Anda di halaman 1dari 8

BAHAIYAH

PENGERTIAN ALIRAN BAHAIYAH

Al-Babiyah dan al-Bahaiyah adalah sebuah gerakan yang lahir dari aliran Syi’ah pada tahun 1260 H -1844 M
dibawah pengayoman penjajah Rusia, Yahudi internasional dan penjajah Inggris dengan tujuan merusak
akidah Islam dan memecah belah barisan kaum muslimin.

PENDIRI DAN TOKOH-TOKOH BAHAIYAH

Pendirinya adalah Mirza Ali Muhammad Ridha asy-Syirazi, 1235-1266/ 1819-1850 M, belajar dari para
syaikh aliran Syaikhiyah, sebuah sekte Syi’ah, pada saat berusia enam tahun, lalu dia berhenti dan
menyibukkan diri dengan berdagang.

Dalam umur enam belas dia kembali belajar, menyibukkan diri mempelajari kitab-kitab aliran sufi sambil
melakukan latihan-latihan rohani serta amalan-amalan kebatinan yang melelahkan. Pada tahun 1259 H, dia
pergi ke Baghdad dan dia mulai rajin menghadiri majlis seorang imam aliran Syaikhiyah di zamannya seperti
Kazhim ar-Rasyati, dia mempelajari pemikiran-pemikirannya dan pemikiran-pemikiran aliran Syaikhiyah. Di
majlis ar-Rasyati, seorang intelejen Rusia Keynazd Ghorky mengenalnya, orang ini berpura-pura masuk Islam
dengan nama Isa an-Nukarani, selanjutnya orang ini mulai mempengaruhi hadirin di majlis ar-Rasyati bahwa
Mirza Ali Muhammad asy-Syirazi ini adalah Imam Mahdi yang ditungg-tunggu dan dia merupakan Bab (pintu) –
dari sini maka aliran ini disebut dengan Babiyah- yang menghubungkan kepada hakikat ilahiyah, sang intelejen
ini berbuat demikian karena dia melihat bahwa Mirza asy-Syirazi ini mempunyai kapasitas untuk mewujudkan
strateginya yaitu memecah belah kaum muslimin.

Akhirnya pada malam Kamis, 5 Jumadil Ula 1260, Maret 1844 M, Mirza asy-Syirazi ini mengumumkan
dirinya sebagai Bab, pintu penghubung dengan Tuhan seperti apa yang diyakini oleh Syi’ah Syaikhiyah bahwa
dia memang akan lahir setelah wafatnya ar-Rasyati, dia juga mengumukan dirinya sebagai seorang rasul
seperti Musa dan Isa bahkan lebih unggul dari keduanya.

Maka murid-muris ar-Rasyati beriman kepadanya, orang-orang awam tertipu dengannya, lalu dia
mengangkat delapan belas pembawa berita gembira yang bertugas menyebarkan dakwahnya. Namun pada
tahun 1261 H dia tertangkap dan dia mengaku bertaubat di masjid al-Wakil setelah sebelumnya dia dan para
pengikutnya membuat kerusakan besar di muka bumi berupa pembunuhan terhadap kaum muslimin.

Pada tahun 1266 Mirza asy-Syirazi ini mengaku bahwa Tuhan bersemayam pada dirinya, namun akhirnya
dia berpura-pura bertaubat setelah para ulama mengecamnya dan membuka kedoknya, namun para ulama
tersebut tidak mempercayai taubatnya, karena dia terkenal penakut dan tidak berani berhadapan langsung,
akhirnya dia dihukum mati pada 27 Sya’ban tahun 1266 H.

Tokoh kedua adalah Qurratul Ain, nama aslinya adalah Ummu Salma, lahir di Qazwin tahun 1233 H dari
bapak bernama Mulla Muhammad Shalih al-Qazwini, salah seorang ulama Syi’ah di masanya. Qurratul Ain ini
belajar ilmu-ilmu kepada bapaknya dan dia cenderung kepada akidah Syaikhiyah karena pengaruh pamannya
Mulla Ali asy-Syaikhi, sehingga dia menjadi pengagum akidah dan pemikirannya. Wanita ini berkawan dengan
Mirza asy-Syirazi selama belajar kepada Kazhim ar-Rasyati di Karbala, sampai ada yang berkata bahwa wanita
ini adalah perancang pemikiran-pemikiran Mirza, karena dia adalah wanita orator yang berpengaruh, dia
seorang satrawan dan berlisan fasih di samping dia memang sangat cantik dan menarik, namun dia seorang
wanita fajir, pengagum kehidupan seks bebas, sehingga suaminya berlepas diri darinya termasuk anak-
anaknya. Dia berperan besar dalam persekutuan rahasia untuk membunuh Syah Nashiruddin al-Qajari, maka

1
dia ditangkap dan pengadilan menetapkan hukuman bakar hidup-hidup atasnya, akan tetapi para algojo
terlanjur mencekiknya sebelum dibakar pada awal Dzul Qa’dah tahun 1268 H.

