Anda di halaman 1dari 8

BIOGRAFI

NURUDDIN AR-RANIRI
ULAMA BESAR ACEH

Biografi Nuruddin Ar-Raniri | Ulama Besar Aceh

POSTED BY DEK PON POSTED ON 6:56 PM WITH NO COMMENTS


Biografi Nuruddin Ar-Raniri - Kali ini kita akan membuat sebuah artikel berkenaan dengan
seorang Ulama Besar Aceh yang tak asing lagi kebesaran namanya ditengah-tengah orang
Aceh, yaitu Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Nama lengkap beliau adalah Nuruddin Muhammad
bin Ali bin Hasanji Al-Hamid (atau Al-Syafi'i Al-Asyary Al-Aydarusi Al-Raniri. la dilahirkan di
Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, sekitar pertengahan kedua
abad XVI M. Ibunya seorang keturunan Melayu, sementara ayahnya berasal dari keluarga
imigran
Hadhramaut
(Al-Attas:
1199
M).

Sepertinya tidak ada sebuah ketidakpastian mengenai tahun kelahiran, asal usul keturunan
Nuruddin Ar-Raniri pun memuat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, nenek
moyangnya adalah keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy).
Sementara kemungkinan yang lain adalah Nuruddin Ar-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd,
orang yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr 'Abd Allah b. Zubair Al-As'adi Al-Humaydi,
seorang
mufti
Makkah
dan
murid
termasyhur
Al-Syafii
(Azra
1994).
Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, kota Ranir
sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari berbagal penjuru dunia. Ada yang
berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama
mereka untuk melakukan aktifitas bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru. Di
samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga
menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka
kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan
Hindia
untuk
keperluan
yang
sama.
Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke
tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga
besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani b. Hasan Muhammad Al-

Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu


agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq, dan retorika. Kebanyakan dari mereka
biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah
kepulauan Melayu-Indonesia, lainnya (Azra: 1994).
Menelusuri Intelektual Al-Raniri
Al-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah
kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu
menjadi
pusat
studi
agama
Islam.
Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji
dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Al-Raniri menjalin hubungan dengan
para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan
berasal
dari
wilayah
Nusantara.
Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat dikategorikan telah menjalin hubungan
dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan
hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di
kemudian
hari.
Dalam perkembangannya, Nuruddin Ar-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat
Rifa'iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar ilmu tarekat ini melalui
ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar b. 'Abd Allah Ba Syaiban dari
Tarim, atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba
Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun, seperti
Sayyid Umar b.'Abd Allah Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim b. Alan (w. 1624 M),
dan 'Rahman Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Al-Raniri dibaiat sebagai
khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan tarekat Rifaiyyah di tanah Melayu
(Aboebakar Atjeh: 1979). Kendati demikian, Al-Raniri juga memiliki silsilah inisiasi dengan
tarekat
Aydarusiyyah
dan
Qodiriyyah
Maqassari:
tt).
Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur-Tengah dan wilayah anak
benua India, Al-Raniri mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai
tempat tinggalnya. la datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H),
namun hingga kini belum diketahui secara pasti faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhinya memilih Aceh. Pilihan ini diduga karena ketika itu Aceh berkembang
menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan agama Islam di kawasan Asia
Tenggara, yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai oleh Portugis, M). Adapun
kemungkinan lainnya, Al-Raniri mengikuti pamannya, Syeikh Muhammad Jailani b. Hasan b.
Muhammad
Hamid
(1588
M).
Tidak hanya itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula kedatangan Al-Raniri di Aceh. Ada
dua keraguan yang menyebabkan hal itu. Pertama, jika dilihat dari kemahirannya dalam
berbahasa Malayu, sebagaimana ditunjukkan dalam kitab-kitabnya, maka sangat mustahil AlRaniri baru ke Aceh pada tahun tersebut. Shirat al-Mustaqim, misalnya, yang berbahasa
Melayu disususn pada tahun 1634, ketika belum menetap di Aceh. Sementara keraguan
kedua, jumlah karya-karyanya yang menyampai 29 buku tidak mungkin dapat diselesaikan
hanya
dalam
waktu
tujuh
tahun
selama
di
Aceh
(1637-1644
M).
Dua keraguan inilah yang memperkuat asumsi bahwa sebelumnya Al-Raniri pernah datang
ke Aceh, tetapi waktu itu tidak memperoleh sambutan dan penerimaaan yang layak dari
pihak istana Sultan Iskandar Muda. Dari sini, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah lain di
kawasan ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Kesultanan Aceh ketika Iskandar Muda

