Anda di halaman 1dari 189

YAHUDI DAN NASRANI PERSPEKTIF AL-QUR’AN

(Studi Pemikiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.Ag.)
Bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Oleh
Muhamad Nur Hasan Mudda’i
NIM 21514012

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
ii
iii
iv
MOTTO

***

‫َوفَ ۡوقَ ُك ِّل ذِّي ِّع ۡلم َع ِّليم‬

“Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu

ada yang Maha Mengetahui”

***

v
PERSEMBAHAN

***

Skripsi ini dipersembahkan untuk:

Allah
Satu-satunya tujuan dalam hidupku, dan inilah wujud berterimakasihku pada-Mu

Kedua orang tua

Ahmadi

Nurhayati

Terimakasih untuk kasih-sayang, ketulusan, keikhlasan, dan semua pengorbanan


yang telah diberikan, ini adalah wujud dari bukti-kecil baktiku kepadamu berdua

Sahabat-sahabat seperjuangan yang setiap saat


berbagi suka dan cita

Almamater
IAIN Salatiga

***

vi
vii
viii
ix
KATA PENGANTAR

‫احلمد هلل رب العاملني‬

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan segenap manusia. Melalui hidayah,
inayah, rahmat, karunia dan mahhabah-Nya yang tiada batas, penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih pula kepada Nabi Muhammad yang
telah mengajarkan kepada kita, cara bagaimana berusaha dengan keras dan
sungguh-sungguh. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepadamu.
Dalam mengerjakan tugas akhir ini, saya banyak mengambil inspirasi dan
rujukan utama dari beberapa literatur, utamanya adalah Tafsir al-Mizan fi Tafsir
al-Qur’an, dan Quran: A Reformist Translation, maupun literatur pendukung
lainnya. Penulis berusaha sekuat mungkin dalam memaparkan agama Yahudi-
Nasrani dalam al-Qur’an perspektif Thabathaba’i dan Edip Yuksel, tetapi tidak
menutup kemungkinan terjadi kekurangan di dalamnya. Karena itu, penulis
memohon maaf.
Akhirnya, usaha dalam menyelesaikan penelitian ini, mulai dari proposal,
proses penelitian hingga penulisan skripsi selesai, tidak akan terlepas dari bantuan
berbagai pihak, khususnya dalam mengkontruksi skripsi komparasi ini dengan
judul Yahudi dan Nasrani Perspektif Al-Qur’an (Studi Pemikiran Thabathaba’i,
Edip Yuksel, dkk.). Harapannya, apa yang menjadi ikhtiar saya, mampu
memberikan kontribusi bagi pembaca mengenai agama Yahudi dan Nasrani.
Setelah melewati proses yang cukup panjang dan penuh tantangan, akhirnya
skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu, saya ingin menyampaikan ucapkan
terima kasih kepada:
1. Orang tua, Bapakku Ahmadi dan ibunda Nurhayati yang selalu mendoakan
dan mensuport dalam segala hal yang penulis lakukan. Serta adik tercinta
M. Agus Dhany Mubarok yang selalu menyayangi dan mensuport penulis.
2. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M. Pd., selaku Rektor beserta jajarannya dan
segenap tenaga pendidik baik dosen maupun karyawan di IAIN Salatiga.

x
3. Jajaran Dekanat fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora, Dr. Benny
Ridwan, M. Hum., Dr. M. Gufron, M. Ag., Dr. H. Sidqon Maesur, Lc.,
M.A., dan Dr. Mubasirun, M.Ag. yang telah memberi dukungan dan
motivasi.
4. Bapak Dr. Benny Ridwan, M. Hum., selaku pembimbing akademik dan
pembimbing skripsi yang telah sudi kiranya meluangkan waktunya,
membina dan membimbing dari awal perkuliahan hingga akhir dan
mengarahkan proses penelitian skripsi ini berupa koreksi, masukan, kritikan,
dan saran yang kontruktif dalam melengkapi dan menyelesaikan studi dan
penelitian ini di sela-sela kesibukan mengajar dan aktifitas yang lainnya.
5. Ibunda Tri Wahyu Hidayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir (IAT), Bapak Farid Hasan, S.Th.I., M.Hum. yang telah memberi
dukungan dan motivasi dan bapak Dr. Adang Kuswaya, M. Ag., yang selalu
memberikan bimbingan tanpa waktu.
6. Segenap Staff pengajar dan karyawan fakultas Ushuluddin, Adab dan
Humaniora, pak Mujib, bu Ika dan pak Tafin yang telah meluangkan
waktunya, melayani segala keperluan akademik penulis.
7. Teman-teman sehimpunan-seperjuangan Rabika, Neny, Samsul, Ayusta,
Annisa Fitri, Saifunnuha, Latif, Wahyu, Fatimah, Novita, Laila Khodariyah,
Trisna, Yusuf, Abrar, Fissabil, alumni jurusan IAT MK. Ridwan, Wahyu
Kurniawan, Triyanah, Rangga, Rohman, Husen, semua adek angkatan IAT,
serta tak lupa sahabat tercinta Aryana, Mb Rima, Inay dan Uliajnic yang
menjadi patner akademis dan teman diskusi.
Akhirnya, saya menyadari bahwa, apa yang penulis kerjakan ini, bukanlah
suatu hal yang sempurna dan tidak menuai kritik. Justru berbagai masukan berupa
kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca, adalah nutrisi bagi saya dalam
rangka mendekatkan diri pada kesempurnaan, walaupun hal itu bersifat mustahil.
Selamat membaca.

Salatiga, 3 April 2018

xi
ABSTRAK

Yahudi dan Nasrani Perspektif Al-Qur’an


(Studi Pemikiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk.)

Muhamad Nur Hasan Mudda’i. 21514012


Pembimbing: Dr. Benny Ridwan, M. Hum.
Kata Kunci: Yahudi, Nasrani, Thabathaba’i, Edip Yuksel.

Skripsi ini berbicara mengenai agama Yahudi dan Nasrani, serta


bagaimana sejarah dan teks ayat-ayat al-Qur’an tentangnya yang diambil dari
penafsiran Thabathaba’i dengan Edip Yuksel, dkk. Tentu dalam membahas kedua
agama ini diperlukan adanya kerangka setting sosio-historis secara mendalam.
Thabathaba’i dalam tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an dan Edip Yuksel beserta
tim penulis tafsirnya Quran: A Reformist Translation, memberikan sebuah
alternatif dalam membahas agama-agama secara universalistik-positivistik.
Siapakah sebenarnya Yahudi-Nasrani dalam al-Qur’an itu? Apakah mereka akan
selalu tidak senang dengan perbuatan Muslim dari dulu hingga sekarang? Apakah
mereka akan masuk surga atau neraka menurut klaim dari agama Ahl Ibrahim?
Kajian ini dianggap penting sebab menyangkut dasar falsafah hidup kaum Muslim
dalam menentukan sikapnya terhadap umat Yahudi-Nasrani.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah deskriptif-analitik
dengan pemahaman historisitas dan pemahaman teks dengan 3 stage deduktif,
induktif kemudian komparatif. Penulis menganalisis pemikiran Thabathaba’i dan
Yuksel dengan pemahaman sejarah Yahudi-Nasrani, ayat-ayat al-Qur’an
tentangnya kemudian dikomparasikan. Dari telaah yang telah dilakukan, penulis
berkesimpulan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai Yahudi dan
Nasrani dapat dikatakan berada pada tataran historis, kultural dan sosiologis.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa agama Yahudi, Nasrani dan Islam apabila
melihat dari konteks historis-genealogi Ibrahim itu sangat dekat. Jadi munculnya
kebencian, saling mengklaim agama paling benar, kekerasan dan lain sebagainya
itu adalah sikap yang salah dalam melestarikan ajaran Ibrahim yang hanif.
Maksudnya mereka sepatutnya menjalani kehidupan bebarengan secara kooperatif
dengan menjaga kedamaian, persaudaraan, persahabatan, kekerabatan dan
moderat yang mengantarkan mereka bersama menuju jalan humanizing Islam.

xii
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................ i

NOTA PEMBIMBING .................................................................................... ii

PENGESAHAN ............................................................................................... iii

KEASLIAN SKRIPSI DAN KESEDIAAN DIPUBLIKASI ......................... iv

MOTTO ........................................................................................................... v

PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... vii

KATA PENGANTAR .................................................................................... x

ABSTRAK ....................................................................................................... xii

DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................ 12

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 13

D. Manfaat Penelitian ............................................................... 14

E. Survey Literatur ................................................................... 15

F. Metode Penelitian ............................................................... 19

G. Sistematika Penulisan ......................................................... 24

xiii
BAB II : SEJARAH MUNCULNYA AGAMA YAHUDI-NASRANI

PADA MASA PRA ISLAM, LAHIRNYA ISLAM DAN

MASA KINI

A. Sejarah dan Perkembangan Agama Yahudi ........................ 26

1. Masa Pra-Islam dan Lahirnya ........................................ 26

2. Agama Yahudi Modern dan Kontemporer .................... 42

B. Sejarah dan Perkembangan Agama Nasrani ........................ 48

1. Sejarah Pra-Islam dan Lahirnya ..................................... 48

2. Nasrani Dewasa ini ....................................................... 59

BAB III : PENAFSIRAN THABATHABA’I DAN EDIP YUKSEL,

DKK. TERHADAP AYAT TENTANG YAHUDI-NASRANI

A. Biografi Thabathaba’i dan Penafsirannya ........................... 62

1. Biografi Thabathaba’i .................................................... 62

2. Latar Belakang Tafsir Al-Mizan ................................... 73

3. Metode dan Corak Tafsir Al-Mizan ............................. 75

4. Penafsirannya tentang Yahudi dan Nasrani .................. 79

a. QS. Al-Baqarah [2]: 62 ........................................... 79

b. QS. Al-Baqarah [2]: 120 ......................................... 88

B. Biografi Edip Yuksel, dkk. serta Penafsirannya .................. 90

1. Biografi Edip Yuksel .................................................... 90

2. Biografi Layth Saleh al-Shaiban .................................... 93

3. Biografi Martha Schulte Nafeh ...................................... 94

4. Corak Pemikiran Edip, dkk. dalam penafsirannya ........ 96

xiv
5. Metodologi Penafsiran Edip Yuksel, dkk. ..................... 101

6. Penafsirannya tentang Yahudi dan Nasrani .................. 106

a. QS. Al-Baqarah [2]: 62 ........................................... 106

b. QS. Al-Baqarah [2]: 120 ......................................... 108

BAB IV : PANDANGAN THABATHABA’I, EDIP YUKSEL DKK.

TERHADAP PERDAMAIAN ATAS KONFLIK

KEBERAGAMAAN

A. Pandangan Thabathaba’i terhadap Yahudi-Nasrani ............ 109

B. Pandangan Edip Yuksel, dkk. terhadap Yahudi-Nasrani..... 133

C. Relevansi Pandangan Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk.

terhadap perdamaian atas konflik keberagamaan ................144

D. Analisis dan Komparasi Penafsiran Thabathaba’i dengan

Edip Yuksel, dkk. ................................................................ 153

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................... 162

B. Saran ................................................................................... 166

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 167

LAMPIRAN-LAMPIRAN

LAMPIRAN 1: BIODATA PENULIS ........................................................... 172

LAMPIRAN 2: LEMBAR KONSULTASI .................................................... 173

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Abad kedua puluh satu ini, sebagai zaman yang banyak corak polemik

kehidupan baik dalam dimensi akidah, syariah dan muamalah. Salah satunya

adalah problematika sosial-akidah yang hingga saat ini bagi para ilmuan modern

dan para reformis sangat sulit merumuskan agar menemukan titik temu yang jitu

dalam strategi menuntaskannya. Problematika sosial-akidah ini adalah di mana

masyarakat sudah bercampur menjadi satu dari berbagai pemeluk agama, paham

keagamaan, macam corak pemikiran, dinamika intelektual dan berbagai macam

budaya yang terkumpul menjadi suatu kuantum lampau, masa kini atau antara

keduanya.

Dalam kehidupan sosial-akidah, banyak umat manusia sadar tentang

adanya kesatuan global, yakni ketergantungan satu umat dengan yang lainya dan

keperluan akan saling memahami serta memberi respek antara sesama manusia,

meski memiliki pandangan atau ideologi berbeda, sekat-sekat budaya, agama dan

nasionalitas mulai runtuh—sebuah fenomena yang sebelumnya tidak pernah

terbayangkan, baik para ilmuan termasuk di dalamnya adalah agamawan sendiri—

jika sebelumnya perbedaan ideologi, budaya dan agama acap kali mengantarkan

para pemeluk agama yang satu memusuhi pemeluk agama yang lainya dan bahkan

saling menumpahkan darah, maka di zaman ini mereka niscaya dituntut untuk

saling menghargai dan menghormati, sebab jika tidak maka dikhawatirkan

destruksi dan segala problematika akan semakin menjadikan dunia ini mudah

1
dihancurkan. Namun selain demikian dunia ini mudah juga dibangun untuk

merekontruksi kesadaran diri dan menempatkan diri secara proporsional di

tengah-tengah terjadinya peradaban dunia yang tidaklah mudah. Diperlukan

banyak energi untuk usaha tersebut dan diperlukan usaha keras setiap pemeluk

agama untuk sukses mengukuhkan diri sebagai bagian dari umat manusia yang

rindu akan persaudaraan dan perdamaian.1

Akhir-akhir ini, dalam konteks dan harapan idealitas kehidupan, hubungan

Yahudi-Muslim, Nasrani-Muslim ataupun Yahudi-Nasrani ternyata semakin

ditantang oleh berbagai persoalan politik dan ideologi. Perebutan wilayah

geografis dan kekuasaan politik di Palestina, yang sampai sekarang belum ada

titik temu untuk kedamaian, negara konflik tersebut hingga melibatkan berbagai

kepentingan Internasional, hingga konflik nasional yaitu permasalahan politik di

DKI-Jakarta (termasuk problem penistaan agama), telah memainkan peran penting

dalam menumbuhkan kesan semakin negatif pada masing-masing pihak terhadap

pihak lain dan bahkan telah merambat ke dalam pikiran dan suasana hati banyak

orang di dunia ini, baik Yahudi, Nasrani maupun Muslim, akibat dari provokasi

dan ketakutan (fear) yang ditiupkan ke dalam jiwa kebanyakan orang awam

secara tidak henti-hentinya oleh mereka yang terlalu berambisi dan ingin menang

sendiri. Akibatnya, agama dan politik seolah-olah tidak dapat lagi dipisahkan;

kemerdekaan telah diartikan sebagai kemampuan mengalahkan dan menundukkan

lawan. Pada saat-saat agama telah dijadikan alat untuk kepentingan-kepentingan

tertentu, maka tidak ada jalan bagi seseorang untuk "membebaskan diri" dari

1
Zulkarnaini, Yahudi Dalam AL-Qur’an: Teks, Konteks, dan Diskursus Pluralisme
Agama, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2004, hlm. 2.

2
kemelut hal tersebut melainkan dengan cara mengklarifikasi pemahamannya

terhadap agama itu sendiri.2 Upaya memberikan klarifikasi inilah yang merupakan

titik keresahan awal yang mendorong penulis melakukan studi ini.

Sebagai sebuah teks—seperti teks-teks lainnya juga—Kitab Suci al-Qur'an

memiliki sifat-sifat kesejarahan dan kebudayaan tersendiri yang khas. Kekhususan

atau keunikan al-Qur'an terletak pada kenyataan bahwa ia adalah teks yang aktif

merespons sejarah, budaya dan realitas lingkungan masyarakatnya. Diturunkan di

tengah-tengah masyarakat jahiliah dan kaum Ahli Kitab (Ahl al-Kitab), al-Qur'an

bersikap kritis dan juga korektif terhadap berbagai gagasan dan konsep-konsep

tradisional yang dianggap melanggar garis-garis kebenaran dan keadilan

primordial yang telah digariskan Tuhan. Sekurang-kurangnya ada tiga umat yang

dihadapi al-Qur’an pada saat ia diturunkan, yaitu kaum penyembah berhala,

orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani/Masehi. Semua kelompok ini telah

memiliki konsep-konsep keagamaan yang mapan, sehingga al-Qur’an bersikap

sangat hati-hati, namun juga sangat tegas, dalam menghadapi mereka. Banyak

tradisi Arab sebelum Islam yang diadopsi al-Qur’an dengan memberikan beberapa

modifikasi, seperti perkawinan, tata krama dalam kehidupan sosial dan sistem

peribadatan di sekitar Tanah Haram. Di samping itu ada juga kritik-kritik yang

dilancarkan secara evolutif, seperti yang berkaitan dengan larangan

mengkonsumsikan khamr. Kritik yang berkaitan dengan konsep-konsep teologi

dan dasar-dasar kemanusiaan disampaikan al-Qur’an secara lebih tegas dan

bahkan keras. Dalam hal ini al-Qur'an tanpa kompromi menolak, misalnya,

2
Zulkarnaini, Yahudi Dalam AL-Qur’an: Teks, Konteks, dan Diskursus Pluralisme
Agama, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2004, hlm. 2

3
penyembahan berhala, konsep ketuhanan Isa Almasih dan klaim orang-orang

Yahudi sebagai umat pilihan (semata-mata karena beridentitas Yahudi). Secara

umum dapat dikatakan bahwa al-Qur’an, di samping telah membentuk sebuah

pandangan keagamaan tersendiri, juga telah membangun sebuah sikap keagamaan

tertentu terhadap penganut agama lain yang ikut terlibat dalam interaksi sosial-

budaya sepanjang sejarah kelahiran Islam, yakni sepanjang proses sejarah

turunnya al-Qur’an.3

Kaum Ahli Kitab, terutama kalangan Yahudi, adalah komunitas yang

termasuk menonjol keterlibatannya dalam perkembangan pembentukan keyakinan

Islam. Kelompok ini sering kali berhadapan dengan Nabi, baik dalam suasana

keakraban maupun permusuhan. Komunikasi dan interaksi mereka dengan Nabi

dan kaum Muslim telah menyebabkan banyak ayat al-Qur'an turun memberi

respons, dan hubungan ini dalam beberapa hal berakhir dengan konflik. Memang

harus diakui bahwa yang menjadi sasaran awal al-Qur’an adalah situasi kota

Mekah dengan kehidupan para elitnya yang korup,4 namun kemudian, tidak

terhindarkan, masyarakat Yahudi dan Nasrani ikut terlibat, sebab dalam

pandangan al-Qur’an manusia sesungguhnya adalah umat yang satu.5 Untuk

mengajak manusia melaksanakan kebaikan dan meninggalkan tindakan-tindakan

jahat dan tidak bermoral, pertama sekali yang harus dilakukan adalah meyakinkan

mereka akan adanya konsekuensi-konsekuensi dari semua perbuatannya: kebaikan

akan dibalas dengan pahala yang besar, sedangkan kejahatan akan mendatangkan

3
Zulkarnaini, Yahudi Dalam AL-Qur’an: Teks, Konteks, dan Diskursus Pluralisme
Agama, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2004, hlm. 3-4
4
Fazlur Rahman "Islam's Attitude Toward Judaism," The Muslim World, Vol. LXXII,
No. l, January, 1982, hlm. 1.
5
Q.S. al-Baqarah [2]: 213.

4
malapetaka yang sangat merugikan. Karena itu al-Qur’an selalu menekankan

pentingnya beriman kepada Allah dan hari akhirat serta beramal saleh. Berangkat

dari keyakinan inilah persoalan-persoalan teologi mulai muncul, dan para

penentang Nabi di Mekah sering kali menjadikan orang-orang Yahudi sebagai

konsultan mereka untuk mendapatkan argumentasi melawan Nabi. Akibatnya, al-

Qur’an kemudian bukan hanya mengkritik konsep-konsep teologi orang Yahudi

yang dianggap menyimpang tetapi juga "membongkar" berbagai perilaku mereka

dalam sejarah.6

Nabi Muhammad pada awalnya menaruh harapan besar pada orang-orang

Yahudi dan Nasrsni (ahl al-kitab) sebagai pendukung bagi agama yang sedang

beliau dakwahkan, sebab beliau menganggap mereka memiliki basis keyakinan

yang bersumber pada ajaran yang sejalan dengan agama yang beliau bawa.

Interaksi Nabi dan kaum Muslim di satu pihak dengan kaum Yahudi dan Nasrani

di pihak lain kemudian menjadi intens, dan wahyu pun turun memberikan

berbagai tanggapan, mengkritik dan pada akhimya bahkan mengecam tindakan-

tindakan mereka yang ternyata tidak seperti yang diharapkan, yakni justeru

menjadi penentang utama terhadap risalah yang dibawa Nabi.7 Perkembangan

sikap al-Qur’an terhadap Yahudi dan Nasrani (ahl al-kitab) ini menarik, karena ia

bergerak seiring dengan perkembangan kondisi politik dan pembentukan

6
Zulkarnaini, Yahudi dalam AL-Qur’an: Teks, Konteks, dan Diskursus Pluralisme
Agama, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2004, hlm. 4-5
7
Beberapa riwayat menyebutkan bagaimana misalnya orang-orang Yahudi melakukan
konspirasi dengan kaum musyrik Mekah untuk menentang Nabi dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang menyudutkan atau bahkan menyulut api pertikaian; pada kesempatan lain juga
diriwayatkan sejumlah ayat al-Qur'an diturunkan dalam rangka meresponi secara langsung sikap
negatif orang-orang Yahudi terhadap Islam dan Nabi Muhammad (misalnya riwayat asbab al-
nuzul [sebab turun] ayat Q.S. al-Baqarah: 80-98, al-Isra': 85 dan al-Kahf: 83). Lihat misalnya
karangan Abu al-Hasan Ali Wahidi, Asbab al-Nuzul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994/1414), hlm. 15-17,
163, 167.

5
masyarakat Muslim masa awal. Lagi pula, ini menjadi indikasi bagi watak

historisitas (kesejarahan) teks al-Qur’an—sebuah wacana kontemporer yang

tampak masih hangat diperdebatkan. Namun, yang lebih penting di sini adalah

kenyataan bahwa karena demikian seringnya al-Qur'an menyebut tentang Yahudi

dan Nasrani, tidak jarang kaum Muslim menganggap al-Qur'an telah cukup

memadai sebagai referensi untuk mengetahui apa yang perlu diketahui mengenai

Yahudi dan Nasrani tanpa memerlukan sumber-sumber lain. Fenomena ini

merupakan keresahan berikutnya (barangkali keresahan akademik) yang

menggerakkan keinginan penulis melakukan studi ini: bahwa kajian tentang ayat-

ayat mengenai Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an perlu ditelaah kembali

dengan semangat dan pendekatan yang lebih objektif dan ilmiah.8

Agama adalah wilayah perbincangan yang amat luas. Karena itu studi ini

dibatasi pada kajian dari beberapa ayat al-Qur’an tentang Yahudi dan Nasrani.

Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa wilayah "garapan" yang dipergunakan

untuk tulisan ini adalah studi tafsir al-Qur’an. Setidaknya ada tiga istilah yang

menunjuk pada Yahudi, yaitu al-yahud, alladzina hadu, dan hudan. Dalam

al~Qur‘an, kata "Yahudi“ disebut sembilan kali dengan al-ma’nfah dan tanpa al

dalam empat surat, yakni QS. al-Baqarah [2]: 113 (dua kali) dan 120, QS. Al-

Maidah [5]: 18, 51, 64, dan 82, QS. al-Taubah [9]: 30, dan QS. Ali ’Imran [3]:

67.9 Ungkapan dalam ayat-ayat tersebut berisi beberapa hal, yaitu (1) sikap dan

perilaku antara Yahudi-Nasrani, yaitu dalam QS. al-Baqarah [2]: 113, (2) sikap

8
Zulkarnaini, Yahudi dalam AL-Qur’an: Teks, Konteks, dan Diskursus Pluralisme
Agama, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2004, hlm. 6
9
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim dalam Tafsir
Al-Mizan, Bandung: Mizan Pustaka, 2016, hlm. 141

6
dan perilaku orang Yahudi-Nasrani terhadap Muhammad dan umatnya, yaitu

dalam QS. al-Baqarah [2]: 120, (3) sikap dan perilaku Yahudi terhadap orang-

orang yang beriman, yaitu dalam QS. al-Maidah [5]: 82, (4) pandangan

keagamaan Yahudi-Nasrani, yaitu dalam QS. al-Ma‘idah [5]: 18 dan QS. at-

Taubah [9]: 30, (5) sikap orang~orang yang beriman kepada orang Yahudi dan

Nasrani, yaitu dalam QS. al-Maidah [5]: 51, (6) pandangan keagamaan orang-

orang Yahudi, yaitu dalam QS. al-Maidah [5]: 64, dan (7) penjelasan al-Qur’an

akan ketidakabsahan klaim Yahudi-Nasrani terhadap Ibrahim.

Kemudian menyangkut ayat tentang Nasrani, ada tiga istilah yang secara

lungsung digunakan al-Qur’an untuk menyebut pengikut Isa, yaitu Nasrani,

Nashara, dan Ahl al-Injil. Istilah Nasrani disebut satu kali yaitu dalam QS Ali

Imran [3]: 67. Jumlah yang sama juga untuk istilah Ahl al-Injil, yaitu dalam QS.

al-Maidah [5]: 47. Istilah yang paling banyak digunakan adalah Nashara, yaitu 14

kali yang tersebar dalam empat surat, yaitu QS. Al-Baqarah [2] :62, 111. 113, 120,

135, dan 140, QS. al-Maidah [5]: 14, 18, 51. 69, dan 82, QS. al-Taubah [9]: 30,

dan QS. al-Hajj [22.]:13..82. Dari beberapa kali penyebutan tersebut, baik istilah

Nasrani maupun Nashara hampir selalu disebutkan secara bersamaan dan

berurutan dengan istilah Yahudi, kecuali dalam dua ayat, yaitu QS. al-Maidah [5]:

14 dan 82 yang disebutkan dengan diselingi kata yang lain. Istilah Nashara

bahkan disebutkan secara bersamaan dengan alladzina hadu dan hudan. Ini

sebagai petunjuk bahwa terdapat kesamaan pandangan keagamaan, sikap dan

perilaku orang Nasrani dengan orang Yahudi. Meskipun demikian, sangat

7
mungkin perbedaan ini ditemukan kesamaannya ketika Yahudi dan Nasrani

diungkapkan dengan istilah lainnya seperti Bani Israil, Ahli Kitab atau lainya.

Selanjutnya untuk efisiensi penelitian, penulis akan membatasi dari sekian

pembahasan ayat tentang Yahudi-Nasrani kepada dua ayat yang kontradiktif yaitu

QS. Al-Baqarah [2] ayat 62 dan QS. Al-Baqarah [2] ayat 120. Dalam ayat pertama

dijelaskan bahwa ada keselamatan terhadap orang-orang Yahudi, Nasrani dan

Shabiin yang beriman kepada Allah swt, kemudian ayat yang kedua kontradiktif

dengan ayat yang pertama yaitu bahwa orang-orang Yahudi-Nasrani akan selalu

memusuhi orang Islam hingga orang-orang Islam ikut terhadap ajaran mereka, dan

hal itu menurut dogma agama Islam disebut murtad dan akan menjadi kafir.

Namun dewasa ini dugaan tersebut secara nyata benar-benar menimbulkan

problematika-dialektis yang sangat fundamental menyangkut masalah keyakinan

sehingga terjadi radikalisme perbuatan pemaksaan untuk menyerang dan

memusuhi antara agama satu dengan yang lain atas dasar truth claim. Pada ayat

yang kedua ini apabila dibaca maknanya secara harfiah adalah orang-orang Islam

yang ikut kepada ajaran Yahudi-Nasrani adalah orang-orang yang tidak lagi

mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Allah swt, ini berarti bahwa tidak

ada keselamatan bagi pengikut ajaran Yahudi dan Nasrani. Satu mengatakan

bahwa ada keselamatan bagi Yahudi dan Nasrani, berikutnya bahwa tidak ada

keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti Yahudi dan Nasrani, atas dasar itu

kedua ayat ini sangatlah kontra.

Dengan paparan di atas penulis memadukan pendekatan pemikiran empat

tokoh, yaitu menggunakan dua kitab tafsir; yang ditulis oleh Thabathaba’i (tafsir

8
Al-Mizan), kemudian yang ditulis oleh Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban dan

Martha Schulte Nafeh (tafsir Quran: A Reformist Translation). Kedua kitab tafsir

tersebut dirasa perlu diduetkan karena authornya sama-sama pakar filsuf dan

menyajikan penafsirannya sesuai dengan konteks kontemporer. Salah satu kitab

tafsir ini, di ambil dari tokoh Timur Tengah dan satunya lagi adalah tokoh Barat

yang termuda dengan pendekatan yang berbeda, bentuk tafsir yang berbeda dan

latar belakang yang berbeda membuat skripsi ini akan dirasa lebih empuk dan

komprehensif sesuai zaman baru-baru ini dalam penyelesaian rumusan masalah

pada skripsi ini. Adapun alasan penulis meneliti tafsir al-Mizan melalui authornya

Imam Thabathaba’i yang mencoba memberi pemahaman utuh akan arti

persaudaraan agama-agama. Dalam pandangannya Thabathabai menangkap dan

menawarkan ideal moral al-Qur’an yang dapat dijadikan jembatan hubungan

agama-agama di dunia, terutama Yahudi-Nasrani-Islam.10 Kemudian di

komparasikan dengan Tafsir Quran A Reformist Translation, karena tafsir ini

merupakan karya tafsir kolaborasi tiga orang, yaitu Edip Yuksel, Layth Shaleh al-

Shaiban, dan Marta Schulte-Nafeh dalam memahami teks suci agama Islam.

Sesuai dengan nama tafsirnya yaitu A Reformist Translation yang terdiri dari

kata Reformist dan Translation. Kata reformis merupakan suatu gerakan

pembaharuan dalam pemikiran Islam terutama yang menyangkut tentang

penafsiran Al-Qur’an. Gerakan ini menggunakan monotheism (tauhid) sebagai

aturan dasar bagi masyarakat dan merupakan dasar dari pengetahuan agama,

sejarah, metafisik, estetika dan etika, seperti halnya sosial, ekonomi dan aturan

10
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim dalam Tafsir
Al-Mizan, Bandung: Mizan Pustaka, 2016.

9
dunia.11 Kemudian kata Translation yang berarti terjemahan yang merupakan

salah satu metode komunikasi antar 2 orang atau kelompok yang ingin memahami

perkataan, konsep, maupun tulisan yang tidak mampu dipahami secara langsung

karena keterbatasan bahasa yang dimiliki. Dengan demikian, terjemah menjadi

sebuah sarana untuk memahami konsep pemikiran yang terkandung dalam sebuah

tulisan maupun perkataan tanpa harus menguasai bahasa yang digunakan. Pada

masa sekarang, terjemah banyak digunakan oleh berbagai kalangan untuk

memahami makna yang terkandung dalam sebuah karya tulis terutama yang

berhubungan dengan kitab suci, baik itu Al-Qur’an maupun Bible.

Apabila kedua kata di atas digabungkan “reformist translation” adalah

model penafsiran Al-Qur’an yang diajukan oleh kaum reformis Islam sebagai

kritik atas penafsiran-penafsiran terdahulu yang cenderung terikat pada tradisi

lokal dan memuat unsur kepentingan politik. Oleh karena itu, kaum reformis

menawarkan model penafsiran yang terlepas dari aturan, kepentingan, pengaruh,

dan ajaran-ajaran yang berasal dari tradisi Islam. Al-Qur’an adalah teks yang

hidup, wahyu Tuhan yang mengungkapkan dirinya sendiri tentang pesan-pesan

yang ingin disampaikan oleh Tuhan. Hal ini bisa berarti tafsir Qur’an bi al-

Qur’an dengan menggunakan logika dan bahasa Al-Qur’an.12

Pemilihan pada kedua tokoh di atas dengan pertimbangan bahwa kedua

tokoh tersebut dari generasi yang berbeda dan sama-sama sebagai ahli filusuf.

11
Teks aslinya berbunyi: “monotheism as an organizing principle for human society and
the basis of religious knowledge, history, metaphysics, aesthetics, and ethicsm as well as social,
economic, and world order.” Lihat en..m.wikipedia.org/wiki/Liberalism_and_progressivism_
within_Islam, diakses tanggal 18 Desember 2017 jam 19.30 wib.
12
Edip Yuksel, (dkk.), Quran A Reformist Translation (United State of America:
Brainbow Press, 2007), hlm. 11

10
Judul skripsi ini merefleksikan ketertarikan personal dan intelektual. Dari

berbagai kegalauan yang dialami setelah membaca berbagai literatur sejarah baik

dari sejarah penafsiran Al-Qur’an dan lintas agama-agama yang sebagiannya

dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas. Diskusi antaragama yang selalu

menyangkut ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat polemis ditranformasikan menjadi

ayat yang mendukung suatu gagasan toleransi dan perdamaian dari aspek

kehidupan masyarakat antaragama dengan menggunakan perangkat ayat-ayat

sumber polemik yang banyak dihindari oleh banyak sarjana.

Tentu saja, menghindari ayat-ayat polemik itu bukanlah solusi, karena

kenyataannya, itulah sumber dari banyak kebencian dan kekerasan yang dilakukan

atas nama agama.13 Al-Quran sebagai basis atau titik keberangkatan karena ia (al-

Qur’an dan juga kitab suci semua agama) adalah sumber yang paling potensial

untuk menjelaskan dan mengembangkan berbagai wacana yang berkaitan dengan

isu keagamaan termasuk ayat polemik yang mendatangkan hal yang

negatif/petaka, konflik, provokasi dan bahkan permusuhan antar agama apabila

dipahami dengan pemahaman yang salah. Hanya dengan pemahaman yang

komprehensif dan utuh terhadap Kitab Suci, pokok-pokok ajaran agama akan

dapat ditemukan secara lebih jelas dan jernih, yang pada dasarnya sangat kondusif

untuk dialog antar agama dan wacana “keberagamaan manusia”.14 Inilah latar

belakang yang mendorong penulis melakukan kajian ini: untuk mengkontruksi

kembali pandangan al-Qur’an tentang “orang lain” the other, khususnya Yahudi

13
Dikutip dari Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an
terhadap Agama Lain, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm. x
14
M. Amin Abdullah, Study Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), hlm 63.

11
dan Nasrani, sekaligus sebagai kriitik diri (self criticsm) bagi kaum Muslim, dan

juga untuk menyumbang tambahan khazanah pemikiran yang dapat dijadikan

pertimbangan dalam memposisikan diri atau membuat pemetaan diri di tengah-

tengah kehidupan global dengan cara yang lebih “berwawasan”.

B. Rumusan Masalah

Yahudi dengan kaum minoritas (dibanding Islam dan Nasrani) mampu

menggenggam dunia dengan mempermainkan peta politiknya laksana papan catur

sekehendak hatinya, mungkin ada bahaya yang mengintai dan berupaya

memporak-porandakan peradaban dunia. Yahudi, dihampir seluruh dunia Arab

dan Muslim, telah menjadi simbol segala kejahatan “Yahudi bangsa terkutuk”

demikian dominan mempengaruhi pikiran kebanyakan Muslim dewasa ini.

Nasrani, dengan konsep agama yang berbeda daripada ajaran Nabi Isa as. (Trinitas

ketuhanan), menganggap bahwa dia adalah anak Tuhan yang berkorban untuk

semua umat Nasrani kemudian nantinya dijanjikan masuk surga karena kasih-Nya

Tuhan Bapa Yesus. Nasrani juga menyatakan Nabi Isa as. adalah Yesus yang

disalib (hukum mati) atas penebusan dosa-dosa umat tersebut. Hal ini

mengakibatkan penulis mencari legitimasi kebenaran agama tersebut dengan

merujuk pada al-Qur’an dengan segala penakwilannya dengan menelisik ke dalam

teks ayat dari kitab suci. Jika Yahudi adalah terkutuk (dimurka)15 dan Nasrani

adalah sesat16, bukanlah—sebagai konsekuensi logisnya—berarti dunia

dibersihkan dari jenis masyarakat atau bangsa tersebut? Apakah tidak

bertentangan dengan al-Qur’an itu sendiri yang tidak membeda-bedakan manusia

15
QS. Al-Fatihah [1]: 7
16
ibid

12
atas dasar suku bangsa,17 tidak memaksa manusia memeluk agama?18 Atas dasar

pertanyaan dan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan menjadi

beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah muncul dan perkembangan Yahudi-Nasrani pada Masa

pra Islam, lahirnya Islam, masa kini?

2. Bagaimana penafsiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk. terhadap pembahasan

QS. 2 : 62 dan QS. 2 : 120 tentang Yahudi dan Nasrani?

3. Bagaimana relevansi penafsiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk. tentang

Yahudi dan Nasrani terhadap perdamaian atas konflik keberagamaan konteks

kekinian?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk

menjawab tiga hal:

1. Menjelaskan sejarah muncul dan perkembangan Yahudi-Nasrani pada Masa

pra Islam, lahirnya Islam, masa kini.

2. Menjelaskan penafsiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk. terhadap

pembahasan QS. 2 : 62 dan QS. 2 : 120 tentang Yahudi dan Nasrani.

3. Menjelaskan relevansi penafsiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk. tentang

Yahudi dan Nasrani terhadap perdamaian atas konflik keberagamaan konteks

kekinian.

17
QS. Al-Hujurat : 13
18
QS. Al-Baqarah : 256

13
D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi Penulis

a. Memberikan wawasan baru tentang agama Yahudi dan Nasrani

perspektif Al-Qur’an yang dikontruksikan kembali dengan konteks

histori dan konteks kontemporer.

b. Memberikan konstribusi terhadap studi tentang agama Yahudi dan

Nasrani perspektif Al-Qur’an.

c. Memperkaya wawasan khazanah keilmuan tafsir dan pengembangan

penelitian sejenis dalam hal agama, yaitu Yahudi dan Nasrani.

2. Bagi IAIN Salatiga menambah literatur pengetahuan bagi mahasiswa

khususnya Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Salatiga

3. Bagi Pembaca

a. Memberikan sebuah bacaan yang mampu memberikan jawaban atas

kegelisahan mengenai agama Yahudi dan Nasrani perspektif Al-

Qur’an yang sesuai dengan konteks kontemporer.

b. Mengenalkan kepada pembaca tentang agama Yahudi dan Nasrani

perspektif Al-Qur’an.

c. Menambah wawasan dan pemahaman yang jernih kepada masyarakat

Islam mengenai agama Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an untuk

membantu kaum Muslim khusunya dalam menata hubungan yang

lebih kooperatif untuk membangun masa depan yang lenih damai.

14
d. Menciptakan perdamaian antar agama-agama atas dasar problematika

fundamental dan radikal oleh para kelompok yang sempit wawasan

dari para pelaku truth claim (golongan fanatisme)

E. Survey Literatur

Adapun karya yang relevan dengan proyek penelitian ini adalah:

1. Persaudaraan Agama-Agama Millah Ibrahim dalam Tafsur Al-Mizan.

Buku ini akan menjadi sumber bagi tulisan ini terhadap pembahasan

pandangan Thabathaba’i tentang Agama Yahudi dan Nasrani berupa sikap

dan perilakunya, macam-macam ahli kitab dan dampak kekafirannya

secara sosio-religius.19

2. Isa Putra Maria dalam Injil dan Al-Qur’an, dalam buku ini dibahas

menganai sejarah tentang kelahiran pembawa agama Nasrani yaitu Isa

Almasih.20

3. Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis Atas Kritik Al-Qur’an terhadap

Agama Lain. Karya ini merupakan buku pertama yang memberikan

penulis ide dalam membuat judul skripsi ini, dan merupakan buku pertama

yang menggali ayat-ayat al-Qur’an yang membahas agama lain—termasuk

Yahudi dan Nasrani—dengan sudut pandang tafsir modern. Polemik Kitab

Suci bukan hanya memperkaya kajian mengenai tingkat kesulitan yang

dihadapi para Muslim Reformis dalam menafsirkan teks-teks kitab suci,

19
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim dalam Tafsir
Al-Mizan, Bandung: Mizan Pustaka, 2016, hlm. iv-x
20
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an, Tangerang: Lentera
Hati, 2011, hlm. xxxii

15
tapi juga memperdalam tentang reformasi Islam, tafsir dan keragaman

Agama.21

4. Berperang demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam Kristen dan

Yahudi, dari buku ini penulis mendapatkan informasi mengenai sejarah

agama orang Yahudi: para pendahulu, agama orang Islam: semangat

konservatif dan agama orang Kristen: menantang dunia baru.22

5. Al-Qur’an Mengungkap tentang Yahudi: dari literatur ini membahas

tentang watak, sifat dan perilaku buruk bangsa Yahudi menurut Al-Quran

secara tekstual.23

6. Fakta dan Data Yahudi di Indonesia Dulu dan Kini: buku ini membahas

secara kontekstual makna ayat yang membahas Yahudi dan Nasrani yang

ada di Indonesia secara aktual.24

7. “Islam’s Attitude Toward Judaism” ini merupakan judul tulisan Fazlur

Rahman. Fazlur Rahman berargumen bahwa al-Qur’an telah menempatkan

kaum Yahudi dan Nasrani sebagai komunitas yang memiliki dokumen

wahyu sendiri dan dipanggil dengan nama “ahl al-Kitab”. Mereka diajak

untuk melaksanakan ajaran Taurat dan mereka diberikan otonomi sendiri

dalam hal agama dan budaya. Namun al-Qur’an terus mengajak mereka

21
Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an terhadap
Agama Lain, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm. XXV
22
Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan
Yahudi, Bandung: Mizan, 2013, hlm. 5
23
Rizem Aizid, Al-Qur’an Mengungkap tentang Yahudi, Yogyakarta: DIVA Press, 2015,
hlm. 17-18
24
Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara, Fakta dan Data Yahudi di Indonesia Dulu dan
Kini, Jakarta: Al-Kautsar, 2006, hlm. VIII

16
kepada Islam dan memandang Yesus sebagai seorang Nabi.25 Fazlur

Rahman juga dengan tegas menyatakan sangat menyayangkan situasi

politik yang telah menimbulkan kondisi yang sangat tidak kondusif bagi

persahabatan Islam-Yahudi sejak pendirian negara Israel, di mana Barat

sangat berperan dalam menciptakan atmosfer ini. Padahal sekitar tiga belas

setengah abad setelah zaman kenabian, hubungan kedua umat ini bukan

hanya damai tetapi juga sangat kooperatif dan bermakna.26

8. Konspirasi Yahudi, buku ini membahas tentang sejarah Yahudi baik nenek

moyangnya dan lahirnya zionis negara Yahudi serta pengaruh agama

Yahudi terhadap Eropa, Amerika dan Asia di zaman kontemporer ini.27

9. Ibrahim Bapak Semua Agama: Sebuah Rekontruksi Sejarah Kenabian

Ibrahim dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Buku ini membahas mengenai

sosio-historis silsilah nabi Ibrahim dan keturunanya dan sosio-geografis

pada zaman dahulu.28

10. Status Agama Pra Islam, Kajian Tafsir Al-Quran atas Keabsahan Agama

Yahudi dan Nasrani setelah Kedatangan Islam. Buku ini membahas secara

barani dan mampu menjawab pertanyaan seputar hubungan agama-agama,

bahwa Islam tidak menghapus agama-agama sebelumnya.29

25
Fazlur Rahman, “Islam’s Attitude Toward Judaism,” The Muslim World, no. 1, vol.
LXXII, January 1982, hlm. 5.
26
Ibid, hlm. 6
27
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi, Jakarta: Saufa, 2014, hlm, 3-6
28
Iqbal Harahap, Ibrahim Bapak Semua Agama: Sebuah Rekontruksi Sejarah Kenabian
Ibrahim Dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati, 2014, hlm. 2-4
29
Sa’dullah Affandi, Menyoal Status Agama Pra Islam, Kajian Tafsir Al-Quran atas
Keabsahan Agama Yahudi dan Nasrani setelah Kedatangan Islam, Bandung: Mizan, 2015, hlm.
237.

