Anda di halaman 1dari 9

TOKOH TOKOH ISLAM

OLEH : RAFLI RAMADHAN

SMP NEGERI 6 MUARO JAMBI


TAHUN PELAJARAN 2019/2020
KH Ahmad Dahlan (Ketua 1912 - 1922)

Andai saja pada tahun 1868 tidak lahir seorang bayi bernama Muhammad Darwisy (ada
literatur yang menulis nama Darwisy saja), Kampung Kauman di sebelah barat Alun-alun
Utara Yogyakarta itu boleh dibilang tak memiliki keistimewaan lain, selain sebagai sebuah
pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta. Sejarah kemudian mencatat lain, dan
Kauman pada akhirnya menjadi sebuah nama besar sebagai kampung kelahiran seorang
Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Kiai Haji Ahmad Dahlan: Sang Penggagas
lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan
18 November 1912.
Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tua yang dikenal sangat alim, yaitu KH.
Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri
H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta). Muhammad Darwisy merupakan anak keempat
dari tujuh saudara yang lima diantaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Tak ada yang
menampik silsilah Muhammad Darwisy sebagai keturunan keduabelas dari Maulana Malik
Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka diantara Wali Songo, serta dikenal pula sebagai
pelopor pertama penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan,
1991). Demikian matarantai silsilah itu: Muhammad Darwisy adalah putra K.H. Abu Bakar
bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung
Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin
Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil, dan sekaligus
menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah
haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa
Arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan
Ibnu Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada
Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak
kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah,
yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar
dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang
menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat
Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan
diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada
al-Qur’an dan al-Hadis.
Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji Ahmad
Dahlan (suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama
baru sebagai pengganti nama kecilnya). Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat
menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia
menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu
agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya sendiri, anak
Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang
Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H.
Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan
Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, K.H. Ahmad
Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi
Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari
perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan Penghulu) Cianjur yang bernama
Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta (Yunus
Salam, 1968: 9).
Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Ada
sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri:
“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang
akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu
melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai
Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah,
sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari
sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah
lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).

AHMAD SUKARTI
Kehidupan awal

Ahmad Surkati terlahir dengan nama Ahmad bin Muhammad Surkati al-Anshori pada sekitar
1875 M di Udfu, pulau Arqu dekat kota Dongola, Sudan. Kata Surkati diambil dari bahasa
Dongolawi yang berarti Banyak Buku (Sur, buku; Katti, banyak), karena kakeknya memiliki
banyak buku ketika dia kembali dari pendidikan. Diyakini bahwa ia adalah keturunan seorang
Sahabat Nabi bernama Jabir bin Abdillah al-Anshori.[2]

Dia berasal dari keluarga terpelajar; ayah dan kakeknya pernah belajar di Mesir, dengan
ayahnya lulus dari Universitas Al-Azhar di Kairo. Surkati menerima pendidikan pertama dari
ayahnya dan berhasil menghafal al-Quran di usia muda. Ahmad memasuki Ma'had Syarqi
Na, sebuah lembaga yang dipimpin oleh seorang ulama terkemuka di Dongola. Setelah
menyelesaikan studinya di Institut, ayahnya ingin dia melanjutkan pendidikan di Al-Azhar di
Mesir seperti yang telah dia lakukan. Tetapi niat itu tidak pernah terpenuhi, karena Sudan
kemudian diperintah oleh pemerintahan al-Mahdi yang berusaha melarikan diri dari
pemerintahan Mesir. Raja Sudan pada saat itu, Abdullah al-Taaisha, tidak mengizinkan
orang-orang Sudan untuk bepergian ke Mesir.[2]

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar Islamnya di Sudan, Ia melakukan perjalanan ke


Mekah untuk melaksanakan haji pada tahun 1896 M. Ahmad hanya sebentar tinggal di
Mekah, kemudian dia pindah ke Madinah dan kemudian kembali ke Mekah. Di Madinah, Dia
memperdalam ilmu agama dan sastra Arab selama sekitar empat setengah tahun. Dua dari
guru-gurunya yang terkenal di Madinah adalah dua muhadis asli Maroko, yaitu Syekh Salih
dan Umar Hamdan. Dia juga belajar Alquran kepada Syekh Muhammad al-Khuyari. Dia
mempelajari pengetahuan fikih dari dua ulama fikih pada waktu itu, Syekh Ahmad Mahjub
dan Syekh Mubarak an-Nismat (dia kebanyakan belajar mazhab Syafi'i), di mana untuk
bahasa Arab, dia belajar dari ahli bahasa bernama Syekh Muhammad al-Barzan.[2]