berkuasa, ulama yang berpengaruh dan berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syeikh
Syams Al-Din Al-Sumaterani. Pada masa ini paham wujudiyyah menjadi ajaran resmi
kerajaan. Sementara Al-Raniri menyerukan ajaran Sunni dan menentang paham wujudiyyah
jelas
kurang
mendapat
simpati
dari
Sultan
Setelah Syeikh Al-Sumaterani meninggal, kemudian disusul pula oleh Sultan Iskandar Muda
dalam beberapa waktu sesudahnya, Al-Raniri memiliki kesempatan yang lebih baik untuk
menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya. Ketika itu, sultan yang berkuasa, Sultan Iskandar
Tsani, menantu Iskandar Muda, memberikan penghormatan tinggi kepada Al-Raniri dengan
menjadikannya mufti kerajaan. Seperti Al-Raniri, Sultan Iskandar Tsani juga menentang
paham wujudiyyah. Dengan kedudukan dan dukungan seperti ini, Al-Raniri dengan leluasa
dapat memberikan sanggahan terhadap paham yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh
sebelumnya, Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani. Tidak hanya itu, Al-Raniri
juga sering menerima permintaan dari sultan untuk menulis kitab-kitab agama, terutama
tentang tasawuf, dalam rangka membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh.
Kedekatan Syaikh Nuruddin Al-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang cukup luas.
Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Al-Raniri mengadakan majelis
persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah guna membahas paham
tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir fatwa Syeikh Al-Raniri dan para ulama istana yang
menghukumi kafir terhadap para pengikut paham wujudiyyah, sehingga boleh dbunuh. Tidak
hanya sampai disini, Al-Raniri dengan penuh semangat menulis dan sering berdebat dengan
para penganut paham panteisme ini dalam banyak kesempatan. Bahkan, perdebatan itu
sering
dilakukan
dihadapan
sultan.
Dalam berdebat, dengan segala kemahirannya, ia berupaya keras membongkar kelemahan
dan kesesatan paham wujudiyyah yang dianggapnya bertentangan dengan Al-Quran dan
Hadits, seraya meminta para pengikutnya untuk bertaubat dan kembali pada jalan yang
benar (Al-Quran dan Hadits). Namun, kegigihan Al-Raniri ini tidak banyak memenuhi target
yang diharapkan. Sebab para pengikut paham wujudiyyah tetap bersikukuh pada
pendiriannya. Sehingga akhirnya dengan penuh keterpaksaan, mereka harus dihukum mati.
Selain itu, untuk membumihabguskan paham wujudiyyah, maka kitab-kitab wujudiyyah-nya
Harnzah dan Syams Al-Din dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Setelah tujuh tahun sebagai mufti kerajaan, pada tahun 1644 Al-Raniri tiba-tiba kembali ke
tanah kelahimnnya, dan tidak kembali lagi ke Aceh. Ketika itu, Al-Raniri sedang menulis kitab
jawahir baru sampai bab kelima. Dan selanjutnya, ia perintahkan salah seorang murid
dekatnya untuk menyelesaikan kitab tersebut. Kepulangan Al-Raniri yang secara mendadak
ini menimbulkan. pertanyaan. di kernudian hari. Pertama, sebagaimana diungkapkan oleh A.
Daudy dalam bukunya, Syeikh Nuruddin AI-Raniri, Al-Raniri kembali ke tanah leluhurnya
karena ada ketidaksesuaian dengan kebijakan Sultanah Safiyyat al-Din yang berencana
menghukum bunuh pada orang-orang yang menentang diperintah oleh seorang pemimpin
perempuan. Sebagaimana berkembang dalarn tradisi masyarakat saat itu dan juga seiring
dengan syari'at Islam yang dipahami masyarakat setempat, perempuan tidak layak jadi
penguasa. A. Daudy memperkirakan bahwa Al-Raniri termasuk bagian dari kelompok
penentang
tersebut.
Kedua, berdasarkan artikel Takeshi Ito pada tanggal 8 dan 22 Agustus 1643 dilaporkan,
bahwa kepulangan Al-Raniri disebabkan karena perdebatan antara dirinya dengan ulama
baru keturunan Minangkabau, Sayf Al-Rijal. Perdebatan ini terus berlarut-larut karena AlRaniri selalu menilai pandangan Sayf Al-Rijal sebagai doktrin "sesat" karena termasuk
paham wujudiyyah. Pada mulanya, Sultanah mengikuti pikiran-pikiran Al-Raniri, tetapi saat
itu
pendapat Rijal
menemukan
momentum
terbaiknya
di
mata
sultanah.