17
11. Kebohongan Sejarah yang Menggemparkan, buku ini sangat

berkonstribusi terhadap tulisan ini dan sebagai pemerkaya wawasan

penulis dalam menggali sejarah kebohongan yang dibuat oleh para

pembohong yang terstruktur atas nama agama Yahudi dan Nasrani

terhadap Islam.30

12. Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, buku ini membahas tentang

keselamatan masuk surga, laknat sebagai pengecualian: argumentasi

Ghazali, semua jalan menuju Tuhan: argumentasi Ibnu Arabi, penebusan

umat manusia: argumentasi Ibnu Taimiyah, melintas batas keberagaman

pluralisme dan universalitas kehati-hatian: Rasyid Ridha dan Sayyid

Qutb.31

13. Agama-agama Besar Masa Kini, buku ini memuat tentang sejarah-sejarah

agama termasuk agama Yahudi dan Nasrani, dari buku ini penulis

menemukan wawasan yang dijadikan pembanding dari buku-buku sejarah

di atas agar pembahasan skripsi ini lebih komprehensif dan luas.32

14. Agama untuk Manusia, buku ini menghadirkan dan meningkatkan

pemahaman serta kerjasama antar pemeluk agama yang berbeda dari

sepuluh tulisan tokoh agama. Dengan pembahasan tersebut dapat

memberikan pengalaman penulis dalam memperluas dan mempertajam

analisis skripsi ini dalam menjawab rumusan masalah.33

30
Majdi Husain Kamil, Kebohongan Sejarah yang Menggemparkan: Rahasia Di Balik
Konspirasi Yang Mengguncang Dunia, Bandung: Mizan, 2015, hlm. 5-6.
31
Mohammad Hasan Khalil, Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, Bandung:
Mizan Pustaka, 2016.
32
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011).
33
Ali Noer Zaman, Agama untuk Manusia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2016, Cet II.

18
15. Perbandingan Agama, buku ini memuat tentang uraian beberapa agama,

terutama agama yang diakui pertumbuhan dan perkembangannya di

Indonesia.34

Sangat banyak tulisan, baik yang dikerjakan oleh para sarjana Muslim

maupun non-Muslim, tentang Yahudi dan Nasrani dalam kaitanya dengan Islam,

Nabi Muhammad dan al-Qur’an. Namun sepanjang pengetahuan penulis, belum

pernah diteliti atau ditemukan yang secara komparatif membicarakan topik ini

dalam perspektif tafsir al-Qur’an, dengan melihat langsung apa kata kitab suci ini

tentang Yahudi dan Nasrani melalui tafsir Al-Mizan karya Thabathaba’i dari Iran

dan Tafsir Reformis yaitu kitab tafsir yang diberi nama Quran: A Reformist

Translation karya Edip Yuksel, Layth Shaleh al-Shaiban, dan Marta Schulte-

Nafeh dari Turki yang memberikan elaborasi dan analisa mendalam antara dua

mufasir. Kedua mufasir tersebut juga berbeda asal kelahiran serta kondisi sosial,

agama, budaya dan karakter keilmuannya.

F. Metode Penelitian

Dalam setiap penelitian ilmiah, untuk lebih terarah dan rasional diperlukan

suatu metode yang sesuai dengan obyek yang dikaji, karena metode merupakan

cara bertindak supaya berjalan terarah dan mencapai hasil yang memuaskan.35

Apakah ada metodologi terbaik dalam memahami al-Qur'an? Ketika ditanya

tentang tafsir al-Qur'an yang paling baik, Hasan al-Banna menjawab: "Hatimu!

Hati orang Mukmin adalah tafsir terbaik terhadap Kitab Allah." Kemudian al-

Banna melanjutkan: "dan metode pemahaman [al-Qur'an] yang paling mendekati

34
Jirhanuddin, Perbandingan Agama: Pengantar Studi Memahami Agama-agama,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2016)
35
Anton Bakker, Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. I0.

19
[kebenaran] adalah dengan jalan seseorang membacanya dengan tadabbur

(penuh perhatian/konsentrasi) dan khusyu' (tunduk/penuh penghayatan) serta

memohon petunjuk dari Allah disertai dengan kesungguhan mengerahkan seluruh

kemampuan pikiran pada saat membacanya."36 Lebih jauh al-Banna menekankan

pentingnya pemahaman terhadap sejarah hidup Nabi dan sejarah turunnya al-

Qur'an untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap ayat-ayat al-

Qur'an. "Pemahaman" itu, kata al-Banna, adalah cahaya yang terpancar dari lubuk

hati.37

Metode pemahaman yang dilakukan Al-Banna termasuk di antara kata

kunci dalam pengertian hermeneutika bangsa Barat, yang menjelaskan bahwa

pada dasarnya seperti itulah sketsa metodologi yang penulis ingin terapkan untuk

penelitian ini. Penulis sepakat dengan al-Banna dalam hal memberikan kebebasan

dan ruang gerak yang longgar bagi penafsir atau mufassir untuk mengekspresikan

apa yang ia pahami dari al-Qur'an. pada prinsipnya bahwa setiap "mukmin"

memiliki kapasitas untuk memahami al-Qur'an; dan kapasitas tersebut sangat

ditentukan oleh proses dialektika seseorang dengan sejarah, lingkungan sosial dan

peradaban. Dengan jalan demikian, tafsir ayat-ayat al-Qur’an merupakan produk

hermeneutika, produk dari kesadaran subjektif seseorang untuk memberi makna

terhadap teks, serta produk yang merupakan bagian dari sejarah dan peradaban itu

sendiri.

Metode selanjutnya adalah menggunakan metode deskriptif-analitik yaitu

suatu bentuk penelitian yang meliputi proses pengumpulan dan penyusunan data,

36
Hasan al-Banna, Risalatan fi al-Tafsir wa Surah al-Fatihah, (Beirut Mansyiirat al-'Ashr
al-Hadith, 1972), hlm. 36.
37
Ibid, hlm 37

20
kemudian data yang sudah terkumpul dan tersusun tersebut dianalisis sehingga

diperoleh pengertian data yang jelas.38

Adapun metode yang digunakan untuk mengolah dan menganalisa data

dalam penelitian ini adalah gabungan antara metode deduktif induktif komparatif,

metode deduktif digunakan dalam rangka memperoleh gambaran tentang detail-

detail pemikiran kedua mufassir yang disebutkan di atas dalam menafsirkan ayat

ayat tentang Yahudi dan Nasrani. Metode induktif digunakan dalam rangka

memperoleh gambaran utuh tentang penafsiran kedua mufassir, sedangkan

komparatif dipakai untuk membandingkan penafsiran kedua mufassir tersebut.

1. Model Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu sebuah metode penelitian yang

berlandaskan inkuiri naturalistik, perspektif ke dalam dan interpretatif. Inkuiri

naturalistik adalah pertanyaan dari penulis terkait persoalan yang sedang

diteliti. Perspektif ke dalam adalah sebuah kaidah dalam menemukan

kesimpulan khusus yang pada mulanya didapatkan dari pemahaman umum.

Interpretatif penafsiran yang dilakukan untuk mengartikan maksud dari suatu

kalimat, ayat, atau statemen (pernyataan).

2. Bentuk Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu suatu

penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya, dengan cara

pengumpulan data suatu masalah melalui kajian literatur yang berkaitan

dengan pembahasan. Dalam hal ini, masalah yang akan diteliti, ditelusuri

38
Winarno Surakhmat, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandimg: Tarsito, 1998), hlm. l39-
140.

21
melalui ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan masalah Yahudi dan

Nasrani yang bersumber dari dua kitab tafsir.

3. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Data yang berkaitan langsung dengan tema skripsi dikumpulkan oleh

penulis dari sumber utama penelitian ini, yaitu karya Thabathaba’i tafsir

Al-Mizan39 dan karya Edip Yuksel, Layth Shaleh al-Shaiban, dan Marta

Schulte-Nafeh tafsir A Reformist Translation40 sebagai sumber primernya,

yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah QS. 2 : 62 dan QS. 2

: 120 tentang agama Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder secara tidak langsung merupakan referensi yang

berkaitan dengan tema penelitian, namun referensi tersebut berfungsi untuk

mendukung dan memperkuat data dalam penelitian.

Sumber-sumber data sekunder yang penulis gunakan di antaranya

adalah beberapa kitab tafsir, kitab-kitab ulum al-Qur’an, buku-buku sejarah

agama Yahudi maupun Nasrani dan buku-buku yang relevan dengan tema

skripsi yang penulis teliti. Dan tanpa melupakan karya-karya yang lebih

dulu yaitu buku-buku yang telah disebutkan dalam survey literatur di atas,

sebagai sumber yang sangat menopang skripsi ini dan menjadi literatur

39
Al-Thabataba’i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-A’lam li al-
Matbu’at, 1411 H/1991 M).
40
Edip Yuksel, (dkk.), Quran A Reformist Translation (United State of America:
Brainbow Press, 2007).

22
pedoman dalam wawasan-wawasan kemudian pemahaman-pemahaman

yang sangat berharga.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan tehnik dokumentasi,

yaitu mencari dan mengumpulkan data primer dan sekunder dari penelitian

kitab-kitab ulama atau karya-karya cendekiawan yang bisa dijadikan literatur,

serta dipandang relevan untuk menunjang penelitian ini. Dengan cara mencatat

data-data tertentu yang dianggap penting dari beberapa literatur, kemudian

mengolah dan mengklasifikasi data-data tersebut sesuai dengan sistematika

pembahasan yang ada.

5. Pengolahan Data

Dalam pengolahan data yang telah dikumpulkan, penulisan atau penelitian

ini melakukan beberapa langkah, yaitu:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali data-data yang diperoleh dari segi

kelengkapan, kejelasan, kesesuaian, relevanasi, dan keragamannya.

b. Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematisasikan data-data

yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan

sebelumnya sesuai dengan rumusan masalah

c. Penemuan hasil penelitian, yakni melakukan analisis lanjutan terhadap

hasil penyusunan data dengan menggunakan kaidah-kaidah, teori dan

metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan (inferensi)

tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah.

23
6. Analisis Data

Tujuan utama mengadakan analisis data adalah melakukan pemeriksaan

secara konsepsional atas makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang

digunakan dan pernyataan-pernyataan yang dibuat. Di sini dibutuhkan kejelian

dan ketelitian dalam membaca data.

Setelah data yang diperlukan terkumpul, baik dari sumber primer maupun

sumber sekunder, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data dengan

menggunakan metode deskriptif-analitis. Metode ini digunakan untuk

memaparkan data-data yang diperoleh dari literatur-literatur yang ada

korelasinya dengan masalah yang diteliti, kemudian diadakan analisis dan

menafsirkan data tersebut secara apa adanya.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, sistematika pembahasan yang disusun oleh peneliti

adalah: Bab pertama, pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, survey literatur, metode

penelitian, sistematika penulisan.

Bab kedua, membahas sejarah munculnya Yahudi-Nasrani pada masa pra

Islam dan lahirnya Islam dengan mengungkapkan histori pembawa agama

Yahudi-Nasrani, serta perkembangan agama Yahudi-Nasrani dewasa ini.

Bab ketiga, dibahas mengenai biografi singkat Thabathaba’i, Edip Yuksel,

dkk. metode dan corak penafsiran serta penafsirannya melalui teks dan konteks

diskursus penafsiran tentang Yahudi-Nasrani.

24
Bab keempat, analisis terhadap pandangan Thabathaba’i, Edip Yuksel,

dkk. dari teks-konteks ayat tentang Yahudi-Nasrani yang ditafsirkannya dan

relevasninya terhadap perdamaian atas konflik keberagamaan.

Bab kelima, penutup yang terdiri dari kesimpulan pembahasan yang

dikemukakan dari awal hingga akhir sekaligus menjawab yang menjadi

pertanyaan pada rumusan masalah dan saran.

Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka.

25
BAB II

SEJARAH MUNCULNYA AGAMA YAHUDI-NASRANI PADA MASA

PRA ISLAM, LAHIRNYA ISLAM DAN MASA KINI

A. Sejarah dan Perkembangan Agama Yahudi

1. Masa Pra-Islam dan Lahirnya

Para ahli Ilmu Agama mengungkapkan bahwa kisah Agama Yahudi

berawal dari peristiwa hijrah dan Perjanjian. Peristiwa hijrahnya Ibrahim dari

kota Ur di Chaldea (Babilonia) ke daerah “Kana’an” (kini Palestina) sekitar

Tahun 2000 SM. merupakan awal sejarah Agama Yahudi. Pada saat itu

kekaisaran Babilonia dipimpin oleh Hamurabi dan pada saat yang sama

kekaisaran Mesir sedang memperluas daerah kekuasaannya.41

Agama Yahudi adalah agama yang diajarkan oleh nabi Ibrahim, yaitu

bahwa Tuhan itu hanya satu. Dari segi keturunan agama ini juga diajarkan oleh

keturunan nabi Ibrahim, yaitu nabi Musa bin Imran yang mempunyai garis

keturunan Musa bin Imran bin Qahat bin Lewi/Levi bin Ya’kub bin Ishak bin

Ibrahim.42 Mengetahui sejarah agama Yahudi sebaiknya dimulai dari nabi

Ibrahim, bukan langsung dari nabi Ya’kub sebagai ayah 12 kepala suku yang

membentuk agama Yahudi,43 namun kita mulai dari nabi Ibrahim sebagai

bapak semua agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam).

41
Ilim Abdul Halim, Agama Yahudi sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan, Jurnal
Agama dan Lintas Budaya (Vol 1, 2 Maret 2017), hlm. 137.
42
Majdi Husain Kamil, Kebohongan Sejarah yang Menggemparkan: Rahasia Di Balik
Konspirasi Yang Mengguncang Dunia, Bandung: Mizan, 2015, hlm. 77.
43
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011),
hlm. 145

26
Nabi Ibrahim adalah keturunan kesepuluh dari nabi Nuh yang lahir melalui

Sam. Silsilah lengkapnya adalah Ibrahim bin Tarih (Azar) bin Nahur bin Saruj

bin Ra’u bin Falij bin ‘Abir bin Syalih bin Arfaksyad bin Sam bin Nuh. 44 Nabi

Ibrahim lahir di Babilonia-Irak sekitar 1997 SM. Dia diusir oleh raja Namrud

dari kota kelahiranya karena dia menentang agama kepercayaan Namrud yang

saat itu juga menjadi sebagai Tuhan. Dia bersama keluarga dan pengikutnya

pergi ke Hara-Siria dan akhirnya menetap di Kana’an-Palestina. Tatkala

Kana'an mengalami masa kekeringan yang panjang, dia, keluarganya, dan para

pengikutnya pindah ke Mesir yang tanahnya lebih subur. Di Mesir ini dia

mudah mencari penghidupan. Saat itu Sarah tidak berani mengaku bahwa

Ibrahim adalah suaminya, tetapi hanya kakaknya. Karena kalau ketahuan

bahwa dia adalah suaminya, tentu dia akan dibunuh raja Mesir. Hal ini karena

raja tersebut suka berbuat demikian terhadap para suami yang isterinya

dikehendakinya. Tetapi maksud raja terhadap Sarah itu tidak pernah tercapai.

Karena di istana, setiap kali ia ingin menyentuh Sarah tangannya menjadi

lumpuh, dan sembuh kembali bila dia dikembalikan pada Ibrahim. Akhirnya

Sarah dikembalikan kepada Nabi Ibrahim seterusnya, dengan disertai banyak

harta dan seorang pembantu bernama Siti Hajar. Selanjutnya Nabi Ibrahim

bersama dengan seluruh pengikutnya, kekayaannya, isterinya-Sarah, dan

pembantunya-Siti Hajar, kembali ke Kana'an. Di Kana'an, karena tak kunjung

punya anak, maka Sarah meminta kepada Nabi Ibrahim agar mengawini Siti

Hajar. Dari perkawinan ini maka lahirlah Nabi Ismail, yang nantinya kawin

44
Iqbal Harahap, Ibrahim Bapak Semua Agama: Sebuah Rekontruksi Sejarah Kenabian
Ibrahim Dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati, 2014, hlm. 39.

27
dengan gadis bangsawan Makkah dari suku Jurhurn, dan tinggal di Makkah.

Kira-kira empat belas tahun setelah kelahiran Ismail, Sarah melahirkan seorang

putra yang diberi nama Ishak.45

Dalam tradisi Yahudi dari keturunan Ibrahim yang meneruskan perjanjian

itu adalah Ishak. Sebagaimana disebutkan Tuhan memberkati Ismail, tetapi

menjanjikan Ibrahim dan Sarah yang kelak anaknya bernama Ishak akan

menjadi anak Ibrahim yang tetap berhubungan dalam perjanjian dengan Tuhan

(Kejadian 17:20).46

Bagi Ismael, Aku telah memperhatikan kamu dan dengan ini Aku
memberkatinya. Aku akan membuatnya subur dan tak terkira banyaknya.
Dia akan menjadi seorang Bapak dari duabelas suku, dan Aku akan
membuatnya bangsa besar. Namun mengenai perjanjian-Ku, Aku akan
memelihara Ishak yang dengan Sarah akan melahirkan kamu pada tahun
berikutnya.
Alasan Ismael tidak diikutsertakan dalam perjanjian itu tidak pernah

dijelaskan dalam Bibel. Para ahli cenderung percaya bahwa tujuan cerita ini,

seperti banyak cerita lainnya dalam kitab Kejadian, adalah untuk menjelaskan

hubungan etnik dan bahasa yang erat antara orang Israel dan orang-orang di

antara mereka yang hidup. Dalam kitab Kejadian 21, Hajar dan Ismael dikirim

jauh dari suku Ibrahim, sedikit sekali terdengar soal Ismael dan keturunannya

dalam Bibel. Menurut tradisi Yahudi, Ibrahim memelihara hubungan dengan

anaknya Ismael namun Agama Yahudi tidak mengetahui sesuatu pun soal

Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 146


45
46
Ilim Abdul Halim, Agama Yahudi sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan, Jurnal
Agama dan Lintas Budaya (Vol 1, 2 Maret 2017), hlm. 138.

28
Ibrahim dan Ismael membangun Ka’bah, dan Ibrahim menetapkan Ismael dan

keturunannya di sana.47

Nabi Ishak ini mempunyai dua orang anak yaitu Aishu dan Yakub, dan

tinggal di Kana’an. Nabi Yakub inilah yang melalui ke-12 anak lelakinya, telah

menurunkan bangsa Yahudi.48 Berikut adalah silsilah anak Nabi Ya’kub

melalui empat istrinya:

1. Lea mempunyai anak Robbin, Syam’un, Lewi/Levi, Yahuda, Yassakir,

dan Zaboolan

2. Rahel mempunyai anak Yusuf dan Benyamin

3. Zilfa mempunyai anak Gad dan Asyir

4. Belha mempunyai anak Naftali

Silsilah nabi Ya’qub sebagai berikut:49


Ibrahim

Ismail (Hajar) Ishaq (Sarah)

(Hijaz) Arab (Kana’an) Yahudi

Aishu

Ya’qub (Israel) mempunyai empat


orang istri, yaitu Lea, Rahel, Zilfa dan
Belha.

47
Lihat Al-Qur’an 2:125-128,395-397, dan 14;37.
48
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 146
49
Syalabi, Sejarah Yahudi dan Zionisme, Alih bahasa Anang Rikza Masyhadi, dkk.
(Jakarta: CV Arti Bumi Intaran, 2005), hlm. 10-15.

29
Keturunan Yakub selanjutnya adalah Yusup (Yoseph). Cerita Yusup ini

menarik bagi para penganut agama Yahudi dan Islam. Cerita Yusup dengan

saudara-saudaranya terdapat dalam Bibel dan al-Qur’an. Dalam sejarah Yahudi

tercatat bahwa menjelang tahun 1600 S.M., Yoseph membawa bangsa Yahudi

menuju Mesir. Sekitar tahun 1200 S.M., yang saat itu Firaun (Pharoh-pharoh)

memperbudak mereka.50

Yahudi merupakan nama yang diberikan kepada setiap orang yang

meyakini agama Yahudi. Istilah ini diambil dari nama Yahudia (anak-anak dari

nabi Ya’qub) Referensi Yahudi menyebutkan Yahuda lebih penting dari pada

Yusuf.51 Beberapa faktor yang menyebabkan referensi Yahudi tersebut

melebihkan Yahuda dari pada Yusuf adalah:

1. Yahuda memainkan peran yang sangat besar dalam melindungi Yusuf dari

pembunuhan

2. Yahuda yang meyakinkan Ya’qub untuk membawa Benyamin dalam kasus

kelaparan menimpa negeri Kana’an.

3. Yahuda dan anak keturunannya mendapatkan kerajaan.

Suatu ketika Yusuf, putra Yakub, dimasukkan ke dalam sumur tua oleh

saudara-saudaranya, karena mereka menilai ayah mereka, Yakub, terlalu

sayang kepadanya, sehingga mereka menjadi iri hati. Dari dalam sumur Yusuf

diambil oleh serombongan kafilah yang lewat, dan dijual kepada salah seorang

pembesar negara Mesir, yang karena pembesar itu tidak mempunyai anak,

50
Ilim Abdul Halim, Agama Yahudi sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan, Jurnal
Agama dan Lintas Budaya (Vol 1, 2 Maret 2017), hlm. 138.
51
Torpin dan Khotimah, Agama Katolik dan Yahudi : Sejarah dan Ajaran, (Riau : Daulat
Riau, 2012), hlm. 165-167.

30
maka mengangkatnya sebagai anak. Ini terjadi pada 1750 SM. Karena terlalu

tampannya Yusuf, maka ibu angkatnya itu jatuh cinta kepadanya. Tetapi Yusuf

menolaknya, sehingga marahlah ibu itu, dan dia dipenjara. Setelah bisa

menghindari api asmara dari ibu angkatnya, dan terbebas dari hukuman penjara

yang merupakan akibat fitnah terhadap dirinya, maka karena kemampuannya

dalam meramal mimpi raja yang berkaitan dengan nasib negara, akhirnya

Yusuf diangkat sebagai menteri urusan pangan Mesir. Sewaktu Kana'an

mengalami kekeringan, saudara-saudara Nabi Yusuf disuruh oleh bapaknya

untuk membeli gandum di Mesir. Mereka ketemu Nabi Yusuf, dan akhirnya

seluruh keluarga Nabi Yakub pindah ke Mesir.52

Di Mesir mereka ditempatkan di tanah milik negara yang subur. Mereka

bisa hidup dengan baik, jumlah mereka semakin banyak, tetapi adat-istiadat

dan agama mereka tetap terpisah dari adat-istiadat dan agama orang Mesir.

Sehingga lama-kelamaan orang Mesir menjadi benci kepada mereka, dan

mengusahakan agar mereka dijadikan budak saja bagi bangsa Mesir. Tetapi

setelah dijadikan budak, tetap saja jumlah mereka berkembang terus, sehingga

orang Mesir khawatir suatu ketika mereka akan melawan. Untuk menghindari

hal itu, kerajaan Mesir membuat peraturan bahwa setiap bayi laki-laki Yahudi

harus ditenggelamkan, sedangkan bayi perempuan boleh hidup supaya

nantinya menjadi istri orang Mesir. Dalam masalah ini Musa bin Imran (bayi

laki-laki Yahudi) yang dimasukkan ke dalam peti, dan petinya dilempar ke

dalam sungai, peti itu mendekati tempat pemandian putri raja Mesir. Peti itu

52
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 146-147

31
diambil putri raja, dan bayinya diambil sebagai anak angkat raja Mesir.

Walaupun mereka tahu bahwa bayi itu adalah bayi Yahudi, setelah dewasa

suatu ketika Musa harus melarikan diri dari kejaran pemerintah Mesir karena

dia telah membunuh seorang Mesir yang menghina dan berkelahi dengan orang

Yahudi. Dalam pelariannya, oleh Tuhan dia diangkat sebagai seorang nabi bagi

bangsa Yahudi. Maka ia pun berusaha membebaskan bangsa Yahudi dari

penindasan bangsa Mesir.53

Nabi Musa (Moses) yang merupakan keturunan dari Nabi Yusup

memimpin bangsa Yahudi meninggalkan Mesir untuk menyelamatkan diri dari

kejaran raja Fir'aun dan bala-tentaranya menuju Palestina. Ketika Nabi Musa

wafat, mereka belum bisa memasuki pintu wilayah Palestina.54 Peristiwa ini

dalam tradisi Yahudi disebut exodus (keluaran) yang dijadikan nama salah satu

Kitab dari Bibel. Dalam peristiwa ini Musa diyakini oleh penganut Yahudi

mendapatkan ajaran berupa wahyu dari Tuhan di bukit Sinai. Kelak wahyu

tersebut dijadikan Kitab Suci oleh penganut Yahudi. Selama empat puluh55

tahun mengem-bara di gurun bangsa Yahudi mengalami berbagai pengalaman

keagamaan. Bibel sering menggambarkan bangsa Israel tidak mampu untuk

berbuat sesuai dengan perintah Tuhan. Di tengah gurun mereka menyembah

Anak Lembu Emas (Kitab Keluaran 32) gagal meyakinkan Tuhan untuk masuk

ke Negeri yang dijanjikan setelah mendengar laporan dari duabelas pengintai

53
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 147-148
54
William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta : Al-Kautsar, 2004), hlm. vii-
ix.
55
Hal ini dimaksudkan “selama 40 tahun tidak bisa memasuki negeri Palestina”. Mereka
hanya bisa berputar-putar di sekitarnya, dan baru bisa menguasai daerah itu setelah 40 tahun
berputar-putar. Lihat Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 148

32
(Kitab Bilangan 12-13), dan secara berulang-ulang mengadukan nasib mereka.

Ritual keagamaan ini merupakan pengaruh dari kepercayaan bangsa Mesir,

sebagaimana seorang penulis Kristen,56 Richard Rives dalam Buku Too Long

in the Sun, menulis, “Hathor dan Aphis adalah dewa-dewa sapi betina dan

jantan bangsa Mesir yang merupakan lambang dari penyembahan matahari.

Penyembahan mereka hanyalah satu tahapan dalam sejarah pemujaan matahari

oleh bangsa Mesir. Anak sapi emas di Gunung Sinai adalah bukti yang lebih

dari cukup untuk mengetahui bahwa pesta yang dilakukan berhubungan dengan

penyembahan matahari.”57

Mereka baru bisa memasuki tanah Palestina dari Sinai, dan menguasai

Yerusalem kira-kira pada tahun 1000 SM.58 Yaitu di bawah pimpinan Yoshua.

Selamatnya bangsa Yahudi di bawah pimpinan Nabi Musa dari cengkeraman

Farao Ramses II, raja Mesir abad ke-13 SM itu disebabkan oleh pertolongan

Tuhan. Dalam hubungan ini kitab Keluaran menyebutkan bahwa karena rahmat

Tuhan, maka bangsa Israel diselamatkan dari penindasan bangsa Mesir.59

Setelah Yoshua, terdapat pemerintahan hakim-hakim yang sebenarnya

merupakan pahlawan-pahlawan suku jumlah mereka 12, dan yang terakhir

adalah Samuel. Setelah Samuel ini, orang-orang Yahudi memilih raja mereka,

yaitu Saul. Pada rajanya yang kedua, yaitu Daud (1012-972 SM), semua suku-

suku Yahudi bersatu, sehingga bangsa Yahudi menjadi bangsa yang kuat.60

56
Ilim Abdul Halim, Agama Yahudi sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan, Jurnal
Agama dan Lintas Budaya (Vol 1, 2 Maret 2017), hlm. 138-139.
57
Richard Rives, Too Long in The Sun (Partakers Pub, 1996), hlm. 130-131.
58
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi, Jakarta: Saufa, 2014, hlm. 19.
59
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 148.
60
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 149.

33
Mereka berhasil menguasai Palestina setelah Nabi Daud berhasil mengalahkan

Jalut atau Goliath. Namun, saat itu mereka masih belum menguasai

sepenuhnya wilayah Palestina.61

Bani Israel mengalami kejayaannya pada masa pemerintahan Nabi

Sulaiman (Solomon), putra Nabi Daud. Raja Sulaiman membangun tempat

Ibadah pertama bangsa Yahudi yaitu kuil Sulaiman.62 Kerajaan ini

membentang dari tepi Sungai Nil hingga Sungai Eufrat di Iraq. Akan tetapi,

sepeninggal Nabi Sulaiman, kerajaan mereka terpecah akibat perang saudara

yang berlarut-larut, hingga akhirnya kerajaan itu terbelah menjadi dua, yakni

bagian utara bernama Israel yang beribu kota Sumeria, sedangkan bagian

selatan bernama Yehuda dengan ibu kota Yerusalem.63 Dan akhirnya kerajaan

mereka terbagi menjadi kerajaan kecil-kecil. Kerajaan purba inilah yang

sekarang dijadikan alasan historis untuk mengklaim sahnya negara Yahudi di

Palestina sekarang. Padahal, kerajaan Yahudi dalam sejarah Nabi Daud dan

Nabi Sulaiman tidak lebih dari sebuah kota dan desa-desa sekelilingnya. Hanya

karena kebiasaan saja, bangsa Yahudi memanggil pemimpinnya dengan

sebutan 'Raja'.64

Pada 738 SM kerajaan Israel dikalahkan oleh Assiria65 yang dirajai oleh

Sargeus dari Yunani. Dan pada 586 SM Yerusalem dikalahkan oleh

61
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 19
62
Ilim Abdul Halim, Agama Yahudi sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan, Jurnal
Agama dan Lintas Budaya (Vol 1, 2 Maret 2017), hlm. 139.
63
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 19
64
William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta : Al-Kautsar, 2004), hlm. vii-
ix.
65
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 149

34
Nebukadnezar II dari Babilonia, yang juga menghancurkan Kuil Sulaiman.66

Kemudian, orang-orang Yahudi ditawan dan digiring ke Babilonia, mereka

tidak mempunyai hak lagi atas Yerusalem.67 Di sinilah para tokoh Yahudi

membesarkan hati kaumnya dengan konsep janji Tuhan dan Bumi Nenek

Moyang. Sejak itu, dalam perjalanannya mereka selalu berusaha untuk bisa

kembali ke Palestina dengan berbagai cara dan upaya. Namun mereka selalu

menemui kegagalan, meskipun telah mencoba berkali-kali. Bahkan akibatnya

justru membuat mereka bertambah ketat di bawah pengawasan penguasa.

Tidak jarang kekejaman penguasa menjadi penderitaan rutin yang mereka

alami, dan mengakibatkan kegiatan-kegiatan eksodus dan diaspora orang-

orang Yahudi makin meluas ke seluruh penjuru bumi untuk menyelamatkan

diri. Dari tanah Babilonia lah para pemuka Yahudi menemukan ide dan konsep

Bumi Yang Dijanjikan dan konsep Bangsa Pilihan Tuhan, dengan harapan ide

semacam itu akan bisa melestarikan persatuan dan kemurnian Ras Yahudi, dan

untuk mengembalikan kepercayaan diri bangsa Yahudi.68

Nasib baik rupanya masih menaungi orang-orang Yahudi, sekitar tahun

500-400 SM, raja Cyrus dari Persia meruntuhkan Babylonia dan mengizinkan

orang-orang Yahudi kembali ke Yerusalem/Palestina.69 Di Yerusalem mereka

membangun pemerintahan bercorak Yahudi di bawah naungan kerajaan

Persi.70 Pemerintahan ini berakhir pada 333 SM sewaktu Iskandar Agung dari

Macedonia-Yunani menyerang dan berhasil menduduki Palestina. Selanjutnya

66
William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta: Al-Kautsar, 2004), hlm. ix
67
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 19
68
William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta : Al-Kautsar, 2004), hlm. x.
69
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 20
70
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 149

35
wilayah bangsa Yahudi di bawah kekuasaan raja-raja Yunani yang

berkedudukan di Mesir tidak bertahan lama. Kemudian kekuasaan atas

Palestina pindah ke tangan raja-raja dari keturunan Seleucid di Siria. Pada 143

SM orang Yahudi berhasil mengusir orang Siria, dan memiliki negara sendiri.71

Pada tahun 160 SM, Palestina dan wilayah di sekitarnya, dikuasai oleh

imperium Romawi. Kemudian, Herod Agung (40-4 SM) yang menjadi raja saat

itu, membangun kembali istana dan Kuil Sulaiman. Selain itu, ia memberikan

kebebasan kepada penduduk Yahudi. Akan tetapi, kebaikan penguasa Romawi

justru dibalas dengan pengkhianatan oleh orang-orang Yahudi. Mereka

melakukan pemberontakan dan membuat kekacauan di negeri tersebut. Melihat

tindakan yang dilakukan oleh orang orang Yahudi,72 penguasa Romawi saat

itu, yaitu Raja Titus (77 M) bertindak tegas dan keras terhadap orang Yahudi.

Kota Yerusalem dihancurkan, dan raja mengeluarkan peraturan yang melarang

orang Yahudi berdiam di Yerusalem atau berziarah ke Kuil Sulaiman.73

Sampai beberapa abad kemudian bangsa Romawi itu tetap bercokol hingga

ditaklukkan oleh kaum Muslim.74 Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad

71
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 149-150
72
Orang-orang Yahudi memberontak yang dipimpin oleh bangsa Zealot yang meyakini
bahwa Tuhan akan membantu mereka dalam perangnya melawan kaum kafir Romawi dan
membawa Hari Akhir yang diharapkan. Namun orang-orang Yahudi tidak semuanya satu pendapat
terhadap pemberontakan itu. Sebagian besar meyakini bahwa hal itu bukanlah waktu yang tepat
atau perang itu bukanlah cara yang tepat dalam mewujudkan penyelamatan. Bangsa Yahudi
memberontak terhadap Romawi menyebabkan kekacauan besar di kerajaan Romawi dan pasukan
dibawa dari berbagai belahan Eropa dan Timur Tengah untuk mengatasinya. Akhirnya Romawi
berhasil mendapatkan pengawasan Yerusalem pada tahun 70 M, dan menghancurkan tempat
ibadah yang sedang dibangun itu. Begitu pula ketika berhadapan dengan kelompok Muslim,
mereka tidak mau mengakui menjadi Muslim karena seba-gaimana tradisi yang terjadi pada saat
itu bahwa Muhammad tidak sesuai dengan harapan khusus mereka tentang seorang yang
dinantikan. Lihat Ilim Abdul Halim, Agama Yahudi sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan,
Jurnal Agama dan Lintas Budaya (Vol 1, 2 Maret 2017), hlm. 140-141.
73
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 20
74
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 20

36
di Madinah-Arab (622-632 M.) orang-orang Yahudi juga terpaksa diusir dalam

2 gelombang dari kota tersebut. Bahkan pada gelombang yang ketiga

(gelombang terakhir), karena mereka telah membantu musuh, sekitar 300-400

orang laki-laki mereka terpaksa dijatuhi hukuman mati.75

Kemudian Penduduk kota Yerusalem setempat masuk agama Islam.

Mereka adalah bangsa Arab yang merupakan mayoritas penduduk bumi

Palestina, sampai awai abad ke 20 ini. Setelah kedatangan orang-orang Yahudi

secara besar-besaran dari seluruh penjuru dunia, jumlah penduduk Arab

sekarang berbalik menjadi minoritas. Hal ini terjadi karena kebijakan deportasi

Pemerintah israel terhadap penduduk Arab dengan dukungan penuh dari

gerakan Zionisme Internasional.76

Demikianlah latar belakang bangsa Yahudi Semitik.77 Lantas, apakah

orang-orang Yahudi yang sekarang menguasai hampir seluruh bidang di dunia

merupakan keturunan dari Nabi lbrahim? Ternyata kaum zionis sekarang yang

jumlahnya sekitar 90% dari seluruh penduduk Yahudi adalah orang Yahudi

non-Semitik. Mereka adalah keturunan dari Khazar atau yang lebih sering

disebut sebagai Yahudi Ashkenazi. Orang-orang ini berbohong kepada seluruh

dunia bahwa tanah israel adalah tanah leluhur mereka. Padahal, kampung

75
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 149-150
76
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 149-150
77
Dilihat dalam sejarah lahirnya bangsa Yahudi terbagi menjadi dua golongan, yaitu
golongan Yahudi Semitik dan Yahudi Ezkinaz atau Yahudi non-Semitik. Yahudi Semitik menurut
kesepakatan terbanyak ahli sejarah, merupakan bangsa keturunan dari Nabi Ibrahim. Adapun kaum
Zionis sekarang yang jumlahnya 82% dari seluruh penduduk orang Yahudi adalah jenis Yahudi
Ezkinaz (non-Semitik), sesuai dengan sumber Zionisme sendiri. Lihat William G. Carr, Yahudi
Menggenggam Dunia, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2004), hlm x.

37
halaman sebenarnya dari nenek moyang mereka ada di Georgia yang terletak

800 mil dari Israel.78

Sejarah telah mencatat bahwa pada abad pertama Masehi, sejumlah orang

berdarah Turki-Mongolia meninggalkan negeri mereka, menuju arah barat dari

Asia, melintasi daerah yang terletak di sebelah utara Laut Kizwin dan Laut

Mati. Selanjutnya, mereka mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Kerajaan

Khazar.79 Sementara itu, menurut salah seorang keturunan Khazar dari inggris

yang bernama Arthur Koestler dalam bukunya yang berjudul The Thirteenth

Tribe The Khazar Empire And Its Heritage (Suku Bangsa Ketiga Belas—

imperium Khazar dan Warisannya), yang diterbitkan oleh Random House,

New York, nenek moyang bangsa Khazar berasal dari campuran bangsa

Mongol, Turki, dan Finlandia.80

Sebelum menganut agama Yahudi; bangsa Khazar itu menganut

kepercayaan animisme, hingga akhirnya mèreka memeluk agama Yahudi pada

masa penindasan raja Nebuchadnezzar ll dan penguasa Babilonia. lni terjadi

sekitar tahun 740 Masehi. Saat itu, kekuatan Khazar sudah sedikit melemah.

Wilayah kekuasaannya dihimpit oleh dua kekuatan besar, yakni Byzantium;

dan muslim. Agar tetap aman, Khazar dihadapkan pada dua pilihan, menjadi

muslim atau Kristen. Namun, kaisar bangsa Khazar, Khakan, telah mengetahui

jika ada agama yang ketiga selain Kristen dan Islam yakni Yahudi. Daripada

78
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 21
79
William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta : Al-Kautsar, 2004), hlm. x.
80
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 21

38
memilih kedua agama itu, ia lebih memilih Judaisme dan menyatakan diri

sebagai Yahudi.81

Sejak saat itulah bangsa Khazar yang brutal dan sangat gemar berperang

berubah menjadi bangsa Yahudi dan sejak saat itu pula, kerajaan Khazar mulai

dideskripsikan sebagai Kerajaan Yahudi oleh sejarawan pada masa itu Penerus

penguasa Khazar mengambil nama Yahudi dan selama akhir abad ke-9 M,

Kerajaan ini menjadi tempat berlindung yang ramah bagi kaum Yahudi yang

ada di berbagai wilayah Eropa.82

Pada abad ke-8 Masehi, muncul kekuatan baru yang berasal dari sungai

besar Dnieper, Don, dan Volga, yakni bangsa Viking atau yang dikenal juga

sebagai bangsa Rus. Namun, bangsa ini selalu kalah perang melawan Kerajaan

Khazar. Pada tahun 862, seorang pemimpin bangsa Rus bernama Rurik

membangun kota Novgorod. Dari sinilah. lahir bangsa Rusia yang kemudian

berdiam di antara suku bangsa Slavia yang berada di bawah kekuasaan Khazar.