Mirza Yahya Ali, saudara Mirza yang bergelar Shubh Azal, Mirza menyerahkan kepemimpinan setelahnya
kepadanya, kawan-kawannya disebut dengan Azaliyin, tetapi saudaranya yang lain Mirza Husain al-Baha tidak
menerima hal itu, dia berusaha merebut kepemimpinan, kerasulan dan ketuhanan darinya, sehingga kedua
orang ini berusaha untuk meracuni yang lain. Pertengkaran antara para pengikut Azal dengan al-Baha terus
berlangsung, sehingga pemerintah Khilafah Usmaniyah membuang al-Baha dengan para pengikutnya ke Akka,
sedangkan Shubh Azal bersama para pengikutnya dibuang ke Qubrus, di sanalah dia mati dalam usia delapan
dua tahun pada 28 April 1012 M, sebelum dia telah mengangkat anaknya untuk menggantikannya, namun
anaknya ini masuk Kristen sehingga para pengikutnya meninggalkannya.

Mirza Husain Ali yang berjuluk Bahaullah, lahir tahun 1817 M, orang ini bersaing dengan saudaranya Shubh
Azal memperebutkan kepemimpinan aliran. Dia mengumukan di Baghdad di depan para pengikutnya bahwa
dia adalah utusan Allah di mana ruh ilahi bersemayam pada dirinya. Mirza Husain ini berusaha membunuh
saudaranya, Shubh Azal, dia mempunyai jalinan erat dengan orang-orang Yahudi di Turki. Pada tahun 1892 M,
sebagian Azaliyin membunuhnya dan dia dikubur di Akka, dia meninggalkan buku berjudul al-Aqdas yang
menyerukan agar kaum Yahudi Zionis bersatu di Palestina.

Abbas Afandi yang bergelar Abdul Baha, lahir tahun 1844 H, bapaknya al-Baha mewasiatkannya sebagai
penerusnya, Abbas ini adalah orang yang berkepribadian gigih, sehingga sebagian ahli sejarah menyatakan
bahwa kalau bukan karena Abbas ini niscaya Babiyah tidak akan tegak dan bertahan. Para pengikut aliran ini
mengakuinya ma’shum (terjaga dari dosa), dia memberikan gelar rububiyah kepada bapaknya sehingga dia
mampu mencipta.

Dia menjalin hubungan akrab dengan Zionis, dia hadir dalam muktamar Yahudi tahun 1911 M, dia
berusaha membentuk kekuatan baru di tengah-tengah bangsa Arab untuk mendukung kaum Zionis, karena
upaya-upayanya dalam mendukung Yahudi di Palestina, pemerintah Inggris memberinya gelar Sir di samping
gelar-gelar kehormatan lainnya. Orang ini aktif berkeliling, dia mengunjungi London, Amerika, Jerman,
Iskandariyah dan kota-kota lainnya untuk berdakwah, dia mendirikan pusat terbesar bagi aliran ini di Chicago,
sebelum akhirnya dia mati di Kairo Mesir pada tahun 1340 H atau 1921 M.

Syauqi Afandi, dia penerus kakeknya Abdul Baha dalam usia dua puluh empat tahun pada tahun 1340
H/1921 M. Dia meneruskan perjuangan kakeknya dalam menyusun kembali para pengikut di seluruh dunia,
dia mati di London karena serangan jantung dan dia dimakamkan di sebuah wilayah khusus hadiah dari
pemerintah Inggris kepada aliran Bahaiyah ini.

Dari al-Mausu’ah al-Muyassarah, isyraf Dr. Mani’ al-Juhani. Akar Keyakinan dan Pemikiran Aliran ini
berakar kepada Rafidhah Imamiyah, Syaikhiyah para pengkut Syaikh Ahmad al-Ihsa`i, Zionisme dan Yahudi
internasional.