Nampaknya, alasan yang terakhir atas lebih mendekati kebenaran. Pasalnya, jika Al-Raniri
tergabung dalam kelompok oposan yang menentang Sultanah, bagaimana mungkin Sultanah
memberikan banyak kemudahan dan fasilitas dalam menyelesaikan karya-karyanya,
termasuk beberapa waktu sebelum keberangkatannya. Meski demikian, terlepas apa yang
melatarbelakangi kepulangan Al-Raniri, ia tergolong salah satu ulama besar yang telah
memberikan sumbangsih besar bagi dunia Islam Nusantara, terutama dalam bidang tasawuf
dan fiqh. Bahkan,secara metodologis, pikiran-pikiran Raniri memiliki keterkaitan dengan
kehidupan
tradisional
Islam
Indonesia.
Banyak perkara menarik mengenai ulama ini, di antaranya kitab fikah dalam bahasa Melayu
yang pertama sekali berjudul ash-Shirath al-Mustaqim adalah karya beliau. Demikian juga
mengenai kitab hadis yang berjudul al-Fawaid al-Bahiyah fi al-Ahadits an-Nabawiyah atau
judul lainnya Hidaya al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib, adalah kitab membicarkan hadis
yang
pertama
sekali
dalam
bahasa
Melayu.
Hampir semua penulis menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri dilahirkan di Ranir,
berdekatan dengan Gujarat. Asal usul beliau ialah bangsa Arab keturunan Quraisy yang
berpindah ke India. Tetapi salah seorang muridnya bernama Muhammad 'Ali atau Manshur
yang digelarkan dengan Megat Sati ibnu Amir Sulaiman ibnu Sa'id Ja'far Shadiq ibnu
'Abdullah dalam karyanya Syarab al-'Arifin li Ahli al-Washilin menyebut bahawa Syeikh
Nuruddin ar-Raniri adalah "Raniri negerinya, Syafi'ie nama mazhabnya, Bakri bangsanya."
Pendidikan asasnya dipercayai diperolehnya di tempat kelahirannya Raniri atau Rander.
Raniri/Rander, sebahagian riwayat mengatakan berdekatan dengan Kota Surat, dan riwayat
lain mengatakan dekat Bikanir, kedua-duanya di negeri India. Syeikh Nuruddin ar-Raniri
berhasil berangkat ke Mekah dan Madinah dalam tahun 1030 H/1621 M dan di sana beliau
sempat belajar kepada Syeikh Abu Hafash 'Umar bin 'Abdullah Ba Syaiban atau nama lain
ulama ini ialah Saiyid 'Umar al-'Aidrus. Kepada ulama ini beliau mengambil bai'ah Thariqat
Rifa'iyah. Dalam sektor Thariqat Rifa'iyah itu syeikh yang tersebut adalah murid kepada
Syeikh Muhammad al-'Aidrus. Selain Thariqat Rifa'iyah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri juga
pengamal
Thariqat
Qadiriyah.
Kedatangan Syeikh Nuruddin ar-Raniri buat pertama kalinya ke Aceh diriwayatkan dalam
tahun 1577 M, tetapi ada juga ahli sejarah mencatat bahawa beliau sampai di Aceh pada
tahun 1637 M. Ini bererti setahun setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda (memerintah
dari tahun 1606 M hingga 1636 M). Syeikh Nuruddin ar-Raniri seakan-akan kedatangan
pembawa satu pendapat baru, yang asing dalam masyarakat Aceh. Setiap sesuatu yang
baru selalu menjadi perhatian dan pengamatan orang, sama ada pihak kawan atau pun pihak
lawan. Fahaman baru yang dibawa masuk oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu ialah fahaman
anti atau penolakan tasawuf ajaran model Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh
Syamsuddin as-Sumatra-i. Kedua-dua ajaran ulama sufi itu adalah sesat menurut pandangan
beliau.
Syeikh Nuruddin ar-Raniri mendapat tempat pada hati Sultan Iskandar Tsani, yang walaupun
sebenarnya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda beliau tidak begitu diketahui
oleh
masyarakat
luas.
Oleh sebab ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh Nuruddin ar-Raniri
menguasai berbagai-bagai bidang ilmu agama Islam, mengakibatkan beliau sangat cepat
menonjol pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh Nuruddin arRaniri naik ke puncak yang tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana beliau mendapat
sokongan sepenuhnya daripada sultan. Beliau memang ahli dalam bidang ilmu Mantiq

