guru Agama Pertama [PGAP]. Seperti halnya tujuan pendirian
SMI, madarasah dan sekolah ini juga bertujuan menampung lulusan Madasarah Ibtida’iyah 6 tahun.
Selanjutnya pada tahun 1955/1956 dibuka Madrasah Muballighin dan Muballighat. Pada tahun 1957
dibuka Madrasah Mu’allimin 6 tahun dan Madrasah Mu’allimat 6 tahun. Keduanya merupakan
perubahan dari Madrasah NWDI dan NBDI. Dua tahun kemudian, pada tahun 1959, diresmikan
berdirinya Madrasah Menengah Atas [MMA], Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan
Pendidikan Guru Agama Lengkap [PGAL].
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan dibukanya lembaga pendidikan tinggi. Dimulai pada
tahun 1964, dengan didirikannya Akademi Paedagogik Nahdlatul Wathan. Selanjutnya pada tahun
1965 dibuka Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits A1-Madjidiyah Asy-Syafi’iyyah Nahdlatul Wathan, yang
mahasiswanya khusus pria dan Ma’had lil Banat yang dibuka pada tahun 1974, dengan mahasiswa
khusus perempuan. Pada tahun 1977 didirikan Universitas HAMZANWADI.
Universitas yang disebut terakhir di atas, pada mulanya membuka dua fakultas, yakni Fakultas
Tarbiyah dan Fakultas Ilmu Pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, Fakultas Ilmu Pendidikan
ini berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan [STKIP] HAMZANWADI dan
Fakultas Tarbiyah dirubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah [STIT]. Kemudian pada tahun 1981
dibuka Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah [STIS], dan pada tahun 1987 dibuka Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
[STIH].
Pada tahun akademik 1987/1988 diresmikan berdirinya Universitas Nahdlatul Wathan yang
berkedudukan di Mataram, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk tahap pertama dibuka 4
[empat fakultas], yaitu Fakultas Teknologi Pertanian, Fakultas Perkebunan, Fakultas Ketatanegaraan
dan Ketataniagaan [FKK], dan Fakultas Sastra [Indonesia, Arab, dan Inggris].
Disamping pendidikan tinggi, pada tahun 1974 mulai dibuka pendidikan umum, seperti Sekolah
Menengah Pertama [SMP], Sekolah Menengah Atas [SMA], sekolah kejuruan, yakni Sekolah
Pendidikan Guru [SPG].
Di luar madrasah, sekolah, maupun perguruan tinggi, para santri Madrasah NWDI dan NBDI
melakukan kegiatan pendidikan kemasyarakatan yang diberi nama Pemberantasan Buta Agama
[PBA]. Pendidikan ini dikhususkan bagi anggota masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi
mengikuti pendidikan formal kemadrasahan.
Perkembangan dibidang kurikulum, semenjak perubahan kurikulum tingkat Tahdliriyyah NWDI terus
berlangsung, sehingga terbentuk komposisi, sebagai berikut:
Sekolah umum mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan [Sekarang Departemen Pendidikan Nasional]
Perguruan proyek khusus Nahdlatul Wathan memakai kurikulurn agama 90 % dan umum 10 %.
Perguruan tinggi mengacu kepada kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat
Kelembagaan Agama Islam [Bagais] Departemen Agama.
Satu ciri khas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Wathan, disamping menggunakan kurikulum
agama, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah, juga diberi pengetahuan agama, yang bersumber
dari kitab-kitab karangan Imam Syafi’i. Hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar bahwa Nahdlatul
Wathan menganut mazhab Syafi’i, maka pengetahuan agama dan kitab-kitab Syafi’i adalah untuk
diamalkan di kalangan warga Nahdlatul Wathan. Di samping itu juga diberikan materi pelajaran Ke
Nahdlatul Wathan-an [Ke-NW-an] sebagai suatu materi pelajaran tersendiri di lingkungan perguruan
Nahdlatul Wathan pada umumnya.
Organisasi Nahdlatul Wathan, yang selanjutnya disingkat NW, adalah sebuah organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiyah. Onganisasi
ini didirikan oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada hari Ahad tanggal,
15 Jumadil Akhir 1372 H bertepatan dengan tanggal 1 Maret 1953 M di Pancor Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat.
Adapun yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini adalah karena melihat pertumbuhan dan
perkembangan cabang-cabang Madrasah NWDI dan NBDI yang begitu pesat, di samping
perkembangan aktivitas sosial lainnya, seperti majlis dakwah dan majlis ta’lim dan lainnya. Untuk itu
diperlukan suatu wadah atau organisasi yang mewadahi dan mengorganisir segala macam bentuk
kebutuhan dan keperluan pengelolaan lembaga-lembaga tersebut secara profesional.
Kemudian dalam rangka konsolidasi organisasi, Nahdlatul Wathan telah melaksanakan rapat anggota
untuk tingkat ranting, konfrensi untuk tingkat Anak Cabang, Cabang, Daerah, Wilayah dan
Perwakilan. Sedangkan untuk tingkat Pengurus Besar diselenggaran muktamar.