Ia tinggal di Hijaz selama lima belas tahun di mana lebih dari sebelas tahun ia habiskan di
Mekah, tempat ia menerima pendidikan utama dengan penekanan pada Hadis,[1] di mana ia
lulus dari Darul 'Ulum di Mekah.[3] Ahmad Surkati adalah orang Sudan pertama yang
mendapatkan gelar al-'Allamah pada tahun 1326 H.[2] Keahliannya yang luar biasa sebagai
ulama mulai diperhitungkan pada sekitar tahun 1909 ketika ia dianugerahi jabatan pengajar
terkemuka di Mekah, posisi yang dipertahankannya sebelum Dia diundang oleh Jamiat Kheir
dan pindah ke Batavia.[1]

Karier

Di Jamiat Kheir

Karena kurangnya guru yang berkualitas untuk mengajar di sekolah Jamiat Kheir, pengurus
memutuskan untuk merekrut guru dari luar negeri. Pada sekitar bulan Oktober 1911, Ahmad
Surkati tiba di Batavia bersama dengan dua guru lainnya, seorang Sudan bernama
Muhammad bin Abdul Hamid dan Muhammad al-Tayyib, seorang Maroko yang segera
kembali ke tanah kelahirannya. Mereka telah didahului oleh guru lain, orang Tunisia bernama
Muhammad bin Utsman al-Hasyimi yang datang ke Hindia pada tahun 1910. Surkati diangkat
sebagai inspektur di sekolah-sekolah Jamiat Kheir. Dua tahun pertamanya di posisi ini sukses
besar, menciptakan jaminan bagi Jamiat Kheir untuk merekrut empat guru asing lagi pada
Oktober 1913.

Beberapa anggota konservatif Jamiat Kheir dari kalangan Sayyid semakin khawatir tentang
pengaruh Surkati pada komunitas Hadhrami, dan khususnya sikapnya terhadap Sayyid
sendiri. Suatu peristiwa muncul mengenai diizinkannya pria non-sayyid menikahi seorang
wanita sayyid di Solo pada tahun 1913 selama liburan sekolah ketika Sukarti tinggal di sana
dan diajak berkonsultasi tentang kasus tersebut. Seorang Cina non-Muslim memiliki seorang
selir yang merupakan anak perempuan Sayyid, seolah-olah wanita itu bersamanya karena
kemiskinannya. Surkati menganggap situasinya sebagai hal yang memalukan sehingga
mengusulkan agar Hadhrami di daerah itu menyumbangkan uang kepadanya atau ia akan
dinikahkan oleh seorang Muslim non-Sayyid. Saran pertamanya diabaikan dan saran kedua
dikecam sebagai dilarang oleh komunitas Sayyid (seorang pria non-Sayyid tidak boleh
dengan Kafa'ah untuk seorang wanita Sayyid). Surkati berpendapat bahwa menurut hukum
Islam, hal itu diperbolehkan bagi pernikahan pria non-Sayyid dengan seorang wanita Sayyid.
[4]
Surkati memberikan jawabannya secara lebih rinci dengan argumen di kolom Surat al-
Jawaab di koran "Soeloeh Hindia" yang pemimpin redaksinya adalah Haji Oemar Said
Tjokroaminoto.[2] Pendapatnya dengan cepat didengar oleh para pemimpin Jamiat Kheir di
Batavia, menyebabkan hubungannya dengan Sayyid yang lebih konservatif memburuk
dengan cepat.[1] Sukarti juga mengalami kritik rasis terhadapnya atas konflik ini. [5] Istilah
"Konflik 'Alawi-Irsyadi" mulai digunakan untuk pemisahan antara golongan Sayyid (dikenal
sebagai' Alawi, Alawīyūn) dan non-Sayyid (al-Irsyād dipimpin oleh Surkati). Seorang 'Alawi,
Sayyid Muhammad bin' Abdullah al-'Aṭṭās bahkan mengatakan "Organisasi al-Irsyad, dalam
pandangan saya, bukanlah organisasi Arab murni. Ada terlalu banyak darah Afrika di
antara para anggotanya untuk itu". 'Abdullāh daḥlān menyerang sikap Surkati bahwa semua
manusia apakah Sayyid atau non-Sayyid sama dengan alasan bahwa Tuhan menciptakan
beberapa manusia seperti keluarga nabi (Sayyid) sebagai lebih unggul dari orang lain. Dia
berkata, "Apakah Negro kembali dari kesalahannya atau bertahan dalam tubuhnya yang
keras kepala?"[7] Beberapa Sayyid Hadhrami termasuk Daḥlān agar berhasil melakukan rasis
yang ekstrim dan menghina Sukarti, memanggilnya "Hitam yang Mati", "si Budak Hitam",
"si Hitam", "si Sudan" dan "si Negro", sambil menuduh bahwa Sukarti tidak dapat berbahasa
Arab dan orang yang bukan Arab.[8]