(Logika) dan ilmu Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah
penganut Mazhab Syafie, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-mazhab yang
lainnya. Dari segi akidah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut Mazhab Ahlus Sunnah
wal Jama'ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy'ari dan Syeikh Abu Manshur
al-Maturidi. Pegangannya dalam tasawuf ialah beliau adalah pengikut tasawuf yang
mu'tabarah dan pengamal berbagai-bagai thariqah sufiyah. Tetapi suatu perkara yang aneh,
dalam
bidang
tasawuf
beliau
menghentam
habis-habisan
Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i. Walau bagaimanapun
Syeikh Nuruddin ar-Raniri tidak pernah menyalahkan, bahkan menyokong Syeikh Muhyuddin
ibnu 'Arabi, Abi Yazid al-Bistami, 'Abdul Karim al-Jili, Abu Manshur Husein al-Hallaj dan lainlain. Perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang keluar daripada ulama-ulama sufi yang
tersebut itu tidak pernah beliau salahkan tetapi sebaliknya perkataan yang bercorak
'syathahiyat' yang berasal daripada Syeikh Hamzah al- Fansuri dan Syeikh Syamsuddin asSumatra-i selalu ditafsirkan secara salah oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Di dalam karyanya
Fath al-Mubin 'ala al-Mulhidin, Syeikh Nuruddin ar-Raniri berpendapat bahawa al-Hallaj mati
syahid. Katanya: "Dan Hallaj itu pun syahid fi sabilillah jua." Padahal jika kita teliti,
sebenarnya Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i itu
pegangannya
tidak
ubah
dengan
al-Hallaj.
Ajaran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i berpunca daripada
ajaran Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Syeikh Abi Yazid al-Bistami, Syeikh 'Abdul Karim al-Jili
dalam satu sektor. Dan bahagian lain juga berpunca daripada ajaran Imam al-Ghazali,
Syeikh Junaid al-Baghdadi dan lain-lain, adalah dipandang muktabar, sah dan betul menurut
pandangan ahli tasawuf. Bahawa ajaran tasawuf telah berurat dan berakar di kalbi, bahkan
telah mesra dari hujung rambut hingga ke hujung kaki, dari kulit hingga daging, dari tulang
hingga ke sumsum pencinta-pencintanya, yang tentu saja mereka mengadakan tentangan
yang spontan terhadap Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Bahkan kepada siapa saja yang berani
menyalah-nyalahkan pegangan mereka. Pengikut-pengikut Syeikh Hamzah al-Fansuri dan
Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i menganggap kedua-dua guru mereka adalah wali Allah,
yang faham terhadap pengetahuan syariat, tarekat, haqiqat dan makrifat. Mereka
beranggapan, walaupun diakui bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri sebagai seorang ulama
besar, yang dikatakan juga telah mengetahui ilmu tasawuf, namun tasawuf yang diketahui
oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu hanyalah tasawuf zahir belaka. Bahawa beliau hanyalah
mengetahui kulit ilmu tasawuf, tetap tidak sampai kepada intipati tasawuf yang sebenarbenarnya. Bahawa beliau baru mempunyai ilmu lisan sebagai hujah belaka, tetapi belum
mempunyai ilmu kalbi, yang dinamakan juga dengan ilmu yang bermanfaat. Oleh itu, wajiblah
mereka
membela
guru
mereka
yang
mereka
sanjung
tinggi
itu.
Selama menetap di Pahang atau pun setelah beliau pindah ke Aceh, ramai penduduk yang
berasal dari dunia Melayu belajar kepada ulama besar yang berasal dari India itu, namun
sampai riwayat ini saya tulis, belum dijumpai tulisan yang menyenaraikan nama murid-murid
Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Untuk memulakan penjejakan mengenainya di sini dapat saya
perkenalkan hanya dua orang, iaitu: Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati
yang berasal dari Makasar/tanah Bugis. Tidak begitu jelas apakah Syeikh Yusuf Tajul
Khalwati ini belajar kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu beliau masih di Aceh atau pun
Syeikh Yusuf datang menemui Syeikh Nuruddin ar-Raniri di negerinya, India. Sementara
pendapat lain menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Khalwati benar-benar dapat berguru
kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu masih di Aceh lagi, dan Syeikh Yusuf Tajul
Khalwati menerima bai'ah Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Yang
seorang lagi ialah Syeikh Muhammad 'Ali, ulama ini berasal dari Aceh.
Pengaruh Syaikh Nuruddin Ar-Raniri

