Mafatih Al-Ghaib Fakhruddin Al-Razi merupakan julukan bagi Muhammad ibn Umar ibn Husayn ibn Hasan ibn Ali, beliau seorang ulama syafi’iyyah dan Ash’ariyyah yang lahir pada 544 H/1149 M di kota Ray, Iran. Wafat pada tahun 606 H/1209 M. Ayahnya seorang ulama madzhab Syafi’i dna juga ulama ilmu kalam Asy’ariyyah. Al-Razi berguru kepada ayahnya hingga ia tumbuh menjadi seorang Syafi’iyyah dan Asy-‘ariyyah. Salah satu orientasi karya Al-Razi adalah menolak pemikiran Muktazilah, yaitu; memaparkan pandangan lawan polemic, menjelaskan titik kelemahannya, menjelaskan pandangan yang sebenarnya, membangun argumen yang menguatkan dan khas kaum mutaakhirin dan pandangan logis dari Syafi’i-Asy’ari. Kitabnya banyak memuat banyak hal selain tafsir. Al-Razi dikenal Syakh Al-Islam karena beliau member misi penguat Ahlusunnah, begitupu dalam Thariqat muta’akhirin dikenal al-Imam dalam khazanah ushul fiqh. Tema qiyas menjadi focus kajian dari Al-Razi karena cirri khas ari ulama muta’akhirin (madzhab syafi’I dan asy’ari). Karya Al-Razi adalah perluasan dari karya Imam Al-Ghazali yang isinya memberi pengantar tentang struktur pengetahuan. Teknik penulisannya juga sama dengan karya Al-Ishraf Fi Ilmi Al-Kalam, yang menempatkan kualitas ilmu kalam dalam struktur pengetahuan yang logis. Mafatih Al-Ghaib dikategorikan sebagai jenis tafsir bil Ra’yi. Secara umum Al-Razi menggunakan metode kalam dengan pendekatan filosofis, meski terkadang terkesan berlebihan dalam menyampaikannya. Al-Razi juga memasukan data yang tidak berhubungan dengan tafsirannya, dan tafsir Al-Razi lebih unggul dari tafsir bil Ra’yi lainnya dari sisi kuantitas. Al-Razi membahas Al-Fatihah dalam 1 Jilid kitabnya setebal 293 halaman. Pada penafsiran QS.Al-Anbiya: 1-2, Al-Razi menampilkan 1) Munasabah dan 2) kritik terhadap kelompok Muktazilah. Bisa deiperoleh dua simpulan: 1) karakteristik (metode) tafsir Al-Razi tidak baku dalam sistematikanya, 2) Tidak mengutamakan metodologi penafsirannya, tetapi menitik beratkan pada pembahasan dan penolakan pada ajaran lawan polemiknya. Sistematika penafsiran QS. Al-Fatihah Al-Razi yaitu meyebut nama surat, tempat turunnya, bilangan ayatnya, perkataan-perkataan yang terdapat di dalamnya, menyebut satu atau beberapa ayat, mengulas kecocokan adengan ayat lain, sehingga pembaca dapat terfokus pada satu topic tertentu pada sekumpulan ayat. Ada juga yang mengatakan menggunakan tiga tahap, yaitu; 1) Al-Razi menjelaskan peta ulum Fatihah per-kata, 2) Fatihah sebagai kesatuan surat, 3) tafsir ijmali yang membahas aspek-aspek eksternal. 1. Peta ‘Ulum Al-Fatihah, merupakan penjabaran dan rasionalisasi tema-tema yang ia sebut “’Ulum al-Fatihah”. a. Kajian Al-Fatihah sebagai Ayat; beliau melahirkan kajian dari redaksi teks yang ringkas. Beliau menggunakan teknik sabr wa taqsim, sehingga tidak bisa disebutkan tidak memiliki hubungna dengan ayat yang dibahas. Beliau membahas dari sudut kebahasaan, sudut ilmu tajwid. Dan konsentrasi pada kajian ilmu kalam tidak lepas dari karya Al-Razi. Al-Razi juga mengangkat beberapa kajian khusus tentang pandangan Jabariyah dan Qadariyah tentang ta’awudz dan dalil tentang keberadaan jin. Pandangan Al-Ghazali juga memiliki tema tersendiri dlama tafsir ini. Salah satu bentuk kajian teologi Al-Razi yang sangat kental tariqat al-muta’akhirin yang logis- ontologis dapat ditemukan pada ulasannya tentang beberapa prediksi terhadap Allah. Beberapa kalangan mengembangkan kajian tentang nama- nama Allah, misalnya dzat, nafs, nur, jawhar, dan jism. Yang dapat diterima Al-Razi hanya istilah dzat. Dia berargumen bahwa penyebutan dzat tidak bisa dihindari, karena menyebut sifat tidak mungkin dinisbahkan kepada sifat yang lain. Al-Razi memuat pandangan-pandangan tentang materi-materi yang sepintas tidak memiliki keterkaitan yang kuat dengan ayat yang dibahas, seperti pembahasan nahwu yang detail dengan al- Fatihah. b. Kajian al-Fatihah sebagai surat; Al-Razi menyebut 12 nama surat al- Fatihah, slaha satunya adlaah Umm al-KItab yang berarti intisari. Al-Razi mengungkap beberapa riwayat tentang sabab nuzul. Menurut riwayat pertama, Al-Fatihah diturunkan di Makkah. Sedangkan menurut riwayat yang kedua, Al-Fatihah diturunkan di Madinah. Selebihnya Al-Razi menjelasan pembahasan Fiqhiyyah seputar bacaan Al-Fatihah. 