Surkati kemudian menulis argumen dan jawabannya di Al-Masa`il ats-Tsalats pada tahun
1925 yang berisi masalah ijtihad, bid'ah, Sunnah, ajaran sesat, Ziarah (mengunjungi kubur),
Taqbil (mencium tangan para Sayyid[3][9] dan Tawassul. Lembaran esai ini sebenarnya
dipersiapkan sebagai bahan untuk perdebatan perdana dengan Ali Al-Thayyibi dari Ba'alawi.
Perdebatan itu pada awalnya direncanakan untuk diadakan di Bandung. Tapi Ali al-Thayyib
membatalkannya dan meminta perdebatan yang akan diadakan di Masjid Ampel di Surabaya.
Tapi akhirnya dia membatalkannya lagi sehingga tidak terjadi perdebatan sama sekali. [2]
Surkati mengajukan pengunduran dirinya dari posisinya pada tanggal 18 September 1914

KH. HASYIM ASY’ARI

Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871. Setelah belajar di sejumlah pesantren di Jawa
dan Madura, ia melanjutkan belajar di Makkah. Bekal ilmu dari Nusantara membuatnya tak
banyak menemui kesulitan ketika memperdalam pelbagai ilmu agama.
Tak kurang dari tujuh tahun ia menghabiskan waktu untuk belajar kepada para guru di tanah
suci, salah satunya kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, orang Indonesia yang
pernah menjadi Mufti mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.
Sekembalinya ke tanah air, ia pun mulai mengajar. Cita-citanya untuk mendirikan pesantren
hampir terwujud. Tempat yang ia pilih adalah Tebuireng, sebuah desa di Jombang, Jawa
Timur, yang saat itu terkenal rawan tindak kejahatan.
Lebih dari itu, penduduknya banyak yang belum memeluk Islam dan hidup dalam adat
istiadat yang banyak bertentangan dengan perikemanusiaan, seperti merampok, merampas,
berjudi, berzina, dan lain-lain.
H. Aboebakar dalam Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim (2011) melukiskan kondisi
Tebuireng saat itu, sebelum Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di sana:
“Sepanjang jalan penuh dengan rumah plesir, yang didiami oleh biduan-biduan dan penjual
minuman keras, dilayani oleh perempuan-perempuan jahat, yang menerima tamu-tamu dari
kota. Sorak-sorai seperti dalam pasar malam disudahi dengan perkelahian atau pukul-
pukulan, yang mengacaubalaukan kehidupan dalam desa itu.”
Kondisi itu membuat kawan-kawannya menasihati Hasyim Asy’ari agar tidak mendirikan
pesantren di Tebuireng sambil tak jemu mereka menyampaikan pelbagai kekurangan dan
bahaya yang mengancam jika ia tetap memilih Tebuireng sebagai tempat berdakwah.
Mendapat nasihat seperti itu, Hasyim Asy’ari menjawabnya dengan tenang. Ia tersenyum dan
berkata:

“Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, apa
yang akan diperbaiki lagi darinya? Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan
pengorbanan, contoh-contoh ini telah ditunjukkan Nabi kita dalam perjuangannya.”
Saat ia akhirnya pindah ke Tebuireng dan jumlah santrinya baru beberapa orang, ancaman
dan gangguan itu memang nyata. Setiap malam, seperti dikutip Muhamad Rifai dalam K.H.
Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947 (2009), para santri kerap diteror masyarakat
dengan senjata tajam seperti celurit dan pedang. Hal ini membuat para santri mesti selalu
waspada agar terhindar dari bacokan.
“Bahkan untuk tidur pun para santri harus bergerombol menjauh dari dinding bangunan
pondok, yang hanya terbuat dari bambu agar terhindar dari jangkauan tangan kejam para
penjahat,” tulisnya.
Menurut Rifai, gangguan itu berlangsung selama hampir dua setengah tahun. Buruknya
keamanan di Tebuireng yang berlarut-larut ini akhirnya membuat Hasyim Asy’ari meminta
bantuan kepada guru-guru dan kawan-kawannya di Cirebon, yakni kepada Kiai Saleh Benda,
Kiai Abdullah Pangurungan, Kiai Samsuri Wanantara, Kiai Abdul Jalil Buntet, dan Kiai
Saleh Benda Kerep.
Menurut H. Aboebakar, Pesantren Tebuireng pada mulanya memang hanya sebuah teratak
yang luasnya hanya beberapa meter bujur sangkar. Teratak itu terbagi atas dua buah petak
rumah, yang satu sebagai tempat tinggal Hasyim Asy’ari, dan satu lagi digunakan sebagai
tempat salat.
Teratak itu awalnya hanya untuk digunakan oleh 28 santri. Namun, lama-kelamaan, seiring
kian berdatangannya santri, teratak-teratak itu pun semakin bertambah. Situasi keamanan pun
perlahan mulai dapat diatasi.
Dari hari ke hari, Pesantren Tebuireng pun semakin besar. Para santri tak hanya datang dari
Jawa Timur, melainkan dari pelbagai daerah lainnya di Nusantara.
AHMAD HASAN