ALIRAN BAHAIYAH

Mayoritas Bahaiyin hidup di Iran, sebagian dari mereka juga ada di negeri-negeri Arab lainnya seperti Irak,
Suriah, Lebanon dan Palestina, di negara yang terakhir inilah markas mereka berada dibawah naungan Zionis
Yahudi.

Mereka juga mempunyai pengikut di Mesir, namun pemerintah Mesir membubarkan mereka dengan
keputusan presiden no. 263 tahun 1960 M. Mereka juga mempunyai beberapa cabang di Afrika: di Ethiopia,
Adis Ababa, Kampala Uganda, Lusaka Zambia, di kota terakhir ini dilangsungkan muktamar tahunan mereka,
dari 23 Mei sampi 13 Juni 1989 M. Aliran ini juga mempunyai cabang di Karachi Pakistan. Di Eropa: London,
2
Wina dan Frankfrut terdapat cabang-cabang mereka, di Sidney Australia juga ada. Di Amerika, di Chichago
terdapat tempat ibadah terbesar milik mereka, di kalangan mereka dikenal dengan Musyriq al-Adzkar, dari sini
majalah Najm al-Gharb diterbitkan. Mereka juga mempunyai perkumpulan-perkumpulan besar di kota-kota
besar Amerika seperti Los Angles, Brooklyn, New York. Di Amerika sendiri terdapat kurang lebih enam ratus
organisasi Baha`i dengan dua juta anggota. Aliran ini juga berhasil menyusupkan orang-orangnya di PBB,
mereka mempunyai wakil di markas PBB di Jenewa, mereka mempunyai orang di badan sosial dan ekonomi
PBB dan di Unicef, duta PBB untuk Afrika adalah orang mereka.

POKOK AJARAN BAHAIYAH

 Menghilangkan  setiap ikatan agama Islam, menganggap  syare’at telah kadaluarsa. Maka aliran ini tak ada
kaitan dengan Islam.  -Persamaan antara manusia meskipun berlainan jenis, warna kulit dan agama. Ini inti
ajarannya.
 Merubah  peraturan  rumah  tangga  dengan  menolak   ketentuan-ketentuan Islam. Melarang poligami kecuali
bila ada  kekecualian. Poligami  inipun  tidak  diperbolehkan  lebih  dari  dua  isteri. Melarang  talak kecuali
terpaksa yang tidak  memungkinkan  antara kedua  pasangan untuk bergaul lagi. Seorang istri  yang  ditalak
tidak  perlu  iddah (waktu penantian). Janda  itu  bisa  langsung kawin lagi.
 Tidak  ada  shalat  jama’ah, yang  ada  hanya  shalat  jenazah bersama-sama. Shalat hanya dikerjakan sendiri-
sendiri.
 Ka’bah bukanlah kiblat yang diakui oleh mereka. Kiblat menurut mereka  adalah  tempat Baha’ullah tinggal. 
Karena  selama  Tuhan menyatu  dalam  dirinya maka di situlah kiblat berada.  Ini  sama dengan  pandangan
sufi (orang tasawuf) sesat bahwa _qolbul  mukmin baitullah_, hati mukmin itu baitullah.

Berpusat di Chicago

Masa  Baha’ullah  berakhir dengan meninggalnya  pada  16  Mei 1892, dilanjutkan anaknya, Abbas
Efendy yang bergelar Abdul Baha’ atau Ghunun A’dham (cabang agung). Abbas menguasai budaya  Barat,
maka  ia gabungkan ajaran ayahnya dengan pemikiran Barat.  Hingga Abbas cenderung menggunakan kitab-
kitab agama Yahudi dan Nasrani. Abu  Zahrah  menegaskan: “Jika guru pertama  (Mirza  Ali)  pada aliran ini
sudah melangah dalam penghancuran ajaran Islam dengan mengatas  namakan  pembaharuan,  lalu 
penerusnya   (Baha’ullah) menyempurnakannya  dengan  mengingkari semua ajaran  Islam  serta
menyingkirkannya, dan penerus berikutnya (Abbas Baha’)  melangkah lebih jauh dari itu. Dia bahkan
mengambil kitab-kitab Yahudi  dan Nasrani untuk mengganti Al-Quran.”