Berdasarkan paparan sebelumnya, Al-Raniri merupakan sosok ulama yang memiliki banyak
keahlian. Dia seorang sufi, teolog,faqih (ahli hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan AlRaniri seperti ini sering menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari
salah satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau dinilai sebagai seorang sufi
yang sibuk dengan praktek-praktek mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri adalah seorang faqih
yang memiliki perhatian terhadap praktek-praktek syariat. Oleh karena itu, untuk
memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek pemikiran, kepribadian dan
aktivitasnya
(Azra:
1994).
Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh. Meski hanya
bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri dalam perkembangan Islam
Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari
mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut. Tanpa
mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di negeri ini, Al-Ranirilah
yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam
Nusantara.
Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan
praktek sufi yang salah dan benar. Upaya seperti ini memang pernah dilakukan oleh para
ulama terdahulu, seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil
merumuskannya dalam penjabaran yang sisternatis dan sederhana, malahan
membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani harus memperjelasnya.
Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan
Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis perbedaan antara
Tuhan
dengan
alam
dan
makhluk
ciptaannya
(Azra:
1994).
Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat Islam,
terutama di Nusantara, adalahaqidah. paham immanensi antara Tuhan makhluknya
sebagaimana dikembangkan oleh paham wujudi"ah merupakan praktek sufi yang berlebihan.
Mengutip doktrin Asy'ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya
terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara antara manusia dan Tuhan terdapat hubunpn
transenden.
Selain secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh Rifaiyyah, ia juga memiliki mata rantai
dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah inilah Al-Raniri
dikenal sebagai ulama yang teguh mernegang akar-akar tradisi Arab, bahkan simbol-simbol
fisik tertentu dari budayanya, dalam menghadapi lokal. Tidak hanya itu, ketegasan Al-Raniri
dalam menekankan adanya keselarasan antara praktek mistik dan syari'at merupakan bagian
dari
ajaran
tarekat
Aydarusiyyah.
Dari paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan yang telah dilakukan oleh
Al-Raniri, kecuali mempertegas paham Asy'ariyyah, memperjelas praktek-praktek syariat,
dan sanggahan terhadap paham wujudiyyah. Di sinilah dibutuhkaan kejelian untuk
memandang Al-Raniri secara utuh, baik kirah, pikiran maupun karya-karyanya (Azra: 1994).
Bahkan, dari catatan sanggahan Al-Raniri terhadap paham wujudiyyahlah dapat ditemukan,
sejumlah
pembaruanterutama
dalam
hal
metodologi.
penulisan ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan argumentasi berikut referensinya.
Dari cara seperti ini pula dalam perkembangannya ditemukan sejumlah ulama -ulama baru
yang belum pernah diungkap oleh penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiranpemikiran
yang
baru.
Meski Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam Nusantara, tetapi hingga kini
belum ditemukan para muridnya secara langsung, kecuali Syeikh Yusuf Al-Maqassari. AlMaqassari dalam kitabnya, Safinat al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah diperoleh
silsilah tarekat Qadiriyyah, karena Al-Raniri adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya saia,