Perjuangan bangsa Viking kemudian berubah menjadi perjuangan rakyat untuk

merdeka dari penjajahan bangsa Khazar.83

Satu abad kemudian setelah berdirinya kota Novgorod, bangsa Rusia mulai

bersekutu dengan Kekaisaran Byzantium. Hal ini karena pemimpin mereka

telah menganut agama Kristen dan memiliki hubungan yang baik dengan

Byzantium yang juga menganut ajaran Kristen. Karena memiliki kepentingan

yang sama untuk menaklukkan Khazar, maka mereka bersekutu.84

81
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 22
82
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 22
83
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 22-23
84
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 23

39
Pada tahun 1016, kekuatan gabungan bangsa Rusia dan Byzantium

menyerang Kerajaan Khazar dengan pasukan yang besar. Menghadapi

gabungan dua kekuatan besar itu, Kerajaan Khazar tidak berdaya, mereka

hancur-lebur. Kejayaan bangsa yang brutal dan gemar berperang ini, akhirnya

musnah dan hilang dari catatan sejarah. Mereka banyak yang melarikan diri ke

wilayah yang aman di Eropa.85

Selama masa pelarian tersebut, orang-orang Yahudi membentuk kelompok

rahasia yang banyak mendalangi timbulnya kekacauan dan pembunuhan politik

di Rusia. Sebagian besar lainnya melarikan diri ke Eropa Timur. Dari sini,

mereka menyebar ke seluruh dunia, terutama ke Amerika Serikat. Dan, anak

cucu Yahudi Khazar inilah yang kemudian membanjiri Palestina saat ini serta

mengklaim bahwa mereka adalah pewaris sah bangsa Yahudi atas tanah

Palestina.86

Bergabungnya bangsa Khazar ke dalam komunitas Yahud telah menambah

watak kaum tersebut menjadi lebih brutal. Kaum Yahudi sejak lama memang

telah dikenal sebagai kaum yang tidak bisa dipercaya karena berbagai

pengkhianatan yang dilakukan, culas (khianat), selalu ingin menang sendiri

dan hanya mau mendengarkan suara kaumnya Khazar mengubah Yahudi yang

memang jahat menjadi bertambah jahat.87

85
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 23
86
Seperti telah disinggung terdahulu, kerajaan Yahudi berlangsung tidak lama, yaitu
periode kekuasaan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Sedang kekuasaan Yahudi lainnya tidaklah
lebih dari kekuasaan atas satu kota beserta desa sekitarnya, mirip kehidupan suku-suku yang
bermukim. Mereka belum pernah membentuk komunitas di seluruh Palestina, karena mereka
bukanlah penduduk asli. Sama dengan keadaan Yahudi di Israel sekarang, mereka datang dari
berbagai penjuru dunia sebagai imigran, yang tidak ada hubungannya dengan darah Yahudi
Semitik. Lihat William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia,... hlm. xi
87
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 23

40
Mereka belum pernah membentuk komunitas di seluruh Palestina, karena

mereka bukanlah penduduk asli. Sama dengan keadaan Yahudi di Israel

sekarang, mereka datang dari berbagai penjuru dunia sebagai imigran, yang

tidak ada hubungannya dengan darah Yahudi Semitik.88

Dari kilasan fakta tersebut bisa dilihat bagaimana bangsa Yahudi

sepanjang sejarah mengendalikan perkumpulan rahasia, yang dikembangkan

dengan getol untuk mawujudkan cita-cita mereka. Makin lama perkumpulan

rahasia itu berkembang mirip dengan pemerintahan terselubung, yang

dikendalikan oleh tokoh-tokoh Yahudi internasional, yang berdiam di berbagai

penjuru dunia. Bangsa Yahudi punya keyakinan, bahwa bangsa lain adalah

'Goya', atau dalam bahasa Ibraninya 'Goyim', yang juga sering disebut

'Gentiles', atau 'Umamy' dalam bahasa Arabnya, yang berarti bangsa lain itu

diciptakan Tuhan untuk kepentingan Yahudi belaka, sebagai bangsa pilihan

Tuhan.89

Pada masa Perang Dunia II (1939-1945) kita saksikan bahwa Hitler yang

berkuasa di Jerman, melakukan pembasmian terhadap bangsa Yahudi secara

besar-besaran (dalam jumlah jutaan manusia). Suatu bangsa yang telah

menumpang di berbagai negara selama hampir 2000 tahun, tetapi yang secara

kejiwaan tetap terpisah dari bangsa yang ditumpanginya, karena mereka

merasa dirinya lebih tinggi derajatnya. Tetapi pada tahun 1948 M dengan

perantaraan organisasinya "Zionisme" yang dibantu oleh Inggris dan Amerika

Serikat, bangsa Yahudi dapat mendirikan kembali negaranya di Palestina yang

88
Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 23
89
William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia,... hlm. ix

41
bernama Negara Israel, serta mempertahankan kebudayaan serta agama

Yahudinya. Yaitu setelah hampir 20 abad hidup dalam perantauan tanpa tanah

air, tidak disenangi. serta terpencar-pencar.90

2. Agama Yahudi Modern dan Kontemporer

Pasca runtuhnya Negara Israel di bawah gemparan orang-orang Assyria,

penduduk Yahudi berpencar-pencar dan tidak memiliki tempat tinggal tetap,

serta tidak terdapat suatu hal yang patut disebut dalam sejarah. Sedangkan

orang-orang Yahudi yang lari ke Babilonia setelah keruntuhan kerajaan

Yahuda ialah mereka yang sempat kembali ke Betlehem (Bait al-maqdis) pada

masa Quraiys. Orang-orang Yahudi tunduk pada kekuasaan Mesir, Babilonia,

Persia, Bathalisah, dan Romawi. Mereka kemudian bersekongkol dan

melancarkan pemberontakan terhadap raja dan pemimpin-pemimpinnya. Oleh

karena perbuatan dan tingkah mereka sendiri itulah, para raja dan pemimpin

kemudian tidak segan-segan menghancurkan dan menyiksanya. Tahun 135 M

merupakan tahun tamatnya riwayat kehidupan Yahudi di Palestina. Mereka

mengerti dan memahami sepenuhnya bahwa tidak ada tempat yang layak lagi

baginya untuk tinggal di negeri itu, maka mereka pun berniat mengembara di

muka bumi tinggal berbagai tempat (tidak menetap dan selalu berpindah-

pindah).91

Mulailah mereka mengalami masa-masa pengembaraan yang panjang,

yang oleh Rane Sedillot digambarkan bahwa sejatinya orang-orang Yahudi

tersebut sedang kembali kepada jalan hidupnya yang pertama pasca keluaranya

90
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 150
91
Torpin dan Khotimah, Agama Katolik dan Yahudi : Sejarah dan Ajaran,... hlm. 198.

42
mereka dari Mesir bersama Musa. Dalam pengembaraan yang panjang itulah,

banyak dari mereka yang akhirnya mendiami beberapa kawasan Eropa,

sebagaimana pula mereka mendiami Mesir, Afrika Utara, Yaman dan lain

sebagainya.92 Masa-masa inilah yang sangat berpengaruh terhadap watak,

karakteristik dan tingkah laku Yahudi.

Dalam Agama Yahudi secara tidak langsung berakar dari masa pencerahan

yaitu gerakan pemikiran yang timbul pada abad XVIII di belahan Eropa.

Gerakan ini sangat mengagungkan pikiran, bersifat liberal, kemanusiaan, dan

menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan banyak penemuan-penemuan ilmiah.

Inilah sebuah gerakan yang mereka menyebutnya dengan gerakan Zionisme

atau gerakan modern dalam agama Yahudi. Istilah Zionisme berasal dari akar

kata Zion atau Sion yang pada awal sejarah Yahudi merupakan sinonim dari

perkataan Yerussalem. Zion berasal dari bahasa Inggris, dalam bahasa latin

artinya Sion, dan bahasa ibraninya adalah Tsyon. Arti dari istilah ini adalah

bukit yaitu bukit suci Jerusalem, Zion juga ditunjukan bagi Kota Jerusalem

sebagai kota yang tidak kentara, kota Allah tempat tinggal Yahweh. Zion

menurut para sarjana merupakan sebuah nama bukit yang diceritakan dalam

perjanjian lama.93

Zionisme adalah sebuah gerakan dan ideologi yang terkait dengan sejarah

orang-orang Yahudi di negara pembuangan untuk kembali ke negeri nenek

moyang mereka, Palestina. Sebelumnya, istilah Zionisme pernah digunakan

untuk menyebutkan komunitas bangsa Yahudi penganut Yudaisme yang

92
Torpin dan Khotimah, Agama Katolik dan Yahudi : Sejarah dan Ajaran,... 198-199.
93
Ismail, Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2017), hlm. 216-217.

43
mengharapkan datangnya seorang juru selamat, yang akan membawa mereka

kepada kerajaan Tuhan yang akan dipusatkan di tempat terjadinya kisah-kisah

yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Musa.94

Peran sebagai aktor intelektual di balik layar dan berbagai aktivitas gelap

Yahudi yang mempermainkan peta politik dunia laksana papan catur

sekehendak hatinya bukanlah rahasia lagi. Jauh sebelum Israel berdiri di bumi

Palestina, bahkan sebelum terjadinya revolusi di Inggris, renaissance di

Prancis, dan aufklarung di Jerman, cakar-cakar Yahudi telah berbicara.

Gerakan-gerakan Agama Yahudi :

a. Gerakan Yahudi Ortodox.

Corak tradisionalis konservatif yaitu dalam agama Yahudi

tradisionalis dan neo-ortodox yang berkembang darinya. Pemakaian istilah

Ortodox tersebar sesudah munculnya gerakan reformasi di Eropa Barat,

dan pemakaian nama ini merupakan bentuk ungkapan pertentangan dari

pihak Yahudi Ortodox terhadap perubahan yang dimasukan para

pendukung gerakan reformis ke dalam keyakinan Yahudi. Kelompok

ekstrim dari kalangan Yahudi Ortodox adalah kaum Yahudi Timur yang

menolak setiap upaya pembaruan dan reformasi pada sisi manapun dari

sisi kehidupan Yahudi, khususnya kehidupan beragama.95

b. Gerakan Yahudi Reformis

Kemunculan gerakan ini merupakan respon atas hak-hak yang

diberikan oleh revolusi Perancis dan kesempatan yang terbuka bagi

94
Ismail, Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-agama,... hlm. 217.
95
Ismail, Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-agama,... hlm. 217.

44
bergabungnya kaum Yahudi harus memasukan beberapa kebiasaan serta

tradisi Yahudi untuk menghadapi tantangan-tantangan masa yang dijalani

kaum Yahudi dan menghadapi perubahan yang melanda masyarakat secara

umum.96

Disraeli memberikan komentar tentang Revolusi 1848 dengan

mengatakan, "Revolusi gemilang yang sekarang sedang menyusun

langkah, dan tidak diketahui orang itu terus berkembang di bawah

bimbingan orang-orang Yahudi yang menduduki kursi profesor di berbagai

Universitas di Jerman. Kemudian Perancis dan Inggris pada masa itu

adalah dua negara adikuasa dunia. Maka Howight menjadikan dua negara

itu sebagai target utama untuk dihancurkan dari dalam oleh

persekongkolan Yahudi, untuk kemudian dikuasai. Demikianlah Howight

bekerjasama dengan tokoh-tokoh Yahudi dalam proyek rahasia yang

punya dua ujung tombak sasaran, yaitu satu sisi menjerumuskan Inggris ke

dalam kancah peperangan yang berkepanjangan di berbagai negeri

jajahannya, sehingga nyaris mengalami kelumpuhan yang parah. Sisi lain

adalah menyalakan api revolusi besar di Perancis yang mampu

menggoncangkan masyarakat Perancis tahun 1789.97

Dominasi Yahudi atas Perancis terjadi setelah Revolusi Perancis

merupakan gerakan yang cukup berpengaruh dalam dunia secara luas.

Melalui dominasi tersebut, Yahudi mencita-citakan terwujudnya

masyarakat Perancis yang bobrok. Melalui julukan kota mode, Yahudi

96
Ismail, Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-agama,... hlm. 218.
97
Fuad bin Sayyid Abdurrahman Arrifa'i, Annufudzul Yahudi Filajhizatil I'lamiyyah wal
Muassasatid Dualiyyah, (Riyadh : Daar el-Majd, 1995), hlm. 4-5.

45
telah menyeret bangsa Perancis, terutama Paris, pada gaya hidup glamor

dan maksiat. Hanya dalam tempo kurang dari setengah abad, Yahudi

berhasil mengubah Perancis menjadi sentral prostitusi dan berjalan ke arah

kehancuran. Dengan demikian, Yahudi telah berhasil menanamkan

pengaruhnya dalam-dalam di berbagai sektor, baik itu sektor ekonomi,

politik, kepribadian, maupun peradaban dengan langkah-langkah yang

terencana. Dalam sektor politik pun, Yahudi telah berhasil menjadi

kekuatan raksasa melalui penampilan deretan aktor politik warga Yahudi

yang menguasai percaturan politik Perancis pada paruh abad ke dua puluh.

Tokoh-tokoh itu, di antaranya, adalah Lion Blum (perdana menteri

Perancis); Vincent Oriol (presiden); Regnier Maer (menteri); M. Thorez

(ketua partai komunis); Mendez France (perdana menteri); J. Rouf

(menteri); J. Granfal (duta di Maroko); J. Susteil (duta di Aljazair); Lew

Jox (duta besar Perancis untuk Moskwa); Daniel Levi (duta besar Perancis

untuk India, Jepang, dan Cekoslowakia); Lion Mess (ketua Mahkamah

Agung); Robert Hershei (Direktur Jenderal Inteligen); W. Boo Magartez

(presiden Bank Perancis); Admiral Lew Kan (panglima NATO); dan

Jenderal Bibloo (Menteri Pertahanan Perancis).98

c. Gerakan Yahudi Konservatif

Gerakan Yahudi konservatif adalah gerakan yang rumit

strukturnya, kendati namanya menunjukkan corak tradisionalis. Barangkali

memang lebih tepat meletakkannya ke dalam corak pertama. Namun

98
Fuad bin Sayyid Abdurrahman Arrifa'i, Annufudzul Yahudi Fi Lajizatil I'lamiyyah wal
Muassasati ad-Dualiyyah, (Riyadh : Daar el-Majd, 1995), hlm. 19.

46
kandungan gerakan yang mendorong pembaruan ini justru membuat kita

terpaksa mengklasifikasikannya ke dalam corak ketiga. Gerakan ini

merupakan fase pertengahan antara gerakan ortodox dan gerakan

informasi.. Sebab ia menerima seluruh konsep-konsep agama yang

tradisionalis dan berupaya memahaminya dengan pemahaman

kontemporer. Oleh karena itu ia mencampuraduk antara yang lama dan

yang baru dalam rangka memadukan di antara keduanya.99

d. Gerakan Rekonstruksi Yahudi

Gerakan ini adalah corak lain dari corak gerakan-gerakan

pembaruan agama. Gerakan ini memiliki pendukung dari kalangan

Konservatif reformis dan sekuler yang tidak mengikuti gerakan itu sendiri.

Gerakan ini sebenarnya berkembang dari gerakan Yahudi Konservatif.

Pendirinya Mordecai Kaplan, termasuk Yahudi konservatif sebelum

muncul gerakan yang baru. Seruan Kaplan yaitu bahwa Yahudi bukanlah

sekadar agama yang diyakini melainkan juga agama peradaban. Kaplan

mengarahkan semaunya kepada perpaduan antara tuntutan-tuntutan gaya

hidup Amerika dan loyalitas peradaban Yahudi.100

Pengaruh agama Yahudi terhadap agama lainya adalah dalam konsepsi

ketauhidan (monotheisme murni), agama Yahudi dilanjutkan oleh Kristen dan

Islam. Ketika dijajah Romawi ada yang masuk jazirah Arab lalu menyebarkan

agamanya dan ketika Islam lahir, mereka beragama Islam seperti Kaab Al-

Ahbar, Wahab bin Munabbih dan seterusnya. Tidak sedikit bahannya yang

99
Ismail, Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-agama,... hlm. 218.
100
Ismail, Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-agama,... hlm. 219.

47
masuk ke dalam bahasa Arab dan menjadi istilah agama seperti: Syaitan,

jahannam, iblis, dan sebagaimananya, juga memasukkan dongeng-dongeng

hanyalah kepercayaan ke dalam ajaran agama Islam. Terhadap ajaran Kristen

sangat besar pengaruhnya, di antaranya kitab suci mereka diakui dan disatukan

dengan kitab suci agama Kristen. Pengaruh terhadap agama Hindu pun sangat

berkesan, terutama dalam hal penyembahan patung sapi.101

B. Sejarah dan Perkembangan Agama Nasrani/Kristen

1. Sejarah Pra-Islam dan Lahirnya

Sejarah bagaikan roda yang terus berputar, berjalan dan melaju di atas

peradaban manusia, yang dimulai dengan kelahiran, perkembangan,

pertumbuhan, kehancuran atau malah akan semakin maju, sebagimana agama

Nasrani. Melihat aspek historis nenek moyang agama Nasrani yang biasa

dikenal dengan sebutan agama Kristen adalah agama yang diwahyukan

serangkaian dengan agama Yahudi dan berkaitan dengan agama Islam yakni

dari Nabi Ibrahim (Abraham). Dan ada juga yang berpendapat ketiganya

Yahudi, Kristen, Islam merupakan buah dari “Proses Evolusi” agama-agama

primitive. Dari semua agama yang dianut oleh umat manusia, agama

Nasrani/Kristenlah yang paling luas tersebar di muka bumi ini, dan yang paling

banyak pengikutnya-pengikutnya. Dalam sejarahnya yang telah berusia lebih

dari 2000 tahun itu, agama Kristen telah tumbuh dalam berbagai bentuk yang

mengagumkan.102

101
Ismail, Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-agama,... hlm. 220.
102
Ismail, Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-agama,... hlm. 221-222.

48
Bila agama ini disebut sebagai agama Kristen, mengandung arti orang-

orang yang telah dibaptiskan dengan perminyakan suci. Dengan pembaptisan

tersebut orang telah diakui sah sebagai pengikut Kristus.103 Kata Kristen

berasal dari kata “Christos” dalam bahasa Yunani, lalu berubah menjadi

“Christus” dalam bahasa latin. Christos ini terjemahan dari bahasa Ibrani

“Masiah”, yang kemudian lebih dikenal oleh kalangan Kristen dengan sebutan

Mesiah. Sedangkan al-Qur’an menyebutnya “Almasih” artinya “yang diurapi

atau yang diminyaki” dengan minyak wangi dalam suatu upacara keagamaan

(pembaptisan yang telah disebut tadi). Al-Qur’an menyebut agama Kristen

dengan nama Nasrani yang berasal dari kata “Nashirah” (Nazaret) di kota

Betlehem yang terletak di Palestina sekitar tahun 4-8 SM, tempat kelahiran

Nabi Isa. Juga sering disebut dengan agama “Masehi”yang diambil dari kata

“Almasih”.104 Sedangkan nama "Yesus”, pendirinya agama tersebut, adalah

nama menurut ucapan bahasa Latin, dan dalam bahasa Ibrani diucapkan

dengan kata "Yoshua".105

Dari segi struktur organisasinya di kemudian hari, maka agama ini dapat

dipandang sebagai organisasi sosial yang mekanismenya diatur melalui sistem

"klerus” (jabatan kependetaan) yang bersifat hierarkis vertikal, karena

mekanisme tersebut dipandang sangat perlu bagi gereja untuk meneruskan misi

sucinya (mission sacre) dari Jesus Kristus ke seluruh dunia. Dalam

perkembangannya lebih lanjut sistem klerus tersebut hanya terdapat pada

103
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 169.
104
Imam Muchlas Masyhud, Al-Qur’an Berbicara Kristen, (Pustaka Da’i, 1999), hlm.41.
105
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 169.

49
Gereja Roma Katolik, sedang dalam Gereja Kristen Prostestan sistem itu tidak

diorganisasikan secara hierarkis vertikal.106

Menurut sejarah, Yesus Kristus dilahirkan pada kurang-lebih tanggal, 25

Desember, tahun 4 SM di sebuah desa yang bernama Betlehem. Orang tuanya

bernama Yusuf, tukang kayu yang tinggal di Nazareth, ibunya bernama Maria

(Maryam).107 Injil Lukas memulai uraian tentang kehidupan Isa Almasih dari

peristiwa kehamilan Maryam di sebuah kota di Galilea. “Dalam bulan keenam,

Allah menyuruh Malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama

Nazaret kepada seorang perawan bernama Maria” (Lukas I: 26). Sejalan

dengan penuturan Injil Matius, Isa Almasih dilahirkan di Betlehem, di tanah

Yudea pada zaman raja Herodes. Sedangkan Injil Markus dan Injil Yohanes

tidak sedikit pun menyinggung kelahiran Isa Almasih, keduanya memulai

penuturannya tentang kehidupan Almasih bermula dari pertemuan Isa Almasih

dengan Yohanes Sang Pembaptis.108

Kehamilan Maria bukan karena hubungan kelamin dengan Yusuf, tetapi

karena roh kudus dari Tuhan. Pada saat itu Yusuf baru berada dalam status

pertunangan dengan Maria. Karena prasangka buruk Yusuf terhadap Maria,

maka datanglah malaikat kepadanya untuk mangabarkan bahwa kehamilan

Maria bukan karena perbuatan garong, tapi karena memang dikehendaki oleh

Tuhan, dan Maria akan melahirkan anak laki-laki yang disebut dengan nama

Immanuel (artinya: Tuhan beserta kita). Kemudian Yusuf tidak lagi bercampur

106
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 169-170.
107
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 170.
108
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an,... hlm. 111-112.

50
dengan Maria sehingga melahirkan bayi yang bernama Yesus atau Immanuel

itu. Demikian penuturan kitab suci Injil Matius 1: 18-25.109

Galilea, atau al-Jalil dalam bahasa Arab dan Ibrani, adalah sebuah

kawasan yang terbuka bagi bangsa-bangsa yang datang dari Timur dan Barat.

Selain orang-orang Israel, selalu saja ada bangsa lain yang hidup bersama

mereka di negeri itu sepanjang sejarah. Galilea adalah bagian dari wilayah

lepas pantai utara yang diketahui, dalam sejarah kuno sebagai bumi Kana’an

(Palestina). Di kemudian hari orang-orang Yunani menyebutnya Piniki.

Semenjak dahulu, wilayah Kana’an dikenal sebagai kota pelabuhan yang

memiliki banyak dermaga, terletak di persimpangan jalur perdagangan dari

Laut Tengah ke Semenanjung Suez di Mesir, Teluk Persia, dan selanjutnya ke

negeri-negeri di Timur jauh. Kota-kota pelabuhan yang dikenal pada masa itu,

antara lain Sidon, Tirus, dan Haifa. Karena letak geografis yang amat strategis,

sejak dahulu Galilea sudah dipadati oleh bangsa-bangsa dari Timur dan Barat

yang datang sebagai Wisatawan atau dengan sengaja menetap di sana. Pertalian

antara bangsa-bangsa yang menempati wilayah Galilea dengan peradaban umat

manusia menjadi semakin erat. Ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan industri

mengalami kemajuan yang signifikan.110

Meskipun sebagian Galilea atau Kana’an pernah menjadi bagian dari

wilayah kekuasaan kerajaan Yehuda, tetapi hubungan antara penduduk Galilea

dan orang-orang Israel sepanjang sejarah diselimuti oleh bayang-bayang rasa

was-was. Sebagai dampak dari kekuasaan Israel terhadap Wilayah Galilea atau

109
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 170-171.
110
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an,... hlm. 112.

51
Kana’an, orang-orang Israel banyak mengadopsi peradaban orang-orang

Galilea dan mengandalkan mereka dalam perdagangan dan industri. Tidak

hanya sekali kitab Perjanjian Lama menyebut bahwa orang-orang Israel

mempekerjakan para perajin dan ilmuwan Kana’an untuk membangun rumah

ibadah dan istana-istana. Dalam Kitab I Raja-Raja disebutkan bahwa Raja

Salomon (Sulaiman) mengutus orang menjemput Hiram dari Tirus, tukang

tembaga; ia penuh dengan keahlian, pengertian dan pengetahuan untuk

melakukan segala pekerjaan tembaga; ia datang kepada Raja Salomon lalu

melakukan pekerjaan itu bagi raja.111

Selain bidang perdagangan dan kesenian, orang-orang Yahudi juga

mengandalkan bangsa Kana’an dalam bidang penulisan, sastra, dan

keagamaan. Tidak sedikit orang Yahudi yang meninggalkan kepercayaan lama,

lalu berpaling kepada kepercayaan orang-orang Galilea. Demikian kata Nabi

Elia: “Sesungguhnya orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan

mazbah-mazbah-Mu, dan membunuh nabi-nabiMu dengan pedang.... Tetapi,

aku akan meninggalkan tujuh ribu orang di Israel, yakni semua orang yang

tidak sujud menyembah Baal dan yang mulutnya tidak mencium dia” (I Raja-

Raja 19: 10-18). Lalu orang Israel melakukan apa yang jahat di mata Tuhan

dan mereka beribadah kepada para Baal. Mereka meninggalkan Allah, Tuhan

nenek moyang mereka, yang telah membawa mereka keluar dari tanah

Mesir”.112

111
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an,... hlm. 112-113.
112
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an,... hlm. 113.

52
Ketika populasi orang-orang Yahudi yang tinggal di Galilea dan Wiiayah

utara Palestina, seperti Samara, semakin meningkat, berubahlah pandangan

hidup dan tradisi mereka sehingga mereka dinilai oleh mayoritas bangsa Israel

sebagai orang-orang murtad dan terputus dari asal usul mereka. Pada

kenyataannya, memang para warga pribumi Galilea menggunakan bahasa

Aram: yakni bahasa pedalaman Syria atau bahasa Yunani, yakni bahasa yang

digunakan oleh pendatang dari Wilayah pesisir dan dari kawasan Asia Minor

yang membawa peradaban Persia, India, dan Irak.113

Kemarahan umat Israel terhadap kaum minoritas yang berada di Utara

mencapai puncaknya ketika Herkanut, orang Makabe, melakukan penyerbuan

ke utara. Herkanua memulangkan paksa orang-orang Israel yang tinggal di

Samaria dan Galilea ke Yerusalem, sedang orang-orang non-Israel diberikan

kepada mereka dua pilihan; pergi meninggalkan kampung halaman atau

menetap di sana dan bersedia untuk dikhitan serta mengenakan simbol-simbol

Yahudi. 114

Sebagaimana disepakati oleh para sejarawan bahwa sekelompok besar

penduduk Galilea adalah bangsa Arab yang berbicara dalam bahasa Aram,

selain bahasa Ibrani, dengan logat asing, dan itu diketahui oleh orang-orang

Israel di Selatan. Mereka dapat membedakan orang-orang selatan dengan orang

utara dari beberapa kata yang terucap saat mereka berbicara. Ada pepatah

populer di kalangan orang-orang Yahudi yang fanatik pada tradisi dan adat

istiadat mereka, bahwa tidak ada kebaikan yang datang dari Galilea. Dalam

113
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an,... hlm. 113-114.
114
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an,... hlm. 114.

53
Injil disebutkan bahwa Natanael terkejut ketika Filipus berkata kepadanya:

“Kami telah menemukan dia yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan

oleh para nabi, yaitu Yesus anak Yusuf dari Nazaret.” Kata Natanael

kepadanya: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazareti'”.115

Toleransi tinggi terhadap pemeluk agama dan etnis lain yang dimiliki oleh

orang-orang Galilea itulah yang menjadi pemicu kemarahan, iri hati, dan

dengki orang-orang Israel di selatan terhadap mereka, Akan tetapi, hakikatnya

justru kondisi masyarakat Galilea yang seperti itulah yang menjadikan bumi

Galilea sebagai tempat kelahiran dan tumbuh berkembangnya misi kenabian

yang dinantikan dunia pada abad itu, sebab misi persaudaraan umat manusia

amatlah tidak mungkin lahir dan berkembang dalam masyarakat yang fanatik

dan jumud.116

Beberapa tahun menyusul lahirnya Isa Almasih, Galilea keluar dari

kekuasaan kerajaan Yehuda, menyusul mangkatnya Herodes Agung. Galilea

dan perkampungan-perkampungan Badui di sekitarnya menjadi bagian dari

wilayah kekuasaan Herodes Antipas. Kurang lebih Isa Almasih berusia sepuluh

tahun ketika Romawi ”menyerbu dan menghancurkan ibu kota Herodes

Antipas di Tiberia dekat Nazaret, di mana Isa melewatkan masa mudanya.

Pada usia sepuluh tahun, Isa Almasih menjadi saksi sejarah atas peristiwa

peperangan dan penghancuran negeri, berikut dampak buruk yang dia

timbulkan olehnya. Fanatisme di satu pihak dan toleransi dalam hal

keberagamaan di pihak lain, menjadi bahan renungan Almasih pada usia belia,

115
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an,... hlm. 114.
116
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an,... hlm. 115.

54
di samping dilema politik serta persoalan kenegaraan dan kekuasaan Kota

dihancurkan, negeri dibumihanguskan, kota baru dibangun, negeri baru

didirikan, kekuasaan berpindah tangan, penguasa lama runtuh, penguasa baru

naik tahta, dan seterusnya.117

Setelah berumur 12 tahun, pergilah Yesus bersama Yusuf dan Maria untuk

pertama kalinya ke Yerusalem; dalam rangka perayaan hari raya Paskah, Maka

dia ”hilang” dikota tersebut, dan baru diketemukan oleh ibunya setelah dicari

selama 3 hari. Yaitu ternyata dia berada di Bait Suci. Kita mendapat kesan

bahwa Maria selain berputra Yesus, juga punya putra-putra yang lain yang tak

pernah disebut-sebut orang. Putra-putra yang lain itu lahir sesudah Yusuf dan

Maria terikat dengan perkawinan yang sah.118

Sejak kecil Yesus diasuh oleh para rahib Yahudi yang mengajarkan

hukum-hukum Taurat serta berusaha mendidiknya menjadi pengikut agama

Yahudi. Tapi setelah dewasa, Yesus suka membantah dan menentang pendapat

atau praktik-praktik para rahib Yahudi itu, karena mereka menyeleweng dari

hukum-hukum Taurat aslinya. Banyak argumentasi Yesus yang dapat

menundukkan rahib-rahib tersebut. Sehingga banyak di antara mereka yang

menaruh dendam terhadapnya. Ketika umur 30 tahun, dia dibaptis oleh Yahya.

Maka sejak itu dia menjalankan misi sucinya mengkhotbahkan ajaran-

ajarannya kepada bangsa Israel, terutama kepada 12 muridnya. Setelah

menjalankan misinya, pada umur 33 tahun dia ditangkap oleh Gubernur

Romawi di Palestina, Pontius Pilatus, akibat fitnahan dari rahib-rahib Yahudi.

117
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an,... hlm. 115.
118
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 171.

55
Ia dituduh ingin menjadi raja Yahudi dengan melawan kekuasaan Kaisar

Romawi. Salah seorang murid Yesus sendiri, yakni yang bernama Yudas

Eskariot (Yahuza), menjadi biang keladi atas tertangkapnya dia oleh pasukan

Romawi. Oleh karena itu Yudas dipandang telah murtad dan keluar dari

kelompok pengikut Yesus. Setelah dipenjarakan beberapa waktu, Yesus

kemudian dijatuhi hukuman mati di atas tiang salib.119

Semula agama Nasrani ini hanya merupakan sekte dari agama Yahudi, dan

oleh Yesus diajarkan hanya untuk orang Yahudi saja. Dalam Matius 15: 24,

Yesus berkata; "Tiadalah Aku disuruhkan kepada yang lain, hanya kepada

segala domba yang sesat dari antara bani Israil”. Tetapi oleh Paulus ia

disiarkan juga kepada orang-orang non-Yahudi di wilayah kerajaan Romawi,

yang pada waktu itu hidup kepercayaan-kepercayaan (pemujaan kepada

Cybele, dan Isis, dan Mithra), yang mengajarkan bahwa manusia mempunyai

kemungkinan untuk memiliki pengalaman ketuhanan. Kepercayaan-

kepercayaan itu menjamin kepada para pengikutnya bahwa mereka akan

mendapatkan hidup yang suci, karena dosanya telah ditebus oleh perantara

yang bersedia mengorbankan dirinya, demi untuk menyelamatkan manusia.120

Paulus adalah seorang Yahudi yang berstatus sebagai warga negara

Romawi, yang lahir di Tarsus (Asia Kecil) pada 2 M. Di luar wilayah Yahudi

(Palestina), orang tuanya taat melaksanakan agama Yahudi, dan dia sendiri

juga berguru pada Gamalil, seorang tokoh besar agama Yahudi di Yerusalem.

Di samping itu dia juga sangat tertarik pada filsafat Yunani, yang memang

119
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 171-172.
120
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 172.

56
budaya Yunani mempunyai pengaruh yang kuat di kota Tarsus, Filsafat Yunani

yang sangat menarik hatinya adalah filsafat Aliran Stoa, yang mengajarkan

bahwa sebenarnya Tuhan dan makhluk itu merupakan suatu kesatuan yang

sama substansinya dan hanya berbeda dalam penglihatan bentuk.121

Sama seperti sebagian rahib Yahudi, dia juga sangat memusuhi Yesus dan

pengikut-pengikutnya serta berusaha untuk membasminya. Tetapi kemudian

dia mengatakan bahwa dia merasa telah diangkat oleh Yesus sebagai rasulnya,

sewaktu dia sedang dalam perjalanan untuk menangkap para pengikut Yesus

yang ada di Damaskus. Waktu itu Yesus sudah wafat. Selanjutnya dia

menyiarkan agama Kristen, tetapi dengan versi yang sangat berbeda dengan

yang diajarkan Yesus. Dia mengajarkan bahwa ajaran Yesus itu tidak hanya

untuk orang Yahudi saja, bahwa Yesus itu adalah Tuhan, bahwa Adam telah

meninggalkan dosa warisan yang menjadi sumber segala dosa bagi manusia,

dan dosa manusia itu telah ditebus oleh penyaliban Tuhan Yesus. Dengan

percaya pada penyaliban itu, orang tidak perlu melaksanakan hukum Taurat. Ia

berkata: ”Serta dibenarkan cara karunia sahaja, dengan anugerah Allah, oleh

sebab penebusan yang ada di dalam Yesus Kristus" (Rum 3:24). Paulus juga

mengajarkan bahwa pria tidak perlu berkhitan. Dengan ajarannya itu, maka

agama Nasrani menjadi sangat berbeda dengan agama Yahudi yang semula

menjadi acuannya. Ia berdiri sebagai agama baru, yang keluar dari wilayah

Palestina dan kemudian berkibar di wilayah Kekaisaran Romawi. Para sarjana

mengatakan bahwa Pauluslah pendiri yang sebenarnya dari agama Kristen.

121
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 172-173.

57
Bukan Yesus pendirinya. Paulus tidak pernah menikah, tidak mempunyai

rumah tangga yang teratur, pandai bicara, dan banyak berbuat dosa. Dia

meninggal di Roma pada tahun 65 M, dengan menjalani hukuman penggal

kepala.122

Menurut sejarah, tatkala agama Nasrani mulai disiarkan kepada seluruh

warga negara Romawi secara umum, bukan hanya kepada orang Yahudi, maka

agama ini mendapat perlakuan yang sangat kejam dari kerajaan Romawi,

karena dianggap membahayakan negara. Agama Yahudi memang eksklusif,

tetapi hanya khusus untuk orang Yahudi yang jumlahnya hanya sedikit, jadi

negara masih bisa toleran. Tetapi Kristen, yang berusaha menjadikan semua

orang menjadi penganutnya, juga eksklusif, artinya tidak toleran terhadap

agama-agama lain. Oleh karena itu negara bertindak tegas. Kemudian baru

pada 313 M agama Nasrani diakui secara resmi sebagai agama yang sama

derajatnya dengan agama-agama lain dalam kerajaan Romawi. Bahkan pada

tahun 380 M agama Nasrani diakui menjadi agama resmi kerajaan Romawi.

Pada masa itu agama Nasrani masih dalam satu kesatuan lembaga.123

Tetapi sejak tahun 1054, timbullah perpecahan besar antara Gereja Roma

Katolik di sebelah Barat dan Gereja Ortodoks Yunani di sebelah Timur. Sebab-

sebab perpecahan tersebut adalah kompleks sekali, antara lain menyangkut

masalah teritorial, teologi, bahasa, politik dan upacara keagamaan. Perpecahan

itu berlangsung terus, dan pada abad ke-16 M timbullah aliran baru lagi yang

besar sekali pengaruhnya dalam dunia Kristen, yakni aliran Protestan. Pelopor-

122
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 173.
123
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 174.

58
pelopornya antara lain ialah Martin Luther (Jerman); Calviyn (Perancis) dan

Zwingli (Swiss). Protestan ini kemudian pecah menjadi ratusan gereja, yang di

USA saja mencapai kurang lebih 257 aliran. Gerakan eukurneni berusaha

membawa beberapa aliran atau sekte tersebut kembali kepada induknya

(Protestan), tapi hasilnya justru sebaliknya.124

Jadi dengan demikian terlihat adanya tiga aliran besar dalam gereja

Kristen, yaitu gereja Roma Katolik yang berpusat dikota, yang memperluas

sayap pengaruhnya di Eropa Tengah, Eropa Selatan, Irlandia sampai Amerika

Selatan dan juga Negara-negara Asia-Afrika. Gereja Kristen Ortodoks Timur

yang mempunyai pengaruh besar atas negara-negara: Yunani, Slavic, dan

Rusia. Dan Gereja Protestan yang menguasai Eropa Utara, Irlandia, Scotlandia

dan Amerika Utara dan kemudian berusaha meluaskan misinya (zending-nya)

ke negara-negara bekas jajahan Barat di Asia dan Afrika.125

2. Nasrani Dewasa ini

Selama lebih dari dua puluh abad, agama Nasrani/Kristen telah

berkembang, dan terbagi menjadi beberapa Gereja yaitu Gereja Barat (Katolik)

dan Gereja Timur, serta Protestan. Di beberapa belahan dunia, dia berkembang

dengan pesat, di tempat-tempat lain statis. Dari seluruh agama di dunia, agama

Kristen merupakan agama dengan jemaat (jumlah pengikut) yang terbesar di

dunia. Secara geografis, agama ini tersebar di kelima benua, bukan saja di

negara-negara Eropa, agama Kristen berhasil “menyingkirkan” agama-agama

124
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 174.
125
Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 175.

59
pribumi yang dianut oleh masyarakat setempat sebelumnya lebih dari separuh

komunitas Kristen.

Bisa dikatakan, bahwa agama Kristen merupakan agama yang dianut oleh

penduduk Benua Amerika. Di Amerika Serikat, sekitar 70% penduduknya

Protestan, dan 25% beragama Katolik, dengan setengahnya hadir di gereja

beberapa kali dalam sebulan. Sementara di Amerika Tengah dan Selatan,

mayoritas penduduknya beragama Katolik.126

Di Afrika, diberitakan bahwa penduduk Afrika sekarang lebih banyak

yang menganut agama Kristen dibandingkan dengan umat Islam. Yang

mengejutkan adalah kenyataan bahwa perkembangan kristenisasi di sana

sedemikian cepatnya, sehingga persentase populasi yang berpindah ke agama

Kristen (baik Katolik maupun Protestan) melampaui angka kelahiran. Michael

Keene, bahkan menyatakan bahwa di abad ke-XX lebih banyak orang di

seluruh dunia berpindah ke agama Kristen, jika dibandingkan dengan angka

dari orang-orang yang berpindah agama pada abad-abad sebelumnya

dijumlahkan bersama-sama.

Di Asia Timur dan Asia Tenggara, agama Kristen (kususnya Katolik)

masih tergolong minoritas. Namun sejumlah laporan mengabarkan bahwa

gereja Kristen tumbuh cukup signifikan setiap tahun. Begitu pula di Indonesia,

di mana mayoritas penduduknya beragama Islam (±85 % dari lebih dari 200

juta penduduknya).127

126
Torpin dan Khotimah, Agama Katolik dan Yahudi : Sejarah dan Ajaran,... hlm. 147-
148.
127
Torpin dan Khotimah, Agama Katolik dan Yahudi : Sejarah dan Ajaran,... hlm. 148.

60
Ada banyak faktor yang menyebabkan agama Katolik tetap menunjukkan

dinamikanya di berbagai penjuru dunia. Yang paling utama adalah karena

”kegigihan” dan “keberhasilan” para misionaris dalam menjalankan tugas dan

panggilan Gereja Katolik untuk menyiarkan agama ke berbagai penjuru dunia.

Lewat “teologi pembebasan” yang berkembang pesat di abad XX, banyak

orang-orang berpindah ke agama Kristen, khususnya Katolik. Teologi

pembebasan mengajarkan kepada manusia akan Yesus Kristus sebagai Sang

Pembebas manusia, khususnya kaum marginal dari segala dosa dan

penderitaannya. Para misionaris mengaplikasikan teologi pembebasan ini

dengan meneladani Yesus Kristus semasa hidupnya dulu. Mereka memilih

secara suka rela untuk hidup miskin, sebagai sebuah komitmen untuk

mewujudkan solidaritas dengan kaum miskin, dengan mereka yang mengalami

penderitaan dan ketidakadilan. Ini bukanlah suatu bentuk pemujaan terhadap

kemiskinan, tetapi lebih menekankan kemiskinan adalah kemiskinan—kuasa

jahat—yang harus ditentang dan diusahakan untuk dilenyapkan. Di ujung abad

XX, ide teologi pembebasan ini diadopsi dengan baik dan sukses oleh para

misionaris Protestan Evengelis. Tidak heran jika di beberapa belahan bumi,

seperti Amerika Utara (Amerika Serika dan Kanada) dan Amerika Selatan

(misalnya Brazil) Gereja Evangelis tumbuh dan berkembang dengan pesat.128

128
Torpin dan Khotimah, Agama Katolik dan Yahudi : Sejarah dan Ajaran,... hlm. 148-
149.

61
BAB III

PENAFSIRAN THABATHABA’I DAN EDIP YUKSEL, DKK.