Faktor-Faktor Penyebab Sekte Menyimpang

1. Adanya klaim dari seseorang yang mendapat wahyu Hampir semua sekte yang menyimpang berawal
dari klaim seseorang yang menganggap dirinya mendapatkan wahyu atau kepercayaan dari Sang Pencipta.
Bahkan ada sebagian di antara pemimpin sekte yang menganggap dirinya sebagai Tuhan karena adanya
konsep ittihad (penyatuan) antara dirinya dengan Tuhan.

2. Adanya kultus terhadap imam (al-ghulwu fi ta’dzimi al-imah)

Penyimpangan beberapa sekte di Indonesia (contoh; Lia Aminuddin dan Ahmad Moshadeq)
sebenarnya merupakan gejala kultus. Gejala kultus adalah bentuk gerakan keagamaan yang dicirikan dengan
sistem pengorganisasian yang ketat, absolutistik, disiplin, dan, dengan sendirinya kurang toleran dengan
kelompok lain. Kultus biasanya berpusat pada ketokohan seorang pribadi yang menarik, berdaya pikat retorik
yang memukau, yang secara sederhana menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan. Seringkali hal ini diikuti
dengan pemaksaan, ketertutupan, dan pengorbanan harta dan jiwa yang tidak proporsional. Sampai tingkat
tertentu, fenomena kultus ini menjadi sangat antisosial, bahkan menjerumuskan pengikutnya pada psikologi
”ingin mati.”
3
3. Pengaruh Modernisasi

Dampak negatif modernisasi seperti individualisme, saling acuh, tidak adanya kepedulian sosial,
hilangnya struktur kemasyarakatan yang kokoh, dan kaburnya makna yang berlaku; mengakibatkan
masyarakat larut dalam kesepian dan kekeringan ruhani. Keterasingan inilah yang kemudian membuat mereka
tertarik pada kultus- kultus/sekte. Sebab, keterasingan (alienasi) menimbulkan kesepian mencekam, lalu
merindukan perkawanan akrab dan hangat, serta mendambakan penjelasan/penegasan makna hidup. Hal ini
seolah menemukan salurannya dalam sekte. Solidaritas dan kepedulian kelompok yang tinggi, serta
persaudaraan yang hangat, adalah fenomena khas yang didapati dalam semua sekte keagamaan. Pukauan
inilah yang membuat para pengikut sekte dapat begitu setia mematuhi ajaran pemimpinnya, dengan
mengabaikan akal sehat dan pendapat mayoritas. Ini berlaku bahkan untuk mereka yang telah mengenyam
pendidikan tinggi—seperti pengikut Lia Aminuddin yang berlatar belakang jurnalis, dosen, juga para teknokrat
kaya. Alhasil, fenomena aliran sesat bukan

Persoalan di Indonesia

Bahaullah, pemimpin Baha’i itu mati tahun 1892, kuburannya di Israel, tepatnya di Akka. Ia mengaku
memiliki kitab suci yang diberi nama Al-Aqdas (yang lebih suci) Kepercayaan yang diajarkannya adalah
sinkretisme. Kaum Baha’i percaya bahwa Al-bab (sama dengan Bahaullah) adalah pencipta segala sesuatu
dengan kata-katanya. Dalam Baha’i dikenal konsep wahdatul wujud, menyatunya manusia dengan Tuhannya
(itu sama dengan kepercayaan sufi sesat yang ditokohi oleh Ibnu Arabi, pen).  Mereka juga mempercayai
reinkarnasi, keabadian alam semesta. Buddha, Konghucu, Zoroaster, dan agama lain dianggap sebagai jalan
kebenaran. Mereka mentakwilkan Al-Qur’an dengan makna batin. Mereka percaya bahwa wahyu akan turun
terus membimbing manusia. Pemikiran Baha’i banyak mengacu pada pemikiran Zoroaster, Mani, dan
Mazdakiyah yang pernah hidup lama di Persia. Lantas semakin matang melalui pertemuannya dengan Islam,
Kristen, dan Yahudi. (lihat Majalah DR 20-26 Desember 1999, hal 55). Secara organisasi, Baha’i  berpusat di
Haifa, Israel. Baha’i tersebar di 235 negara melalui Baha’i International Community (BIC) yang sejak 1970
memperoleh status resmi sebagai badan penasihat Dewan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dalam bidang
Sosial Ekonomi (Ecosoc) dan Unicef. (ibid, hal 55).