2. Tafsir ayat Al-Fatihah. Pada ayat kedua tentang nikmat, Al-Razi menampilkan perdebatan kalangan qadariyah dan jabariyyah, apakah iman merupakan nikmat atau bukan. Pada ayat ketiga, Al-Razi menampilkan perbedaan qiraah dalam membaca malik. Ayat keempat, pada kata iyyâka nasta’în ditafsirkan sebagia berikut; 1) saya beribadah, maka berilah kesempatan untuk menyempurnakannya, 2) saya beribadah, namun hati selalu berpaling, maka hindarkanlah hati saya bertawajjuh, 3) saya tidak butuh bantuan siapapun kecuali Allah. Pada ayat kelima, simpulan yang diambil adalah orang yang shalat sudah pasti mendapat petunjuk. Lalu Al-Razi menjawab 4 jawaban dalam hal mengapa masih minta petunjuk padahal sudah mendapat petunjuk. Banyak aspek bahkan melampaui materi yang dikemukakan dalam surat Al- Fatihah ini. 3. Tafsir Ijmali. Pada pembahasan ini cukup jelas karakter tariqat muta’akhirin. Pertama, ulasan teolgi dan kebahasaan dlaam tafsir ini dibingkai secara logis dan rasional. Kedua, penyatuan antara bayani dan irfani berjalan dengan tidak mencolok. Al-Razi dalam bingkai madzhabnya adalah memperbanyak bangunan atas madzhab Asy-ariyyah dengan kajian filsafat dan ketuhanan. Karakteristik pemikiran dna penafsiran Al-Razi memberikan kajian yang sangat luas. Tetapi, keluasannya itu menghilangkan focus kajiannya. Tafsir falsafi. Tafsir falsafi cenderung membangun proposisi universal berdasarkan logika; karena peran logika begitu mendominasi, metode ini kurang memperhatikan aspek historitas kitab suci. Keunggulan metode ini adalah kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi makna-makna tersembunyi yang diangkat dari teks kitab suci kemudian dikomunikasikan kepada masyarakat tanpa hambatan budaya dan bahasa. Pendekatan yang digunakan dalma tafsir falsafi adalah penggunaan akal yang lebih dominan sehingga ayat-ayat yang ada dipahami dengan rasio mufasir sendiri. Pendapat yang mengemukakan dua cara dalam menyelaraskan antara agama dan filsafat sebagai berikut; Pertama, membawa nash-nash al-Qur’an pada pandangan-pandangan filsafat agar keduanya Nampak seiring sejalan. Kedua, mereka mengemukakan Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Artinya, filsafat melampaui Al-Qur’an. Cara ini berbahaya dari cara yang pertama. Metode penafsiran Falsafi terbagi menjadi dua, yaitu: a) menafsirkan ayat Al- Qur’an dengan cara membenturkannya dengan teori-teori filsafat yang ada, b) menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan idea tau teori filsafat. Kelebihan dan kekurangan tafsir falsafi adalah menunjukan makna al-Qur’an yang sangat luas dan dalam, menjadikan AL-Qur’an seperti cakrawala yang dapat didekati dengan pendekatan apapun. Kelemahannya adalah kekhawatiran akan membahayakan akidha islam, dan terkadang terkesan berlebihan. Tokoh-tokoh tafsir falsafi: Al-Farabi dan Ibnu Sina. Mafatih al-Ghaib menjadi objek pembahasan disini adala karena ia termasuk dalam kitab yang paling terkenal. Al-Razi sangat menguasai ilmu logika dan filsafat serta menonjol dalam bidang ilmu kalam. Sumber rujukan Mafatih Al-Ghaib banyak mengutip dari para mufassir terkemuka seperti Ibn Abbas, Ibn Kalbi, Mujahid, Qatadah, dan lain-lain. Dlaa kaitannya dengan muktazilah beliau mengutip dari Abu Muslim al-Ashfahani, Al-Qaddi Abdul Jabbar, dan Al-Zamakhsyari. Metode penafsiran ini menggunakan metode Tahlili. Disimpulkan bahwa kitab ini: 1. Tafsir Bil Ra’yi yang berpengaruh pada corak tafsirnya 2. Pengaruh faham atau madzhab yang dianut menjadi penyebab ketidak objektifan dalam menjelaskan makna kandungan Al-Qur’an, ketika menggunakan keahlian bidang yang dikuasai penulisnya dlaam menafsirkan ayat.