TERHADAP AYAT TENTANG YAHUDI-NASRANI

A. Biografi Thabathaba’i dan Penafsirannya tentang Yahudi-Nasrani

1. Biografi Thabathaba’i

Kepopuleran dan kemoderatan Thabathaba'i, salah satunya dibuktikan

dengan pandangan-pandangannya yang banyak dikutip oleh penulis Sunni.

Misalnya saja Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Mishbah, dari volume satu

sampai lima belas, pada saat menafsirkan ayat hampir selalu mengutip

pandangan Thabathaba'i. Karya lainnya bahkan sudah diterjemahkan oleh dua

alumni pesantren yang berbasis NU-Tradisional-Sunni.129 Hal ini menunjukkan

betapa perlunya dilakukan telaah terhadap tradisi lain dalam Islam (Sunni),

yakni Syiah, meskipun belum hegemonik dalam konteks Indonesia, dan juga

harus diakui bahwa tafsir ini belum memiliki akses seluas tafsir al-Manar,

misalnya, atau al-Jalalain.130

Thabathaba'i merupakan panggilan populer bagi penulis al-Mizan fi Tafsir

al-Qur’an ini. Thabathaba'i sendiri merupakan honorific title (Iaqab) bagi salah

satu kakeknya, yaitu Ibrahim Thabathaba'i bin Isma'il ad-Dibaji. Ia diberi title

seperti itu oleh ayahnya dengan harapan dapat memotongkan secuil kain

baginya, ketika ia masih kecil, kemudian memberi pilihan kepadanya antara

129
Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madani dan Hamim
Ilyas, (Bandung: Mizan 1988),
130
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim dalam Tafsir
Al-Mizan, Bandung: Mizan Pustaka, 2016, hlm. 9.

62
baju dan quba. Ayahnya menegaskan thaba-thaba yakni quba-quba. Akan

tetapi menurut pendapat lain, title tersebut diberikan kepadanya, yang berarti,

ia adalah penghulu para sayid (atau keturunan Nabi Muhammad). 131 Nama

aslinya Muhammad Husein.132

Thabathaba'i adalah putra as-Sayid Muhammad bin as-Sayid Muhammad

Husain133 yang lahir pada akhir 1321 H. tepatnya pada 29 Dzulhijjah 1321 H.

atau bertepatan dengan 17 Maret 1904 M. di Desa Shadegan, Provinsi Tibriz

atau Tabriz (provinsi yang pernah dijadikan sebagai ibu kota pada masa Dinasti

Safawi). Ia berasal dari keluarga ulama keturunan Nabi yang selama 14

generasi telah menghasilkan ulama-ulama terkemuka dalam Islam, termasuk

Thabathabaii sendiri. Tidak mengherankan jika kemudian Thabathaba'i

mendapat pendidikan awal dari tangan keluarganya yang notabene keluarga

ulama intelektual dan religius. Di karenakan Ibunya meninggal pada saat ia

berusia lima tahun,134 dan diikuti oleh kematian sang ayah ketika ia masih

berumur sembilan tahun. Kemudian ia beserta adiknya diserahkan kepada

seorang pelayan laki-laki dan perempuan oleh seorang wali yaitu orang yang

131
Sayid adalah sebuah gelar kehormatan yang biasa digunakan untuk keturunan nabi
Muhammad, khususnya yang berasal dari cucu keduanya, Husain bin Ali. Secara harfiah sayid
berarti orang yang memiliki kedudukan mulia, terhormat, luhur, masyhur atau agung dikalangan
masyarakat. Kata ini sudah dipakai sejak zaman pra-Islam. Syed Husain Jafri “Sayyid”, John L.
Eposito (sd.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Vol. V, terj. Eva, Y.N. dkk. (Bandung:
Mizan, 2001), hlm. 122-125.
132
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 10.
133
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Tafsir Al Mizan, terj. Ilyas Hasan,
diterjemahkan dari al Mizan: An Exegesis of Qur’an (Jakarta: Lentera, 2010), Vol. I, hlm. 11.
134
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 10.

63
mengurus harta peninggalan ayahnya.135 Dengan demikian, ia sudah menjadi

yatim pada saat masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orangtua.

Ia tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang

cinta ilmu. Dijelaskan oleh al-Usiy, bahwa Thabathaba'i tumbuh dalam iklim

keilmuan yang khas dan model pembelajaran yang terorganisir, yaitu yang

dikenal dengan hauzah.136 semacam lembaga pendidikan yang mengadakan

halaqah-halaqah ilmiah yang pada muIanya tumbuh di masjid-masjid. Pada

waktu itu telah tumbuh hauzah-hauzah, seperti di Najaf, Karbala, Qum, Tibriz,

Masyhad, Ashfihan atau Ishfahan, Samira dan lain-lain. Secara garis besar,

perjalanan pendidikan Thabathaba'i dijalani di tiga tempat: Tibriz, Najaf; dan

Qum,

Thabathaba'i memperoleh pendidikan dasar dan menengahnya secara

formal di kota kelahirannya Tabriz, selama 1911-1917 beliau melanjutkan studi

tradisionalnya tentang al-Qur’an dan pelajaran agama. Semangatnya untuk

belajar tidak padam, selama tujuh tahun, tepatnya mulai 1918-1825, ia dengan

tekun memulai kajian dan membaca teks-teks agama, bahasa Arab dan

berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang gramatika, Thabathaba'i mempelajari

Ketab Amsela, Surf-e Mir dan Tasrif. Dalam bidang sintaksis, 1a mempelajari

Ketab-e, Avamel, Enmuzaj; Samadiya, Sayuti, Jami' dan Maghonni. Bidang

lain yang ia perdalam adalah retorika, dengan mengkaji Ketab-e Motavval.

Dalam bidang fikih, ia mempelajari Syarh-e Lamaa dan Makaseb. Kemudian

135
Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam: Upaya Memahami Seluruh
Konsep Islam secara Mudah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), cet II, hlm. 15.
136
Secara bahasa, Hauzah berarti teritori. Dilingkungan Syiah hauzah berarti wilayah
yang dijadikan pusat pembelajaran studi-studi keislaman. Lihat Waryono Abdul Ghafur,
Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 19.

64
dalam bidang ushul fikih, ia mempelajari Kitab-e Ma’alem. Qavanin. Makaseb,

Rasail dan Kanaya. Dalam bidang mantik (logika), ia mempelajari Kobra,

Hasyiya, dan Syarh-e Syamsiya. Sementara dalam bidang filsafat dan teologi,

ia mempelajari Syarh-e Esyarat dan Kasyfal-Murad.137

Seperti layaknya kebanyakan pelajar pendidikan dasar di Persia saat itu, ia

belajar bahasa Parsi atau Persia dan pelajaran-pelajaran dasar lainnya seperti

al-Qur'an dan karya klasik tentang kesusastraan dan sejarah seperti Gulistan

dan Bustan-nya Sa'di (580-691 H/1184-1292 M), Nesab dan Akhlaq, Anvar-e

Sohaily, Tarikh-e Mojam, beberapa karangan Amir-e Nezam dan Irsyad al-

Hisab. Di samping menerima pelajaran dari lembaga formal, Thabathaba'i juga

mendapat tambahan materi pelajaran dari guru privat yang sengaja didatangkan

ke rumahnya. Dengan tambahan privat ini, ia tumbuh menjadi anak yang sedari

kecil terbiasa belajar dan tekun dengan ilmu.138

Pada tahun 1925 pula, Thabathaba’i memasuki studi formal di Universitas

Syiah Najaf (Irak).139 Di Najaf al-Asraf inilah dia berhasil menguasai ilmu-

ilmu naqliyah dan aqliyyah. Dia mengawali studi-studi lebih tingginya bersama

ulama-ulama termashur seperti Syaikh (al-Mirza) Muhammad Husain (putra

syaikhul Islam al-Mirza Abdurrahim) Na’ini al-Gharawi (1860-1936) dan

Syaikh Muhammad Husain (putra al-Hajj Muhammad Hasan, Mainut Tujjar)

137
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,,... hlm. 11-12.
138
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 10-11.
139
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... Vol. I, hlm.
11.

65
Ishfahani140 (1878-1942). Thabathaba’i banyak dipengaruhi oleh kedua guru

tersebut (dan khususnya Ishfahani) dalam perkembangan pemikiran dan

pengetahuan. Pengaruh selanjutnya dari Sayid Abdul Qasim Ja’far (putra Sayid

Muhammad al-Musawi) Khwansari (1895-1961) yang dikenal sebagai ahli

matematika. Dalam bidang etika dan spritual, yaitu dari Sayid Mirza (dari

keluarganya sendiri).141

Sebagai tambahan terhadap pelajaran formal atau disebut dengan hushuli,

Thabathaba’i juga mempelajari ilmu hudhuri. Sebagai guru satu-satunya dalam

bidang ilmu hudhuri adalah Mirza ‘Ali al-Qadhi. Guru inilah yang

memperkenalkan kepada Thabathaba’i karya Ibnu ‘Arabi yang berjudul

Fushash al-Hikam. Memperhatikan latar pendidikan tersebut, segera tampak

adanya perpaduan ilmu naqliyyah dan 'aqliyyah pada Thabathaba’i. Tidak salah

bila Hossein Nasr menyebutnya sebagai filosof, teolog dan sufi yang didalam

dirinya kerendahan hati seorang sufi dan kemampuan analisa intelektual

berpadu.142

Thabathaba’i adalah salah seorang ulama yang mempelajari filsafat

materialaisme dan komunisme, lalu mengkritik dan memberi jawaban yang

mendasar. Thabathaba’i juga mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh dari dua Guru

besar saat itu Mirza Muhammad Husain Na'ini dan Syekh Muhammad Husein

140
Syaikh Isfahani adalah seorang filosof yang tak tertandingi pada zamannya, seorang
penulis dan seorang penyair Arab dan Persia yang paiwai, dia adalah seorang yang jenius yang
prestasi-prestasinya membuat orang memandang dirinya sebagai ideal.
141
Sayid Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... Vol. I, hlm. 11-12.
142
Ahmad Hazami, Studi Komparatif Penafsiran Rasyid Rida dan Tabataba’i terhadap
Surat Al-Maidah Ayat 67,... hlm. 39-40.

66
Isfahani. Dia sangat tekun mempelajari seluruh seluk beluk matematika

tradisional dari Sayyid Abul Qasim Khawansari.143

Thabathaba’i juga mempelajari filsafat Islam tradisional al-Syifa oleh Ibnu

Sina, Asfar oleh Mulla Shadra dan Tamhid al-Qawaid oleh Ibnu Turkah dan

Sayyid Husain Badkuba'i. Beliau juga murid dari Sayyid Abul Hasan Jilwah

dan Aqa’ ‘Ali Mudarris Zanusi dari Teheran. Beliau telah mencapai tingkat

ilmu Ma’rifah dan Kasyyaf. Beliau mempelajari ilmu ini dari seorang guru

besar Mirza ‘Ali al-Qadhi.144

Setelah tamat studi di Universitas Najaf, minat intelektual Thabathaba’i

tetap menggebu, terutama ia sangat tertarik mempelajari ilmu 'aqliyyah. Akan

tetapi, karena kesulitan ekonomi, Thabathaba’i kembali ke kota kelahirannya.

Di Tabriz, dia tidak dapat terhindar dari pemenuhan kebutuhan ekonomi untuk

bertahan hidup. Mata pencahariannya selama di Tabriz adalah bertani.145

Bersamaan dengan masa-masa di Tabriz, pecahlah Perang Dunia II.

Perang Dunia ini membawa akibat buruk di Iran. Oleh karena itu, Thabathaba’i

pindah ke kota Qum pada tahun 1946, tepatnya desa Darakah, sebuah desa

kecil di sisi pegunungan dekat Teheran, di tempat inilah Thabathaba’i

menghabiskan musim panasnya. Di kota Qum ini, ia mulai aktif dalam

143
Ahmad Hazami, Studi Komparatif Penafsiran Rasyid Rida dan Tabataba’i terhadap
Surat Al-Maidah Ayat 67,... hlm. 37-38.
144
Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam: Upaya Memahami Seluruh
Konsep Islam secara Mudah,... hlm. 17.
145
Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam: Upaya Memahami Seluruh
Konsep Islam secara Mudah,... hlm. 17.

67
aktivitas keilmuan sampai dengan wafatnya.146 Kemudian Thabathaba’i

meninggal dunia di Aban pada tanggal 18 Muharram 1412 H/ 1981 M.147

Pada tahun 1324 H / 1945 M, ia pindah ke kota Qum menjadi pengajar di

kota suci itu, sebagai seorang mujtahid, ia menitikberatkan pada pegajaran

Tafsir al-Qur’an, Filsafat dan Tasawwuf. Dengan ilmu yang luas dan

penampilannya yang sangat sederhana, membuatnya mempunyai daya tarik

khusus bagi muridnya. Beliau menjadikan ajaran Mulla Shadra sebagai

kurikulum penting.148

Aktivitas keilmuan Thabathaba’i, memberikan identifikasi bahwa dia telah

memberikan pengaruh besar bagi kehidupan intelektual di Iran. Beliau telah

mencoba mewujudkan suatu intelektual baru di antara kelompok-kelompok

yang berpendidikan modem. Kelompok elit baru tersebut akan diperkenalkan

dengan intelektualitas Islam seperti juga dengan dunia modern. Banyak

mahasiswanya yang berhasil tampil sebagai tokoh intelektual gemilang.

Sebagai seorang mufassir besar dan filusuf sekaligus sufi, ia telah mencetak

murid-muridnya menjadi ulama yang intelektual seperti Mutahhari seorang

Guru Besar di Universitas Teheran dan Sayyid Jalaluddin Asytiyani seorang

Guru Besar di Universitas Masyhad.149

146
Ahmad Hazami, Studi Komparatif Penafsiran Rasyid Rida dan Tabataba’i terhadap
Surat Al-Maidah Ayat 67,... hlm. 41-42.
147
Sayyid Husein Nasr, “kata pengantar", dalam Thabathaba’i, Islam Syi'ah, (Bandung:
Mizan. 1990), hlm. 8
148
Ahmad Hazami, Studi Komparatif Penafsiran Rasyid Rida dan Tabataba’i terhadap
Surat Al-Maidah Ayat 67,... hlm. 42.
149
Thabathaba’i, Tafsir al Mizan; Mengupas Ayat Ayat Kepemimpinan, (Jakarta: CV.
Firdaus, 1991), hlm. I-II.

68
Dalam masa studi dan karier keilmuannya, Thabathaba'i setidaknya

menjumpai tiga atmosfer pengetahuan, yaitu pertama, adanya pertentangan

antara kelompok ulama yang mengembangkan ilmu-ilmu tradisional dan ulama

yang mengembangkan ilmu-ilmu rasional; kedua, masa redupnya tradisi

keilmuan Islam akibat masuknya pengaruh modernisasi dalam pendidikan di

Iran yang sudah dimulai pada periode Qajar, dan ketiga; masa kembalinya

tradisi keilmuan Islam sebagai ilmu utama.150

Thabathaba'i sejak usia dini sudah akrab dengan ilmu dan ulama. Di

kemudian hari bahkan ia tumbuh menjadi ulama yang disegani dan

menghasilkan banyak karya tulis atau bahkan termasuk penulis prolifik. Ia

merupakan sosok yang memiliki wewenang keagamaan yang dihormati

masyarakat Syi'ah karena menjadi mujtahid yang mendapat gelar unik al-

‘Allamah. Hal ini karena ia bukan saja menguasai ilmu-ilmu tradisional

(naqliyah) tetapi juga ilmu-ilmu 'aqliyah, dua keahlian yang jarang dimiliki

ulama pada masanya. Bahkan sebagaimana disinggung sedikit sebelumnya, ia

sangat mengenal baik dunia dan filsafat Barat serta suasana kejiwaannya, di

antaranya melalui ilmuwan yang menghadiri majelis ilmiahnya.151

Thabathaba'i bukan saja mencetak murid-murid yang menjadi ulama-

intelektual dan aktivis politik, tetapi mewariskan banyak karya ilmiah. Karya-

karyanya terus memperoleh popularitas besar. Di Amerika dan Prancis,

tulisannya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Dari

sana ia kemudian dikenal sebagai filsuf yang menonjol di dunia modern. Lan P.

150
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 12.
151
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 12.

69
McGreal memasukkannya dalam The Great Thinkers of the Eastern World.

Dari berbagai cabang keilmuan yang ia kuasai, dua bidang ilmu di antaranya

yang sangat kental mewarnai karya-karyanya, yaitu filsafat dan kajian

keagamaan, tak terkecuali dalam karya magnum opus-nya, al-Mizan fi Tafsir

al-Quran. Bagi kalangan Syi'ah, dua bidang keilmuan itu memang sudah

menjadi trade mark-nya. Di dunia Syi'ah, filsafat memperoleh tempat yang

istimewa, bahkan hingga sekarang sebagai salah satu cara untuk memahami

Islam dan persoalan kehidupan.152

Meskipun tugas utamanya sebagai seorang karier keilmuan yaitu belajar,

mengajar dan membimbing di beberapa Universitas, Thabathaba’i masih

menyibukkan diri dengan menulis banyak buku dan artikel yang

memperlihatkan kemampuan intelektual dan kedalaman pengetahuannya dalam

bidang kajian keagamaan.

Adapun karya Thabathaba’i adalah sebagai berikut :

a. Berbentuk buku: 1). Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Karya Thabathaba’i ini

tergolong paling penting dan monumental terdiri dari dua puluh jilid. 2).

Ushul Falsafah wa Rawls Rialism, terdiri dari lima jilid. 3). Hasyiyah bar

Asfar, adalah anotasi dari karya Mulla Shadra yang berjudul Asfar. 4).

Musabahat ba Ustadz Qurban, karya ini terdiri dari dari dua jilid yang

berdasarkan atas tanya jawab antara Thabathaba'i dan Henry Corbin. 5).

‘Ali wa Falsafah al-Ilahiyat. 6). Syi'ah dar Islam. 7). Qur'an dar Islam.153

152
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 12-13.
153
Ahmad Hazami, Studi Komparatif Penafsiran Rasyid Rida dan Tabataba’i terhadap
Surat Al-Maidah Ayat 67,... hlm. 43.

70
b. Berbentuk makalah: Risalah dar Hukumat Islami, Hasyiyah Kifayah,

Risalah dar Qawwah wa Fi’il, Risalah dar Itsbat Dzat, Risalah dar Shifat,

Risalah dar Af’al, Risalah dar Insan Qabl Al-Dunya, Risalah dar

Nubuwwat, Risalah dar Walayat, Risalah dar Musytaqqat, Risalah dar

Burhan, Risalah dar Tahlil, Risalah dar Tarkib dan Risalah dar

Nubuwwat wa Munamat.

Karya-karya Thabathabai ditulis dalam dua bahasa; Arab dan Persia. Di

kemudian hari, baik ketika ia masih hidup, maupun setelah meninggalnya,

karya-karya yang ditulis dengan bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa

Arab atau sebaliknya. Di samping beberapa karya tersebut, ada beberapa karya

lain yang belum teridentifikasi, apakah ditulis dalam bahasa Arab atau bahasa

Persia. Tafsir al-Qur'an yang disusun oleh Thabathaba'i dikenal dengan al-

Mizan yang berarti timbangan, keseimbangan atau moderasi. Thabathaba'i

tidak menjelaskan mengapa tafsirnya ini dinamakan al-Mizan. Namun menurut

dugaan al-Usiy, kemungkinan karena diungkapkannya berbagai pikiran dan

pendapat di dalam al-Mizan, kemudian berbagai pikiran dan pendapat itu diuji

dan diseleksi untuk saling menguatkan atau mengoreksi terhadap salah satunya.

Setelah mengemukakan berbagai pendapat tersebut. Thabathaba'i memilih atau

menimbang pendapat yang kuat untuk kemudian dipilih sebagai penafsirannya.

Sebagaimana akan dikemukakan nanti, memang tafsir ini ditulis bukan hanya

dengan dikemukakannya berbagai pendapat, tetapi juga menggunakan berbagai

literatur yang dijadikan rujukan sebagai bahan penafsirannya. Hal inilah yang

membedakan tafsirnya dengan tafsir-tafsir yang ditulis oleh ulama Syi'ah

71
sebelumnya. Apa yang ditempuhnya ini, membuat pemikiran dan tafsirnya

dianggap sebagai yang moderat sehingga pendapatnya banyak dikutip oleh

ulama Sunni.154

Tafsir ini mulai disusun oleh Thabathabai ketika ia menetap dan mengajar

di Qum. Tafsir ini ditulis bukan saja sebagai respons atas permintaan para

ulama untuk membangkitkan kajian al-Qur'an yang pada waktu itu kalah

dominan dibandingkan kajian filsafat dan Fikih—kedua disiplin yang masing-

masing menjadi primadona atau mahkota ilmu-ilmu rasional dan ilmu-ilmu

tradisional di mana antara ulama keduanya saling berkompetisi—namun juga

karena di hauzah tersebut, belum ada program kajian tafsir. Hal ini seperti

tampak dalam penuturannya:

Ketika saya tiba di Qum, saya belajar program pendidikan di hauzah


dengan pertimbangan bahwa ini merupakan kebutuhan masyarakat. Saya
menemukan kekurangan di dalamnya dan saya merasa berkewajiban
untuk membenahinya. Kekurangan yang paling penting dalam program
hauzah berada dalam wilayah tafsir aI-Qur'an dan intelektual sains. Maka
saya mulai mempelajari tafsir dan filsafat. Kenyataannya, pada waktu itu
tafsir al-Qur'an yang membutuhkan riset dan penelitian sains belum
diperhatikan dan masih dianggap bidang studi yang belum layak bagi
mereka yang terbiasa melakukan riset dalam bidang yurisprudensi (fiqh)
dan prinsip-prinsip yurisprudensi (ushal al-fiqh). Karena mengajarkan
tafsir lebih dianggap sebagai tanda orang yang memiliki kualifikasi lebih
lemah. Tetapi saya tahu, saya tidak bisa menggunakan ini sebagai alasan
di depan Tuhan (untuk tidak mempelajari tafsir) dan saya melanjutkan
studi sampai menyelesaikan penulisan tafsir al-Mizan.155

154
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 13-14.
155
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,:,... hlm. 14-15.

72
2. Latar Belakang Tafsir Al Mizan

Setiap kitab tafsir disusun dengan motivasi tertentu. Ada kitab tafsir yang

ditulis untuk memenuhi tuntutan masyarakat seperti Ma’anil Qur’an karya al-

Farra. Ada juga kitab tafsir yang ditulis dengan tujuan merangkum kitab tafsir

sebelumnya yang dinilai terlalu panjang dan luas, seperti al-Dur al-Mansur

karya al-Suyuthi dan banyak lagi kitab-kitab tafsir lainnya.

Adapun motivasi yang mendorong Thabathaba’i untuk menulis kitab

tafsirnya, al-Mizan adalah karena ia ingin mengajarkan dan menafsirkan al-

Qur’an yang mampu mengantisipasi gejolak rasionalitas pada masanya. Di sisi

lain, karena gagasan-gagasan matrealistik telah sangat mendominasi, ada

kebutuhan besar akan wacana rasional, filosofis sekaligus sufi yang akan

memungkinkan hauzah tersebut mengkolaborasikan prinsip-prinsip intelektual

dan doktrinal dalam Islam dengan menggunakan argumen-argumen rasional

dalam rangka mempertahankan posisi Islam.156

Dalam Penafsirannya Thabathaba’i merujuk pada penafsiran masa periode

pertama yang menafsirkan ayat per ayat dengan dijelaskan ayat lain yang

berhubungan dengat ayat tersebut dan masa periode kedua yang menafsirkan

ayat dengan dijelaskan dari beberapa riwayat saja. Thabathaba'i mengambil

nama al Mizan (dengan judul aslinya Al Mizan fi Tafsir Al-Qur’an), yang

mempunyai makna timbangan yaitu suatu yang digunakan untuk mengukur

penafsiran pada masa itu. Oleh karena itu beliau menggabungkan corak

penafsiran pada masa periode awal dan periode kedua untuk menjelaskan tafsir

156
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 12.

73
al-Qur’an melalu penafsiran ayat per ayat dengan dijelaskan oleh ayat lain

yang berhubungan pada masa periode pertama, serta diperjelas lagi oleh

riwayat-riwayat pada masa sebelumnya.157

Thabathaba’i melihat pada zaman sahabat Nabi saw, seperti Ibnu Abbas,

Abdullah bin Umar, Ubay bin Ka’ab dan para mufassir lainnya pada masa

periode pertama, penafsiran pada waktu itu tidak lebih menjelaskan ayat-ayat

sekaitan dengan sastra dan sebab-sebab turunnya, dan sedikit menjelaskan ayat

dengan ayat, demikian juga sedikit penafsiran mereka yang menggunakan

riwayat-riwayat dari Nabi Muhammad saw tentang peristiwa sejarah atau

realita-realita tertentu dari suatu peristiwa, kebangkitan dan lainnya.158

Sedangkan pada masa periode kedua pun menggunakan metode dan cara

yang sama dalam penafsirannya oleh sebagian mufassir dari kalangan Tabi’in

seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abi Laili, al Suddi, al Sya'bi dan lainnya.

Kemudian mereka merujuk kepada riwayat-riwayat itu dalam menjelaskan

peristiwa sejarah dan realita realita ciptaan seperti awal kejadian langit, bumi,

lautan, Iran Saddad (kota kaum ‘Ad), peristiwa peristiwa para Nabi yang

dianggap salah, penyimpangan terhadap kitab kitab suci dan hal hal yang

sejenisnya. sebagian penafsiran itu diwariskan dari kelompok sahabat sehingga

mewarnai bentuk bentuk penafsiran dan pengkajian di kalangan Tabi'in.159

157
Muhammad Husein Thabathaba’i, AI Mizan fi Tafsir Al-Qur'an. (Teheran: Dar al
Kutub al Islamiah. 1392 H). Jilid I. hlm. 10
158
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
20.
159
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
20.

74
Oleh karena itu Thabathaba’i mengatakan bahwa setiap mufasir telah

memandang al-Qur’an dari sudut pandang intelektual mereka masing-masing

dan mengetengahkan interpretasi berdasarkan keinginannya.160 Atas dasar

itulah dia mencoba mengangkat satu corak penafsiran bukan hanya dari satu

kandungan al-Qur’an saja. Akan tetapi ia menghubungkan satu ayat ke ayat

yang lainnya dan disandingkan dengan riwayat-riwayat baik dari segi kisah

maupun penjelasan yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkannya.161

3. Metode dan Corak Tafsir Al-Mizan

Mengingat al-Qur'an bagaikan lautan yang keajaiban keajaibannya tidak

pernah habis dan kecintaan kepadanya tidak pernah lapuk oleh zaman, adalah

sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat ragam metode untuk

menafsirkannya.162 Penulis menyimpulkan bahwa tafsir al-Mizan karya

Thabathaba’i menggunakan metode Tahlili.163

Untuk mengungkapkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-

Qur’an, Thabathaba’i menggunakan tiga cara yang bisa dilakukan. Pertama,

menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah dan non ilmiah. Kedua,

menafsirkan al-Qur’an dengan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Imam-imam

yang diucapkan dalam konteks ayat yang akan dibahas. Ketiga, menafsirkan al-

160
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
31-32.
161
Muhammad Husein Thabathaba’i, AI Mizan fi Tafsir Al-Qur'an,... jilid I, hlm. 4.
162
Thabathaba’i, Tafsir al Mizan; Mengupas Surat Al Fatihah, (Jakarta: CV. Firdaus,
1991), Cet I. hlm. Xll.
163
Metode Tahlili. Berasal dari kata Hallala-Yuhallilu, Tahlili yang berarti mengurai atau
menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat ayat Al-Qur’an dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang
terdapat dalam Al Qur’an Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi’i (parsial). Lihat M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an Al-Karim, hlm. V, (pengantar), lihat juga Sejarah Ulum al-
Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus, l999), cet. Ke 1, hlm.172 192.

75
Qur’an dengan jalan merefleksikan kata-kata dan makna ayat dengan bantuan

sejumlah ayat lain yang relevan, dan sebagai tambahan, dengan merujuk

kepada hadis-hadis sejauh hal tersebut memang diperlukan.164 Meteode tafsir

seperti ini disebut metode tahlili.

Dalam muqodimahnya Thabathaba’i menjelaskan tentang metode dan

pemikiran akademisnya dalam menjelaskan al-Qur’an sebagai berikut:

1. Thabathaba’i mengambil sebuah problem yang berasal dari sebuah

pernyataan al-Qur’an, melihat, menelaah atau mengkajinya dengan sudut

pandang akademis atau filosofis, menimbang pro dan kontranya, dan

dengan bantuan filosofi, ilmu pengetahuan dan logis memutuskan harus

seperti apa jawaban yang benarnya. Setelah itu, dia telaah ayat itu dan

menyelaraskannya dengan jawaban yang menurutnya benar.165

2. Thabathaba’i menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan bantuan ayat-ayat

lain yang relevan, memikirkan dalam-dalarn ayat-ayat itu setara

berbarengan—dan pemikiran mendalam mendapat dorongan kuat dari al-

Qur’an sendiri—dan mengidentifikasi person atau sesuatu individual

melalui sifat-sifat dan fakta-fakta atau keterangan-keterangannya seperti

yang disebutkan dalam ayat.166

Thabathaba’i menjelaskan mengenai corak penafsiran Mufasir terhadap al-

Quran yang terdiri dari ; Pertama, Ulama hadis. Mereka mencukupkan diri

pada penafsiran berdasarkan riwayat dari ulama-ulama salaf, sahabat dan

tabi’in. kedua, para teolog yang menggunakan berbagai macam pendapat

164
Sayid Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm. 30-35.
165
Sayid Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm. 30-31.
166
Sayid Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm. 31.

76
mazhab dengan segala perbedaannya. Pendapat-pendapat yang sesuai diambil,

sedangkan yang tidak sesuai diinterpretasi dengan batas-batas kewenangan

yang ada di dalam mazhab. Ketiga, para filosof yang dalam menafsirkan tidak

jauh beda dengan para teolog.167

Corak penafsiran al-Mizan menggunakan kajian-kajian falsafi, ilmiah,

tarikh, sosial dan akhlaqi, jika hal ini dibutuhkan dalam kajian tafsir al-Mizan.

Berdasarkan metode itu, dalam tafsir al-Mizan-nya berkisar pada168:

1. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Nama nama Allah, sifat sifat Nya.

Hidup, Pengetahuan, Kekuasaan, Pendengaran, Penglihatan, Kesan dan

lainnya.

2. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan Allah Swt seperti

penciptaan, perintah, kehendak, keinginan, penunjukkan, penyesatan,

qadha' dan qadar, penetapan, pemaksaan dan penyerahan, ridha dan

murka, dan lainnya.

3. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perantara-perantara yang terjadi antara

Allah dan manusia, seperti hijab-hijab, lembaran, pena, Arasy, Kursi,

Baitul Ma’mur, langit dan bumi, Malaikat, syaitan, jin dan lainnya.

4. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia sebelum ke dunia.

5. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia di dunia seperti pengenalan

terhadap bermacam-macam sejarah umat manusia, pengenalan terhadap

dirinya, pengenalan terhadap dasar-dasar sosial, pengenalan terhadap

167
Ahmad, Baidlowi, Al-Thabathaba’i dan Kitab Tafsirnya, Al-Mizan Fi Tafsir Al-
Qur’an. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits. Vol. 5 No. I Januari 2004: hlm. 29-43.
168
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
34-35.

77
Kenabian, Risalah, wahyu, inspirasi, kitab, agama dan terhadap syari'at.

Dalam bab ini pembahasan maqam-maqam para Nabi yang dapat diambil

pelajaran yakni kisah kisah mereka yang telah dikisahkan.

6. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia sesudah dunia yakni Alam

Barzakh dan Hari Kebangkitan.

7. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan karakter manusia. Bab ini berkaitan

dengan maqam-maqam para sahabat atau Auliya dijalan spiritual mereka

yakni Islam, iman, ihsan, ikhlas, khidmat, kesucian niat dan lainnya.

Adapun ayat-ayat tentang hukum, Thabathaba’i dalam tafsir al-Mizan

tidak menjelaskan secara rinci karena masalah ini lebih tepat merupakan

sebuah topik untuk buku-buku yurisprudensi (undang-undang, kebiasaan,

ataupun adat).169

Sistematika Tafsir al-Mizan didahului dengan muqaddimah, yang

kemudian Thabathaba’i mengelompokkan ayat secara berurutan sesuai dengan

surat dalam al-Qur'an, kemudian ayat tersebut ditafsirkan melalui pencarian

makna dari lafazh tersebut yang kemudian ia tafsirkan dengan menyandingkan

riwayat-riwayat yang bersumber dari Ahlul Bait yang kemudian dihubungkan

dengan ayat yang berkaitan, juga menggunakan metode kajian-kajian falsafi,

ilmiah, tarikh, sosial dan akhlak, jika hal ini dibutuhkan dalam kajian tafsir al-

Mizan. Tafsir al Mizan terdiri dari 20 jilid yang mempunyai sistematika yang

sama, kecuali jilid pertama yang ditambah dengan muqaddimahnya. Sedangkan

jilid ke dua sampai ke dua puluh menggunakan sistematika yang sama.

169
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
35.

78
4. Penafsiran Thabathaba’i al-Quran surat Al-Baqarah [2] : 62 dan Al-

Baqarah [2]: 120 tentang Yahudi-Nasrani.

a. Al-Baqarah [2] : 62

         

          

   

Artinya: tak syak lagi, mereka yang beriman, mereka yang Yahudi,
dan Kristiani dan Shabi’in, barang siapa yang mengimani Allah dan
Hari Akhir dan beramal saleh, mereka akan mendapatkan pahala
mereka dari Tuhan mereka, dan sama sekali tak ada ketakutan untuk
mereka, dan juga mereka tak akan bersedih hati.

Ayat ini mula-mula menyebut orang-orang beriman, dan kemudian

mengatakan, “barangsiapa mengimani Allah...” Konteksnya

memperlihatkan bahwa kata-kata yang terakhir menunjukkan iman sejati

dan mamperlihatkan bahwa kata, “mereka yang beriman”, (yang

disebutkan pertama-tama) menunjukkan mereka yang menyebut diri

sendiri orang-orang beriman. Ayat ini mengatakan bahwa Allah tidak

memandang penting nama, seperti orang-orang beriman, orang-orang

Yahudi, orang-orang Nasrani/Kristen atau orang-orang Shabiin. Manusia

tidak dapat memperoleh pahala dari Allah dan juga dia tidak dapat

diselamatkan dari hukuman, semata-mata karena memberikan kepada diri

sendiri sebutan-sebutan yang bagus, sebagaimana contohnya, claim

mereka bahwa: tidak ada yang akan masuk surga kecuali dia adalah

79
seorang Yahudi atau searang Kristiani (QS. al-Baqarah [2] : 111). Satu-

satunya ukuran, satu-satunya standar, untuk kemuliaan dan kebahagiaan

adalah iman sejati kepada Allah dan Hari Kebangkitan, yang diiringi amal-

amal salih. Penting untuk dicatat bahwa Allah tidak mengatakan,

“barangsiapa dari mereka beriman”; karena kalau Allah mengatakan

demikian, berarti kata-kata Allah ini memberikan pengakuan untuk

sebutan-sebutan ini, dan berarti bahwa bagaimanapun juga ada manfaat

tertentu dalam mendapatkan nama-nama ini.170

Tema ini berulang-ulang dijelaskan dalam Al-Qur’an. Kemuliaan dan

kebahagiaan tergantung sepenuhnya pada kondisi kesejatian dan ketulusan

menghamba; nama, kata sifat, sama sekali tidak membawa kebaikan

kecuali kalau didukung dengan iman yang benar dan amal-amal salih.

Kaidah ini berlaku untuk semua manusia, sejak dari nabi-nabi sampai

manusia yang paling bawah posisinya. Perhatikan bagaimana Allah

memuji nabi-nabiNya dengan segenap sifat yang indah dan istimewa, dan

kemudian mengatakan: dan jika mereka menjadikan. yang lain (sebagai

sekutu-Nya) tak ragu lagi apa yang mereka lakukan itu akan sia-sia bagi

mereka (QS. al-An'am [6]: 88).171

Juga, Dia menggambarkan status tinggi dan martabat mulia Nabi Suci

saw dan sahabat-sahabatnya, dan kemudian mengakhirinya dengan firman

ini: Allah telah berjanji kepada orang-orang di antara mereka yang

beriman dan beramal salih, ampunan dan pahala yang besar (QS. Al-Fath

170
Sayid Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm. 379-380.
171
Sayid Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm. 380.

80
[48]: 29). Renungkan makna dari kata “di antara mereka”. Kemudian kita

melihat bahwa Allah memberikan kepada seorang manusia sebagian dari

ayat-ayatNya namun dia sesat: dan jika Kami kehendaki, tentu Kami

tinggikan derajatnya dengan jalan itu, tetapi dia mengikuti bumi dan

mengikuti keinginan rendahnya (QS al-A’raf [7]: 176).172 Ada banyak ayat

yang dengan jelas memperlihatkan bahwa kemuliaan dan kehormatan di

sisi Allah bergantung pada realitas, bukan pada tampilan.

Hadis:

Salman al-Farisi berkata, “Aku bertanya kepada Nabi saw tentang

kaum dari agama yang aku peluk (sebelum masuk Islam), dan aku

menggambarkan (praktik) doa dan ibadah mereka. Kemudian turun

wahyu: sesungguhnya mereka yang beriman, dan mereka yang Yahudi."

(ad-Durr aI-Mantsur). Penulis mengatakan: Beragam hadis lain, dengan

rentetan perawi yang berbeda, mengatakan bahwa ayat ini diturunkan

berkenaan dengan kaum Salman.173

Ibn Fadhdhal berkata, “Aku bertanya kepada ar-Ridha as mengapa

“an-nashara” (‫ارى‬
َ ‫ص‬َ َّ‫ = الن‬kaum Kristiani) diberi nama itu ar-Ridha as

menjawab, "Karena mereka adalah dari sebuah dusun yang bernama an-

Nashirah ( ٌ ‫اص َرة‬


ِّ َّ‫ = الن‬Nazarath) di Syria.174 Maryam dan Isa tinggal di sana

setelah keduanya kembali dari Mesir” (Ma’am aI-Akhbar). Hadis yang

172
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
380.
173
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
381.
174
Pada zaman itu, daratan atau negeri yang sekarang ini dibagi menjadi Syria, Yordania,
& Lebanon dan Palestina, disebut Syria atau Syria Raya.

81
sama mengatakan bahwa “al-yahud” (‫= اليهود‬kaum Yahudi) mendapatkan

nama ini, karena mereka adalah keturunan Yahuda, putra Ya'qub. Imam

mengatakan, “Shabiin adalah suatu kaum; mereka ini bukan Zoroastrian

dan juga bukan Yahudi, bukan Kristiani dan juga bukan Muslim; mereka

menyembah bintang-gemintang dan planet-planet. (At-Tafsir, Al-Qummi).

Penulis mengatakan: Ini adalah penyembah berhala jenis khusus; mereka

hanya menyembah berhala-berhala bintang-gemintang, sedangkan yang

lain menyembah berhala apa pun yang mereka sukai.175

Sebuah Diskusi Historis

Abu Raihan al-Biruni menulis dalam buku al-atsaru al-Baqiyah:

“Yang paling awal dikenal di antara mereka (yaitu orang-orang yang

mengaku nabi) adalah Yudhasaf.176 Dia muncul di India pada akhir tahun

pertama pemerintahan Tahmurth; dan dia membawa naskah Persia. Dia

mendakwahkan agama Shabiin, dan banyak orang mengikutinya. Raja-raja

Bishdadian dan sebagian orang Kayanis yang tinggal di Balkh sangat

menghormati matahari, bulan, bintang-gemintang dan planet-planet beserta

elemen-elemen lain, dan percaya bahwa obyek-obyek astronomis ini

sangat sakral. Ini berlanjut sampai Zoroaster datang pada akhir tahun ke 30

pemerintahan Peshtasav. Sisa-sisa kaum Shabiin itu sekarang ada di

Harfan, dari Harfan inilah mereka mendapatkan nama baru mereka,

Harraniyyah. Juga dikatakan bahwa tata nama ini mengandung arti Haran,

175
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
381.
176
Yudhasaf merupakan suatu distorsi atas Budhastav yang merupakan gelar Budha
Gautama, pendiri Bhuddisme.

82
putra Tarukh (Terah) dan saudara lelaki Ibrahim as, karena dia diduga

adalah salah seorang pemimpin keagamaan mereka dan pengikut paling

setianya.177

Ibn Sancala, seorang Kristiani, menulis sebuah buku yang menentang

kaum Shabiin. Dalam buku itu dia menyebut banyak hal tidak masuk akal

dan menggelikan yang berpangkal pada Haran ini. Sebagai contoh, dia

menggambarkan keyakinan kaum Shabiin tentang Ibrahim as dalam kata-

kata ini: Ibrahim as diusir dari komunitas mereka karena adanya sebuah

noda putih di kulupnya, dan kaum Shabiin percaya bahwa seseorang yang

memiliki sebuah noda putih, maka dia tidak bersih, dan kaum Shabiin

menghindari bergaul dengan orang seperti itu. Untuk menghilangkan noda

itu, lbrahim memotong kulupnya, yaitu menyunat sendiri. Kemudian dia

memasuki salah sebuah kuil; dan sebuah berhala menyerunya, “Wahai

Ibrahim! Kamu meninggalkan kami, dan saat itu kamu memiliki satu

cacat, dan kamu kembali, dan saat ini kamu memiliki dua cacat; pergilah

dan jangan pernah kembali kepada kami.” Ibrahim marah; dia kemudian

menghancurkan berhala-berhala itu; dan setelah itu lbrahim pergi.