Ajaran Baha’i ini masuk ke ke Indonesia sekitar tahun 1878 (sebelum matinya dedengkot Baha’i,
Bahaullah di Israel 1892, pen) melalui Sulawesi yang dibawa dua orang pedagang: Jamal Effendi dan Mustafa
Rumi. Melihat namanya tentu berasal dari Persia dan Turki. Ia berkunjung ke Batavia, Surabaya, dan Bali.
Baha’i dilarang di Indonesia sejak 15 Agustus 1962. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No
264/ Tahun 1962 yang berisikan pelarangan tujuh organisasi, termasuk Baha’i. Kata-kata di bawah surat
Keppres tersebut menjelaskan bahwa ajaran dan organisasi-organisasi tersebut –termasuk Liga Demokrasi dan
Rotary Club—dilarang karena “tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, menghambat penyelesaian revolusi,
atau bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia.”

Berdasarkan surat Mentri Agama RI nomor MA/276/2014 perihal penjelasan mengenai keberadaan
agama Baha'i di Indonesia. Surat tersebut dibuat pada tanggal 24 Juli 2014. Di dalam surat itu dijelaskan,
agama Baha'i termasuk agama yang dilindungi negara sesuai pasal 29, pasal 28E, pasal 28I Undang- Undang
Dasar (UUD) 1945 45. Kemudian, berdasarkan penjelasan pasal 1 Undang-Undang nomor 1/pnps 1965 bahwa
agama Baha'i di luar 6 agama yang diakui negara. Umat Baha'i sebagai kewarganegaraan Indonesia berhak
mendapatkan pelayanan dari Pemerintah Kabupaten, dibidang kependudukan, pencatatan sipil, pendidikan,
hukum dan lain lain sesuai dengan peraturan peundang-undangan.

Berdasarkan survei Kementrian Agama RI pada April 2014 di 11 kota telah ditemukan jumlah umat
Baha'i. Di Jakarta ada 100 orang, Bandung dianut oleh 50 orang, di Palopo sebanyak 80 orang, di Medan

4
sebanyak 100 orang, di Pati sebanyak 23 orang, di Bekasi sebanyak 11 orang, Surabaya 98 orang, Malang 30
orang dan di Banyuwangi sebanyak 220 orang.

Di era reformasi, organisasi komunitas Baha‟i mulai muncul di ruang publik yang pada sebelumnya
dilarang oleh pemerintah orde lama dan orde baru dengan adanya keputusan presiden Ir. Soekarno No.
264/Tahun 1962 (dalam makalah Puslitbang Kementerian Agama: “Eksistensi Agama Baha‟i, Tao dan Sikh di
Indonesia”, 2014) yang berisikan pelarangan tujuh organisasi termasuk Baha‟i. Pelarangan tersebut
dikarenakan “tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan menghambat penyelesaian revolusi, atau
bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia” (Nuhrison, 2014:2).

Tampilnya Baha‟i di ruang publik juga didukung oleh Presiden RI Abdurrahman Wahid melalui
keputusan Presiden No. 69 tahun 2000 dengan pertimbangan (a) bahwa pembentukan Organisasi Sosial
Kemasyarakatan

merupakan hak azasi setiap warga negara Indonesia, (b) bahwa larangan terhadap organisasi-organisasi
sebagaimana yang dimaksud dalam Keputusan Presiden No. 264 Tahun 1962, dipandang sudah tidak sesuai
lagi dengan prinsip-prinsip demokrasi khususnya pasca reformasi. Akhirnya keputusan Presiden No.

264/Tahun 1962 dicabut dan tidak diberlakukan (Nuhrison, 2015:130-131). Setara dengan Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, agama Baha‟i merupakan salah satu agama paling baru di dunia. Meski
kemunculannya berawal dari salah satu sekte dalam Islam, Baha‟i pada gilirannya menyatakan berdiri sendiri
tanpa menginduk kepada Islam atau agama manapun. Mereka mempunyai rumah ibadah, ajaran, kitab suci
dan nabinya sendiri (Michael Keene, 2010:178).