Ahmad Hasan lahir di Singapura pada 1887 dengan nama Hasan bin Ahmad. Ia berasal dari
keluarga keturunan Indonesia dan India. Ayahnya bernama Ahmad, sedangkan ibunya
bernama Muznah. Setelah lulus sekolah dasar, A. Hasan masuk Sekolah Melayu dan Sekolah
Pemerintah Inggris di Singapura. Ia belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil dan Inggris.
Menginjak usia 7 tahun, ia mulai belajar al-Qur;an dan memperdalam ilmu agama Islam.

Di usianya ke 12 tahun, sembari bekerja, A. Hasan belajar kepada beberapa orang guru; Haji
Ahmad di Bukit Tiung, Muhammad Thaib di Minto Road, Said Abdullah al-Musawi, Abdul
Lathif, Syeikh Hasan Malabar dan Syeikh Ibrahim dari India

Sejak 1910 sampai 1913, ia mulai mengabdikan dirinya menjadi tenaga pengajar di madrasah
orang-orang India di Arab Street, Baghdad Street, dan Geylang Singapura. Ia juga menjadi
pengajar di Madrasah Assegaf. Di tahu 1912, ia juga menjadi anggota redaksi surat kabar
Utusan Melayu yang diterbitkan Singapore Press. Melalui dua media dakwahnya itu, A.
Hasan banyak menyampaikan gagasannya mengenai Islam.

Di tahun 1921, A. Hasan pindah ke Surabaya untuk melanjutkan pengelolaan toko tekstil
milik pamannya. Saat itu, Surabaya menjadi tempat perdebatan kaum pembaharuan
pemikiran Islam dengan kaum tradisionalis. Hal ini yang kemudian mendorong A. Hasan
untuk mengasah kembali pemahamannya tentang Islam.

Perkenalan A. Hasan dengan PERSIS sebenarnya tidak disengaja. Setibanya di Surabaya, A


Hasan ternyata malah belajar ilmu menenun kain. Ketertarikannya pada dunia pertenunan ini
kemudian membawanya ke Kediri dan Bandung. Kebetulan, di Bandung, A. Hasan tinggal di
rumah keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri PERSIS. Maka di sinilah kiprah A.
Hasan dimulai sebagai tokoh PERSIS.

Sebagai tokoh PERSIS, A. Hasan dikenal sebagai seorang “Tuan” yang berhasil
menampilkan citra PERSIS sebagai kelompok yang mengedepankan gerakan islah. Selain itu,
di tangan A. Hasan, PERSIS menjadi organisasi pembaharuan Islam yang tegas dalam
masalah fikih. Sejak A. Hasan bergerak aktif di PERSIS, ia dan organisasinya itu terlibat
banyak sekali dialog, pertukaran pikiran dan perdebatan di media. PERSIS pun menjadi salah
satu organisasi keislaman di Indonesia yang memiliki basisnya sendiri di Bandung.

Di tahun-tahun pengasingan Soekarno di Ende sampai 1938, A. Hasan menjadi salah satu
tokoh yang rajin berkorespondensi dengan Soekarno tentang Islam. bahkan bisa dikatakan,
awal mula perkenalan Soekarno dengan Islam secara serius dimulai dari diskusi-diskusinya
dengan A. Hasan melalui surat. Ide-ide revivalisme Islam ala Jamaluddin al-Afghani dan
Abduh menjadi salah satu corak Islam Soekarno yang dipengaruhi oleh buku-buku kiriman
A. Hasan. Selain Soekarno, Ahmad Hasan juga menjadi rahim bagi lahirnya tokoh-tokoh
pemikir besar lainnya, seperti: Mohammad Natsir, K.H. M. Isa Anshory, K.H. E.
Abdurrahman, dan K.H. Rusyad Nurdin.

Menjelang pendudukan Jepang di tahun 1941, A. Hasan kembali ke Surabaya.


Kepindahannya diikuti oleh sebagian santrinya dari Persis Bandung yang kemudian
mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Di sanalah ia menumpahkan
perhatiannya kepada penelitian agama Islam. Hasilnya, A. Hasan telah menulis 80 judul buku
dengan gaya penulisan yang khas dan mudah dipahami. Puncaknya, ia berhasil menyusun
tafsir Alquran yang berjudul Al-Furqan yang diterbitkan utuh pertama kali tahun 1956.

Ahmad Hasan wafat pada 10 November 1958, di RS. Karang Menjangan (sekarang RS. Dr.
Soetomo) Surabaya. Ia wafat dalam usia 71 tahun.

Anda mungkin juga menyukai