Beberapa lama kemudian, dia merasa menyesali perbuatan yang sudah

dilakukannya, dan memutuskan untuk mengurbankan putranya di altar

Yupiter, karena sudah menjadi adat-istiadat mereka untuk membunuh

anak-anak mereka agar menenangkan hati para dewa. Ketika Yupiter

merasa yakin bahwa tobatnya tulus, maka Yupiter mengirimkan seekor

177
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
382.

83
domba muda kepadanya untuk disembelih untuk menggantikan putranya.
178

“Abdul Masih bin Ishaq al-Kindi menulis sebuah buku untuk

menanggapi sebuah buku yang ditulis oleh Abdullah bin Ismail al-

Hasyimi. Dalam buku itu Abdul Masih menulis tentang kaum Shabiin:

”Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa mereka suka berkurban

manusia, meskipun dewasa ini mereka tidak dapat melakukannya dengan

terang-terangan. Tetapi sejauh yang kami ketahui, mereka adalah penganut

monoteisme, mereka pecaya bahwa Tuhan bersih dari segala cacat,

kekurangan dan keburukan, mereka menggambarkan Tuhan dengan bahasa

yang negatif, bukan dengan bahasa yang positif; sebagai contoh, mereka

mengatakan: Allah tidak dapat didefinisikan atau tidak dapat dilihat, Dia

tidak zalim atau tidak penindas. Menurut mereka, nama-nama indah Allah

dapat digunakan. untuk Allah, tetapi hanya dalam pengertian kiasan,

karena sifat Tuhan tidak dapat benar-benar menggambarkan realitas.”

“Mereka percaya bahwa manajemen segala urusan dilakukan dan

dikendalikan oleh langit dan benda-benda samawi; langit dan benda-benda

samawi adalah benda-benda hidup yang memiliki karakteristik seperti

bicara, mendengar dan melihat. Mereka memuja cahaya dan benda-benda

astronomis. Salah satu peninggalan mereka adalah kubah di atas relung di

masjid Umayyah, Damaskus; ini adalah rumah ibadah mereka, dan pada

zaman itu bahkan orang Yunani dan orang Romawi pun mengikuti agama

178
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
382-383.

84
yang sama. Kemudian tempat ini dikuasai oleh kaum Yahudi, dan kaum

Yahudi mengubah tempat ini menjadi sinagoga. Kemudian, kaum Kristiani

mengambil alih tempat ini, dan mengubahnya menjadi gereja. Setelah itu

datang kaum Muslim, dan mereka mengubahnya menjadi masjid.”

Kaum Shabiin memiliki banyak tempat ibadah dan berhala-berhala

mereka diberi. beragam nama matahari, dan dibentuk dengan pola-pola

tertentu, seperti dipaparkan oleh Abu Ma'syar al-Balkhi dalam bukunya,

The Home of Worship ”(Rumah Ibadah). Sebagai contoh, ada kuil Ba'lbak,

di dalam kuil ini ada berhala matahari; berhala Qiran, yang berkaitan

dengan bulan, dan dibangun dengan bentuk bulan, seperti syal yang

dipakai di kepala dan bahu. Ada sebuah dusun yang tak jauh dari sini,

namanya Salamsin; nama ini merupakan pengubahan dari nama aslinya,

Shanam Sin (berhala bulan). Begitu pula, sebuah dusun lain yang diberi

nama Tara'uz, yaitu gerbang Venus. Mereka juga mengklaim bahwa

Ka'bah dan berhala-berhalanya adalah milik mereka, dan bahwa orang-

orang Mekah penyembah berhala adalah beragama Shabiin. Menurut

mereka, berhala Latta dan Uzza menggambarkan Saturnus dan Venus.

Mereka mempunyai banyak nabi dalam hierarki mereka, Hermes Mesir,

Agadhimus, Walles, Pythagoras dan Babaswar (kakek Plato dari pihak

ibu) dan banyak lainnya seperti mereka. Sebagian dari mereka tidak makan

ikan untuk mencegah berbuih; tidak Juga makan unggas, karena ungas

selalu panas.179

179
Sayid Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm. 383-384.

85
Juga, mereka tidak menggunakan bawang putih, karena bawang putih

membuat sakit kepala dan membarakan darah dan air mani (yang menjadi

sumber kelangsungan ras manusia); dan mereka menjauhi kacang, buncis,

biji-bijian, karena dapat menumpulkan kecerdasan dan juga karena kacang,

buncis, biji-bijian ini adalah yang pertama berkecambah di tempurung

kepala manusia. Mereka menunaikan tiga salat wajib: saat matahari terbit

(delapan rakaat); saat tengah hari (lima rakaat); dan pada jam ketiga

malam mereka sujud tiga kali dalam tiap rakaat. Juga, mereka menunaikan

dua salat bukan wajib—pada jam kedua dan jam kesembilan dari hari.

”Mereka salat dengan” thaharah dan wudhu; mereka juga mandi besar

setelah janabah; tetapi mereka tidak menyunat anak-anak lelaki mereka

karena mereka tidak mendapatkan perintah untuk melakukan sunat.

Kebanyakan hukum mereka yang berkenaan dengan hukum perkawinan

dan hukum pidana adalah seperti syariat Islam; sementara aturan tentang

memegang mayat adalah sama dengan aturan Taurat. Mereka melakulan

kurban untuk bintang-gemintang, berhala-berhala mereka dan kuil-kuil.

Hewan-hewan kurban dibunuh oleh pendeta dan dukun, yang membaca di

dalamnya masa depan manusia yang memberikan kurban dan menjawab

pertanyaan-pertanyaannya.”180

“Hermes kadang kala disebut Idris yang dalam Taurat disebut

Akhnukh. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa Yudhasaf adalah

Hermes. ”Sebagian lainnya mengatakan bahwa Harrahiyyah yang sekarang

180
Sayid Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm. 384-385.

86
ini bukanlah kaum Shabiin yang riil; tetapi mereka ini dalam buku-buku

disebut sebagai penyembah berhala. Kaum Shabiin adalah orang-orang

Israil yang tetap tinggal di Babylonia saat kebanyakan dari mereka

kembali ke Yerusalem pada masa pemerintahan Cyrus dan Artaxerxes.

Mereka condong kepada keyakinan-keyakinan Zoroastrian, maupun

kepada agama Nebuhadnezzar. Praktik ini melahirkan suatu perbauran

Yudaisme dan Zoroastrianisme—seperti Samaritan Syria. Kebanyakan

dari mereka ada di Wasith dan daerah-daerah pedusunan Irak sekitar Ja'far

dan Jamidah; silsilah mereka bersambung sampai ke Enosh, putra Seth.

Mereka mengkritik dan menentang Harraniyyah beserta agama mereka.

Dengan kekecualian beberapa hal, sama sekali tidak ada kesamaan antara

dua agama ini, kaum Shabiin menghadap ke arah Kutub Utara ketika salat,

sedangkan kaum Harraniyyah menghadap ke arah Kutub Selatan.”181

”Sebagian ahli kitab mengatakan bahwa Methuselah memiliki satu

putra (selain Lamech), namanya adalah Shabi, dan Shabi ini menurunkan

kaum Shabiin. Orang, sebelum syariat didakwahkan dan sebelum

Yudhasaf datang, mengikuti keyakinan-keyakinan Samanian; mereka

tinggal di bagian timur dunia dan menyembah berhala. Sisa-sisa mereka

ada di lndia, Cina dan Taghazghaz, dan orang-orang Khurasan menyebut

mereka Shamnan. Peninggalan mereka, tempat-tempat ibadah dan berhala-

berhala mereka terlihat di Khurasan timur yang berbatasan dengan India.

Mereka mempercayai keabadian alam semesta dan transmigrasi jiwa.

181
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
385.

87
Menurut mereka, langit akan rubuh dalam sebuah kehampaan yang tak ada

ujungnya, dan itulah sebabnya mengapa langit bergerak memutar-mutar.”

Menurut beberapa penulis, satu kelompok dari mereka menolak teori

keabadian alam semesta dan mengatakan bahwa alam semesta ada sejak

satu juta tahun yang silam. 182

Penulis mengatakan gambaran di atas diambil dari buku al-Biruni

yang dikutip oleh Thabathaba’i.183 Pendapat yang dipercaya bersumber

dari beberapa penulis, bahwa agama Syabiin adalah perbaruan Yudaisme

dan Zooroastrianisme yang dibumbui beberapa elemen keyakinan-

keyakinan Harraniyah, nampaknya lebih sesuai dalam konteks ini: pada

akhirnya ayat ini dengan jelas menyebutkan satu demi satu kelompok-

kelompok yang mengikuti sebuah agama wahyu.

b. Al-Baqarah [2] : 120

            

              

      


Artinya: dan orang-orang Yahudi tidak akan senang kepada kamu
begitu pula Nasrani, sampai kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang
benar/sejati)". dan jika kamu mengikuti keinginan-keinginan mereka
setelah datang kepadamu pengetahuan, Maka kamu tidak
mendapatkan perlindungan dari Allah dan tidak juga satu penolong
bagimu.

182
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
385.
183
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid I, hlm.
385.

88
Dan orang-orang Yahudi tidak akan senang kepadamu, begitupula

orang-orang Nasrani... Sang Pembicara berpaling lagi ke dua kelompok,

setelah memandang sepintas ke arah yang lain, ayat ini memberikan

totalitas dan substansi pembicaraan sebelumnya. Setelah segenap teguran

kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, Allah berpaling

kepada Rasul-Nya dan mengatakan: Mereka tidak akan pernah merasa

senang kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka yang telah

mereka ciptakan menurut keinginan-keinginan mereka, yang diubah dari

pendapat-pendapat mereka sendiri. Kemudian Dia memerintahkan Rasul

untuk memperlihatkan kesalahan pandangan-pandangan mereka dan

mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya petunjuk Allah, itulah

petunjuk (yang benar dan sejati)”. Mengapa seseorang mesti mengikuti

orang lain untuk mendapatkan petunjuk? Sementara satu-satunya petunjuk

adalah petunjuk Allah; itulah kebenaran yang mesti diikuti. Sama sekali

tidak ada petunjuk dalam apa pun lainnya; dan pastinya tidak dalam

agamamu. Dan apakah agama itu? Cumalah sebuah kombinasi keinginan-

keinginanmu yang diagungkan sebagai agama.184

“Petunjuk Allah” mempresentasikan atau mengandung arti Al-

Qur’an—yang diturunkan oleh Allah, dan karena itu berarti bersumber dari

Dia. Kalimat, “Sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk (yang benar

dan sejati)”, memberikan batasan bahwa petunjuk Allah itu adalah

petunjuk. Sebaliknya, kalimat ini mengandung arti bahwa agama mereka

184
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid II, hlm.
96.

89
tidak memiliki petunjuk; dengan kata lain, agama mereka hanyalah

seperangkat hasrat, aspirasi dan kerinduan mereka saja. Konsekuensi

logisnya adalah bahwa apa yang ada pada Nabi saw adalah pengetahuan,

sedangkan apa yang ada pada mereka adalah kebodohan. Karena itu, Allah

berkata kepada Nabi saw, “Dan jika kamu mengikuti hasrat, aspirasi dan

kerinduan mereka, setelah datang kepadamu pengetahuan, maka kamu

tidak akan mendapatkan pelindung dari Allah, dan tidak juga penolong.”185

Siapa pun tentu akan melontarkan pujian kepada ayat ini: Betapa

logis, solid dan rasional argumen yang dikemukakannya; betapa banyak

detail bahasa efektif yang dimilikinya, sekalipun ayat ini pendek; betapa

cantik bahasanya dan betapa kuat, riil, otentik dan natural gayanya.

B. Biografi Edip Yuksel dkk. serta Penafsirannya tentang Yahudi-Nasrani

1. Biografi Edip Yuksel dkk. para Penyusun Tafsir Quran: A Reformist

Translation

a. Edip Yuksel

Penulis mengajak untuk mengenal biografi laki-laki penganut filosofi

“Quran Alone” (hanya Quran) ini yang belum familiar di dengar oleh

khalayak umum, khususnya orang Islam Indonesia. Apalagi dengan

tafsirnya yang sangat unik, pada umumnya tafsir adalah berbahasa Arab,

namun tafsir Quran: A Reformist Translation ini menggunakan bahasa

Inggris dan penulisnya pun bukan berasal asli dari negara Timur.

185
Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... jilid II, hlm.
96-97.

90
Edip Yuksel lahir di Turki pada tahun 1957 dari keluarga keturunan

Kurdish. Ayahnya Sadreddin Yuksel, adalah seorang sarjana Islam dan

mengajar bahasa Arab di salah satu universitas di Turki. Saudaranya,

Metin Yuksel, dibunuh oleh seorang nasionalis. Pada usia 26 tahun, Edip

muda dijebloskan ke penjara selama 4 tahun dipenjara Turki sebagai

respons pemerintah Atena terhadap dua artikelnya yang mempromosikan

pembentukan Negara Islam (gerakan revolusi Islam Turki).186 Sebelum

masa-masa dipenjara tersebut, Edip pernah bekerja sama dengan Ikhwanul

Muslimin di Syria dan Mesir mempelajari ide-ide pendukung Islam

modern.187

Pada laman pribadinya, Edip menceritakan perubahan paradigma

keagamaan dan politik yang ia alami pada akhir masa tugas militernya.

Tepatnya setelah ia membaca karya penulis Islam modernis yang sangat

bertentangan dengan apa yang selama ini diajarkan terutama yang

berkaitan dengan hukum dan teori-teori yang selama ini ia promosikan

melalui artikel-artikel, buku-buku, dan aktifitas politiknya. Setelah

berkorespondesi dengan si penulis, pada tahun 1986 ia mendapatkan

buku—ditulis oleh Rashad Khalifa—yang berisi argument kuat teologis

menolak semua ajaran tradisional yang dibuat untuk melengkapi al-

Qur’an. Setelah mengkaji argumen-argumen dalam buku tersebut, ia

mengaku yakin bahwa Islam (yang berarti menyerahkan diri pada Tuhan),

186
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation (United State of America:
Brainbow Press, 2007), hlm. 7.
187
Fazlur Rahman, Otoritas Pemaknaan Kitab Suci: Problematika Pemikiran Edip Yuksel
dalam “Qur’an: A Reformist Translation”, Jurnal Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis, vol. 299, no 2,
2014, hlm 305.

91
agama para Rasul, termasuk Ibrahim, Musa, Yesus dan Muhammad telah

banyak didistorsi (dikesampingkan) oleh para ulama Muslim.188 Ia

mengalami perubahan paradigma tersebut menjadi seorang Muslim

Reformis Sunni atau yang lebih dikenal sebagai monoteis rasionalis. Ia

telah menulis lebih dari 20 buku yang berkaitan tentang agama, politik,

filsafat dan hukum di Turki.189

Perubahan paradigma yang dialaminya tersebut membuatnya

kehilangann keluarga, kawan, kekayaan, keamanan, dan lain-lain. Hingga

akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Turki menuju Amerika

Serikat pada tahun 1989, ketika ia berumur 31 tahun. Di Amerika Serikat,

ia memulai kehidupannya yang baru. Ia tidak pernah mendapati polisi

yang tertarik untuk menginterogasinya hanya karena ia memiliki

keyakinan yang berbeda. Hidupnya tidak lagi merasa terancam karena saya

dianggap “murtad”. Hingga saat ini ia mendapatkan kembali kehidupannya

yang dahulu pernah ia rasakan di tanah airnya, bahkan lebih baik.190

Dalam bidang akademiknya, ia menerima gelar sarjana filsafat dan

studi ketimuran di universitas Arizona. Demikian juga gelar hukum ia

dapatkan di tempat yang sama. Kemudian, Edip menjadi professor filsafat

di Pima Community Collage dan mengajar beberapa kelas yang kebetulan

188
Fazlur Rahman, Otoritas Pemaknaan Kitab Suci: Problematika Pemikiran Edip Yuksel
dalam “Qur’an: A Reformist Translation”, Jurnal Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis, vol. 299, no 2,
2014, hlm 305-306.
189
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation (United State of America:
Brainbow Press, 2007), hlm. 2.
190
Fazlur Rahman, Otoritas Pemaknaan Kitab Suci: Problematika Pemikiran Edip Yuksel
dalam “Qur’an: A Reformist Translation”, Jurnal Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis, vol. 299, no 2,
2014, hlm 306.

92
menjadi tempat belajar anaknya sendiri. Ia sangat fasih berbicara bahasa

Turki, Inggris, dan Arab klasik serta ahli bahasa Persia. Dan baru-baru ini

ia mulai familiar dengan bahasa Kurdi.191

Edip merupakan pendiri International Critical Thinker, organisasi

pemikir kritis internasional untuk konferensi Reformasi Islam, website

19.org dan koordinator serta pendiri organisasi Muslim for Peace Justice

and Progress (MPJP). Beberapa karyanya antara lain yaitu: Quran: A

Reformist Translation, Manifesto for Islamic Reform; Peacemaker’s Guide to

Warmongers, nineteen: God’s Signature in Nature and Scripture, Critical

Thinkers for Islamic Reform, Running Like Zerbas dan Test Your Quranic

Knowledge. Dalam Quran: A Reformist Translation tersebut Edip Yuksel

berkontribusi dalam menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an, menulis

keterangan, anak judul, catatan akhir, material pengantar, serta catatan-

catatan tambahan.192

b. Layth Saleh al-Shaiban

Layth adalah salah satu intelektual muslim terkemuka yang tergabung

dalam kelompok Islamic Reform (pembaharuan Islam). Dia menetap di

Arab Saudi dan menjadi penasehat keuangan pada lembaga keuangan di

191
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation (United State of America:
Brainbow Press, 2007), hlm. 5
192
Akrimi Matswah, Menimbang Penafsiran Subjektivis terhadap Alqur’an: Telaah
terhadap Penafsiran Edip Yuksel dkk. dalam Quran: A Reformist Translation, Jurnal Dialogia,
Vol. 12 No. 1 Juni 2014, hlm. 4.

93
Arab Saudi. Selain itu dia merupakan pendiri Muslim Progresif, Free

Minds Organization, serta merupakan salah satu pendiri Islamic Reform.193

Layth telah menulis berbagai buku dan artikel mengenai Islam, di

antaranya yaitu Critical Thinkers for Islamic Reform yang dia tulis

bersama para pemikir kontemporer yang tergabung dalam kelompok

reformasi Islam, serta menulis buku The Natural Republic: Reclaiming

Islam from Within bersama kelompok The Monotheist Group.194 Dalam

karya terjemahan tersebut Layth menempati posisi sebagai partner Edip

Yuksel dalam menerjemahkan al-Qur’an.

c. Martha Schulte Nafeh

Martha Schulte Nafeh adalah dosen senior dalam bidang Bahasa Arab

pada Departemen Studi Timur Tengah Universitas Texas di Austin. Dia

juga menjabat sebagai asisten Profesor dan Koordinator Bahasa Timur

Tengah pada Departemen Studi Ketimuran di Universitas Arizona, serta

dosen Bahasa Arab dan Linguistik di universitas yang sama.195

Martha memperoleh gelar kesarjanaanya dalam bidang ekonomi di

Warthon School, kemudian gelar M.A dalam bidang Linguistik dari

University of Arizona pada tahun 1990. Adapun gelar Ph. D-nya di bidang

Studi ketimuran dengan konsentrasi pada Bahasa dan Linguistik Arab

193
Akrimi Matswah, Menimbang Penafsiran Subjektivis terhadap Alqur’an: Telaah
terhadap Penafsiran Edip Yuksel dkk. dalam Quran: A Reformist Translation, Jurnal Dialogia,
Vol. 12 No. 1 Juni 2014, hlm. 4.
194
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation (United State of America:
Brainbow Press, 2007), hlm. 16
195
Akrimi Matswah, Menimbang Penafsiran Subjektivis terhadap Alqur’an: Telaah
terhadap Penafsiran Edip Yuksel dkk. dalam Quran: A Reformist Translation, Jurnal Dialogia,
Vol. 12 No. 1 Juni 2014, hlm. 4.

94
diperoleh dari universitas yang sama pada tahun 2004.196 Dalam karya

Quran: A Reformist Translation Martha berkontribusi dalam melengkapi

dan mengoreksi tata bahasa serta memberikan feed back.197

Dari keterangan di atas ada tambahan mengenai kontribusi ketiga

author di atas dalam proses penyusunan Quran: A Reformist Translation

(Edip Yuksel dan Layth Saleh al-Shaiban berkontribusi dalam

penerjemahan teks utama buku tersebut, Edip Yuksel berkontribusi

menulis anotasi, sub judul, endnote, bahan-bahan pembuka, dan appendix

(tambahan atau lampiran), serta Martha Schulte-Nafeh berkontribusi

memberikan masukan-masukan terkait kebahasaan (linguistik) sesuai

dengan keahlianya.198

2. Corak Pemikiran Edip Yuksel dkk. dalam “Quran: A Reformist

Translation”

Gambaran tentang pemikiran Edip dalam Terjemah Quran Reformis dapat

dilihat dari beberapa penjelasan awal buku tersebut serta beberapa ayat—yang

menurutnya—bermasalah. Hal ini berdasarkan, sebagaimana yang telah

disebutkan di atas, keterangan yang tertulis mengenai kontribusi tiga penulis,

Edip berkontribusi dalam penerjemahan teks utama buku tersebut, serta

anotasi, sub judul, endnote, bahan-bahan pembuka, dan appendix.

196
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation (United State of America:
Brainbow Press, 2007), hlm. 5
197
Akrimi Matswah, Menimbang Penafsiran Subjektivis terhadap Alqur’an: Telaah
terhadap Penafsiran Edip Yuksel dkk. dalam Quran: A Reformist Translation, Jurnal Dialogia,
Vol. 12 No. 1 Juni 2014, hlm. 4.
198
Fazlur Rahman, Otoritas Pemaknaan Kitab Suci: Problematika Pemikiran Edip Yuksel
dalam “Qur’an: A Reformist Translation”, Jurnal Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis, vol. 299, no 2,
2014, hlm 306.

95
Dari beberapa halaman penjelasan awal buku, terdapat tiga point penting

yang menunjukkan metode penerjemahan buku tersebut yang secara bersamaan

menunjukkan corak pemikiran Edip dkk.:

1) Memposisikan akal dan bahasa al-Qur’an (language of the Quran itself)

sebagai otoritas utama penentu penafsiran serta menolak otoritas

penafsiran para sarjana terdahulu.

Pada halaman awal deskripsi buku Quran Terjemah Reformist ini

secara eksplisit disebutkan bahwa logika dan bahasa yang digunakan oleh

al-Qur’an itu sendiri (language of the Qur’an itself) diposisikan sebagai

otoritas tertinggi dalam menentukan makna. Tanpa mengindahkan

penafsiran-penafsiran para sarjana terdahulu.199 Karena penafsiran para

sarjana terdahulu terlalu banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran layaknya

kabar angin yang tidak dapat dikaitkan dengan Muhammad dan kental

dengan nuansa politik dan kepentingan sekte. Penolakan ini secara

eksplisit ditegaskan berulang kali dalam Quran Terjemah Reformis ini

ketika mengkaji ayat-ayat yang mukhtalaf.

Keputusan untuk tidak mengindahkan penafsiran-penafsiran para

sarjana terdahulu sesungguhnya dikarenakan adanya fore-meaning (dalam

hermeneutika Gadamer), atau guessing (dalam hermeneutika Ricoeur)

yang negative terhadap para ulama terdahulu yang tertanam pada diri Edip

sejak ia mengalami perubahan paradigma pada tahun 1980an. Dalam hal

ini Edip sebagai reader sudah mengambil jarak antara dirinya, teks, dan

199
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation (United State of America:
Brainbow Press, 2007), hlm. 12

96
author teks itu sendiri, agar mendapatkan makna yang murni. Proses ini

dikenal dengan distanciaton (penjarakan diri) dalam kerangka

hermeneutika Paul Ricoeur.

Apa yang dilakukan Edip dalam hal ini tentunya sah-sah saja menurut

pandangan hermenetika (baik Gadamer, maupun Ricoeur), tetapi tidak

untuk hanya berhenti di posisi itu saja. Guessing serta distanciation

hanyalah tahap awal dari suatu proses pemaknaan teks. Dalam hal ini,

Ricouer menyebutkan tiga proses memahami suatu teks: dari guessing

(menebak) ke validation (validasi)200 kemudian appropriation

(apropriasi/mencocokkan dengan realitas). Proses tersebut harus

dilanjutkan ke tahap understanding. Pada tahap inilah reader

menegosiasikan, mengkiritisi serta memvalidasi lebih lanjut pandangan

awal yang ia miliki terhadap teks dalam konteks yang lebih luas dan

dengan metode yang lebih beragam salah satunya dengan membuka pintu

terhadap pandangan-pandangan para historical audience teks tersebut.

Karena pada dasarnya teks tidaklah berdiri sendiri. walaupun dalam

pandangan kritis, teks tidak mengkaji kebenaran tapi ia menentukan

kebenarannya sendiri.201

Selain penolakan terhadap pandangan ulama terdahulu, permasalahan

lain yang muncul adalah penempatan logika sebagai faktor utama penentu

200
Fazlur Rahman, Otoritas Pemaknaan Kitab Suci: Problematika Pemikiran Edip Yuksel
dalam “Qur’an: A Reformist Translation”, Jurnal Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis, vol. 299, no 2,
2014, hlm 309.
201
Fazlur Rahman, Otoritas Pemaknaan Kitab Suci: Problematika Pemikiran Edip Yuksel
dalam “Qur’an: A Reformist Translation”, Jurnal Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis, vol. 299, no 2,
2014, hlm 309.

97
penafsiran. Karena banyak hal yang akal kita sebagai manusia tidak

mampu memahaminya, seperti misalnya huruf-huruf pembuka pada awal

surat. Malik ibn Nabi menyatakan bahwa pemaknaan huruf-huruf pada

awal surat seperti alif lam mim, hamim, alif lam ra, dan lain-lain, adalah

luar batas kemampuan rasio kita. Dalam konteks dialektika otoritas teks

dan otoritas nalar ini, menarik menyimak kesimpulan Faiqotul Mala bahwa

dalam memahami teks-teks agama interelasi nalar dan wahyu dibutuhkan

untuk memberikan makna yang lebih komprehensif.202

2) Berusaha mengungkap pesan asli (original message) al-Qur’an.

Salah satu idealisme tertinggi yang diusung oleh Yuksel dan bukunya

ini adalah usaha untuk mengungkap pesan asli (original message) al-

Qur’an. Menurut Gracia, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi

penafsiran: (1) interpretandum, teks yang ditafsirkan, (2) interpretans, teks

atau komentar yang ditambahkan pada teks yang ditafsirkan, dan (3)

penafsir itu sendiri. Masih menurut Gracia, hal ini menunjukkan bahwa

apa yang dapat kita hasilkan (interpretants) dari teks yang kita tafsirkan

(interpretandum) hanya komentar atau keterangan tambahan terhadap teks,

bukan original message. Original message hanya dimiliki oleh original

author.

Di sisi lain, idealism untuk mengungkap original message al- Qur’an

tanpa menggunakan bantuan perangkat pendukung yang telah ada seperti

hadis, asbab an-nuzul, dan lain-lain, yang memang ditolak oleh Yuksel,

202
Faiqotul Mala, Krisis Otoritas Hadis: Kajian Kontekstual Hadis Mushkil dalam
S}ah}ih al-Bukhari (Tangerang Selatan: Penerbit YPM, 2012), hlm. 34.

98
menjadikan idealisme tersebut tidak realistis walaupun tetap mungkin

dilakukan tetapi sangat subjektif.203

3) Menolak hadis dan sunnah.

Penolakan terhadap hadis dan sunnah oleh para reformis ini

sesungguhnya berawal dari kesalahpahaman (baca: persepsi negatif)

mengenai apa sesungguhnya hadis dan sunnah itu sendiri dan dalam

bagian introduction disebutkan:

It thus abandons the rigid preconceptions of all-male scholarly and


political hierarchies that give rise to the series of writings and
teachings known as the “Hadith & Sunna”, which according to the
Quran itself, carry no authority (9:31; 42:21; 18:110; 98:5; 7:3;
6:114)

Para reformis memaknai hadis dan sunnah sebagai prasangka akademis

yang kental dengan nuansa hirarki politis, kaku, dan akhirnya

memunculkan serangkaian tulisan dan ajaran. Mereka kemudian mengutip

beberapa ayat dalam al-Qur’an yang—menurut mereka—menolak otoritas

hadis dan sunnah. Jika dilihat dari pengertian hadis dan sunnah versi para

reformis ini, maka wajar jika kemudian Edip Yuksel secara terang-

terangan mengesampingkan otoritias pilar kedua Islam ini dalam usahanya

memaknai al-Qur’an dan ayat-ayat yang dijadikan landasan penolakan pun

menjadi relevan dalam hal ini.

Di sisi lain, sesunguhnya otoritas hadis sangat berkaitan dengan peran

Nabi sebagai pemegang otoritas. Secara teologis, otoritas Nabi bukan

hanya berasal dari penerimaan umat Muslim terhadap Nabi sebagai pribadi

203
Fazlur Rahman, Otoritas Pemaknaan Kitab Suci: Problematika Pemikiran Edip Yuksel
dalam “Qur’an: A Reformist Translation”, Jurnal Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis, vol. 299, no 2,
2014, hlm 310.

99
yang mempunyai otoritas, tetapi otoritasnya juga diekspresikan melalui

kehendak Ilahi. Allah menggambarkan kedudukan Nabi sebagai berikut:

penjelas (Q.S Al-Nahl: 44), pembuat hukum (Q.S Al-A’raf: 157), contoh

perilaku Muslim (Q.S Al-Ahzab: 21), dan sebagai sosok yang ditaati

secara total (Q.S Al-Nisa: 64, dan Ali Imran: 32, 132). Dalam al-Qur’an

telah diperintahkan dengan jelas untuk taat pada Allah sekaligus Nabi-

Nya, serta kaharusan yang mengikat untuk taat kepada keduanya. Oleh

karena itu, ketaatan di sini berarti ketaatan penuh bukan hanya setengah-

setengah. Sehingga seluruh keputusan, ketetapan, dan perintahnya

memiliki otoritas yang mengikat dan patut diikuti oleh masyarakat

Muslim.204

Berdasarkan uraian di atas, otoritas yang dipegang Nabi tersebut

sangatlah jelas, baik sebagai pembuat hukum maupun penjelas atau

penafsir al-Qur’an. Walaupun hal ini turut menimbulkan pertanyaan

apakah otoritas Nabi hanya berlaku bagi para sahabat Nabi (karena hanya

mereka yang berada di bawah kendali langsung dan pengawasan dari

Nabi) ataukah otoritasnya berlaku bagi semua generasi dan masa yang

akan datang?

Pertanyaan ini telah jelas dijawab dalam beberapa ayat al-Qur’an yang

secara jelas menegaskan bahwa Nabi diutus ke seluruh umat manusia dan

bukan untuk golongan tertentu. Kenabiannya tidak terbatas baik dalam

waktu atau tempat tertentu. Selain itu, Nabi juga merupakan utusan

204
Fazlur Rahman, Otoritas Pemaknaan Kitab Suci: Problematika Pemikiran Edip Yuksel
dalam “Qur’an: A Reformist Translation”, Jurnal Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis, vol. 299, no 2,
2014, hlm 313.

100
terakhir dan setelah beliau tidak ada lagi Nabi yang diutus. 205 Hal ini

dibuktikan ketika para Nabi sebelumnya diutus ke negara tertentu untuk

waktu tertentu dan kemudian mereka digantikan oleh Nabi lain, sedangkan

setelah Muhammad tidak ada lagi Nabi yang datang. Ini menunjukkan

bahwa kenabiannya meluas ke semua zaman dan semua waktu.206

Andaikan kenabiannya tidak akan menjangkau generasi berikutnya,

maka generasi-generasi tersebut tidak akan ditinggalkan tanpa bimbingan

kenabian. Ketika argumen Qurani mengenai otoritas Nabi di atas ternyata

tertolak mentah-mentah oleh orang yang memegang teguh prinsip “Quran

Alone,” maka mana fungsi otoritas nabi sebagai pembawa risalah al-

Quran?

3. Konstruksi Metodologi Penafsiran Edip Yuksel dkk. terhadap al-Qur’an

Metodologi penafsiran mereka secara singkat dapat diuraikan dalam

prinsip dan metode penafsiran mereka yaitu sebagai berikut:

Prinsip penafsiran

Pertama, pemahaman humanis terhadap al-Qur’an dengan tidak

membedakan jenis kelamin maupun sekte tertentu. Prinsip ini berpijak pada

pandangan Yuksel, dkk. bahwa al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang

terakhir yang diturunkan untuk manusia. Hal ini berarti ajaran al-Qur’an

mencakup keseluruhan umat manusia tanpa memandang jenis kelamin, suku

bahkan kelompok tertentu. Melihat dari tujuan humanis dari al-Qur’an tersebut,

205
Sebagaiamana yang ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al Ahzab: 40.
206
Fazlur Rahman, Otoritas Pemaknaan Kitab Suci: Problematika Pemikiran Edip Yuksel
dalam “Qur’an: A Reformist Translation”, Jurnal Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis, vol. 299, no 2,
2014, hlm 313.

101
maka penafsiran al-Qur’an seharusnya menekankan pada tujuan kemanusiaan

sebagaimana konteks kontemporer yang menyuarakan kesetaraan perempuan

dan laki-laki dalam kehidupan sosial, pluralitas sekte atau aliran keagamaan,

maupun perbedaan agama.207

Kedua, menolak otoritas ulama dalam melakukan pemaknaan. Prinsip

mereka yang menolak otoritas ulama dalam memaknai tema-tema atau isu yang

masih diperdebatkan dalam al-Qur’an dilatarbelakangi oleh pandangan mereka

bahwa mayoritas pandangan ulama banyak dipengaruhi oleh kultur patriarkal

yang melingkupinya. Selain itu dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an, para

ulama tersebut berpijak pada pemahaman sarjana klasik yang berakar pada

hierarki pemahaman yang patriakat pula, sehingga sering ditemui pemaknaan

yang sangat bias gender terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai

relasi perempuan dan laki-laki.208

Selain itu pemahaman mereka seringkali dikendalikan dan dipengaruhi

oleh berbagai kepentingan yang tersembunyi, baik yang bersifat ideologis,

kepentingan sekte-sekte atau aliran tertentu, serta seringkali dipengaruhi oleh

agenda politik dan kekuasaan. Sehingga penafsiran yang diungkap pun

didominasi pada pembelaan terhadap sekte atau golongan tertentu tanpa bisa

mewakili kepentingan universal, yaitu untuk keadilan dan kesetaraan terhadap

semua umat manusia.209

Ketiga, menggunakan logika dan bahasa al-Qur’an itu sendiri dalam

menentukan makna. Prinsip ini dapat diaktualisasikan sebagai sebuah upaya

207
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 5
208
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 11-12
209
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 12

102
mengambil suatu pembacaan akurat dari al-Qur’an dengan menjadikan al-

Qur’an itu sendiri sebagai pedoman pembacaan.210 Hal tersebut pada dasarnya

secara tegas menolak beberapa komponen pendukung lain dalam menentukan

makna al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh para mufasir yang di

antaranya mencakup hadis,211 asbāb an-nuzūl212 dan sīrah Nabi.213

Keempat, menawarkan cross-reference terhadap Alkitab. Prinsip ini

mengisyaratkan pandangan Yuksel, dkk. mengenai Alkitab, di mana

menurutnya kita hendaknya mengakui dan menghargai kebenaran Alkitab yang

merupakan wahyu Tuhan yang diturunkan sebelum al-Qur’an. Oleh karena itu,

mereka berpendapat bahwa di dalam Alkitab tersebut terdapat otoritas Tuhan

sama dengan al-Qur’an yang di dalamnya juga terdapat otoritas Tuhan. Dengan

alasan tersebut mereka juga memposisikan Alkitab tersebut sebagai panduan

dalam memahami ayat al-Qur’an. Selain itu mereka juga menjadikan Alkitab

sebagai perbandingan dalam menafsirkan al-Qur’an, di mana dalam beberapa

210
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 11
211
Penolakan mereka terhadap hadis dan sunnah didasarkan pada tiga hal. Pertama,
dalam pandangan mereka posisi Nabi Muhammad hanya mengungkapkan dan menyatakan wahyu
Tuhan tanpa ada otoritas dalam menentukan kebenaran mutlak atas penafsiran wahyu Tuhan.
Kedua, menurut mereka hadis dan sunah tersebut pada dasarnya hanya merupakan norma-norma
budaya dan praktik kultur suku Arab masa lampau, yang kemudian dihubungkan dengan Nabi
Muhammad dan para sahabat. Sehingga peran Nabi di dalam norma-norma tersebut masih menjadi
perdebatan. Ketiga, nilai penerimaan ulama terhadap hadis didasarkan pada kebenaran perawi dan
kolektor hadis, bukan pada substansi dari hadis itu sendiri. Oleh karena itu Yuksel, dkk
memandang bahwa hadis tersebut tidak memiliki otoritas sebagai bagian yang dipertimbangkan
dalam memahami Al-Qur’an. Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 13.
212
Dalam pandangan mereka, riwayat-riwayat dalam asbāb an-nuzūl dibuat untuk
menyimpangkan makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, asbāb an-nuzūl tidak memiliki
otoritas dalam penafsiran. Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm.. 17.
213
Dalam pandangan mereka, sīrah merupakan sumber-sumber rujukan keagamaan karya
manusia yang di dalamnya terdapat intervensi manusia sehingga menjadikan materi-materi sejarah
tersebut mengalami distorsi. Oleh karena itu dalam pandangan mereka, sīrah tidak memiliki
otoritas dalam penafsiran. Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 17.

103
pembahasan terdapat persamaan dan perbedaan antara kedua kitab suci

tersebut, sehingga di antara keduanya dapat dikomparasikan.214

Kelima, menekankan rasionalitas dalam mengungkap pesan Tuhan. Prinsip

penafsiran Yuksel, dkk. tersebut menggambarkan gagasan mereka mengenai

pendekatan filosofis dalam menafsirkan al-Qur’an yang menekankan

pembacaan yang rasional terhadap al-Qur’an. Mereka berpendapat bahwa

semua terjemahan dan penafsiran modern terhadap al-Qur’an seharusnya tidak

monolitis dan mencerminkan perspektif dan evaluasi yang kritis. Oleh karena

itu, mereka memilih untuk mengambil suatu pendekatan inklusif yang secara

terbuka menyertai masukan dari para sarjana serta memposisikan para

pembaca, baik pembaca muslim maupun non-muslim. Hal tersebut sebagai

upaya dalam mencari kedamaian dan kebebasan terakhir dengan

menyampaikan kebenaran itu sendiri.215

Metode Penafsiran

Prinsip-prinsip penafsiran yang dipegang Edip Yuksel, dkk. tersebut di

atas selanjutnya mereka elaborasikan dalam langkah-langkah metodis yang

menekankan pada aspek eksplorasi linguistik. Adapun metode yang mereka

terapkan mencakup 3 langkah sebagai berikut:

Pertama, mengenal dan mengidentifikasi kata-kata yang terkenal memiliki

banyak makna (multiple meaning). Metode ini berkaitan dengan pandangan

Yuksel, dkk. terhadap ayat Al-Qur’an yang menurutnya memiliki banyak

214
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 138-139.
215
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm.. 12

104
makna. Hal tersebut mengindikasikan berbagai kemungkinan makna yang

mungkin bisa diterapkan dalam menafsirkan sebuah ayat.

Kedua, menemukan makna tepat. Setelah melakukan identifikasi terhadap

berbagai varian makna dari lafal al-Qur’an, maka langkah selanjutnya adalah

menentukan makna yang tepat. Adapun yang dimaksud dengan makna yang

tepat dalam pandangan mereka yaitu makna yang diberikan oleh konteks ayat

dengan melihat susunan kalimat dalam sebuah ayat. Oleh karena itu, langkah

ini mengharuskan seseorang untuk melihat dan menganalisa kalimat dalam satu

ayat untuk menentukan apakah makna yang diterapkan ayat tersebut sesuai

dengan lafal-lafal sebelumnya dan memberi pemahaman yang tepat atau

tidak.216

Ketiga, membangun pemahaman yang koheren. Langkah ini merupakan

langkah terakhir yang ditempuh setelah menentukan makna yang tepat dari

lafal yang menjadi kata kunci sebuah ayat. Dalam penerapannya, langkah ini

mengharuskan seseorang untuk melihat dan menganalisa kalimat dalam satu

ayat untuk menentukan apakah makna yang diterapkan dalam sebuah ayat

sesuai dengan ayat-ayat sebelumnya atau tidak. Hal ini untuk memberikan

pemahaman yang tepat terhadap keseluruhan makna sebuah ayat.217

216
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 523
217
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 524

105
4. Penafsiran Edip Yuksel, dkk. QS. Al-Baqarah [2] : 62 dan Al-Baqarah [2]:

120 tentang Yahudi-Nasrani.

a. Al-Baqarah [2] : 62.