Dalam pernyataan Lukman Hakim Saifuddin (2014) (melalui SK Menteri Agama Republik Indonesia 24
Juli 2014 No: MA/276/2014, perihal penjelasan mengenai keberadaan Baha‟i di Indonesia) bahwa “Agama
Baha‟i ialah salah satu dari agama-agama yang berkembang di dunia internasional dan tersebar lebih dari 20
negara”. Kemudian, dalam surat keputusan tersebut Lukman Hakim Saifuddin menyatakan juga bahwa “Baha‟i
ialah suatu agama dan bukan aliran dari suatu agama” (Kementerian Agama RI, 2014). Artinya, Baha‟i setara
dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu yang merupakan sebuah agama yang berdiri
sendiri di atas ajarannya masing-masing. Komunitas Baha‟i tidak menginduk pada agama manapun. Tidak
seperti komunitas Syi‟ah, komunitas Sunni, Ahmadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Hizbu Tahrir
Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), komunitas tarekat (seperti Satariyah, Qodiriyah, Naqsabandiyah
dll) yang menginduk pada Ajaran Islam. Komunitas Baha‟i juga bukan „denominasi‟ atau „established’ (dalam
istilah Troeltsch, 1911 & Niebuhr, 1929) seperti komunitas Gereja Lutheran Evangelis, Anglikan, Presbiterian
yang menginduk pada Kristen (Troeltsch & Niebuhr dikutip Bruinessen, 1992:16-27).

Meskipun di satu sisi Baha‟i ialah sebuah agama yang berdiri sendiri, tetapi di sisi lain Baha‟i juga
bukanlah „agama resmi‟ (dilayani dalam persoalan sipil) di Indonesia. Hal ini bedasarkan penetapan Presiden
No. 1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama Pasal 1, tertulis bahwa
“Agama-Agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Khonghucu (Confusius).” Hal demikian mengindikasikan bahwa meskipun ada pengakuan setara dengan
agama-agama lain di dunia internasional, tetapi Baha‟i sedang berada dalam kondisi dilematis.

Menurut Nuhrison (2014) kondisi demikian bisa disebut dengan konsep yang dicetuskan oleh Rajanit
Guha (1999) sebagai subaltern classes yang dalam kajian poskolonial sebagai kelompok yang hidup dan
bekerja dengan „mereka‟ dalam masyarakat yang sama namun diperlakukan sebagai „yang lain‟ (the other).

Kondisi komunitas Baha‟i tersebut menunjukan signifikansi bahwa ada perbedaan sikap dari negara
maupun perlakuan masyarakat Indonesia terhadap komunitas Baha‟i di Indonesia (Nuhrison, 2014:6; Guha,
1999:23).
5
Harapan reformasi yang digadang-gadang mampu mengakomodir seluruh masyarakat, realitasnya
belum dapat terpenuhi karena sebagian besar daerah di Indonesia belum memberikan pelayanan dalam
pemenuhan hak-hak sipil mereka seperti pencantuman Agama Baha‟i dalam KTP dan kartu keluarga (KK), Akte
Kelahiran, Akte perkawinan, dan Pendidikan Agama di sekolah (Nuhrison, 2014:18).

Bukan hanya diskriminasi dari negara, keberadaan agama Baha‟i juga menstimulus resistensi dari
kelompok-kelompok diluarnya. Resistensi tersebut berangkat dari interpretasi yang sering kali menuding
agama Baha‟i telah mencampur adukan ajaran positif dari bermacam-macam agama. Seperti di lampung
timur, Desa Sidorejo tahun 2010, kelompok yang mengatasnamakan Forum Umat Islam (FUI) Sekampungudik,
meminta pemerintah untuk memberikan sanksi tegas kepada Syahroni (umat Baha‟i) karena dianggap telah
menyebarkan ajaran agama Baha‟i kepada masyarakat. FUI menganggap bahwa ajaran agama Baha‟i yang
dibawa Syahroni telah mengganggu umat muslim dalam menjalankan syariat Islam. FUI menuntut Syahroni
dengan pasal 156 KUHP tentang penistaan agama dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp. 50 juta.
Sebelum FUI menyeret ke pengadilan, massa yang tidak teridentifikasi juga sempat melempari batu ke rumah
anggota Baha‟i, dan dalam masa persidangan, para Islamis memegang spanduk dengan tulisan “Baha‟i Kafir”

(Human Right Watch, 2013:83-90). Kemudian kelompok Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) memberikan klaim bahwa

MUI lampung telah memberikan fatwa „sesat‟ terhadap 16 aliran keyakinan, di lampung. Salah satu dari 16
aliran tersebut ialah agama Baha‟i. Kelompok HTI menganggap bahwa 16 aliran tersebut mencoba
menghancurkan aqidah umat Islam Indonesia (Hizbu Tahrir Indonesia, 10 Pebruari 2011).