Selanjutnya, setelah mengadakan muktamar I, hingga meninggalnya Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, organisasi Nahdlatul Wathan tercatat telah mengadakan
muktamar sebanyak 10 kali. Adapun tempat, tanggal dan tahun terselenggaranya Muktamar
tersebut, adalah sebagai berikut :
2. Legalitas Organisasi
Sebagai sebuah organisasi formal, eksistensi Nahdlatul Wathan mendapatkan legalitas yuridis formal
berdasarkan akte Nomor 48 tahun 1957 yang dibuat dan disahkan oleh Notaris Pembantu Hendrix
Alexander Malada di Mataram. Akte ini bersifat sementara, karena wilyah yurisdiksinya hanya di
Pulau Lombok, sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan organisasi ke luar wilayah
yurisdiksi tersebut.
Untuk itu, dibuat akte nomor 50, tanggal 25 Juli 1960, di hadapan Notaris Sie Ik Tiong di Jakarta.
Kemudian pengakuan dan penetapan juga diberikan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.
J.A.5/105/5 tanggal 17 Oktober 1960, dan dibuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 90,
tanggal 8 November 1960.
Dengan legalitas akte kedua ini, maka organisasi Nahdlatul Wathan mempunyai kekuatan hukum
tetap untuk mengembangkan organisasinya ke seluruh wilayah negara Republik Indonesia dari
Sabang sampai Merauke, sehingga setelah tahun 1960, maka terbentuklah pengurus Nahdlatul
Wathan di Bali, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta, Kalimantan,
Sulawesi, danlain-lainnya, bahkan sampai ke daerah Riau dengan status perwakilan.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang keormasan yang antara lain berisi
tentang penerapan Asas Tunggal bagi semua organisasi kemasyarakatan, maka Nahdlatul Wathan
dalam Muktamar ke-8 di Pancor, Lombok Timur pada tanggal 15-16 Jumadil Akhir 1406 H atau
tanggal 24-25 Februari 1986 mengadakan peninjauan dan penyempurnaan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga organisasi. Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ini
kemudian dikukuhkan dengan Akte Nomor 3l tanggal 15 Februari 1987 dan Akte Nomor 32, juga
tanggal 15 Februari 1987, yang dibuat dan disahkan oleh waki1 Notaris Sementara Abdurrahim, SH.
di Mataram. Dengan demikian, maka jelaslah eksistensi dan legalitas formal organisasi Nahdlatul
Wathan sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan.
3. Aqidah, Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup Organisasi
Organisasi Nahdlatul Wathan menganut faham aqidah Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala
Madzahib al-Iman al-Syafi’i dan berasaskan Pancasila sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun
1985. Sejak awal berdirinya, organisasi berasaskan Islam dan kekeluargaan. Asasnya berlaku hingga
Muktamar ke-3, dan kemudian diganti dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman
al-Syafi’i. Perubahan ini terjadi mengingat khittah perjuangan kedua madrasah induk, NWDI dan
NBDI.
Adapun sebagai landasan argumentasi Nahdlatul Wathan menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-
Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i adalah sebagai berikut :
1. Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam al-Bukhari dalam
Tarikh al-Kabir al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Imam, Abu Dawud, Ibn Huzaimah, Ibn Hibban dan lain-lain
yang artinya :
“Hendaklah kamu bersama golongan terbesar [mayoritas] dan pertolongan Allah selalu bersama
golongan mayoritas, maka barang siapa yang memisahkan diri [dari komunitas jama’ah] maka
mereka termasuk dalam golongan orang-orang ahli neraka.” [HR Tirmidzi].
“Allah tidak menghimpun ummat ini dalam kesesatan selama-lamanya dan pertolongan Allah selalu
bersama golongan mayoritas.” [HR al-Thabrani].
2. Fakta sejarah menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam sedunia dari abad ke abad adalah
Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat dari sejak
lahir madzhab itu.
3. Umat Islam Indonesia sejak awal telah menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan
menganut madzhab Syafi’i sejak madzhab masuk ke Indonesia.
4. Imam-Imam Hufadz al-Hadits yang telah hafal beratus-ratus ribu hadits yang diakui oleh kawan
atau lawan akan keimanan, ketaqwaan dan keahilan mereka, serta karangan mereka telah menjadi
pokok dan dasar pegangan umat Islam sedunia sesudah al-Qur’an al Karim, sepenti Imam Bukhari,
Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Baihaqi, Imam Nasa’i, Imam Ibnu Majah,
Imam Hakim dan lain-lainnya dan ratusan Imam ahli al-hadits. Semuanya menganut aqidah Ahlu al-
Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhah Syafi’i atau yang lainnya dari madzhah yang empat.