         

           

  


Translation:

Conditions for Salvation


Surely those who acknowledge, and those who are Jewish, and the
Nazarenes, and those who follow other religions, any one of them who
acknowledge God and the Last day, and promote reforms, they will have
their reward with their Lord, with no fear over them, nor will they grieve.*
2:62.218

Endnote:

Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, ketika menafsirkan,

Yuksel menggunakan analisa bahasa terlebih dahulu dan memilih makna

yang sekiranya ia anggap relevan dengan sekarang. Pada ayat ini, ia

menafsirkan sebagai berikut:

002:062 Regardless of religion, ritual, language, nationality, and books


followed, any individual who fulfills these three requirements attains eternal
salvation. Based on these criteria, Socrates who risked his life for promoting
dialectic reasoning and rejecting the polytheistic religion of his countrymen
was a muslim. Similarly, Maimonides who considered God as the Prime
Mover, Rabi Judah ben Samuel who witnessed one of the greatest divine
signs and stood against religious distortion, Leibniz who regarded God as
the creator and coordinator of monads, Galileo who studied and appreciated
God's signs in the heavens and stood against religious charlatans, Darwin
who traveled the world and studied God's biological creation with diligence
and open mind, Newton who studied God's laws in the universe and showed
the wisdom and courage to reject Trinity and deity of Jesus by arguing that
218
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 57

106
this Christian doctrine to be contradictory to the first Commandment in the
scripture, and many of those who fit the description of the Quranic verse
2:62, yes all according to the Quran might be considered muslims.219

Penulis jelaskan maksud dari paparan tafsir di atas bahwa Edip Yuksel

dkk. menerjemahkan dengan bahasa tafsir layaknya tim lajnah dalam

menerjemahkan maksud ayat, adapun tujuannya agar pembaca memahami

maksud dari ayat dengan mudah yang diselipi sedikit penafsiran. Edip

Yuksel dkk. pun tak luput menambahi penjelasan, komentar-komentar

ataupun pendapat yang merujuk kepada tokoh-tokoh ilmuan, agama non

Islam dan para Atheis atas ayat tersebut.

Terjemah:

Syarat-syarat keselamatan

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang


Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-
benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 2:62.

Endnote:

002:062 Tidak peduli akan agama, ritual, bahasa, kebangsaan, dan


kitab yang diikuti, setiap individu yang memenuhi tiga kriteria ini bisa
mendapat keselamatan abadi. berdasarkan kriteria tersebut, Sokrates yang
mempertaruhkan hidupnya untuk mendorong penggunaan akal sehat dan
menolak agama politeis (banyak Tuhan) yang disembah orang-orang di
negerinya, merupakan seorang muslim. sama halnya dengan Maimonides
yang menganggap Tuhan sebagai Penggerak Utama, Rabi Judah bin Samuel
yang menyaksikan satu dari tanda-tanda ketuhanan dan menolak
penyimpangan agama, Leibniz yang menganggap Tuhan sebagai pencipta
dan pengatur dari monads (bagian terkecil yang tidak bisa dibagi lagi di
dunia ini), Galileo yang meneliti dan mengapresiasi tanda-tanda Tuhan di
surga dan menolak agama charlatans (para penipu), Darwin yang berkeliling
dunia dan mempelajari kreasi biologi Tuhan dengan rajin dan pekiran
terbuka, Newton yang meneliti hukum Tuhan di dunia dan menunjukkan

219
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 84-85

107
kebijaksanaan dan keberanian untuk menolak Trinitas dan ketuhanan Yesus
dengan membantah bahwa dokrin Kristen ini berlawanan dengan firman
Tuhan yang pertama dalam Kitab Injil, dan banyak lagi yang cocok dengan
deskripsi al-Quran ayat 2:62, ya semua menurut al-Quran dapat dianggap
sebagai muslim.

b. Al-Baqarah [2] : 120.

Dalam ayat ini, Edip Yuksel dkk. hanya menerjemahkan ayat seperti

pada terjemahan pada umumnya, tanpa ada penjelasan, komentar ataupun

menyelipkan pendapat dari para ilmuan.

             

              

     

Translation:

Bigots
2:120
Neither the Jews nor the Nazarenes will be pleased with you until you
follow their creed. Say, "The guidance is God's guidance." If you follow
their wishes after the knowledge has come to you, then none can help or
protect you against God.220

Terjemah:

Orang-orang Munafik
2:120
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka
Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

220
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 60-61.

108
BAB IV

PANDANGAN THABATHABA’I, EDIP YUKSEL, DKK.

TERHADAP YAHUDI-NASRANI

A. Pandangan Thabathaba’i terhadap Yahudi dan Nasrani

Yahudi dan Nasrani dikenal sebagai kelompok Ahli Kitab yang

pembawanya merupakan keturunan biologis dari Ibrahim, yaitu Musa dan Isa.

Hubungan dengan dua komunitas itu terjadi karena dekatnya posisi geografis dan

budaya Muslim dengan keduanya. Baik Muhammad, Isa maupun Musa, ketiganya

adalah anak-keturunan biologis Ibrahim dari dua putranya Ishaq dan Isma'il.

Dalam bahasa Thabathaba'i, anak-keturunan itu disebut dengan “keluarga

lbrahim” (Ahli Ibrahim).221

Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana pandangan Thabathaba'i mengenai

Yahudi dan Nasrani yang mengklaim sebagai ahli waris agama Ibrahim. Dengan

dua kelampok itulah—tentu saja setelah dengan masyarakat Makkah yang

musyrik—Nabi berinteraksi secara intens dan terjadi saling klaim terhadap

Ibrahim. Apakah hubungan biologis secara otomatis dapat dijadikan sebagai

pijakan untuk menyebut penganut tiga pengikut nabi-nabi keturunan Ibrahim

tersebut sebagai ahli warisnya? Untuk itu, pada bab ini, akan diuraikan mengenai

dua kelompok tersebut dengan harapan dapat diketahui siapa ahli waris Ibrahim

yang sebenarnya menurut al-Qur’an.

221
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 136.

109
Secara genealogis-spiritual, Nuh dan Ibrahim dinyatakan sebagai muara

agama Allah yang menjadi model bagi nabi-nabi berikutnya. Di antara penerus

Nuh dan Ibrahim yang kemudian bersentuhan hidupnya dengan Muhammad

adalah pengikut Musa (Yahudi) dan Isa (Nasrani). Dua kelompok masyarakat

inilah yang dinyatakan al-Qur’an mempunyai kitab suci, Taurat dan Injil, yang

dominan menwarnai perjalanan dakwah Muhammad.222 Yahudi dan Nasrani

berasal dari satu sumber, yaitu dari keluarga Israil, meskipun pada akhirnya

dakwah Isa menyebar kepada selain Bani Israil, seperti ke Romawi, Arab,

Habasyah, Mesir dan lain-lain. Ini artinya, Isa bukan hanya diutus khusus untuk

Bani Israil, tetapi juga untuk masyarakat luas.223

Pandangan keagamaan orang Yahudi ada yang sama dengan orang

Nasrani, tetapi juga ada yang berbeda, pandangan keagamaan yang sama antara

keduanya adalah mengenai mereka sebagai abnaullah wa ahibbatuhu dan ibnullah

(anak-anak Tuhan dan para kekasihnya), sedangkan yang berbeda adalah

mengenai yad Allah maghlulah (tangan Allah terbelenggu). Menurut

Thabathaba'i, pandangan Yahudi dan juga Nasrani sebagai “anak-anak” Allah

tidak dimaksudkan sebagai pengakuan yang hakiki. Ungkapan tersebut

dimaksudkan bahwa mereka adalah golongan yang mulia, karena mendapat

beberapa kelonggaran. Pandangan Thabathaba’i ini didasarkan pada sumber

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang berada di dalam Bibel. Berbagai

kemuliaan ini seperti yang diperoleh oleh Adam (Lukas 3: 38), Dawud (Keluaran

4: 22), dan ayat-ayat lain. Dinyatakan dalam ayat-ayat tersebut, misalnya: Ia

222
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 136-137.
223
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 139.

110
berkata kepadaku: “Anak-Ku Engkau”. Ungkapan serupa, menurut Thabathaba’i,

juga berlaku bagi para penggerak kebaikan atau kemaslahatan dari orang-orang

yang beriman.224 Dengan demikian, Thabathaba'i menyimpulkan bahwa

bunuwwah (paham bahwa Allah memiliki anak) dalam ayat tersebut adalah al-

ikhtishash wa al-taqarrub (kekhususan [spesial] dan kedekatan).225

Ketika menjelaskan QS. At-Taubah [9] ayat 30,226 Thabathaba’i

berkomentar:

Kami tidak mengerti, apakah disebutnya Uzair sebagai “Anak Tuhan”


sebagaimana orang-orang Nasrani menamakan Isa, yakni sebagai seorang
yang memiliki substansi ke-Tuhanan, derivasi Tuhan atau Tuhan itu
sendiri, atau penyebutan itu hanya sebagai bentuk penghormatan
sebagaimana dijelaskan QS. al-Ma'idah [5]: 18.227

Thabathaba'i tampak kurang yakin dengan pendapatnya, meskipun ia

sudah menjelaskan kronologi peran Uzair dan penghormatan orang-orang Yahudi

terhadapnya. Ia masih tetap mengutip pendapat dan riwayat yang berbeda dengan

pendapatnya tersebut. Menurut sebagian mufasir, maksud ungkapan ‘uzair

ibnullah adalah kalimat yang dikemukakan oleh sebagian orang Yahudi yang

224
Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. V (Beirut:
Mu’assasah al-A’alami lil Mathbu’at, 1991) hlm. 253.
225
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama... hlm. 142.
226
Orang orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani
berkata: " Almasih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka,
mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana
mereka sampai berpaling? (QS. At-Taubah [9]: 30)
227
Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?"
(kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di
antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa
siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada
Allah-lah kembali (segala sesuatu). Lihat Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-
Agama:,... hlm. 143.

111
hidup pada masa Nabi di Madinah, bukan pandangan mainstream orang-orang

Yahudi,228

Keterangan ini, sekurang-kurangnya, telah memberikan penjelasan yang


lebih baik bagaimana “tuduhan” al-Qur'an tersebut dapat diletakkan dalam
konteks historisnya secara lebih realistik. Penjelasan ini sekaligus sebagai
hujah untuk menegaskan bahwa pembicaraan al-Qur'an tentang sebuah
realitas mesti dipahami dalam konteks sosial dan historis secara tepat.229

Dengan pendapatnya ini, maka Thabathaba'i setidaknya menandaskan

bahwa ayat-ayat tersebut tidak dapat dijadikan justifikasi untuk menyatakan

bahwa Yahudi adalah penganut agama yang tidak monoteis atau musyrik. Hanya

saja, pandangan Yahudi tersebut kemudian berimplikasi pada klaim bahwa

mereka memiliki hak istimewa atau sebagai pilihan, sehingga tidak ada celah

untuk mengazab dan menyiksa mereka. Siksa terhadap mereka sama dengan

mengurangi atau bahkan merusak keistimewaan yang mereka klaim tersebut.

Klaim ini, sebagaimana klaim-klaim Yahudi lainnya, jelas tidak berdasar dan

hanya angan-angan kosong belaka. Sebab berbagai kesusahan jasmani, berbagai

musibah dan cobaan duniawi akan menimpa siapa pun, baik ia mukmin ataupun

kafir. Karena hal itu merupakan sunnatullah.230 Katena itu dalam QS. al-Jumu'ah

[62]: 6 yang menggunakan ungkapan alladzina hadu, Allah menegaskan:

228
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 143.
229
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 144.
230
Sunnatullah tersebut sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa’ [4]: 123-124;
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut
angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan
dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain
dari Allah. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang
ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun.”

112
             

   


Katakanlah: "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu
mendakwakan bahwa Sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan
manusia-manusia yang lain, Maka harapkanlah kematianmu, jika kamu
adalah orang-orang yang benar".

Ayat ini, menurut Thabathaba’i, merupakan argumen yang mematahkan

klaim Yahudi dan menunjukkan kebohongannya sebagaimana juga dikemukakan

dalam QS. al-Taubah [9]: 94 dan QS. al-Baqarah [2]: 95. Kalau mereka benar

sebagai kekasih dan memiliki hak istimewa dari Allah, maka mereka tidak enggan

untuk mati, sebab seorang kekasih senang untuk bertemu dengan kekasihnya.

Kenyataannya, mereka enggan mati karena mereka merasa sudah banyak

membuat kesalahan.231

Dengan demikian jelas bahwa Thabathaba'i tidak menyatakan Yahudi

sebagai politeis karena pernyataan mereka sebagai “anak Tuhan”. Akan tetapi

yang dipersoalkannya adalah klaim mereka yang merasa mendapat keistimewaan

dari Allah, sehingga—dengan percaya diri—tidak akan mendapat perlakuan

buruk, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Klaim inilah yang menyebabkan

mereka menjadi masyarakat yang sombong dan rasialis (kesukuan) hingga

sekarang. Orang-orang Yahudi pada masa itu, menurut Siddiqi percaya bahwa

karena mereka secara etnis, sejarah, dan keagamaan berhubungan dengan nabi-

nabi seperti Ibrahim. Ishaq dan Ya’kub. Hubungan ini akan memungkinkan

mereka melepaskan diri dari kemarahan dan hukum-hukum Allah. Alasan inilah

231
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 145.

113
yang membuat mereka merasa diri lebih tinggi daripada bangsa Arab. 232 Yahudi

dan Nasrani juga menolak kenabian Muhammad. Penolakan mereka didasarkan

pada fakta bahwa Muhammad, nabi agung umat Islam ini, berasal dari bangsa

Arab, sementara mereka mengklaim mendapatkan keistimewaan dari Allah bahwa

nabi harus berasal dari Bani Israil, tidak dari yang lain. Al-Qur'an menyanggah

klaim tersebut, sembari menegaskan kebenaran kenabian Muhammad yang

berasal dari Arab yang ummi dan menjadi penerus agama nenek moyangnya,

yakni Nabi Ibrahim. Al-Qur’an juga mengecam sikap mereka yang sebenarnya

mengetahui kebenaran tentang kenabian Muhammad, tetapi menyembunyikannya.

Sangat menarik ketika al-Qur’an menggambarkan mereka seperti keledai yang

membawa kitab Taurat, Yang tidak mengetahui manfaatnya.233

Mengenai pandangan orang Yahudi bahwa yad Allah maghlulah234,

Thabathaba'i menyatakan tiga kemungkinan. Pertama, bahwa orang-orang Yahudi

mengucapkan kalimat berdosa tersebut dalam persoalan rezeki, yang ditujukan

kepada orang-orang beriman yang mereka jumpai yang pada umumnya miskin,

penuh kesulitan, dan sempitnya lapangan hidup. Mereka mengucapkan ini kepada

orang-orang yang beriman sebagai bentuk ejekan kepada Allah dan sebagai

isyarat bahwa Ia tidak mampu memberi kecukupan kepada hamba-hambaNya

yang mukmin dan menyelamatkannya dari kemiskinan dan kehinaan. Menurut

Thabathaba‘i, pandangan ini tidak sesuai dengan konteks ayat dalam Surat al-

232
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 145-146.
233
Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, (Bandung: Mizan, 2016), hlm. 435-436.
234
Kalimat ini terdapat dalam QS. Al-Maidah [5]: 64.

114
Ma‘idah, di mana saat ayat ini turun keadaan orang-orang Islam sedang diberi

kemudahan hidup, keluasan rezeki, dan kemakmuran.235

Kedua, mereka mengucapkan kata-kata tersebut karena kekeringan dan

mahalnya biaya hidup yang menimpa mereka, sehingga kehidupannya semakin

sulit dan sempit, situasinya susah, dan sendi kehidupan juga rusak. Pengertian ini

sesuai dengan keterangan sebab turunnya ayat ini. Akan tetapi, makna ini juga

tidak sesuai dengan konteks ayat. Sebab, secara lahiriah, rangkaian ayat yad Allah

maghlulah memperlihatkan tidak melekatnya sifat-sifat tersebut pada mereka,

berkaitan dengan kembalinya permusuhan dan rekayasa yang mereka lakukan

kepada orang-orang Islam.

Ketiga, mereka “bermulut besar” ketika mendengar firman Allah dalam.

QS. al-Baqarah [2]: 245, “Siupakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,

pinjaman yang baik…” dan QS. Al-Muzzammil [73]: 20...” dan berikanlah

pinjantan kepada Allah pinjaman yang baik...”. Setelah mendengar ungkapan

tersebut mereka berujar yadullah maghlulah; Allah tidak mampu menghasilkan

sesuatu yang dapat dinafkahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan-Nya

dalam rangka mengangkat agama-Nya dan menghidupkan dakwah-Nya. Mereka

mengucapkan ini sebagai bentuk penghinaan atau bahan tertawaan. Menurut

Thabathaba'i pengertian ketiga ini yang sesuai dengan asbab nuzul yang lain dan

lebih argumentatif. Tentu saja, menurut Thabathaba'i, pandangan keagamaan

Yahudi tersebut tidak sesuai dengan beberapa pendapat yang terdapat pada Taurat

yang notabene adalah kitab mereka, bahwa Allah mempunyai mukjizat untuk

235
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 146.

115
menahan sesuatu sampai pada yang dikehendaki-Nya, seperti menghilangkan

kekuatan dari manusia. Karena itu. ucapan mereka itu tidak boleh dinisbatkan

kepada Allah—meskipun sekadar bergurau—Yang Mahasuci, Luhur zat-Nya. dan

Maha Agung.”236

Dengan demikian jelas bahwa orang Yahudi. dengan ucapannya ini, telah

mengemukakan sesuatu yang tidak sebenarnya dan selayaknya dilekatkan kepada

Allah. Karena itu mereka telah berdusta. yakni mengatakan sesuatu yang tidak

sesuai dengan kenyataan. Mengatakan sesuatu yang tidak benar mengenai Tuhan,

tentu tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar millah Ibrahim yang hanif, yang

cenderung pada kebenaran.237

Agama yang dibawa Isa memiliki beberapa nama seperti yang dijelaskan

pada bab II mengenai sejarah agama Yahudi dan Nasrani. Isa lahir dari rahim

Maryam, Maryam lahir dari istri Imran, setelah ia dewasa keberadaannya dalam

pengasuhan Nabi Zakariya suami dari bibi Maryam.238 Dari kitab Injil menuturkan

pada zaman Herodes, raja Yudea, ada seorang imam yang bernama Zakharia dari

rombongan Abia. Istrinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet.

Keduanya adalah orang yang benar dihadapan Allah dan hidup menurut segala

perintah Allah dan ketetapan Tuhan dengan tidak ada kecacatan. Tetapi mereka

tidak mempunyai anak sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut usia.

Suatu kali saat tiba giliran rombongannya, Zakharia melakukan tugas keimanan

dihadapan Tuhan dengan cara diundi untuk menentukan siapa yang bertugas

menjadi imam. Kemudian Zakharia melihat malaikat Tuhan dan berkata

236
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 146-147.
237
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 147.
238
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an,... hlm. 48-49.

116
kepadanya: “janganlah takut, hai Zakharia sebab doamu dikabulkan, dan Elisabet

istrimu akan melahirkan seorang anak laki-laki dan haruslah engkau namai

Yohanes. Ia akan besar dihadapan Tuhan dan ia tidak minum anggur ataupun

minuman keras. Ia akan penuh dengan Roh Kudus mulai dari rahim ibunya, ia

akan membuat banyak orang Israil berbalik kepada Tuhan”. Hampir sama dengan

kisah yang disampaikan dalam al-Qur’an namun dalam konteks nama pelaku

antara Injil dan al-Qur’an berbeda. Dalam al-Qur’an memang betul Nabi Zakariya

seorang yang lanjut usia dan istrinya mandul, kemudian ia bermunajat seperti

yang dilakukan oleh istri Imran agar mempunyai keturunan yang diharapkan lahir

dari rahim sang istri lalu dikabulkan doa dan lahirlah anak dari rahim sang istri.

Yahya lahir enam bulan sebelum Isa putra Maryam dilahirkan. Yahya-lah yang

mula-mula beriman kepada kenabian Isa karena di dalam al-Qur’an telah

disebutkan. Maryam adalah cucu Nabi Harun yang berasal dari keturunan bani

Israil.239

Thabathaba’i menjelaskan bahwa Isa adalah seorang nabi pembawa

rahmat yang mengajak manusia untuk kedamaian dan keselamatan serta

mendorong umatnya agar mengejar kemuliaan akhirat dan menghindari kelezatan

dunia dan hiasannya, mencegah mereka untuk tidak melakukan permusuhan demi

mendapatkan semua yang rendah tersebut. Apabila mereka melupakan hal-hal

tersebut, maka Allah menjadikan mereka lekat atau akrab dengan permusuhan

239
Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an,... hlm. 55-59.

117
sebagai ganti kedamaian dan keselamatan dan permusuhan serta kemarahan

sebagai ganti dari persaudaraan.240

Menurut Thabathaba’i, permusuhan dan dendam ini menjadi karakter yang

melekat pada umat Nasrani seperti api neraka yang tiada henti membakar

penghuninya setiap kali mereka hendak ke luar dari neraka lantaran kesengsaraan

mereka. Mereka dikembalikan ke dalamnya. “(Kepada mereka dikatakan):

rasakanlah azab yang membakar ini”. Hal ini sebagai petunjuk bahwa

permusuhan, baik tertutup ataupun terbuka, sudah menjadi bagian tak terpisahkan

atau sudah menjadi budaya dalam kehidupan orang-orang Nasrani, baik antar-

Katolik dengan Protestan, antar-sekte di dalamnya atau lebih-lebih antara Nasrani

dengan Yahudi. Permusuhan dan dendam tersebut, menurut Thabathaba’i, tidak

henti-hentinya terjadi sejak mangkatnya Isa. Perbedaan terjadi antara pengikut

setianya dan para pendakwahnya yang lain, hingga terjadi perang besar.

Semuanya itu akibat dari perilaku mereka sendiri yang melupakan ajaran yang

disampaikan oleh nabinya. Perbedaan yang mengarah pada permusuhan abadi ini

tampaknya tidak dijumpai dalam agama Yahudi yang notabene berasal dari

rumpun yang sama. Hal ini dapat dipahami karena Yahudi berkembang menjadi

agama ras-etnik, sedangkan Nasrani berkembang menjadi agama dunia dengan

pemeluk yang multi-etnik dan bangsa.241

Ketika menjelaskan QS. al-Baqarah [2]: 62 pada bab sebelumnya,

Thabathaba‘i menyatakan bahwa diulangnya kata iman merupakan penyifatan

iman yang sesungguhnya. Hal ini dipahaminya dari konteks ayat sebelumnya, di

240
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 172.
241
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 172-173.

118
mana orang-orang Yahudi yang sudah mendapat banyak rezeki dan kenikmatan,

justru banyak melakukan pelanggaran karena mereka tidak beriman dengan

sesungguhnya. Dari pemahaman ini, ia menyatakan bahwa penyebutan seperti

mu’minin, Yahudi, Nashara, dan Shabi’in—dalam pandangan Allah—tidak secara

aksiomatis menjamin pahala dan keselamatan dari siksa-Nya, sebagaimana ucapan

Yahudi dan Nasrani; “Tidak akan masuk surga kecuali bila menjadi Yahudi atau

Nasrani”. Justru yang menjadi faktor penentu kemuliaan dan kebahagiaan

seseorang akan didapat bila ia benar-benar beriman kepada Allah, hari akhir dan

beramal saleh.242

Thabathaba'i menjelaskan bahwa berulang kali ayat-ayat al-Qur'an

menyatakan bahwa kebahagiaan dan kemuliaan tergantung pada ‘ubudiyyah.

sehingga nama243 tidak dapat memberi jaminan manfaat bagi pemilik namanya.

Demikian juga sifat-sifat kesempurnaan, kecuali apabila semuanya itu disertai

konsistensi ‘ubiidiyyah. Hal ini berlaku secara universal, baik bagi para nabi

ataupun yang lainnya. Di dalam QS. al-An'am [6]: 88, al-Fath [48]: 29, dan al-

A’raf [7]: 176, menunjukkan hal tersebut. Ayat-ayat tersebut menurut

Thabathaba'i cukup menjadi bukti bahwa kemuliaan hanya dapat diraih dengan

hakikat (substansi) bukan secara lahir (formalitas nama). Hal ini ditegaskannya

242
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 156.
243
Menurut Mun’in argumen Thabathaba’i tentang “dihadapan Tuhan tidak ada gunanya
nama dan gelar, tidak peduli apakah kelompok itu disebut sebagai orang beriman atau golongan
Yahudi, Nasrani, Shabiin. Yang paling penting adalah keimanan kepada Tuhan, hari Akhir dan
berbuat kebajikan”, merupakan bentuk penafsiran dan penyajian Islam yang universalistik yang
sangat dibutuhkan masyarakat modern ini. Dikutip dari Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir
Reformasi atas Kritik Al-Qur’an terhadap Agama Lain, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013,
hlm. 124.

119
kembali ketika ia menguraikan tafsir QS. al-Ma'idah [5]: 69 yang redaksinya

hampir sama dengan QS. al-Baqarah [2]: 62.244

Meskipun masing-masing pemeluk agama tersebut apabila memenuhi tiga

syarat, dijamin keselamatannya, namun jaminan tersebut tidak dapat dijadikan

sebagai klaim yang pasti dan perdebatan tanpa dasar di antara mereka. Sebab,

sebagaimana ditegaskan QS. al-Hajj [22]: 17, keputusan akhirnya ada pada Allah

nanti di akhirat. Ini artinya, siapa pun tidak boleh mengklaim bahwa hanya diri

dan kelompok yang sama dengan dirinya yang akan masuk surga, sebagaimana

klaim orang Yahudi dan Nasrani.245

Selamat atau tidaknya seseorang tergantung keputusan Allah. Karena itu,

klaim yang pernah dikemukakan Yahudi dan Nasrani sebagaimana diungkap

dalam QS. Al-Baqarah [2]: 111 dan 135 bahwa hanya mereka yang akan masuk

surga dan mendapat petunjuk, merupakan sikap melangkahi otoritas dan hak

prerogatif Tuhan.246

Tampaknya, dalam konteks tidak boleh saling klaim itulah Thabathabaii

menjelaskan pengertian masing-masing dari komponen dalam QS. al-Baqarah [2]:

62 dan QS al-Ma'idah [5]: 69 itu, sesuatu yang tidak dilakukan sebelumnya.

Pertama, alladzina amanu, yaitu mereka yang beriman kepada Muhammad dan

kitab mereka adalah al-Qur'an. Kedua, alladzina hadu, yaitu mereka yang beriman

kepada Musa dan rasul-rasul sebelumnya dan kitabnya adalah Taurat. Ketiga, al-

244
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 156-157.
245
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 157.
246
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 157.

120
shabi’in247 yaitu kelompok antara Yahudi-Majusi dan kitabnya yang dinisbahkan

kepada Yahya bin Zakariya. Keempat, Nashara yaitu mereka yang beriman

dengan Isa Almasih ibn Maryam dan nabi-nabi sebelumnya dan kitab sucinya

adalah empat Injil; Lukas, Markus, Matius, dan Yohanes serta beberapa kitab

Perjanjian Lama. Kelima, al-majus248, yaitu yang dikenal sebagai mereka yang

beriman kepada Zoroaster dan kitabnya adalah Avesta. Keenam, alladzina

asyraku, yaitu al-watsaniyyah, penyembah berhala yang aliran atau mazhab

utamanya ada tiga, yaitu al-watsaniyyah al-shobi’ah, Brahmana, dan Buddha.249

Keenam, kelompok tersebut memiliki kedudukan yang sejajar dihadapan

Allah, bahwa semuanya akan mendapat keputusan dan dipisahkan secara jelas,

247
Shabiin, menurut Thabathaba’i adalah mereka yang mengagungkan api, bintang-
bintang dan unsur-unsurnya. Shabi'in disebut juga kelompok Haraniyah dan menurut satu
pendapat, Shabiin adalah Hadan ibn Terah, yang berarti saudara Ibrahim. Dari keterangan tersebut,
mengutip dari al-Mas’udi, Thabathaba’i menyatakan bahwa Shabiin adalah para penyembah
bintang-bintang yang dalam penjelasan al-Qur'an merupakan masyarakat yang tuhannya
dihancurkan oleh Ibrahim. Akan tetapi dalam uraiannya yang lain, Thabathaba'i menyatakan
bahwa Shabi'in bukanlah para penyembah bintang, tetapi mereka adalah qaum mutawassithun
baina al-yahudiyyah wa al-majusiyyah (kaum yang memiliki keyakinan dan praktik keagaman
antara Yahudi dan Majusi) yang memiliki kitab suci yang dinisbahkan kepada Yahya bin
Zakariyya. Sementara menurut sumber riwayat dari Tafsir al~Qumy, Shabiin bukan orang Majusi,
Yahudi, Nasrani, dan bukan pula orang Islam, mereka menyembah bintang-bintang. Lihat
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 138-139. Menurut Ismail Shabiin
adalah orang-orang yang mengikuti syariat nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang
menyembah bintang atau dewa. Lihat Ismail, Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-
agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 304-305.
248
Majusi dan Shabiin disamakan dengan Yahudi dan Nasrani, menurut Thabathaba'i
karena mereka memiliki nabi, yaitu Zoroaster dan kitab suci, yaitu Avesta, meskipun ia mengakui
bahwa sejarah hidup dan masa kemunculan agama ini sangat tidak jelas. Kitab mereka hilang
ketika Iskandar Zulkarnain (Alexander The Great) menguasai Iran, tetapi kemudian diperbaharui
pada masa kekuasaan Dinasti Sasan. Dalam uraiannya yang lain, Thabathaba'i menjelaskan bahwa
Majusi memiliki nabi, tetapi kemudian nabi tersebut mereka bunuh dan juga memiliki kitab, tetapi
kemudian kitab yang terdiri dari 12.000 jilid tersebut dibakar. Penganut Majusi memiliki banyak
sekte, namun pada prinsipnya mereka mengakui adanya dua penguasa dan pengatur alam raya,
pengatur kebaikan dan kejahatan, yakni Tuhan cahaya yang bernama Yazdan dan tuhan gelap yang
bernama Ahriman. Mereka menyucikan malaikat dan berusaha mendekatkan diri kepadanya
dengan tanpa membuat berhala sebagaimana para penyembah berhala (al-wastaniyyah). Mereka
juga menyucikan unsur-unsur perantara, khususnya api, dan mereka memiliki rumah-rumah api di
pusat-pusat agama tersebut, seperti di Iran, Cina, dan India. Lihat Waryono Abdul Ghafur,
Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 137-138.
249
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 157-158.

121
tanpa ada penutup atau hijab sedikit pun. Allah-lah—sebagaimana dikemukakan

dalam QS. al-Hajj [21]: 23—yang akan memasukkan orang-orang yang beriman

dengan benar dan membuktikan imannya dengan beramal saleh ke surga-Nya.

Ayat ini memperkuat uraian ayat sebelumnya bahwa umat beragama tidak ada

yang dapat memastikan dirinya saja yang selamat dan yang lainnya tidak. 250

Dalam menguraikan keselamatan umat beragama, Thabathaba’i memang

tidak menjelaskan dan menetapkan syarat bagi mereka untuk beriman kepada

Muhammad sebagai prasyarat mereka selamat. Namun sebagaimana dikemukakan

Thabathaba’i iman haruslah total-utuh dan dibuktikan secara nyata dalam

perbuatan. Karena itu, persyaratan beriman kepada Allah dan hari akhir serta amal

saleh sebagaimana dikemukakan dalam ayat bukan berarti hanya tiga syarat itu

yang dituntut, tetapi keduanya, plus amal saleh. Keduanya merupakan istilah yang

biasa digunakan al-Qur'an dan Hadis untuk makna iman yang benar dan

mencakup semua rukun-rukunnya.

Disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 120 dikatakan bahwa orang-orang

Yahudi dan juga Nasrani tidak akan senang sebelum orang-orang yang beriman

mengikuti pola dan model hidup mereka. Ayat ini menegaskan bahwa terdapat

dua golongan Yahudi dan Nasrani:

Pertama, mereka yang tidak benar-benar membaca kitabnya dan lebih

banyak mengikuti hawa nafsu dan pikirannya. Kelompok pertama ini selamanya

tidak akan rela terhadap orang yang beriman. Kedua, mereka yang benar-benar

membaca kitab sucinya dan memercayai bahwa apa yang terdapat dalam al-Qur'an

250
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 158.

122
adalah sama dengan yang mereka terima, sehingga mereka akan beriman kepada

Muhammad. Petunjuk al-Qur'an, Taurat dan Injil-lah yang benar sebagai petunjuk

Allah. Menurut riwayat al-Dailami yang dikutip Thabathaba'i, maksud (membaca

dengan sebenar-benarnya) adalah membaca secara tartil ayat-ayatnya, memahami

dan mengamalkan hukum-hukumnya, berharap kepada janji-Nya, khawatir pada

ancaman-Nya, mengambil pelajaran dari kisah-kisahnya, amar makruf nahi

mungkar, memelihara ayat-ayatNya, mengkaji huruf-hurufnya, membaca surat-

suratnya, mengkaji bagian-bagiannya, menjaga huruf-hurufnya, dan menjaga

batas-batasnya. Semuanya itu hanya didapat apabila mau men-tadabburi ayat-

ayat-Nya dan mengamalkan hukum-hukum-Nya. Allah berfirman, “Ini adalah

sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka

ber-tadabbur terhadap ayat-ayatnya” (QS. Shad [38]: 29).251

Sikap orang Yahudi kelompok pertama inilah yang dalam QS. al-Ma'idah

[5]: 82 dinyatakan selalu menghidupkan dan mengobarkan permusuhan dengan

orang-orang yang beriman. Mereka tak ubahnya orang-orang musyrik. Ketiga

kelompok masyarakat (Yahudi, Nasrani dan musyrik) tersebut sejatinya sama

ketika berhadapan dengan dakwah Islam, yaitu sebagian dari mereka menerima

dakwah Islam. Orang Yahudi sama dengan orang Nasrani dalam hal adanya

sebagian mereka yang konsisten menjalankan agamanya dan pemenuhan mereka

untuk membayar jizyah kepada orang Islam. Akan tetapi, Yahudi dan orang-orang

musyrik berbeda dengan orang-orang Nasrani yang lebih santun.252

251
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 148-149.
252
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 149.

123
Secara sosiologis, menurut Thabathaba'i, orang Yahudi berbeda dengan

orang Nasrani. Perbedaan antara Yahudi dan Nasrani, menurut Thabathaba'i

adalah orang Yahudi selalu menghidupkan kesombongan, fanatisme kesukuan,

melakukan rekayasa dan tipuan, ingkar janji, dan lain-lain. Hal ini terjadi bukan

saja pada masa Nabi, tetapi juga sebelum dan sesudahnya. Watak ini tidak banyak

terdapat pada orang Nasrani, karena pada komunitas ini terdapat ulama yang

selalu mengingatkan kebenaran dan pengetahuan agama, pendeta, dan para asketis

(orang jujur) yang mengingatkan akan agungnya Allah dan pentingnya

kebahagiaan akhirat dan dunia dengan amal nyata serta mereka tidak sombong

dalam menerima kebenaran. Semua itu menjadi pintu masuk dalam meraih

harmoni sosial. Dalam komunitas Yahudi juga terdapat pendeta dan ulama, akan

tetapi mereka sombong dan menghidupkan permusuhan. Orang-orang musyrik

non-Ahli Kitab pun seperti orang Yahudi.253

Orang Yahudi-Nasrani yang beriman kepada kitabnya dengan sendirinya

akan beriman kepada al-Qur'an, karena keduanya adalah firman Allah. Mereka

juga akan menghidupkan persahabatan dengan saudara serumpunnya.

Thabathaba'i melihat sisi watak dan sikap orang Yahudi ini dari dua perspektif,

sosiologis dan normatif. Namun ia tidak menjelaskan apakah watak tersebut

dimiliki oleh semua orang Yahudi atau sebagian saja? Dan dalam konteks historis

apa orang Yahudi itu menunjukkan permusuhan? Persoalan itu terjawab ketika

Thabathaba'i menjelaskan QS. al-Ma'idah [5]: 51 bahwa permusuhan itu terutama

ketika orang-orang beriman baru saja hijrah ke Madinah. Sebenarnya, hal yang

253
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 149-150.

124
sama juga dilakukan oleh orang Nasrani ketika Nabi sudah menetap di Madinah.

Hal ini dipahami Thabathaba'i terutama dari riwayat yang ia kutip, meskipun

mengenai adanya keterlibatan orang Nasrani dalam memusuhi Nabi, apakah benar

dalam kisah antara Bani Qainuqa,254 orang-orang Islam dan antara Bani Nadlir255

dengan Bani Quraidzah256 terdapat permusuhan. Oleh karena itu, meskipun pada

254
Bani Qainuqa’ adalah Yahudi pertama yang melanggar perjanjian dengan Nabi
Muhammad. Kendati di dalam al-Qur’an tidak dibicarakan secara jelas kasus Pengusutan Yahudi
Bani Qinuqa’ ini, al-Qur’an surah Ali lmran bisa dijadikan dalil untuk pengusiran itu. Pengusiran
terjadi setelah Perang Badar, tepatnya pada Sabtu pertengahan Syawwal, tahun 2 H. Peristiwanya
dimulai ketika kaum Yahudi Bani Qainuqa' tidak senang atas kemenangan umat Islam dalam
Perang Badar. Melihat sikap mereka yang demikian, Nabi Muhammad mengimbau kepada kaum
Yahudi Bani Qainuqa untuk masuk Islam jika tidak mau mengalami nasib seperti orang-orang
musyrik yang dikalahkan dalam Perang Badar. Mendapat ajakan seperti itu, mereka malah
menantang balik dengan mengatakan bahwa kemenangan Nabi Muhammad terhadap kaum kafir
Quraisy lebih disebabkan mereka tidak mengetahui strategi berperang. Jika Nabi Muhammad
memerangi mereka (Bani Qainuqa’), mereka mengatakan tidak akan terkalahkan. Mereka akan
menang. Pernyataan mereka dinilai sebagai tantangan oleh Nabi dan umat Islam. Kendati
demikian, tindakan yang dilakukan Nabi terhadap mereka menurut al-Umari bukan karena mereka
tidak masuk Islam. Melainkan karena mereka merusak perdamaian yang sudah disepakati bersama
dalam perjanjian. Mereka tetap dibiarkan hidup di Madinah dengan tetap memeluk agamanya asal
tidak melakukan pengkhianatan. Mereka pun dikepung dan diusir dari Madinah di bawah komandu
sahabat Nabi, Ubadah bin al-Shamit. Lihat Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif
Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah,.... hlm. 445-447.
255
Bani Nadlir, al-Qur’an tidak berbicara secara jelas terkait dengan pengusiran ini. Akan
tetapi, para ahli tafsir meyakini bahwa al-Qar'an surah al-Hasyr yang oleh Ibnu Abbas disebut
surah Bani Nazhir berbicara tentang kasus itu. Pengusiran Bani Nazhir terjadi setelah Perang
Badar. Ada dua alasan yang melatarbelakangi pengusiran mereka: pertama, upaya kaum Yahudi
Bani Nazhir untuk membunuh Nabi Muhammad pasca Perang Badar. Upaya itu konon atas
permina taan orang-orang kalir Quraisy dan disepakati oleh kaum Yahudi Bani Nazhir. kedua,
Nabi Muhammad menemui Bani Nazhir untuk meminta tebusan untuk dua orang Bani Amir yang
dibunuh secara tidak sengaja oleh Amr bin Umayyah al-Zamri. Akan tetapi, mereka tidak bersedia
memberikan tebusan itu, malah bermaksud membunuh Nabi. Terlepas perbedaan riwayat itu,
tetapi yang jelas, latar belakangnya adalah keinginan Bani Nazhir untuk membunuh Nabi
Muhammad. Lihat Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad
Izzat Darwazah,.... hlm. 447-448.
256
Bani Quraizhah, ayat al-Qur’an juga tidak secara jelas berbicara tentang kasus ini.
Akan tetapi, para ulama sepakat bahwa yang membicarakan kasus ini adalah al-Qur'an surah al-
Ahzab. Peristiwa ini terjadi pada akhir Dzulqaidah dan awal Dzulhijjah tahun ke-5 H, yakni
setelah peperangan Khandaq yang terjadi pada bulan Syawwal tahun ke-5 H (ada yang
berpendapat ke-4 hijriyah). Pengusiran itu disebabkan karena Bani Quraidzah melanggar
perjanjian damai dengan Nabi Muhammad. Mereka termakan oleh provokasi Huyyai bin Akhthab
al-Nadhri. Setelah mendapat perintah dari Allah untuk memerangi mereka, Nabi Muhammad
memerintah para sahabat untuk mengepung mereka dalam waktu yang lama. Para ahli berbeda
pendapat tentang berapa lama pengepungan itu terjadi ada yang berpendapat selama tiga belas
hari, lima belas hari, dua puluh lima hari dan ada yang berpendapat satu bulan. Lihat Aksin
Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah,.... hlm.
448.

125
ayat 82 yang dijelaskan permusuhannya kepada orang-orang beriman hanya

Yahudi, tetapi dalam perkembangannya kedua komunitas itu sama, sehingga pada

ayat 51 ini dinyatakan agar tidak menjadikan mereka sebagai auliya’ (pemimpin,

sahabat, kawan, mitra). Sebagaimana dikemukakan di bab sebelumnya bahwa ayat

wa lan tardha berkaitan dengan sikap tidak senangnya sebagian orang-orang

Yahudi dan Nasrani kepada Muhammad dan sahabatnya, karena adanya

perubahan kiblat.257 Betapa umat Islam terutama Nabi Muhammad mengalami

perasaan sedih dan putus asa akibat dari perubahan kiblat itu sehingga Allah

memerintahkannya untuk menghadap ke Ka’bah lagi sebagai jawaban atas doa

Nabi Muhammad. Selain itu, untuk mengobati perasaan sedih umat Islam, al-

Qur'an menjelaskan bahwa kebaikan itu bukanlah menghadap ke barat atau timur,

melainkan menghadap Allah secara ikhlas. Perubahan itu sekaligus sebagai ujian

dari Allah untuk mengetahui siapa yang benar-benar Muslim yang ikhlas dan

mengikuti Nabi Muhammad dan siapa yang munafik. Akibat perubahan kembali

ke Ka'bah, kini kaum Yahudi-lah yang merasa mendapat pukulan telak dari Nabi

Muhammad terhadap agama mereka.258

Adapun konflik antara Nabi Muhammad dan umat Islam dengan Kaum

Nasrani. Menurut Darwazah, tidak ada alasan yang membenarkan untuk

terjadinya konflik antara Nabi Muhammad dan umat Islam dengan kaum Nasrani

di Madinah, sebagaimana konflik yang terjadi dengan kaum Yahudi. Beberapa

ayat al-Qur’an menyebut mereka dengan bahasa yang moderat atau sopan yang

tidak menunjukkan kekerasan. Karena alasan itulah, Darwazah memaknai Ahli

257
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 150-151.
258
Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah,.... hlm. 438.