Baha’i, dengan jaringan internasional yakni pusat organisasinya di Israel, sedang pusat kegiatannya di
Chicago Amerika, maka imbasnya terhadap para antek Israel tampak nyata pula di Indonesia. Hingga di
Indonesia, ada  pula  alumni  Chicago bersama antek-anteknya yang berani mengumandangkan bahwa lelaki
Muslim menikahi wanita-wanita  non  Muslim, baik itu Hindu, Budha,  maupun  Sinto adalah  sah.  Alasan 
doktor dari Chicago  itu,  karena  larangan menikahi musyrikat (wanita musyrik, menyekutukan Allah SWT
dengan lain-Nya) dalam Al-Quran itu hanya musyrikat Arab. Tokoh ini telah pudar pamornya karena dihujat
oleh umat Islam dikaitkan dengan  imbas  ajaran  Zionis Yahudi.

Bahkan seolah pendapat yang mengacak-acak Islam itu menjadi semacam “satu modal” (kredit poin)
untuk mendapatkan jabatan tinggi di negeri Indonesia yang tampaknya para pejabatnya alergi terhadap
syari’at Islam ini.  Misalnya Dr Komaruddin Hidayat, tokoh Yayasan Paramadina, dosen Pasca sarjana IAIN
Jakarta yang belakangan tahun 1998 diangkat oleh Menteri Agama Malik Fajar menjadi Direktur Perguruan
Tinggi Agama Islam, sebelumnya dulu di tahun 1996 melontarkan pendapat bahwa pernikahan artis / bintang
film Ira Wibowo (perempuan beragama Islam) dengan penyanyi Katon Bagaskara (laki-laki beragama Nasrani
Protestan berubah jadi Katolik) tidak apa-apa (sah-sah saja, red) asal tidak mengganggu keimanannya.
Padahal, dalam Islam telah jelas keharamannya. Allah SWT menegaskan:

.‫ والهم يحلون لهن‬      ……………………………………………… ‫يأيها الذين ءامنوا‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (perempuan-perempuan mukminah) tidak halal bagi
orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (QS Al-Mumtahanah/ 60:10).

Apabila orang Paramadina atau yang sefaham dengan lembaga yang dirintis Dr Nurcholish Madjid itu
masih belum mau mengakui keharaman pernikahan antara Muslimah dengan Nasrani, maka Hadits berikut ini
cukup untuk memberi pelajaran kepada mereka:

6
.)‫ (رواه البخاري‬.‫إذا أسلمت النصرانية قبل زوجها بساعة حرمت عليه‬

“Idzaa aslamatin nashrooniyyatu qobla zaujihaa bisaa’atin hurrimat ‘alaihi.”

“Apabila seorang wanita Kristiani masuk Islam sebelum suaminya (masuk Islam) sesaat saja, maka wanita itu
diharamkan atas suaminya itu tadi.”(Hadits Riwayat

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya bab 20 dari kitab At-Thalaq, dikutip Ibnu Taimiyyah dalam Ahkaamuz
Zawaaj, terjemahannya: (Hukum-hukum Perkawinan), Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 1997, hala 82).

AQIDAHNYA

 Menetabkan Al-Bab sebagai pencipta segala sesuatu


 Mempunyai satu keyakinan yang sama dengan Yahudi dan Nasrani dalam mengingkari mu’jizat para nai,
keberadaan malaikat, jin, surgea dan neraka
 Mengklaim Kitab Al-Aqdas sebagai penghapus segala hukum samawai termasuk Al-Qur’an. Menurut
mereka, agama Al-Bab menghapus syariat Muhammad dan Mengingkari status Nabi Muhammad sebagai
Nabi yang terakhir.
 Mengharamkan jihat, mengharamkan jilbab dan menghalalkan nikah mut’ah.
 Shalat fardhu berjumlah 9 rakaat, dikerjakan 3 kali, air wudhu harus dengan air mawar. Jika tidak tersedia
cukup dengan mengucap Bismillah Al-Ath-har Al-Ath-har 5 kali.