Demikian juga dari Imam-imam dan ulama fiqh, ushul, tasawwul merekapun menganut aqidah Ahlu
al-Sunnah wa al-Jama’ah dan juga bermadzhab.
5. Jumhur ulama ushul menandaskan bahwa orang yang belum sampai tingkatan ilmunya pada
tingkatan mujtahid muthlaq maka wajib bertaqlid kepada salah satu madzhab empat dalam masalah
furu’ syari’ah.
7. Imam Sayuti yang hidup pada awal abad 10 H yang terkenal sangat ahli dalam berbagai disiplin
ilmu pengetahuan Islam. Karangan-karangan beliau kurang lebih 600 buah kitab, yang sangat
penting dan bernilai tinggi dikalangan Islam. Beliau memperoleh gelar “Amir al-Mukminin Fi al-
Hadits” [raja umat Islam dalam ilmu hadits] karena beliau telah menghafal ratusan ribu hadits.
Pernah suatu ketika beliau menyatakan dirinya telah mencapai tingkat mujtahid dan terlepas dari
madzhab yang diantaranya, yaitu madzhab Syafi’i. Maka segeralah beliau diserang oleh para Imam
ulama’ fiqh, mufassir, muhaddits dan ahli ushul dengan alasan dan dalil yang sangat jitu dan tepat.
Akhirnya beliau dengan jujur dan penuh kesadaran mencabut pernyataannya dan kembali bertaqlid
serta bermadzhab dengan madzhab Syafi’i.
8. Madzhab Syafi’i dilihat dari segi sumber atau dasarnya, lebih unggul dibandingkan dengan
madzhab-madzhab yang lain.
Sedangkan tujuan organisasi ini adalah Li I’laai Kalimatillah wa Izzi al-Islam wa al-Muslimin dalam
rangka mencapai keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran
Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i Radliyallahu ‘anhu. Tujuan ini
merupakan penggabungan dan tujuan organisasi dan asas organisasi sebelum Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1985 diberlakukan. Peserta Muktamar ke-8 menghendaki agar asas organisasi
terdahulu tidak dihilangkan dengan adanya ketentuan Asas Tunggal. Kompromi yang dapat
dilakukan adalah memindahkan pernyataan tentang asas Islam tersebut ke dalam tujuan organisasi,
sehingga makna esensial asas tersebut tidak hilang.
4. Lambang Organisasi
Lambang Organisasi Nahdlatul Wathan adalah “Bulan Bintang Bersinar Lima”, dengan warna gambar
putih dan warna dasar hijau. Lambang ini memliki makna, sebagai berikut :
10. Badan Pengkajian, Penerangan dan Pengembangan Masyarakat Nahdlatul Wathan [BP3M]
Badan-badan otonom ini masing-masing mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
yang tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi
Nahdlatul Wathan. Badan-badan otonom ini bilamana hendak mengadakan hubungan atau tindakan
keluar harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Pengurus Besar dan restu Dewan Mustasyar
Pengurus Besar.
Disela-sela kesibukan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam melakukan
aktivitas di bidang pendidikan, sosial, dan dakwah, ia juga tidak lupa menulis beberapa kitab sebagai
rujukan bagi para santri dan madrasah NWDI dan NBDI. Karya-karyanya memang tidak berbentuk
kitab-kitab yang besar, yang berisi kajian-kajian yang panjang lebar pembahasannya (muthawwalat),
tetapi karyanya lebih merupakan kajian-kajian dasar dan biasanya dalam bentuk syair dan nadzham-
nadzham berbahasa Arab. Di samping itu juga, terdapat kitab yang berisi nadzham dalam dua
bahasa, yaitu Bahasa Arab dan Melayu. Karyanya juga dalam bentuk syarah atau penjelasan lebih
lanjut terhadap suatu kitab dan dalam bentuk saduran dan kitab-kitab lain.
Di antara judul-judul karya tulis yang telah dihasilkannya adalah sebagai berikut:
Dalam Bahasa Arab
3. Wasiat Renungan Masa I dan II [Nasihat dan petunjuk perjuangan untuk warga Nahdlatul
Wathan]
Nasyid/ Lagu Perjuangan dan Dakwah dalam Bahasa Arab, Indonesia dan Sasak.
1. Ta’sis NWDI [Antiya Pancor Biladi]
2. Imamuna al-Syafi’i
3. Ya Pata Sasak
5. Tanawar
7. Bersatulah haluan
8. Nahdlatain
9. Pacu Gama’
Antu’unwanul kamali
Kullumayya’tiki yauma
Wasyharu tulallayali
Lakimingkulli dholali
Kullumallabbamu nadi
NAHDLATAIN
Kemamang po ne ara’
Madrasahku-madrasahku
Madrasahku mudahan de
NAHDLATUL WATHAN
BAPAK MAULANA
MARS HAMZANWADI
SAKIT JAHIL
Label: Materi
Newer Post
Older Post
Home
Welcome
Yasni : iyazelparadise@rocketmail.com
Ttd
HIMMAH NW