bukti ini belum dianggap valid, karena belum diketahui kapan dan dimana mereka bertemu.
Kesulitan lainnya juga akan muncul ketika dicari hubungan dan jaringan Al-Raniri dengan
para ulama lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara, ataupun para ulama asli
Nusantara yang berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang ada hanyalah kemungkinan
bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para pedatang dari Nusantara yang
kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika Al-Raniri bermukim di Makkah dan
Madinah (1621 M). Pertemuan inilah yang diduga adanya komunikasi langsung dengan para
muridnya
dari
Nusantara,
termasuk
dengan
Al-Maqassari.
Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keingianan mencari hubungan AlRaniri dengan dunia pesantren di wilayah Nusantara. Pasalnya, selain tiada literatur yang
menunjukkan hal tersebut, manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan pesantren pun tidak
menunjukkan adanya hubungan tersebut. Meski demikian, bukan berarti Al-Raniri tidak
memiliki keterkaitan sama sekah dengan dunia pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari
dan para jamaah haji serta para muridnya di Makkah dan Madinah yang kemudian kembali
ke tanah air merupakan keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan dunia pesantren di
Indonesia.
Ada yang berpendapat bahawa beliau meninggal dunia di India. Pendapat lain menyebut
bahawa beliau meninggal dunia di Aceh. Ahmad Daudi, menulis: "Maka tiba-tiba dan tanpa
sebab-sebab yang diketahui, Syeikh Nuruddin ar-Raniri meninggalkan Serambi Mekah ini,
belayar kembali ke tanah tumpah darahnya yang tercinta, Ranir untuk selama-lamanya.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054 H (1644 M)." Bahawa beliau meninggal dunia pada 22
Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M. Tetapi Karel A. Steenbrink dalam bukunya, Mencari
Tuhan Dengan Kacamata Barat berpendapat lain, bahawa hingga tahun 1644 M bererti
Syeikh Nuruddin masih berada di Aceh. Menurutnya terjadi diskusi yang terlalu tajam antara
beberapa kelompok pemerintah: Seorang uskup agung (ar-Raniri) di satu pihak dan
beberapa hulubalang dan seorang ulama dari Sumatera Barat di pihak lain. Pihak yang anti
ar-Raniri akhirnya menang, sehingga ar-Raniri dengan tergesa-gesa kembali ke Gujarat.
Tulisan Karel itu barangkali ada benarnya, kerana secara tidak langsung Syeikh Nuruddin
mengaku pernah kalah berdebat dengan Saiful Rijal, penyokong fahaman Syeikh Hamzah alFansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, perkara ini beliau ceritakan dalam kitab Fath
al-Mubin.
Ada pun tempat meninggalnya, H.M. Zainuddin, berbeza pendapat dengan Ahmad Daudi di
atas. Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh Dan Nusantara, jilid 1, bahawa terjadi pertikaian
di istana, dalam perebutan itu telah terbunuh seorang ulama, Faqih Hitam yang menentang
tindakan Puteri Seri Alam. Dalam pada itu Syeikh Nuruddin diculik orang, kemudian
mayatnya diketemukan di Kuala Aceh. Menurut H.M. Zainuddin pula, bahawa makam Syeikh
Nuruddin itu dikenal dengan makam keramat Teungku Syiahdin (Syeikh Nuruddin ar-Raniri)
terletak
di
Kuala
Aceh.
Dalam masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju, ajaran sufi tidak
menghalang kemajuan yang berasaskan Islam. Sebaliknya masa pemerintahan Iskandar
Tsani, ajaran sufi dianggap sesat, ternyata kerajaan Aceh mulai menurun. Bantahan
terhadap sesuatu pegangan yang pernah berkembang di dunia Islam perlulah ditangani
dengan penuh kebijaksanaan. Siapa saja yang memegang urusan keislaman janganlah
tersalah penilaian, sering terjadi yang benar menjadi salah, atau sebaliknya yang salah
menjadi benar

Anda mungkin juga menyukai