FATWA-FATWA ULAMA ISLAM TENTANG AGAMA BAHA’I

Fatwa Mufti Saudi Arabia Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullah

Tanya: Orang-orang yang memeluk mazhab Bahaaulllah (agama Baha’i) yang mengklaim kenabian untuk
pencetusnya, juga mengklaim bersatunya Allah dengan dirinya, apakah boleh bagi kaum muslimin menguburkan
orang-orang kafir itu di pekuburan kaum muslimin?

Jawab: Apabila keyakinan Baha’i seperti yang kalian katakan maka tidak diragukan lagi tentang kekafiran mereka,
dan tidak boleh mereka dikuburkan di pekuburan kaum muslimin; karena orang yang mengaku sebagai nabi setelah
diutusnya Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam adalah pendusta dan kafir berdasarkan dalil Al-Qur’an
dan As-Sunnah serta ijma’ (kesepakatan seluruh ulama) kaum muslimin, karena mendustkan firman Allah ta’ala,

َ‫َما َكانَ ُم َح َّم ٌد أَبَا أَ َح ٍد ِم ْن ِر َجالِ ُك ْم َولَ ِك ْن َرسُو َل هَّللا ِ َوخَاتَ َم النَّبِيِّين‬

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan
penutup nabi-nabi.” [Al-Ahzab: 40]

Dan telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau adalah penutup para
nabi, tidak ada nabi setelah beliau.

Demikian pula orang yang mengaku bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menyatu dengannya, atau dengan salah satu
makhluk-Nya maka ia kafir berdasarkan ijma’ (kesepakatan seluruh ulama) kaum muslimin, karena Allah subhanahu
wa ta’ala tidaklah bersatu dengan salah satu makhluk-Nya, karena Allah lebih mulia dan lebih agung dari hal itu.

Barangsiapa yang mengatakan demikian maka ia kafir menurut ijma’ (kesepakan seluruh ulama) kaum muslimin, ia
telah mendustakan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala di atas
‘arsy, sungguh Allah tinggi dan berada di atas seluruh makhluk-Nya, dan Allah subhanahu wa ta’ala Maha Tinggi lagi

7
Maha Besar yang tidak ada satu pun makhluk yang semisal dan serupa dengan-Nya…” [Majmu’ Al-Fatawa, 13/169-
170]

FATWA ULAMA AL-AZHAR MESIR

“Alhamdulillaah, washholaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah Muhammad bin Abdillaah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa
man waalaah, waba’du:

Sesungguhnya muncul agama Al-Baabiyyah atau Al-Bahaaiyyah di negeri Persia (Iran), sebuah ajaran bid’ah yang
disebarkan oleh orang-orang yang membuat makar terhadap Islam…” [Fatawa Kibar Ulama Al-Azhar Asy-Syarif fil
Bahaaiyyah wal Qodiyaaniyah, hal. 29]

Pada tahun 2003, Lajnah Fatwa bil Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah al-Azhar menetapkan bahwa Islam tidak
mengenal dan sama sekali tidak menjadi bagian dari Baha-iyah. Syaikh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq –Syaikh al-Azhar-
menyatakan bahwa Bahaiyah adalah pemikiran non-Islam, tidak boleh seorang muslim meyakini, dan berafiliasi
pada gerakan ini. Alasannya adalah karena Baha-iyah menyerukan bersatunya Allah dalam wujud makhluknya,
membuat syariat yang sama sekali tidak berasal dari tuntuna Alquran dan sunnah, mengklaim kenabian bahkan
ketuhanan.

Baha-iyah merupakan pemikiran ekstrim yang menggabungkan keyakinan beberapa agama, filsafat, dan tidak
memiliki cita-cita untuk perbaikan umat Islam.

KESIMPULAN

Bahaiyah atau Babiyah termasuk gerakan sesat yang keluar dari Islam karena penyimpangan keyakinan
dan pemikiran mereka sudah sedemikain jauh, sama sekali tidak berhubungan dengan Islam, di samping
permusuhan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin dan konspirasi mereka dengan musuh-musuh Islam
untuk memerangi Islam.

Dar al-Ifta` Mesir telah mengeluarkan fatwa bahwa Baha`iyah adalah aliran yang keluar dari syariat
Islam dan memerangi Islam, para pengikutnya adalah orang-orang kafir. Fatwa yang sama dikeluarkan oleh
Majma’ al-Fiqhi al-Islami yang menginduk kepada Rabithah al-Alam al-Islami.

Anda mungkin juga menyukai