126
Kitab yang dilarang dijadikan pemimpin adalah kaum Yahudi, bukan kaum

Nasrani, ini kondisi di Madinah. Akan tetapi, tegas Darwazah, kondisinya berbeda

dalam hal hubungan Nabi Muhammad dengan Nasrani dari luar Madinah,

terutama kaum Nasrani dari daerah Syam yang mengikuti kekuasaan negara

Bizantium Romawi yang beribukota di Konstantinopel. Memang, al-Qur'an tidak

berbicara secara jelas dan langsung tentang hal ini. Akan tetapi, surah al-Taubah

menurut Darwazah memerintahkan umat Islam memerangi orang-orang yang

tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, tidak mengharamkan apa yang

diharamkan Allah, dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar,

dan apalagi mereka hendak memadamkan cahaya kebenaran yang dibawa

Islam.259 Al-Qur’an memberikan indikasi terjadi konflik antara nabi Muhammad

dan umat Islam dengan kaum Nasrani.260

Terlepas dari pelbagai pendapat di atas, tampak memang ada dinamika

yang mewarnai hubungan antara tiga komunitas serumpun tersebut. Dinamika

259
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-
Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
Keadaan tunduk. orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani
berkata: "Al masih itu putera Allah". Demikianlah itu Ucapan mereka dengan mulut mereka,
mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana
mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai Tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam,
Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Mereka berkehendak
memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak
menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak
menyukai. Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan
agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin
tidak menyukai. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang
alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan
mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas
dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah [9]: 29-34).
260
Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah,.... hlm. 460-462.

127
hubungannya bukan saja dipengaruhi oleh faktor adanya pandangan religius yang

berbeda, tetapi juga faktor ekonomis, sosiologis dan politis, antara pendatang

(Muhammad dan pengikutnya) dengan mereka yang sudah menetap lama atau

penduduk asli. Dalam catatan sejarah juga tampak bahwa yang paling dominan

dalam mengikat perjanjian di Madinah yang melahirkan Piagam Madinah261

adalah orang Yahudi. Ali Mustafa Yaqub—dengan mengutip beberapa sumber al-

Qur'an dan Hadis—mengungkap fakta sejarah bahwa ketika Nabi dan

pengikutnya hijrah ke Habasyah, mereka diterima dan diperlakukan dengan baik

oleh Najasyi dan warganya yang notabene beragama Nasrani. Bahkan, menurut

Yaqub, ketika kaum Muslimin hendak menyusul Nabi ke Madinah, Najasyi

menyiapkan dua kapal laut untuk mengangkut mereka. Hubungan baik ini terus

berlanjut ketika Nabi sudah menetap di Madinah. Orang-orang Nasrani dari

Najran (kawasan selatan Jazirah Arab, berdekatan dengan Yaman), dipimpin oleh

Uskup Abu Haritsah menghadap Nabi dan sempat melakukan kebaktian di

masjid.262 Hal yang sama juga diperlihatkan orang Yahudi ketika di Madinah.

Menurut Yaqub, bahkan hubungan Nabi dengan Yahudi pada waktu di Madinah

dapat disebut luar biasa, karena Nabi menikahi Shafiyah putri Huyai bin Akhtab,

seorang tokoh Yahudi Bani Quraidzah di Khaibar. Adapun gesekan yang terjadi

antara kaum Muslimin dan Yahudi bukan karena perbedaan agama, tetapi lebih

261
Peristiwa ini merupakan peristiwa politik yang menjadikan pengalaman getir bagi
Nabi Muhammad dengan Yahudi, setibanya di Madinah Yahudi diberi otonomi keagamaan,
namun mereka justru berkhianat bersekongkol dengan kaum munafik untuk menyerang Nabi dan
kaum Muslim. Lihat Fazlur Rahman, Islam Sejarah Pemikiran dan Peradaban, Penyunting,
Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 2017), hlm. 28.
262
Dari peristiwa ini, Ibnul Qayyim al-Jauziyah—seperti dikutip Yaqup—menyimpulkan
bahwa orang Yahudi-Nasrani diperbolehkan melakukan sembahwang dengan cara mereka
dihadapan orang-orang Islam dan di masjid-masjid, apabila hal itu dilakukan secara spontanitas
dan tidak dilakukan secara rutin. Lihat Ali Mustofa Yaqup, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-
Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 35-37.

128
disebabkan perilaku orang Yahudi yang membatalkan perjanjian secara

sepihak.263

Dari uraian tersebut maka jelas bahwa tidak seluruh orang Nasrani dan

Yahudi bersikap tidak baik terhadap orang-orang beriman, dan karena itu juga

tidak semua dari mereka tidak dapat dijadikan sebagai auliya’. Ini sebagai bukti

bahwa beberapa ayat tersebut lebih menjelaskan peristiwa temporal, yaitu dalam

konteks historis-sosiologis daripada sebagai watak religius mereka.

Mengenai ketidakabsahan truth claim Yahudi dan Nasrani atas Ibrahim,

hal ini juga serupa dengan dikemukakannya orang-orang Arab Jahiliah

penyembah berhala yang mengklaim bahwa mereka menganut agama hanif, yaitu

agama Ibrahim. Akan tetapi klaim itu tidak berdasar, karena Ibrahim diberi

predikat oleh Allah sebagai muslim-hanif dan bukan sebagai musyrikin. Klaim

terhadap Ibrahim hanya berdasar apabila orang tersebut memiliki kesamaan dalam

menganut kebenaran dan mempraktikkan ajaran yang dibawa oleh Ibrahim.

Kesalahan yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani adalah karena mereka tidak

mengamalkan praktik keagamaan yang dilakukan Ibrahim, yaitu Islam (baca:

pasrah) kepada Allah. Islam kepada Allah—menurut Thabathaba’i ketika

menyimpulkan uraian kalimatun sawa’—merupakan sesuatu yang berlaku bagi

seluruh nabi seperti yang terekam dalam beberapa ayat al-Qur’an, misalnya QS.

Yusuf [12]: 40, QS. at-Taubah [9]: 31, QS. Nuh. [71]: 21.264

Aslinya al-Qur’an, Taurat dan Injil memiliki ajaran yang sama, yaitu

tauhid. Kemudian orang Yahudi dan Nasrani sama-sama menjadi pengikut

263
Ali Mustofa Yaqup, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 39-41.
264
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 152-153.

129
Ibrahim. Namun karena mereka tidak menyembah Allah (mempersekutukan-Nya),

tidak mengikuti jejak Ibrahim dan dari sisi waktu, turunya Taurat dan Injil pun

jauh setelah Ibrahim dan praktik keagamaan mereka tidak sesuai ayat kalimat

kalimatun sawa’. Di antaranya mereka memiliki keyakinan bunuwwah (Tuhan

beranak) yang berimplikasi pada kepercayaan Trinitas.265 Trinitas menurut Fazlur,

Nabi Muhammad menolak klaim ketuhanan Isa, namun para sarjana Kristen yang

meneliti Islam berdalih bahwa ide Trinitas yang diterima Muhammad ketika itu

masih sangat kasar, di mana Isa digambarkan sebagai anak jasmaniah atau semi-

jasmaniah Tuhan, dan seandainya yang disampaikan adalah gagasan yang lebih

maju atau “ruhaniah”, Nabi mungkin tidak akan menolaknya.Tetapi pandangan

tersebut sama sekali tidak meyakinkan,266 dan al-Qur’an menolaknya secara

mentah-mentah.

Dengan penjelasan ini, tampak bahwa hanya mereka yang mengikuti

Ibrahim dari sisi ajarannya yang dinilai wajar mengaku dekat dengannya, bukan

atas faktor keturunan, suku, ataupun ras. Muhammad meskipun keturunan Ibrahim

melalui jalur Isma'il, yang beibu Hajar yang merupakan budak Sarah, ibu Ishaq—

leluhur kaum Yahudi dan Nasrani—tetapi dia membawa prinsip agama yang sama

dengan Ibrahim. Di samping itu, juga ada beberapa syariat agama Muhammad

yang bersumber dari ajaran dan tradisi Ibrahim, seperti haji dan khitan serta

sebagai pelestari Ka'bah.267

265
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 153.
266
Fazlur Rahman, Islam Sejarah Pemikiran dan Peradaban, Penyunting, Ahmad
Baiquni, (Bandung: Mizan, 2017), hlm. 26.
267
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 153-154.

130
Karena itu, dalam QS. al-Baqarah [2]: 140 Allah menjelaskan bahwa

klaim orang Yahudi dan Nasrani tersebut sebagai penzaliman, karena mereka

telah menyembunyikan syahadah dari Allah.

Menurut Thabathaba’i, kitab Taurat dan Injil perspektif al-Qur’an

dijelaskan sebagai berikut: pertama, Injil (berbahasa Yunani dan ada pendapat

lain yaitu berbahasa Persia yang berarti berita gembira)268 dan juga Taurat

merupakan kitab suci yang diturunkan jauh setelah Ibrahim, tetapi sebelum al-

Qur'an, yang di dalamnya memuat petunjuk bagi manusia. Hal ini sebagaimana

terdapat dalam QS. Ali-Imran [3]: 3, dan 65 dan QS. al-Ma'idah [5]: 46. Dalam

beberapa ayat tersebut ditegaskan bahwa Ibrahim bukanlah penganut agama

Yahudi ataupun Nasrani. Dalam ayat-ayat itu dan juga QS. al-Ma'idah [5]: 48

disebutkan hubungan antara al-Qur'an dan keduanya. Al-Qur'an menjelaskan

bahwa Taurat dan Injil yang sekarang menjadi pedoman orang Yahudi dan

Nasrani sebagiannya masih mengandung wahyu yang diturunkan kepada Musa

dan Isa, meskipun sudah mengandung perubahan.269

Kedua, Injil dan juga Taurat, keduanya merupakan kitab suci yang

diperuntukkan bagi Bani Israil. Nabi Isa bukan saja diberi Injil, tetapi juga

diajarkan oleh Allah mengenai Taurat, kitab dan hikmah, karena Isa juga diutus

untuk Bani Isra’il. Hal ini sebagaimana ditegaskan QS. Ali-Imran [3]: 48, dan QS.

al-Ma'idah [5]: 110. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa Injil dan Taurat

sebagaimana penerimanya, Isa dan Musa, adalah satu kesatuan dan keduanya

diutus untuk Bani Israil. Namun pada saat yang lain, Injil berbeda dengan Taurat,

268
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 173.
269
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 174.

131
yaitu hanya memuat beberapa hukum yang dinasakh dari Taurat, sebagaimana

diisyaratkan QS. Al-Ma’idah [5]: 4. Seperti halnya Taurat, Injil juga memuat

kabar gembira mengenai akan hadirnya Nabi Muhammad dan sifat-sifat/ciri-

cirinya sebagaimana diungkapkan dalam QS. al-A’raf [7]: 157, dan QS. al-Fath

[48]: 29.270

Ketiga, Taurat, Injil dan al-Qur'an adalah kitab yang integral yang

semuanya harus diterima, tanpa dibedakan oleh mereka yang mengaku beriman,

sebagaimana dikemukakan dalam QS. al-Ma'idah [5]: 66 dan 68.271 Ketiganya

mengandung ajaran universal yang sama, seperti tentang janji Allah bahwa Ia

akan memasukkan para mujahid di jalan Allah ke dalam surga-Nya.

Dan Keempat, perintah melaksanakan Injil dan janji Allah bagi yang

benar-benar mau melaksanakannya sebagaimana terdapat dalam QS. al-Ma’idah

[5]: 47 dan QS. al-Hadid [57]: 27. Salah satu ayat yang menyebutkan Injil secara

terpisah dengan Taurat adalah QS. al-Ma’idah [5]: 47.272 Jadi dapat diketahui

siapa ahli waris Ibrahim yang sebenarnya menurut al-Qur’an tentunya adalah

ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw yang secara komprehensif sejalan

dengan apa yang ditegakkan oleh nabi Ibrahim.

B. Pandangan Edip Yuksel dkk. terhadap Yahudi dan Nasrani

270
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 174-175.
271
Sejalan dengan pendapat Fazlur dalam ayat tersebut Yahudi dan Nasrani diseru al-
Qur’an agar mengamalkan Taurat dan Injil, tetapi seperti penganut tradisi keagamaan lainnya yang
sudah terorganisasi, kaum Yahudi dan Nasrani saling berselisih dan masing-masing mengklaim
bahwa keselamatan hanya ada pada kaumnya. Akibatnya al-Qur’an menyatakan bahwa Ibrahim
bukanlah Yahudi dan Nasrani bahkan orang yang paling dekat dengannya adalah yang benar-benar
mengikutinya. Lihat Fazlur Rahman, Islam Sejarah Pemikiran dan Peradaban, Penyunting,
Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 2017), hlm. 26-27.
272
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 175.

132
Seperti kepercayaan lain, Islam telah mengembangkan aliran

soteriologinya273 sendiri yang khas, baik itu menyangkut ekslusivisme intra-

agama maupun, yang lebih relevan dengan bahasan ini, antar-agama, inklusivisme

dan pluralisme. Khalil mendefinisikan istilah-istilah tadi sebagai berikut:

“ekslusivis” meyakini bahwa tradisi atau tafsir keagamaan merekalah yang

mampu memberi keselamatan sehingga penganut kepercayaan lain akan berakhir

di neraka. Sedangkan “inklusivis” menegaskan keyakinan mereka adalah jalan

surga, namun meyakini bahwa umat lain yang tulus sepenuh hati menjalankan

keyakinannya akan diselamatkan. Kemudian “pluralis” menyatakan bahwa,

bagaimanapun juga, ada banyak tradisi dan tafsir keagamaan yang mampu dan

setara memberi keselamatan. Terminologi ini barangkali terkesan asing bagi

sejumlah cendekiawan Muslim modern maupun sebelumnya, namun klasifikasi

tripart di atas—pembagian yang versi-versinya lazim diterapkan oleh sederet

pakar filsafat agama kontemporer itu—membukakan pintu bagi kita untuk

mengembangkan sebuah konsepsi yang lebih terang-benderang tentang spektrum

soteriologi Islam. Kendati begitu, kategori-kategori tersebut tidaklah monolitis.274

Kalangan pluralis soteriologis kerap mengacu ke ayat-ayat Quran,

misalnya QS. 5:48 yang mengindikasikan bahwa Tuhan tidak pernah bermaksud

menggiring manusia menjadi satu umat dengan hukum tunggal:

Kami telah turunkan kepadamu [Muhammad] Al-Quran dengan


kebenaran, menegaskan kebenaran kitab-kitab yang diturunkan

273
Soteriologi secara sederhana dapat diartikan sebagai ajaran tentang keselamatan
menurut agama Kristen, lihat Browning W.R.F. Kamus Al-Kitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008), hlm. 419. Dan bisa juga diartikan penyelamatan, lihat juga Nico Syukur Dister, Teologi
Sistematik 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 131.
274
Mohammad Hasan Khalil, Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, Bandung:
Mizan Pustaka, 2016. hlm. 11-12.

133
sebelumnya dan menjadi penjaga [muhaimin] kitab-kitab itu: maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan. janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk tiaptiap umat, Kami berikan aturan
[syir'ah] dan jalan yang terang [minhaj]. Sekiranya Allah menghendaki.
niscaya kalian akan dia jadikan satu umat saja. tetapi Allah hendak
menguji melalui apa yang telah dikaruniakan-Nya kepada kalian. maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kalian
semua kembali dan Dia akan menjelaskan kepada kalian apa yang telah
kalian perselisihkan itu.

Dengan demikian, patut diperhatikan bahwa meski Quran menghadirkan

dirinya sebagai “kriteria standar norma” (QS. 25:1), ia juga menyatakan sebagai

salah satu dari sekian kitab suci yang diwahyukan, seperti Taurat (QS. 3:3), Zabur

(QS. 4:163), dan Injil (Q3. 3:3). Itulah mengapa orang-orang Yahudi dan Nasrani

disebut sebagai Ahli Kitab (ahl al-Kitab) dan hubungan mereka dengan Muslim

pun karib. Kedekatan ini sekaligus menjelaskan mengapa Muslim diperbolehkan

melakukan pernikahan dan berbagi makanan dengan mereka (QS. 5:5). Walaupun

sebagian Muslim berpendapat menurut kacamata keyakinan mereka bahwa kitab

suci yang dijadikan sandaran umat Yahudi dan Nasrani kontemporer telah

melenceng, namun satu posisi pluralis mengatakan jika Quran dibaca saksama

(khususnya QS. 2:75-79, 3:78, 4: 46, dan 5:13), maka akan menuntun ke arah

kesimpulan adanya golongan tertentu di antara Ahli Kitab yang “mendistorsi”

kitab suci dengan melakukan kekeliruan dalam menyajikan pesannya serta

membubuhinya dengan kepalsuan.275 Contoh nyata dari distorsi ini adalah klaim

275
Lihat, Huda, "Knowledge of Allah and the Islamic View of Other Religions”, hlm. 297.
Di sana Huda menjelaskan bahwa menurut pandangan dominan dalam pemikiran Islam, “distorsi”
kitab-kita suci sebelumnya “tidak terbatas pada penafsiran, melainkan pengubahan (tabdil) kata-
kata yang terwahyukan dengan kata-kata sehari-hari yang lebih bisa diterima, atau menukar kata-
kata yang terwahyukan dengan kata-kata yang semula tidak ada dalam kitab suci, menindas
kebenaran dengan kedustaan.”

134
golongan eksklusivis Yahudi dan Nasrani, “Sekali-kali tidak masuk surga kecuali

orang-orang Yahudi dan Nasrani” (QS. 2:111). Quran menolak klaim ini dan

menjanjikan ganjaran surgawi kepada “siapa pun yang menyerahkan diri total

kepada Allah dan berbuat kebajikan” (QS. 2:112). Lebih tegas lagi adalah QS.

2:62 dan QS. 5:69, dua ayat yang mengisyaratkan kesalamatan bagi orang-orang

Yahudi dan Nasrani yang beriman dan berbuat baik, serta segolongan misterius

yang disebut Shabiin.276

Becermin pada QS. 2:62—mungkin merupakan ayat paling banyak dikutip

dalam wacana pluralis—Yuksel, dkk. melalui QS. 2:62 menjelaskan pandangan

Yahudi dan Nasrani melalui endnote bahwa:

002:062 Regardless of religion, ritual, language, nationality, and books


followed, any individual who fulfills these three requirements attains
eternal salvation. Based on these criteria, Socrates who risked his life for
promoting dialectic reasoning and rejecting the polytheistic religion of his
countrymen was a muslim. Similarly, Maimonides who considered God as
the Prime Mover, Rabi Judah ben Samuel who witnessed one of the
greatest divine signs and stood against religious distortion, Leibniz who
regarded God as the creator and coordinator of monads, Galileo who
studied and appreciated God's signs in the heavens and stood against
religious charlatans, Darwin who traveled the world and studied God's
biological creation with diligence and open mind, Newton who studied
God's laws in the universe and showed the wisdom and courage to reject
Trinity and deity of Jesus by arguing that this Christian doctrine to be
contradictory to the first Commandment in the scripture, and many of
those who fit the description of the Quranic verse 2:62, yes all according to
the Quran might be considered muslims.277

Menurut Yuksel, dkk. menuturkan bahwa kondisi yang tercantum dalam

ayat 2:62 ini dijelaskan dalam konteks al-Qur’an, penulis kelompokkan menjadi

276
Mohammad Hasan Khalil, Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, Bandung:
Mizan Pustaka, 2016. hlm. 13.
277
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 84-85

135
tiga divisi: pertama, “orang-orang yang mu’min” misalnya orang yang dianggap

tidak beriman lalu disucikan oleh Allah kemudian mengikuti ajaran dan aturan-

Nya. “Benar-benar beriman kepada Allah”: keimanan ini tidak diterima jika hanya

sebatas lisan (ucapan di bibir), hal itu harus didasarkan pada alasan, bukti

perbuatan dan kemampuan. “Mengimani hari kemudian”: menyiratkan keimanan

saat ini juga bahwa nanti akan ada hari akhir (akhirat), hari kebangkitan, dan hari

penghakiman di mana tidak ada seorangpun kecuali Allah dan Allah berkuasa

mutlak. “Beramal saleh”: memimpin kehidupan yang benar didefinisikan dalam

al-Qur’an, sebagai contoh, kesalehan membutuhkan keinginan (hajat) dan aksi

secara nyata dengan saling berbagi dari sebagian apa yang dimiliki; baik itu

pengetahuan, bakat-keterampilan(termasuk menghibur atau menebar

kebahagiaan), jasa, ataupun rizki kepada sesama. Tentu hal ini harus dengan

tatacara menghargai diri sendiri, yaitu mempertahankan kejujuran, integritas dan

rasa yang adil ke semua itu dibarengi dengan niat yang baik, berjuang melawan

penindasan dan penyerangan.278

Kedua, tentang kaum Nasrani, dari ayat 2:62 Yuksel tidak memaparkan

tentang kaum Yahudi yang penulis amati dari endnote yang ia cantumkan, namun

Yahudi dijelaskan pada teks ayat lain dan pada diskusi Yuksel mengenai Yahudi-

Nasrani. Dari penjelasan mengenai Nasrani ayat ini, Yuksel mengatakan bahwa

al-Qur’an mengacu pada pengikut perjanjian baru dengan kata Nasara (umat

Nasrani) dan Masihiyyun (orang Kristen) asal akar kata dari Nasara yang berasal

dari para muridnya ketika mereka ditanya (QS. 61: 14), asal kata tersebut juga

278
Lihat Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 85.

136
bisa berasal dari kelahiran Yesus, Nazareth. Dalam QS. 5:82 juga dikatakan oleh

penulis Injil untuk menetapkan Mesianik untuk menguatkan hubungannya antara

Yesus dan Daud, dengan melalui silsilah dan tempat kelahiran yaitu Betlehem.

Matius dan Lukas menyebutkan Betlehem sebagai kelahiranya, namun Mark

menyebutkan Nazareth sebagai tempat kelahiran Yesus. Dan pada masa itu juga

Yesus datang dari Nazareth di Galilea sebagai pembaptisan Yohanes (Yahya) di

Yordania (Markus 1:9). Untuk ayat-ayat Alkitab yang merujuk kepada Nazareth,

lihat (Matius 2:23; 4:13; 21:11; 26:71; Mark 1:9, 24; 10:47; 14:67; 16:6; Lukas

1:26; 2:4, 39, 51; 4:16, 34; 18:37; 24:19; Yohanes 1:45-46; 18:5, 7; 19:19; Kisah

2:22; 3:6; 4:10; 6:14; 10:38; 22:8; 26:9). Nama Kristen menurut sarjana Kristen

diberikan oleh orang Yunani atau Romawi dan ada beberapa yang katanya

mengatakan bahwa nama Yesus berasal dari nama pengikut umat Nasrani sebelum

kedatangan agama tersebut.279

Ketiga, pembahasan mengenai kaum Sabiene. Yuksel menerjemahkan

kaum ini sebagai nama yang tepat oleh mayoritas pengikut agama-agama lain.

Dalam kitab hadis mengatakan bahwa kata ini adalah sebagai dakwaan tentang

kaum musyrik Makah yang melawan Muhammad ketika dia mulai mencela agama

umatnya.280

Terlepas dari pelbagai pendapat di atas mengenai pandangan Yuksel

tentang Yahudi dan Nasrani, merujuk kepada 2:62, kelompok-kelompok yang

disebutkan dalam ayat (orang-orang yang beriman, umat Yahudi, umat Nasrani,

dan orang-orang dari agama lain) memperoleh keselamatan sepanjang mereka

279
Lihat Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 85.
280
Lihat Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 86.

137
percaya kepada Tuhan, melakukan pekerjaan yang budiman (beramal saleh) dan

mengimani hari akhir. Barangkali tidak semua tunduk, bersujud, dan barangkali

tidak semua beriman dan mengerti maksud al-Quran atau salah satu dari

keduanya. Kita harus ingat bahwa Allah bertanggung jawab atas masing-masing

mereka. Sebagai orang-orang yang menyaksikan mu’jizat Musa, mereka akan

bertanggung jawab atas kesaksianya bagi mereka, demikian juga mereka yang

diperintahkan untuk tunduk dan bersujud akan bertanggung jawab untuk

perbuatan mereka. Setiap bangsa menerima utusan-utusan (Rasul) dan masing-

masing menerima perintah mereka (10:47; 22:34; 40: 28).281

Yuksel menawarkan suatu pemikiran yang sealiran dengan aliran

soteriologis yang dikatakan oleh Khalil. Dari paparan ayat yang ia jelaskan justru

bukan fokus pada agama Yahudi-Nasrani secara mendalam, melainkan ia

lontarkan inklusivisme dan pluralisme terhadap keselamatan agama lain. Hal ini

terbukti ketika ia berdiskusi dengan seseorang yang bertanya mengenai apakah

semua Yahudi dan Nasrani akan masuk neraka? Lalu ia menjawab tidak, beberapa

tidak masuk neraka.282 Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,

orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang

benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka

akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada

mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati (2:62). Sesungguhnya orang-orang

mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja

(diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran

281
Lihat Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 508-509
282
Lihat Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 650.

138
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (5:69). Ia menjawab hal

itu dengan landasan al-Qur’an seperti yang telah di jelaskan di atas.

Yuksel juga mengaitkan penjelasan mengenai 2:62 dengan pespektif

Islam. Islam bukanlah nama yang tepat, bukan pula agama yang didirikan

Muhammad seperti yang salah dituduhkan. Islam adalah paradigma dari semua

yang menyerahkan diri mereka secara damai hanya kepada Tuhan. Al-Quran

mengajarkan kita bahwa semua orang mengakui kebenaran dijuluki Tuhan dengan

kata Submitters (orang-orang yang tunduk) atau Peacemakers (pembawa

kedamaian) (Muslims) (22:78). Islam adalah nama deskriptif dari penyerahan dan

kedamaian, atau dalam konteks al-Quran, secara damai menyerahkan diri hanya

kepada Tuhan. Islam adalah sebuah paradigma dan cara hidup yang menekankan

kebebasan personal dari segala kekuatan dengan menerima hanya Tuhan sebagai

satu-satunya pemegang kekuasaan absolut. Maka, satu-satunya jalan hidup yang

diterima (diridhoi) oleh Tuhan adalah Islam (3:19-85). Berdasarkan al-Quran,

semua pembawa berita (nabi, rasul), bersama dengan pengikutnya, adalah

Muslim; mereka adalah pembawa kedamaian yang menyerahkan diri kepada

kehendak Tuhan saja. Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Sulaiman, Isa dan para

pengikutnya semuanya dideskripsikan dengan kata yang sama, Muslim (10:72,

2:128; 10:84; 27:31; 5:111; 72:14). Karena semua rasul menyampaikan wahyu

dalam bahasa yang digunakan umatnya masing-masing, mereka menyatakan

ketundukannya kepada Tuhan, tidak menggunakan kata bahasa Arab, "Islam" atau

"Muslim", tetapi menggunakan bahasa mereka sendiri (14:4). Nyatanya, menurut

al-Quran, dengan pengecualian pada jiwa-jiwa yang tidak bersyukur dan musyrik,

139
seluruh alam semesta, termasuk di dalamnya tubuh material dari penolak tersebut,

adalah Muslim, karena setiap partikel, atom, molekul, planet, bintang, cahaya,

galaksi di alam semesta tunduk sepenuhnya pada hukum Tuhan (41:11).

Bayangan tunduk kepada hukum Tuhan, bahkan bayangan dari tubuh musuh

(13:15). Segala sesuatu yang ada di alam semesta telah tunduk kepada sistem

Tuhan; ketundukan kepada Tuhan dengan damai dan pembawa kedamaian (Islam)

adalah hukum dari alam semesta (3:83). Islam:283

1. Bukan nama yang tepat, melainkan sebuah kata benda yang berasal dari

akar kata bahasa Arab ketundukan/penyerahan/kedamaian, digunakan oleh

Tuhan untuk mendeskripsikan sistem yang disampaikan oleh semua nabi

dan rasul-Nya (5:111; 10:72; 98:5), yang kemudian sistem tersebut

mencapai tingkat yang lebih tinggi pada saat Ibrahim (4:125; 22:78).

2. Secara damai tunduk kepada Tuhan saja (2:112,131; 4:125; 6:71; 22:34;

40:66).

3. Sebuah sistem dengan prinsip yang universal, yang harmonis dengan alam

(3:83; 33:30; 35:43).

4. Mewajibkan bukti nyata yang obyektif sebagai pelengkap dari pengalaman

perseorangan (3:86; 2:111; 21:24; 74:30).

5. Menuntut pendirian yang tidak berdasarkan pada angan-angan atau

perasaan semata, namun berdasarkan pemikiran dan bukti nyata (17:36;

4:174; 8:42; 10:100; 11:17; 74:30-31).

283
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 508-509.

140
6. Menghargai pengetahuan, pendidikan, dan pencarian ilmu (35:28; 4:162;

9:122; 22:54; 27:40; 29:44,49).

7. Mendorong penyelidikan secara ilmiah perihal evolusi manusia di bumi

(29:20).

8. Menolak kependetaan dan perantara antara Tuhan dan manusia (2:48;

9:31-34).

9. Mengutuk menjual agama Tuhan dengan harga yang murah (9:34;

2:41,79,174; 5:44; 9:9).

10. Berpihak pada kebebasan, tanggung-jawab, dan menentang

penyalahgunaan kekuasaan (6:164).

11. Berpihak pada kebebasan berekspresi (2:256; 18:29; 10:99; 88:21-22).

12. Mewajibkan perundingan dan perwakilan dan permasalahan publik (42:38;

5:12).

13. Mendorong sistem demokrasi di mana semua warga dapat berpartisipasi

dan difasilitasi (58:11).

14. Melarang suap, dan mewajibkan peraturan yang ketat terhadap pengaruh

kelompok dan korporasi yang berkepentingan di pemerintahan (2:188).

15. Mewajibkan pemilihan pejabat pemegang kekuasaan berdasarkan

kualifikasi dan prinsip keadilan (4:58).

16. Menjanjikan keadilan pada semua orang, tanpa melihat keyakinan maupun

suku bangsa (5:8).

141
17. Mengakui hak warga negara untuk mengajukan petisi secara terbuka

terhadap ketidak-adilan yang dilakukan oleh individu maupun pemerintah

(4:148).

18. Mendorong distribusi kekayaan, kebebasan ekonomi dan kesejahteraan

sosial (2:215, 59:7).

19. Mendorong penghormatan tertinggi terhadap individu (5:32).

20. Menyatakan kualitas masyarakat pada kualitas individu di dalamnya

(13:11).

21. Mengakui dan melindungi hak privasi individu (49:12).

22. Mengakui hak prasangka tidak bersalah dan hak untuk menghadapi

penuduh (49:12).

23. Menyediakan perlindungan untuk saksi (2:282).

24. Tidak membenarkan orang yang tidak bersalah menanggung hukuman

orang lain (53:38).

25. Melindungi hak kepemilikan individu (2:85,188; 4:29; exception 24:29;

59:6-7).

26. Melarang ekonomi yang tidak produktif (2:275; 5:90;3:130).

27. Mendorong amal dan kepedulian pada si miskin (6:141; 7:156).

28. Mempersatukan umat manusia dengan menyatakan persamaan gender dan

ras (49:13).

29. Menghargai perempuan (3:195; 4:124; 16:97).

30. Menghargai kecerdasan (5: 90).

31. Menawarkan kedamaian antar negara (2:62; 2:135-136, 208).

142
32. Menganggap seluruh dunia milik Tuhan dan mendukung immigrasi (4:97-

98).

33. Menyatakan damai, dengan menghalangi kelompok yang suka menyerang

(agresif) (60: 8, 9; 8:60).

34. Memberlakukan peraturan buruk dari persamaan, yaitu, pembalasan

(dendam) dengan adakalanya pemberian pengampunan. (42:20; 17:33).

35. Berpihak pada hak asasi manusia dan mereka yang tertindas (4:75).

36. Mendorong berlomba-lomba dalam kebajikan dan moral. (16:90).

37. Adalah kedamaian, kejujuran, kebaikan, dan menjauhi perilaku buruk

(3:110)

38. Mengharapkan standar moral yang tinggi (25:63-76; 31: 12-20; 23:1-11).

39. Menyuruh kita untuk harmonis dengan alam dan lingkungan. (30:41).

Djami’atul mengutip dari tulisan Nucholis Majid mengatakan bahwa

konsep ajaran Islam dalam pengertian generik adalah inti dan saripati semua

agama para Nabi dan Rasul. Sekalipun secara sosiologis dan formal

kemasyarakatan seseorang adalah beragama Islam atau muslim, namun jika tidak

ada padanya ketulusan sikap al-Islam itu (sikap penuh pasrah dan berserah diri

kepada Allah) maka ia juga termasuk kategori keagamaan yang tidak sejati dan

tertolak.284

Dalam QS. 2: 120, Yuksel tidak menampakkan pendapatnya mengenai

Yahudi dan Nasrani seperti yang dipaparkan Thabathaba’i pada tafsir al-Mizan.

Dalam terjemahannya ini, dia hanya menampilkan arti ayat—seperti yang di

284
Djami’atul Islamiyah, “Realitas Pemikiran Islam: Moderat-Puritan”, Millatī, Journal
of Islamic Studies and Humanities, Vol. 2, No. 2, Desember 2017, hlm 159.

143
paparkan penulis pada bab III mengenai tafsir Yuksel 2:120. Ada endnote yang di

sempilkan Yuksel pada 2:120 yaitu membahas sedikit mengenai Quran yang

menunjukan distorsi utama agama Kristen, yaitu mengklaim hak ekslusiv untuk

masuk surga.285 Ungkapan ini masuk pada endnote 3:64 yang membahas tentang

Ahli Kitab. Kemudian pada DISCUSSION OF 7:158 mengatakan bahwa agama

Yahudi dan Nasrani adalah dipanggil “ummiyin”.286 Dan mengenai kitab Yahudi-

Nasrani pada konteks sekarang kontradiktif dengan al-Qur’an.287

C. Relevansi Pandangan Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk. terhadap perdamaian

atas konflik keberagamaan.

QS. Al-Baqarah [2] : 62 dan 120 yang telah ditafsirkan oleh kedua mufasir

secara universal-komprehensif telah dihidangkan dengan tujuan untuk perdamaian

dunia sesuai harapan kebanyakan umat manusia dewasa ini dari berbagai carut-

marutnya konflik atas dasar truth claim agama. Bagir mengatakan bahwa secara

yakin, sampai sekarang Barat masih membutuhkan Timur, sebagaimana Timur

juga membutuhkan Barat.288 Namun hal ini tidak sesuai ekspektasi perkataan

tersebut justru intensitas permasalahan yang sangat tinggi ini, bisa dikatakan

bersumber dari agama, baik itu dari agama Yahudi, Nasrani, Islam ataupun the

other religion. Kesemua agama tersebut saling truth claim atas kebenaran dan

kevalidan bahwa agama merekalah yang sesuai dengan agama Allah. Dari sinilah

mereka saling membenci, saling berbuat diabolic (kejam), kekerasan dan cara

apapun sehingga ada pihak atau seseorang yang dirugikan. Mereka melakukan hal

285
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 118.
286
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 35.
287
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 38.
288
Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau,
(Bandung: Mizan, Cet. II, 2017), hlm. 179.

144
itu atas kesalahan interpretasi pada kitab-kitabnya bahkan ada yang

mengkonversikanya seperti yang dilakukan agama Yahudi dan Nasrani. Ungkapan

ini terbukti dengan adanya al-Qur’an yang secara luas menjabarkan seluk-beluk

historis mereka lewat ayat-ayat yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada

umatnya.

Mengaitkan kajian konflik antar pemeluk agama dengan al-Qur’an adalah

suatu ide atau gagasan yang brilian. Oleh karena dengan cara ini imej yang selama

ini cenderung memojokkan al-Qur’an akan dapat dijelaskan dan diluruskan bahwa

al-Qur’an bukan seperti yang mereka bayangkan. Al-Qur'an adalah kitab suci

yang mengajarkan toleransi. Allah tidak pernah memanggil kaum Yahudi dan

Nasrani dengan sebutan, "orang-orang kafir” tetapi dengan julukan yang

terhormat, "ahli kitab” padahal mereka sedikit pun tidak mau memercayai

Muhammad sebagai Rasul Allah, apalagi memeluk Islam.

Berangkat dari kenyataan itu, dapat dikatakan bahwa percekcokkan antar

umat “berlainan agama yang berujung konflik, semua itu lebih banyak disebabkan

oleh pemeluk masing-masing agama yang kurang memahami ajaran kitab sucinya

secara utuh. Atau bisa jadi, mereka paham, tapi sengaja mencari interpretasi lain

agar sesuai dengan paham yang mereka anut, tanpa peduli apakah penafsiran itu

benar atau salah. Tidak terkecuali pemeluk agama Islam. Ada yang memahami al-

Qur'an secara apriori dan keliru sesuai dengan mazhab atau aliran yang dianut.

Kelompok ini biasanya cenderung ekstrim dan menganggap pendapat atau

pemahaman yang dianut orang lain keliru dan tidak Islami. Sikap dan mental

tersebut tentu dapat memicu chaos dan perang antar umat beragama. Memang

145
diakui bahwa ada banyak ayat al-Qur’an yang secara tekstual tampak kontradiktif

satu sama lain. Ayat-ayat semacam ini yang dijadikan alasan oleh mereka untuk

melakukan tindakan kekerasan dan mengangkat senjata untuk memerangi

penganut agama lain yang tidak mereka senangi.289 Padahal, jika diamati secara

seksama tidak ada satu ayat pun di dalam al-Qur'an yang memerintahkan umat

Islam untuk memerangi orang lain karena berbeda paham atau aliran agama yang

dianutnya, agar lebih jelas, mari kita amati ayat kontradiktif QS. Al-Baqarah [2] :

62 dan 120.

Ketika menjelaskan QS. al-Baqarah [2]: 62 pada bab sebelumnya,

Thabathaba‘i menyatakan bahwa diulangnya kata iman merupakan penyifatan

iman yang sesungguhnya. Dari pemahaman ini, ia menyatakan bahwa penyebutan

seperti mu’minin, Yahudi, Nashara, dan Shabi’in—dalam pandangan Allah—

tidak secara aksiomatis menjamin pahala dan keselamatan dari siksa-Nya,

sebagaimana ucapan Yahudi dan Nasrani; “Tidak akan masuk surga kecuali bila

menjadi Yahudi atau Nasrani”. Justru yang menjadi faktor penentu kemuliaan dan

kebahagiaan seseorang akan didapat bila ia beriman yang benar kepada Allah, hari

akhir dan beramal saleh.290 Thabathaba'i menjelaskan bahwa berulang kali ayat-

ayat al-Qur'an menyatakan bahwa kebahagiaan dan kemuliaan tergantung pada

‘ubudiyyah. sehingga nama291 tidak dapat memberi jaminan manfaat bagi pemilik

namanya. Demikian juga sifat-sifat kesempurnaan, kecuali apabila semuanya itu

289
Nashruddin Baidan dan Erwati Aziz, Solusi Qur’ani terhadap Berbagai Problem
Sosial Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 140-142.
290
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 156.
291
Dikutip dari Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-
Qur’an terhadap Agama Lain, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm. 124

146
disertai konsistensi ‘ubiidiyyah. Hal ini berlaku secara universal, baik bagi para

nabi ataupun yang lainnya.292

Becermin pada kutipan dalam wacana pluralis—Yuksel, dkk. melalui QS.

2:62 ia menjelaskan pandangan Yahudi dan Nasrani melalui endnote-nya ini agak

berbeda dengan Thabathaba’i meskipun ada persamaan, menurut Yuksel bahwa:

tidak peduli akan agama, ritual, bahasa, kebangsaan, dan kitab yang diikuti, setiap

individu yang memenuhi tiga kriteria ini bisa mendapat keselamatan abadi.

berdasarkan kriteria tersebut, Sokrates yang mempertaruhkan hidupnya untuk

mendorong penggunaan akal sehat dan menolak agama politeis (banyak Tuhan)

yang disembah orang-orang di negerinya, merupakan seorang muslim. Sama

halnya dengan Maimonides yang menganggap Tuhan sebagai Penggerak Utama,

Rabi Judah bin Samuel yang menyaksikan satu dari tanda-tanda ketuhanan dan

menolak penyimpangan agama, Leibniz yang menganggap Tuhan sebagai

pencipta dan pengatur dari monads (bagian terkecil yang tidak bisa dibagi lagi di

dunia ini), Galileo yang meneliti dan mengapresiasi tanda-tanda Tuhan di surga

dan menolak agama charlatans (para penipu), Darwin yang berkeliling dunia dan

mempelajari kreasi biologi Tuhan dengan rajin dan pekiran terbuka, Newton yang

meneliti hukum Tuhan di dunia dan menunjukkan kebijaksanaan dan keberanian

untuk menolak trinitas dan ketuhanan Yesus dengan membantah bahwa dotkrin

Kristen ini berlawanan dengan firman Tuhan yang pertama dalam Kitab Injil, dan

292
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 157.

