Predikat istimewa ini disertai pula dengan perlakuan istimewa dari Madrasah Al-
Shaulatiyah. Ijazahnya ditulis langsung oleh ahli khat terkenal di Mekah, yaitu Al-Khathath
al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul dari direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Prestasi
istimewa itu memerlukan pengorbanan, ibu yang selalu mendampingi selama belajar di
Madrasah al-Shaulatiyah berpulang ke rahmatullah di Mekah. Maulana al-Syaikh TGKH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyelesaikan studi di Madrasah al-Shaulatiyah pada
tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H dengan predikat "mumtaz" (Summa Cumlaude).
Setelah tamat dari Madrasah al-Shaulatiyah, tidak langsung pulang ke Lombok, tetapi
bermukim lagi di Mekah selama dua tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar,
yaitu Haji Muhammad Faisal. Waktu dua tahun itu dimanfaatkan untuk belajar antara lain
belajar ilmu fiqh kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani. Dengan demikian,
waktu belajar yang ditempuh selama di Tanah Suci Mekah adalah 13 kali musim haji atau
kurang lebih 12 tahun. Ini berarti selama di Mekah sempat mengerjakan ibadah haji
sebanyak 13 kali.
Setelah selesai menuntut ilmu di Mekah dan kembali ke tanah air, TGKH. Muhammad
Zainuddin langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok,
sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya
'Tuan Guru Bajang'. Semula, pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin sebagai
tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama dan selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil
Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah
(NWDI) dan menamatkan santri (murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941, 8 dan
9.