147
banyak lagi yang cocok dengan deskripsi al-Quran ayat 2:62, ya semua menurut

al-Quran dapat dianggap sebagai muslim.293

Penulis kelompokkan tiga divisi pendapat Yuksel mengenai keselamatan

agama lain pertama, orang yang “beriman” misalnya orang yang dianggap tidak

beriman lalu disucikan oleh Allah kemudian mengikuti ajaran dan aturan-Nya.294

Kedua, tentang kaum Yahudi-Nasrani,295 Ketiga, kaum Sabiene yang diartikan

Yuksel the other religion. Ketiga-tiganya yaitu orang yang “Benar-benar beriman

kepada Allah”: keimanan ini tidak diterima jika hanya sebatas lisan (ucapan di

bibir), hal itu harus didasarkan pada alasan, bukti perbuatan dan kemampuan.

“Mengimani Hari Kemudian”: menyiratkan keimanan saat ini juga bahwa nanti

akan ada hari akhir (akhirat), hari kebangkitan, dan hari penghakiman di mana

tidak ada seorangpun kecuali Allah dan Allah berkuasa mutlak. “Beramal saleh”:

mengatur kehidupan yang benar sesuai dalam al-Qur’an, sebagai contoh,

kesalehan memenuhi kebutuhan (hajat) dan amal nyata dengan saling berbagi dari

sebagian apa yang dimiliki; baik itu pengetahuan, bakat-keterampilan (termasuk

menghibur atau menebar kebahagiaan), jasa, ataupun rizki kepada sesama. Tentu

hal ini harus dengan tatacara menghargai diri sendiri, yaitu mempertahankan

kejujuran, integritas dan rasa yang adil kesemua itu dibarengi dengan niat yang

baik, berjuang melawan penindasan dan penyerangan.296

Menurut Thabathaba’i—berbeda dengan pandangan Yuksel—tentang

masing-masing pemeluk agama tersebut apabila memenuhi tiga syarat, dijamin

293
Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 84-85
294
Lihat Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 85.
295
Lihat Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 85.
296
Lihat Edip Yuksel (dkk.), Quran a Reformist Translation,... hlm. 86.

148
keselamatannya, namun jaminan tersebut menurutnya tidak dapat dijadikan

sebagai klaim yang pasti dan perdebatan tanpa dasar di antara mereka. Sebab,

keputusan akhirnya ada pada Allah nanti di akhirat. Ini artinya, siapa pun tidak

boleh mengklaim bahwa hanya diri dan kelompoknya yang sama dengan dirinya

yang akan masuk surga.297

Tampaknya, dalam konteks tidak boleh saling klaim ltulah Thabathabaii

menjelaskan pengertian masing-masing dari komponen dalam al-Qur’an yang

relevan dengan QS. al-Baqarah [2]: 62. Pertama, alladzina amanu, yaitu mereka

yang beriman kepada Muhammad dan kitab mereka adalah al-Qur'an. Kedua,

alladzina hadu, yaitu mereka yang beriman kepada Musa dan rasul-rasul

sebelumnya dan kitabnya adalah Taurat. Ketiga, al-shabi’in298 yaitu kelompok

antara Yahudi-Majusi dan kitabnya yang dinisbahkan kepada Yahya bin Zakariya.

Keempat, Nashara yaitu mereka yang beriman dengan Isa Almasih ibn Maryam

dan nabi-nabi sebelumnya dan kitab sucinya adalah empat Injil; Lukas, Markus,

Matius, dan Yohanes serta beberapa kitab Perjanjian Lama. Kelima, al-majus299,

yaitu yang dikenal sebagai mereka yang beriman kepada Zoroaster dan kitabnya

adalah Avesta. Keenam, alladzina asyraku, yaitu al-watsaniyyah, penyembah

berhala yang aliran atau mazhab utamanya ada tiga, yaitu al-watsaniyyah al-

shobi’ah, Brahmana, dan Buddha.300

297
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 157.
298
Lihat Ismail, Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-agama, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 304-305.
299
Lihat Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 137-138.
300
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 157-158.

149
Keenam, kelompok tersebut memiliki kedudukan yang sejajar dihadapan

Allah, bahwa semuanya akan mendapat keputusan dan dipisahkan secara jelas,

tanpa ada penutup atau hijab sedikit pun.

Apabila kita melihat QS. al-Baqarah [2]: 62, hemat penulis, pandangan

Thabathaba’i dengan Yuksel memaparkan tentang adanya kemungkinan

keselamatan agama lain sehingga tersirat bahwa ayat ini tidak mengundang

kebencian atas dasar konflik yang bernuansa agama. Setelah itu, kita bahas ayat

yang kontradiktif antara QS. al-Baqarah [2]: ayat 62 dengan ayat 120. Apakah

ayat 120 ini, benar-benar mengundang kebencian konflik antara agama tersebut?

Apabila kita menilik tekstual dari QS. al-Baqarah [2]: 120 dikatakan

bahwa orang-orang Yahudi dan juga Nasrani tidak akan senang sebelum orang-

orang yang beriman mengikuti pola dan model hidup mereka. Ayat ini

menegaskan bahwa terdapat dua golongan Yahudi:

Pertama, mereka yang tidak benar-benar membaca kitabnya dan lebih

banyak mengikuti hawa nafsu dan pikirannya. Kelompok pertama ini selamanya

tidak akan rela terhadap orang yang beriman. Kedua, mereka yang benar-benar

membaca kitab sucinya dan memercayai bahwa apa yang terdapat dalam al-Qur'an

adalah sama dengan yang mereka terima, sehingga mereka akan beriman kepada

Muhammad. Petunjuk al-Qur'an dan Taurat-lah yang benar sebagai petunjuk

Allah. Menurut riwayat al-Dailami yang dikutip Thabathaba'i, maksud (membaca

dengan sebenar-benarnya) adalah membaca secara tartil ayat-ayatnya, memahami

dan mengamalkan hukum-hukumnya, berharap kepada janji-Nya, khawatir pada

ancaman-Nya, mengambil pelajaran dari kisah-kisahnya, amar makruf nahi

150
mungkar, memelihara ayat-ayatNya, mengkaji huruf-hurufnya, membaca surat-

suratnya, mengkaji bagian-bagiannya, menjaga huruf-hurufnya, dan menjaga

batas-batasnya. Semuanya itu hanya didapat apabila mau men-tadabburi ayat-

ayat-Nya dan mengamalkan hukum-hukum-Nya. Allah berfirman, “Ini adalah

sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya

mereka ber-tadabbur terhadap ayat-ayatnya”.301

Ayat ini sebenarnya ditujukan khusus untuk nabi Muhammad dengan

penggunaan dlomir “ka” (kamu/engkau), ayat ini tidak dimaksudkan untuk semua

umat Islam atau ketidaksukaan Yahudi dan Nasrani itu ditujukan kepada semua

agama Islam. Yahudi dan Nasrani yang dimaksudkan juga terbatas sesuai asbab

an-nuzul ayat ini, bukan dituduhkan semua Yahudi dan Nasrani.302

Kata millah dalam teks al-Quran di atas dipahami berbeda-beda oleh para

mufasir. Imam Al-Thabari menafsirkan millah dengan agama. Namun, Tafsir Al-

Baghawi mengartikannya sebagai “Thariqah”, yaitu jalan. Maka, yang

dikehendaki non-Muslim itu adalah agar Nabi Muhammad mengikuti jalan

mereka (bukan mengikuti agama mereka).303 Tafsir Ibn Katsir hanya mengutip

sepotong penjelasan dari Imam at-Thabari, Nabi Muhammad diminta fokus untuk

mengharapkan ridha Allah, dan tidak perlu mencari-cari cara untuk

menyenangkan Yahudi dan Nasrani. Apa yang Nabi dakwahkan kepada mereka

itu akan mereka tentang karena antara mereka sendiri saling tidak cocok. Nasrani

tidak cocok dengan Yahudi, begitu pula sebaliknya. Apa yang Nabi Muhammad

301
Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 148-149.
302
Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an di Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat
Suci Pada Era Media Sosial, (Yogyakarta: Bunyan, 2017), hlm. 171.
303
Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an di Medsos,... hlm. 171.

151
dakwahkan kepada mereka itu adalah jalan untuk berkumpul bersama dalam kasih

sayang di bawah naungan Islam. Yahudi dan Nasrani tidak dapat bertemu untuk

rela kepadamu wahai Nabi kecuali kalau engkau menjadi seorang Yahudi atau

seorang Nasrani. Hal itu tidak mungkin. Karena engkau adalah pribadi yang satu.

Tidak mungkin engkau menjadi keduanya yang saling bertentangan. Jadi, carilah

ridha Allah semata dan tidak perlu risau dengan mereka yang tidak rela

denganmu.304

Tafsir Al-Baghawi menceritakan asbabun nuzul ayat ini, biar lebih jelas

bagi kita apa peristiwa yang membuat non-Muslim tidak senang dengan jalan

yang ditempuh Nabi Muhammad. Mereka (Yahudi dan Nasrani) meminta Nabi

Saw. untuk melakukan gencatan senjata dan berjanji untuk mengikuti Nabi. Maka,

Allah menurunkan ayat ini. Maksud ayat ini adalah apabila engkau (Muhammad)

melakukan gencatan senjata, mereka selamanya tetap tidak akan senang dengan

kamu. Mereka meminta gencatan senjata itu hanya sebagai alasan bukan tanda

mereka rela kecuali kamu ikut jalan mereka.

Ibnu Abbas berkata, “Ini dalam kasus kiblat, Yahudi Madinah dan Nasrani

Najran mengharap kepada Nabi agar ketika shalat menghadap kiblat mereka.

Ketika Allah memindahkan kiblat umat Islam ke Ka’bah mereka menjadi putus

asa untuk mengharapkan Nabi agar setuju pada kiblat mereka. Maka, Allah

menurunkan ayat (QS Al-Baqarah [2]: 120) ini. Untuk itu Ibn Abbas

mengkhususkan bahwa yang tidak suka selamanya dengan Nabi itu terbatas

304
Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an di Medsos,... hlm. 171-172.

152
kepada Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran, bukan semua Yahudi dan

Nasrani.305

Jadi sekali lagi, ayat ini bukan berarti bukan semua Yahud-Nasrani benci

kepada Islam dan mengingatkan kita untuk pindah agama mereka. Ayat ini

sekedar memberitahu Nabi Muhammad untuk fokus dalam berdakwah mencari

ridha Allah semata, bukan karena menginginkan kerelaan dari Yahudi di Madinah

dan Nasrani di Najran. Ayat yang berupa reminder khusus kepada Nabi

Muhammad ini sayangnya sekarang malah sering dipakai untuk saling menyerang

pihak lain.

D. Analisis dan Komparasi Penafsiran Thabathaba’i dengan Edip Yuksel, dkk.

Thabathaba’i dan Yuksel adalah mufassir yang kelahirannya semasa,

namun Thabathaba’i lima puluh tiga tahun lebih awal dari kelahiran Yuksel.

Mereka berdua hidup dalam lingkungan keluarga yang cinta ilmu, ahli bahasa,

ahli matematika, teolog dan filusuf. Selain terdapat persamaan tersebut, ada

beberapa hal yang membedakan mereka baik dari latar belakang asal kelahiran,

aliran, keilmuannya dan politik pada masanya. Thabathaba’i berasal dari Iran

yang mayoritas beraliran syiah pada zaman itu. Filsafat yang dipelajarinya adalah

filsafat tradisional, materialisme dan komunisme. Thabathaba’i juga menjumpai

peristiwa perpecahan perang Dunia II namun beliau tidak menghiraukan

peperangan tersebut dan tetap fokus belajar, mengajar dan menulis tanpa

perlawanan.

305
Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an di Medsos,... hlm. 172.

153
Berbeda dengan Yuksel yang berasal dari Turki yang mengalami tekanan

politik-ideologi negara setempat. Yuksel pernah dijebloskan dipenjara pada usia

26 tahun selama 4 tahun karena mempromosikan artikelnya tentang pembentukan

negara Islam Turki, dan bekerja sama dengan Ikhwanul Muslimin. Setelah itu

Edip mengalami perubahan paradigma keagamaan dan politik yang dipengaruhi

oleh Rashad Khalifa sehingga beliau menjadi penganut Muslim Reformis Sunni

dalam mengesampingkan ajaran tradisional dan menganut filosofi Quran Alone.

Dalam menafsirkan al-Qur’an mereka sama-sama menggunakan metode

tahlili karena berdasarkan urutan mushaf Usmani, namun dalam teknik

penafsirannya Thabathaba’i dirasa lebih komprehensif dengan menggunakan ayat,

hadis (riwayat) dan diskursus historisnya, bahasa Arab meskipun diterjemahkan

dalam berbagai bahasa lain seperti Inggris dan Persia. Berbeda dengan metode

Yuksel yang menggunakan nomericly dalam menjelaskannya secara text by text

tanpa ada ayat, hadis (riwayat) maupun pendapat ulama klasik, bahasa dalam

menafsirkannya pun berbahasa Inggris. Menampakkan tafsir masa kini dengan

lebih sistematis, yang belum ada sebelumnya sehingga lebih menarik dan bisa

dibaca oleh khalayak umum seluruh dunia semua golongan.

Selanjutnya mengenai corak penafsiran, Thabathaba’i menggunakan

kajian-kajian falsafi, ilmiah, sejarah, sosial dan akhlak, Yuksel pun bercorak

sama, yang membedakan hanya pada letak kajian hukum, linguistik,

mengandalkan logika tanpa hadis dan sunah, dan menawarkan cross-reference

terhadap Alkitab yang terlalu banyak dibandingkan Thabathaba’i.

154
Dalam strategi perdamaian penulis lebih memilih menggunakan penafsiran

Yuksel karena prinsipnya dalam menafsirkan beliau menekankan rasional-

humanizing dalam mengungkap pesan Tuhan. Meskipun Thabathaba’i juga

menggunakan rasio dalam menimbang penafsiranya, namun Thabathaba’i kurang

menjiwai seperti Yuksel, sebab Yuksel pernah mengalami tekanan dan merasa

butuh keadilan ketika mendekam di penjara. Setelah itu pemikiran bahwa

penafsiran modern terhadap al-Qur’an harus mencerminkan perspektif dan

evaluasi kritis dengan pendekatan inklusiv agar empuk dibaca semua kalangan

sebagai upaya dalam mencari kedamaian, kebebasan dan keadilan.

Dari konteks sejarah genealogi Ibrahim kita bisa melihat secara jelas

kedekatan lahirnya ketiga agama yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam dari bagan

berikut:

Ibrahim adalah nabi yang dijadikan model (uswah hasanah) bagi keturunan

berikutnya dengan ajaran bahwa Tuhan itu hanya satu yang wajib diimani, baik

Musa, Daud, Isa dan Muhammad melalui kitab suci mereka yang diturunkan oleh

155
Allah. Namun otentisitas ajaran yang disampaikan dan isi dari kitab suci tersebut

patut dipertanyakan. Menurut Thabathaba’i agama Yahudi dan Nasrani

digolongkan pada 2 tipe: Pertama, mereka yang tidak benar-benar membaca

kitabnya dan lebih banyak mengikuti hawa nafsu dan pikirannya. Kedua, mereka

yang benar-benar membaca kitab sucinya dan memercayai bahwa apa yang

terdapat dalam al-Qur'an adalah sama dengan yang mereka terima, sehingga

mereka akan beriman kepada Muhammad. Petunjuk al-Qur'an, Taurat dan Injil-

lah yang benar sebagai petunjuk Allah. Dari kedua golongan terebut menurut

hemat penulis bahwa pada konteks saat ini, banyak orang Yahudi dan Nasrani

yang tidak sesuai dengan ajaran otentik nenek moyangnya karena ada kelompok

atau individu yang telah memalsukan atau mendistorsi ajaran Musa (Yahudi) yaitu

bani Khazar dan Isa (Nasrani) yaitu Paulus (Saulus) yang telah dibahas pada bab

II. Hal ini terjadi karena mereka didominasi oleh golongan umat bukan keturunan

asli dari Ibrahim yang telah menyelewengkan ajaran-ajaran dari para utusan

mereka dan kitab-kitab mereka dari yang asli. Menurut Thabathaba’i dan Edip,

walaupun demikian begitu banyaknya penyelewengan, masih ada orang Yahudi-

Nasrani yang masih benar-benar membaca kitab sucinya sehingga mereka

beriman kepada Allah.

Berangkat dari kenyataan itulah, dapat dikatakan bahwa percekcokkan

antar umat “berlainan agama yang berujung konflik, semua itu lebih banyak

disebabkan oleh pemeluk masing-masing agama yang kurang memahami ajaran

kitab sucinya secara utuh. Atau bisa jadi, mereka paham, tapi sengaja mencari

interpretasi lain agar sesuai dengan paham yang mereka anut, tanpa peduli apakah

156
penafsiran itu benar atau salah. Dari penafsiran QS. 2: 62 dan 120, dapat kita

ambil benang merah pemikiran Thabathaba’i dan Yuksel yang memaparkan

bahwa Al-Qur'an adalah kitab suci yang mengajarkan toleransi. Allah tidak

pernah memanggil kaum Yahudi dan Nasrani dengan sebutan, "orang-orang

kafir” tetapi dengan julukan yang terhormat, "ahli kitab” meskipun mereka sedikit

pun tidak mau memercayai Muhammad sebagai Rasul Allah, apalagi memeluk

agama Islam, namun mereka masih ada yang bertauhid atas Tuhan Allah swt.

Adapun persamaan penafsiran keduanya adalah: pertama, tentang Iman.

Keduanya mengatakan bahwa “formalitas nama” tidaklah penting dihadapan

Allah. Iman sejati adalah mereka yang beriman dengan sebenar-benarnya iman

kepada Allah, Hari Akhir dan amal-amal saleh. Ketiga hal ini sudah menjadi

ukuran dan standar untuk kemuliaan dan kebahagiaan. Kedua, tentang “petunjuk

Allah”, mempresentasikan atau mengandung arti al-Qur’an yang diturunkan

(bersumber) Allah. “Sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk (yang benar)”,

memberikan batasan bahwa petunjuk Allah itu adalah petunjuk. Sebaliknya,

kalimat ini mengandung arti bahwa agama mereka tidak memiliki petunjuk;

dengan kata lain, agama mereka hanyalah seperangkat hasrat, aspirasi, dan pikiran

saja.

Meskipun secara generik pandangan Thabathaba’i dan Yuksel apple to

apple, namun tetap ada perbedaan dari aspek pemikirannya antara keduanya,

berikut penulis tampilkan tabel perbandingan pandangan Thabathaba’i dan Yuksel

sebagai berikut:

Perbandingan Thabathaba’i Edip Yuksel


Yahudi Berasal dari bani Israil dan Agama mu’jizat Musa dan

157
kitab Taurat Daud
Agama rasialis-etnik Menolak agama politeis
Agama yang tidak monoteis Menolak agama Charlatans
namun politeis
Memiliki keyakinan Teks pada kitab agama
bunuwwah (Tuhan anak) al- sekarang kontradiksi dengan
ikhtishash wa al-taqarrub prinsip al-Quran
(kekhususan [spesial] dan
kedekatan)
Agama yang sejajar dihadapan Umat agama yang tidak
Allah semuanya masuk neraka
Mengklaim agama yang Orang-orang yang ummi
diistimewakan oleh Allah
Menggolongkan 2 tipe orang
Yahudi: Pertama, mereka
yang tidak benar-benar
membaca kitabnya dan lebih
banyak mengikuti hawa nafsu
dan pikirannya. Kelompok
pertama ini selamanya tidak
akan rela terhadap orang yang
beriman. Kedua, mereka yang
benar-benar membaca kitab
sucinya dan memercayai
bahwa apa yang terdapat
dalam al-Qur'an adalah sama
dengan yang mereka terima,
sehingga mereka akan beriman
kepada Muhammad. Petunjuk
al-Qur'an, Taurat, dan Injil-lah
yang benar sebagai petunjuk
Allah.
Agama kurang ramah ketika
menerima dakwah Islam
Berwatak sombong, fanatisme,
menipu, ingkar janji dsb.
Walaupun ada pendeta/ ulama
Tidak mengamalkan praktik
keagamaan Ibrahim
Nasrani Berasal dari bani Israil dan Menolak kepercayaan

158
kitab Injil Trinitas
Tidak terlalu mengklaim Umat agama yang tidak
kebenaran agamanya seperti semuanya masuk neraka
Yahudi
Agama multi-etnik Bernabi Isa
Agama yang sejajar dihadapan Mengklaim hak ekslusiv
Allah untuk masuk surga
Tidak berwatak sombong, Menolak agama politeis
fanatisme, menipu, ingkar
janji dsb.karena terdapat
ulama yang mengingatkan
tentang agungnya Allah,
ajaran agama, dan hari akhir
Tidak mengamalkan praktik Menolak ketuhanan Yesus
keagamaan yang dilakukan dengan membantah doktrin
Ibrahim Kristen yang berlawanan
dengan Firman Tuhan yang
pertama dalam kitab Injil
Menggolongkan 2: Pertama, Teks pada kitab agama
mereka yang tidak benar-benar sekarang kontradiksi dengan
membaca kitabnya dan lebih prinsip al-Quran
banyak mengikuti hawa nafsu
dan pikirannya. Kelompok
pertama ini selamanya tidak
akan rela terhadap orang yang
beriman. Kedua, mereka yang
benar-benar membaca kitab
sucinya dan memercayai
bahwa apa yang terdapat
dalam al-Qur'an adalah sama
dengan yang mereka terima,
sehingga mereka akan beriman
kepada Muhammad. Petunjuk
al-Qur'an, Taurat, dan Injil-lah
yang benar sebagai petunjuk
Allah.
Agama yang tidak monoteis Orang-orang yang ummi
namun politeis
Memiliki keyakinan
bunuwwah yang berimplikasi

159
pada kepercayaan Trinitas
Agama yang santun ketika
menerima dakwah Islam
Agama berkitab Injil; Lukas,
Markus, Matius, dan Yohanes
serta beberapa kitab Perjanjian
Lama.
Perspektif Kemuliaan hanya dapat diraih Islam bukanlah nama yang
Islam dengan hakikat (substansi) tepat, bukan pula agama
bukan secara lahir (formalitas yang didirikan Muhammad
nama) seperti yang salah
Kebahagiaan dan kemuliaan dituduhkan. Islam adalah
tergantung pada ‘ubudiyyah. paradigma dari semua yang
sehingga “nama” tidak dapat menyerahkan diri mereka
memberi jaminan manfaat secara damai hanya kepada
bagi pemilik namanya. Tuhan. Al-Quran
Demikian juga sifat-sifat mengajarkan kita bahwa
kesempurnaan, kecuali apabila semua orang mengakui
semuanya itu disertai kebenaran dijuluki Tuhan
konsistensi ‘ubiidiyyah. dengan kata Submitters
(orang-orang yang tunduk)
atau Peacemakers (pembawa
kedamaian)
Keselamatan 1) yang beriman kepada Tidak peduli akan agama,
agama lain Muhammad dan kitab al- ritual, bahasa, kebangsaan,
Qur'an. 2) mereka yang dan kitab yang diikuti, setiap
beriman kepada Musa dan individu yang memenuhi tiga
kitabnya (Taurat). 3) al- kriteria (keimanan kepada
shabi’in yaitu kelompok Tuhan, hari Akhir dan
antara Yahudi-Majusi dan berbuat kebajikan) ini bisa
kitabnya yang dinisbahkan mendapat keselamatan abadi.
kepada Yahya bin Zakariya. 4)
Nashara yaitu yang beriman
dengan Isa ibn Maryam dan
kitab sucinya adalah empat
Injil; Lukas, Markus, Matius,
dan Yohanes (kitab Perjanjian
Lama) 5) al-majus, yaitu yang
dikenal sebagai mereka yang
beriman kepada Zoroaster dan

160
kitabnya adalah Avesta. 6)
yaitu al-watsaniyyah al-
shobi’ah, Brahmana, dan
Buddha.
Shabiin Shabiin adalah para The other religion: kaum
penyembah bintang-bintang musyrik Makah yang
yang dalam penjelasan al- melawan Muhammad ketika
Qur'an merupakan masyarakat terjadi suatu permasalahan
yang tuhannya dihancurkan
oleh Ibrahim.

161
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan studi komparatif terhadap penafsiran Thabathaba’i

dengan Edip Yuksel, dkk. tentang Yahudi-Nasrani, yang mengacu pada QS. Al-

Baqarah [2]: 62 dan QS. Al-Baqarah [2]: 120, maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Yahudi dan Nasrani pembawanya merupakan keturunan biologis dari

Ibrahim, yaitu Musa dan Isa. Hubungan dengan dua komunitas itu terjadi

karena dekatnya posisi geografis dan budaya Muslim dengan keduanya.

Baik Muhammad, Isa maupun Musa, ketiganya adalah anak-keturunan

biologis Ibrahim dari dua putranya Ishaq dan Isma'il. Agama Yahudi

adalah agama yang diajarkan oleh nabi Ibrahim, yaitu bahwa Tuhan itu

hanya satu. Dari segi keturunan agama ini juga diajarkan oleh keturunan

nabi Ibrahim, yaitu nabi Musa bin Imran bin Qahat bin Lewi/Levi bin

Ya’kub bin Ishak bin Ibrahim. Setelah nabi Musa agama Yahudi

dilanjutkan oleh nabi Daud dan Sulaiman. Kemudian dalam sejarah

Nasrani adalah agama yang diwahyukan serangkaian dengan agama

Yahudi dan berkaitan dengan agama Islam yakni dari Nabi Ibrahim

(Abraham). Dan ketiganya Yahudi, Kristen, Islam merupakan buah dari

“Proses Evolusi” agama-agama primitive. Nabi Isa adalah pembawa

agama Nasrani yang lahir dari rahim Maryam, Maryam lahir dari istri

Imran, setelah ia dewasa keberadaannya dalam pengasuhan Nabi Zakariya

162
suami dari bibi Maryam. Namun terlepas dari sejarah Isa. Agama Nasrani

ini berubah menjadi menjadi agama yang tidak autentik, alasanya adalah

Isa dijadikan sebagai Tuhan yang menurut mereka akan mengantarkannya

ke surga. Agama ini menjadi agama yang charlatans yang menganut

kepercayaan Trinitas dan pada akhirnya agama ini menjadi agama yang

multi-etnik dan berkembang sangat pesat di dalam berbagai bidang ilmu

modern dewasa ini. Akhirnya apabila dilihat dalam konteks historis kedua

agama ini terbentuk secara gradual sesudah para nabinya wafat dan

muncul umat agama yang otentik dan charlatans.

2. Menurut Thabathaba’i QS. Al-Baqarah [2]: 62 adalah ayat ini mengatakan

bahwa Allah tidak memandang penting nama, seperti orang beriman,

orang Yahudi, orang Nasrani atau orang-orang Shabiin. Manusia tidak

dapat memperoleh pahala dari Allah dan tidak dapat diselamatkan dari

hukuman, semata-mata karena memberikan kepada diri sendiri sebutan

yang bagus sebagaimana claim orang Yahudi tentang “umat pilihan

Allah”, Nasrani mengenai “pengorbanan Yesus atas umat-umatnya pada

jaminan surga”.dan termasuk orang Islam yang Eksklusiv “menyatakan

bahwa agamanya yang paling benar dan agama lain adalah keliru”.

Thabathaba’i memberikan sebuah persyaratan “keselamatan agama lain”

yang belum pernah dilakukan mufasir sebelumnya, yaitu: 1) mereka yang

beriman kepada Muhammad dan kitab mereka adalah al-Qur'an. 2) mereka

yang beriman kepada Musa dan rasul-rasul sebelumnya dan kitabnya

(Taurat). 3) al-shabi’in yaitu kelompok antara Yahudi dan Majusi dan

163
kitabnya yang dinisbahkan kepada Yahya bin Zakariya. 4) Nashara yaitu

mereka yang beriman dengan Isa al-Masih ibn Maryam dan nabi-nabi

sebelumnya dan kitab sucinya adalah empat Injil; Lukas, Markus, Matius,

dan Yohanes serta beberapa kitab Perjanjian Lama. 5) al-majus, yaitu yang

dikenal sebagai mereka yang beriman kepada Zoroaster dan kitabnya

adalah Avesta. 6) al-watsaniyyah, penyembah berhala yang aliran atau

mazhab utamanya ada tiga, yaitu al-watsaniyyah al-shobi’ah, Brahmana,

dan Buddha. Sedangkan mengenai QS. Al-Baqarah [2]: 120, yaitu

menugaskan Rasul agar menjelaskan kesalahan pandangan-pandangan

Yahudi-Nasrani yang salah kepada petunjuk Allah (al-Qur’an) karena

mereka tidak mempunyai petunjuk. Ayat ini menegaskan bahwa terdapat

dua golongan Yahudi- Nasrani: 1) mereka yang tidak benar-benar

membaca kitabnya dan lebih banyak mengikuti hawa nafsu dan

pikirannya. Kelompok pertama ini selamanya tidak akan rela terhadap

orang yang beriman. 2) mereka yang benar-benar membaca kitab sucinya

dan memercayai bahwa apa yang terdapat dalam al-Qur'an adalah sama

dengan yang mereka terima, sehingga mereka beriman kepada

Muhammad. Petunjuk al-Qur'an dan Taurat-lah yang benar sebagai

petunjuk Allah. Menurut Yuksel, dkk. QS. Al-Baqarah [2]: 62, ayat ini

menyatakan Islam bukanlah nama yang tepat, bukan pula agama yang

didirikan Muhammad seperti yang salah dituduhkan. Islam adalah

paradigma dari semua yang menyerahkan diri mereka secara damai hanya

kepada Tuhan. Al-Quran mengajarkan kita bahwa semua orang mengakui

164
kebenaran dijuluki Tuhan dengan kata Submitters (orang-orang yang

tunduk) atau Peacemakers (pembawa kedamaian). Dari ayat ini juga

Yuksel mempunyai pandangan tentang keselamatan the other religion: 1)

“orang-orang yang mu’min” keimanan ini tidak diterima jika hanya

sebatas lisan (ucapan di bibir), hal itu harus didasarkan pada alasan, bukti

perbuatan dan kemampuan. “Mengimani Hari Kemudian”, “Beramal

saleh”: memimpin kehidupan yang benar dengan kesalehan, saling berbagi

baik itu pengetahuan, bakat-keterampilan, jasa, ataupun rizki kepada

sesama. 2) tentang kaum Yahudi-Nasrani, 3) kaum Sabiene yang diartikan

Yuksel the other religion. Sedangkan QS. Al-Baqarah [2]: 120, dijelaskan

bahwa ayat ini menunjukan distorsi utama agama Kristen, yaitu

mengklaim hak ekslusiv untuk masuk surga.

3. Kunci perdamaian atas konflik keberagamaan terletak pada paradigma

berpikir, kemudian cara berteologi untuk menelaah dan mengukur praktik

keagamaan umat beragama. Paradigma ini dapat dijadikan sebagai tali

pengikat persaudaraan agama-agama, terutama agama yang secara

genealogis “anak-anak Ibrahim” yang sering lupa dengan statusnya, yaitu

sebagai saudara dari agama Allah yang sekandung. Maka keberagamaan

yang otentik tidak sebatas ditunjukkan dengan formal agama namun

terletak pada konsistensinya dalam bertuhan dan menjalankan aturan-Nya.

Kematangan dalam beragama seharusnya ditunjukkan dengan tidak

mengklaim bahwa dirinya yang paling benar, namun kebenaran adalah

165
mereka yang membuat kedamaian atas keimanan kepada Allah dan pasrah

(tunduk) terhadap segala titah-Nya.

B. Saran-saran

Setelah melalui proses pembahasan dan pengkajian dari penafsiran

Thabathaba’i dan Edip Yuksel, dkk. tentang Yahudi dan Nasrani perspektif al-

Qur’an, kiranya penulis perlu untuk mengemukakan beberapa saran sebagai

kelanjutan dari kajian penulis atas hal-hal tersebut di atas:

1. Perlu adanya kajian yang komprehensif dan intensif tentang kajian

pemahaman studi agama-agama terhadap kitab suci dan perbaikan

hubungan Yahudi-Nasrani-Muslim yang telah dikotori oleh berbagai fitnah

politik, menyebar kebencian dan dendam sejarah yang tidak rasional.

2. Perlu adanya kajian secara universal terhadap penafsiran Edip Yuksel,

dkk. dalam menerjemahkan ayat-ayat tentang Yahudi-Nasrani agar

diperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh (tidak parsial).

3. Penelitian ini hanya terbatas pada eksplorasi makna Yahudi-Nasrani

perspektif al-Qur’an studi komparasi pemikiran Thabathaba’i dengan Edip

Yuksel, dkk. yang dilacak dari penafsiran masing-masing. Karena dirasa

masih jauh dari kesempurnaan, atau bahkan pembahasan terlalu melebar,

maka diharapkan adanya penelitian lebih lanjut, dengan harapan dapat

menyemarakkan wacana pemikiran Islam secara positif pada masyarakat

umum untuk pemahaman keagamaan yang lebih sehat dan apresiatif.

166
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Study Agama: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1996.

Affandi, Sa’dullah. Menyoal Status Agama Pra Islam. (Bandung: Mizan, 2015).

Aizid, Rizem. Al-Qur’an Mengungkap tentang Yahudi, Yogyakarta: DIVA Press,

2015.

al-Banna, Hasan. Risalatan fi al-Tafsir wa Surah al-Fatihah. Beirut Mansyiirat al-

'Ashr al-Hadith, 1972.

al-Hasan Abu. 'Ali al-Wahidi, Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-Fikr, 1994/1414.

al-Razi, Fakh al-Din. Mafatih al-Ghaib. Mekah: al-Maktabah al-Tijariyyah 1990.

Arabi, Muly al-Din Ibn. ‘Tafsir Ibn ‘Arabi. Beirut: Dar al-Sadir. t.t.

Armstrong, Karen. Berperang Demi Tuhan. Bandung: Mizan, 2013.

Arrifa'i, Fuad bin Sayyid Abdurrahman. Annufudzul Yahudi Filajhizatil I'lamiyyah

wal Muassasatid Dualiyyah. (Riyadh : Daar el-Majd, 1995).

Aziz, Nashruddin Baidan dan Erwati. Solusi Qur’ani terhadap Berbagai Problem

Sosial Kontemporer. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017)..

Bagir, Haidar. Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman

Kacau, Cet. II (Bandung: Mizan, 2017).

Baidlowi, Ahmad. Al-Thabathaba’i dan Kitab Tafsirnya, Al-Mizan Fi Tafsir Al-

Qur’an. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits. Vol. 5 No. I

Januari 2004.

Bakker, Anton. Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986).

167
Carr, William G. Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta : Al-Kautsar, 2004).

Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematik 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2004).

Eposito (sd.), Syed Husain Jafri “Sayyid”, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia

Islam Modern, Vol. V, terj. Eva, Y.N. dkk. (Bandung: Mizan, 2001).

Ghafur, Waryono Abdul Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim dalam

Tafsir Al-Mizan. (Bandung: Mizan Pustaka, 2016).

Halim, Amanullah. Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an. (Tangerang:

Lentera Hati, 2011).

Harahap, Iqbal. Ibrahim Bapak Semua Agama: Sebuah Rekontruksi Sejarah

Kenabian Ibrahim dalam Taurat, Injil Dan Al-Qur’an. (Tangerang:

Lentera Hati, 2014).

Hosen, Nadirsyah. Tafsir Al-Qur’an di Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia

Ayat Suci Pada Era Media Sosial, (Yogyakarta: Bunyan, 2017).

Huda, Qamar-ul. “Knowledge of Allah and the Islamic View of Other Religions.”

Theological Studies 64. 2003.

Islamiyah, Djami’atul. “Realitas Pemikiran Islam: Moderat-Puritan”, Millatī,

Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 2, No. 2, Desember 2017.

Ismail. Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-agama, (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2017).

Jirhanuddin. Perbandingan Agama: Pengantar Studi Memahami Agama-agama.

(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2016).

Kamil, Majdi Husain. Kebohongan Sejarah yang Menggemparkan: Rahasia Di

Balik Konspirasi Yang Mengguncang Dunia. (Bandung: Mizan, 2015).

168
Mala, Faiqotul. Krisis Otoritas Hadis: Kajian Kontekstual Hadis Mushkil dalam

S}ah}ih al-Bukhari. (Tangerang Selatan: Penerbit YPM, 2012).

Mansur, Sufa’at. Agama-agama Besar Masa Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011).

Masyhud, Imam Muchlas. Al-Qur’an Berbicara Kristen, (Pustaka Da’i, 1999).

Matswah, Akrimi. Menimbang Penafsiran Subjektivis terhadap Alqur’an: Telaah

terhadap Penafsiran Edip Yuksel dkk. dalam Quran: A Reformist

Translation, Jurnal Dialogia, Vol. 12 No. 1 Juni 2014.

Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an

terhadap Agama Lain. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013).

Nasr, Sayyid Husein. Islam Syi'ah, (Bandung: Mizan. 1990).

Nasution, Kaka Alvian. Konspirasi Yahudi. (Jakarta: Saufa, 2014).

Rahman, Fazlur. "Islam's Attitude Toward Judaism". The Muslim World, Vol.

LXXII, No. l, January, 1982.

Rahman, Fazlur. Islam Sejarah Pemikiran dan Peradaban, Penyunting, Ahmad

Baiquni, (Bandung: Mizan, 2017).

Rahman, Fazlur. Otoritas Pemaknaan Kitab Suci: Problematika Pemikiran

EdipYuksel dalam “Qur’an: A Reformist Translation”, Jurnal Studi Ilmu

Al-Quran dan Hadis, vol. 299, no 2, 2014.

Ridyasmara, Ridwan Saidi dan Rizki. Fakta dan Data Yahudi di Indonesia Dulu

dan Kini, (Jakarta: Al-Kautsar, 2006).

Rives, Richard. Too Long in The Sun (Partakers Pub, 1996).

169
Saeed, Abdullah. Paradigma Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis atas

Al Qur’an. (Yogyakarta: Baitul Hukmah Press, 2016).

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Qur’an Al-Karim. (Jakarta: Pustaka Firdaus, l999).

_____. Sejarah Ulum al Quran. (Jakarta: Pustaka Firdaus, l999).

Sirry, Mun’im. Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an

terhadap Agama Lain. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013).

Surakhmat, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandimg: Tarsito, 1998).

Syalabi, Sejarah Yahudi dan Zionisme, Alih bahasa Anang Rikza Masyhadi, dkk.

(Jakarta: CV Arti Bumi Intaran, 2005).

Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-A’lam li al-

Matbu’at, 1411 H/1991 M).

_____. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. V (Beirut: Mu’assasah al-A’alami lil

Mathbu’at, 1991).

_____. AI Mizan fi Tafsir Al Qur'an. Vol. I (Teheran: Dar al Kutub al Islamiah.

1392 H).

_____. Tafsir Al Mizan, terj. Ilyas Hasan, diterjemahkan dari al Mizan: An

Exegesis of Qur’an. Vol. I (Jakarta: Lentera, 2010),

_____. Inilah Islam: Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam secara Mudah. cet.

II (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996),

_____. Tafsir al Mizan; Mengupas Surat Al Fatihah. (Jakarta: Firdaus, 1991),

_____. Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madani dan Hamim Ilyas,

(Bandung: Mizan 1988).

170
_____. Tafsir al Mizan; Mengupas Ayat Ayat Kepemimpinan, (Jakarta: Firdaus,

1991).

Torpin dan Khotimah. Agama Katolik dan Yahudi : Sejarah dan Ajaran, (Riau :

Daulat Riau, 2012).

Wijaya, Aksin. Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad

Izzat Darwazah, (Bandung: Mizan, 2016).

Yaqup, Ali Mustofa. Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).

Yuksel, Edip (dkk.). 2007. Quran A Reformist Translation (United State of

America: Brainbow Press).

Zaman, Ali Noer. Agama untuk Manusia. Cet. II (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

2016).

Zulkarnaini. Yahudi Dalam AL-Qur’an: Teks, Konteks, dan Diskursus Pluralisme

Agama. (Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2004).

Qutb, Sayyid. Fi Zilal al-Qur’an, edisi CD-ROM. (Jordan: Arabic Tevtware).

Wikipedia.org/wiki/Liberalism_and_progressivism_within_Islam.

171
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
BIODATA PENULIS

IDENTITAS DIRI
Nama lengkap : Muhamad Nur Hasan Mudda’i
Tempat, tanggal lahir : Kab. Semarang, 16 September 1995
NIM : 215-14-012
Fakultas/ Universitas : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora, Institut
Agama Islam Negeri Salatiga
Jurusan : Ilmu Al Quran dan Tafsir (IAT)
Nama Ayah : Ahmadi
Nama Ibu : Nurhayati
Agama : Islam
Alamat : Rowopolo RT: 3, RW: 3, Rowosari, Tuntang, Semarang
PENDIDIKAN FORMAL
2003-2008 Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Rowosari, Tuntang
2009-2011 SMP Islam Bina Insani Susukan
2012-2014 Madrasah Aliyah Negeri Salatiga
PENDIDIKAN NON FORMAL
2004-2007 Pon-Pes Raudlotul Usyaqil Quran Rowosari, Tuntang
2009-2011 Pon-Pes Modern Bina Insani Susukan
2012-2013 Ma’had Tahfidz MAN Salatiga
2015-2016 Mahad IAIN Salatiga
PENGALAMAN ORGANISASI
2010-2011 Ketua OSIS SMP Islam Bina Insani Susukan
2011-2012 Ketua ROHIS MAN Salatiga
2012-2013 Ketua OSIS MAN Salatiga
2012-2013 Komandan KAPI Pramuka MAN Salatiga
2015-2016 Ketua Umum HMJ IAT IAIN Salatiga
2016-sekarang Ketua Bidang Internal HMJ IAT IAIN Salatiga

172
Lampiran 2

173
174

Anda mungkin juga menyukai