Anda di halaman 1dari 98

1

MAKALAH

PEMIKIRAN SEPULUH TOKOH


DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mandiri Akhir Semester Mata Kuliah
Studi Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Nusantara

Dosen Pengampu
Prof. Dr. H. Mudzakkir Ali, MA

Disusun Oleh:

AGUS IMRONUDIN
NIM. 18200011231

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
TAHUN 2020
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan kenyataan sekarang yang banyak bermunculan tokoh – tokoh

Pendidikan dan bahkan banyak orang mengaku pintar namun hanya untuk

membodohi orang lain, maka kita perlu banyak belajar dari beberapa tokoh

pendidikan islam dunia yang banyak ada di Indonesia yang sudah banyak

berjuang untuk Negara dan Bangsa kita.

B. Rumusan masalah

Dengan keadaan seperti sekarang ini kita tahu harus tahu

a. Bagaimana peranan tokoh Islam nusantara dalam ranah pendidikan Islam ?

b. Bagaimana langkah atau cara para tokoh Islam dalam mengembangkan

keilmuannya ?

c. Bagaimana cara mengambil sisi baik dari para tokoh pendidikan kita ?

C. Tujuan

Disusunnya makalah yang berjudul Sepuluh Tokoh Pemikiran Pendidikan

Islam ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui dan memahami peranan tokoh nusantara dalam pemikirannya

terhadap pendidikan Islam ?


3

2. Mengetahui dan memahami macam perbedaan langkah atau cara dalam

mengembangkan keilmuannya.

3. Mampu menarik kesimpulan cara yang efektif dalam meneladani para tokoh

pendidikan.
4

BAB II

SEPULUH TOKOH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

1. Syaikh Ahmad Surkati

a. Mengenal Syaikh Ahmad Surkati

Syaikh Ahmad Surkati memiliki nama lengkap Ahmad bin

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Assurkati al-Khazrajiy al-

Anshary. Dilahirkan di daerah Udfu, Jazirah Arqu, Dungulu, Sudan, pada

tahun 1292 H atau 1872 M. Dari Sudan kemudian hijrah ke Saudi Arabia

karena situasi politik di Sudan saat itu yang dikuasai oleh Inggris. Awalnya

Syaikh Ahmad Surkati menetap dan belajar di Madinah selama 4 tahun.

Kemudian pindah ke Mekah untuk melanjutkan pelajaran agama sehingga

memperoleh ijazah Syahadah Alimiyah pada tahun 1326 H. Di Mekah

Syaikh Ahmad Surkati menetap selama 11 tahun. Di antara guru-guru

Syaikh Ahmad Surkati di Mekah adalah:

- Syekh al-Falih

- Al-Faqih Syekh Ahmad bin Haji Ali Madjub

- Syekh Gurra’ al-Allamah Syekh Muhammad al-Maghribi

- Al-Imam as-Sayid Ahmad al-Barzanji al-Madani

- Al-Allamah asy-Syekh Muhammad bin Yusuf al-Khayyat

- Syekh Syueb bin al-Maghribi


5

Kata “Surkati” merupakan dialek Dungula kuno yang dipakai

sebagai gelar seorang ilmuan. Kata “Sur” berarti kitab yang berbobot, dan

Katty berarti bertumpuk atau banyak. Nama Surkati ini mencerminkan

betapa tekunnya Syaikh Ahmad Surkati dalam mencari ilmu. Gelar ini

diberikan oleh pamannya ketika pamannya melihat Syaikh Ahmad Surkati

pulang dari menuntut ilmu selalu membawa kitab yang jumlahnya

banyak.

Ayah Syaikh Ahmad Surkati yang keluaran Al-Azhar juga

mewarisi sebutan yang sama seperti neneknya, ayah Syaikh Ahmad

Surkati memiliki pula banyak kitab. Dengan kata lain, Syaikh Ahmad

Surkati lahir dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam.

b. Kedatangan Syaikh Ahmad Surkati di Indonesia

Syaikh Ahmad Surkati didatangkan ke Indonesia pada tahun

1329 H atau tahun 1911 M. Ia didatangkan oleh Perguruan Jamiatul

Khair, suatu perguruan yang anggota pengurusnya terdiri dari orang-

orang Indonesia keturunan Arab golongan Ba Alawi (Keluarga besar

Alawi) di Jakarta.

Maksud pengurus Jamiatul Khair mendatangkan Syaikh Ahmad

Surkati ialah dalam rangka memenuhi kebutuhan guru. Menurut Deliar

Noer, sekolah Jamiatul Khair bukan lembaga pendidikan yang semata-

mata bersifat agama, tetapi juga mengajarkan ilmu berhitung, sejarah dan

pengetahuan umum lainnya.


6

c. Pendidikan Syaikh Ahmad Surkati

Adapun pendidikan yang pernah ditempuh Syaikh Ahmad Surkati

adalah sebagai berikut:

 Menghafal al-Qur’an di masjid Qaulid

 Ma’had Sharqi Nawi

Setelah menghafalkan al-Qur’an di masjid Qaulid dan mendapat

predikat Hafidz. Maka, Syaikh Ahmad Surkati melanjutkan

pendidikannya ke pesantren yaitu Ma’had Sharqi Nawi. Pesantren ini di

pimpin oleh ulama’ besar yang sangat terkenal di Dungula.

- Di Madinah

Setelah lulus dari Ma’had Sharqi Nawi, ayah Syaikh Ahmad

Surkati berniat mengirim Syaikh Ahmad Surkati ke al-Azhar. Karena

ayahnya dahulu lulusan dari al- Azhar. Tetapi keinginan itu tidak

tersampaikan karena pada waktu itu sang Mahdi melarang seluruh

warganya pergi ke Mesir dengan alasan apapun. Pada tahun 1881 sampai

dengan tahun 1898 terdapat krisis politik di Sudan. Yaitu terdapat

pemberontakan yang dipimpin oleh Abdullah al Ta’asyishi

pemberontakan itu bermisi memisahkan Sudan dari Mesir yang sejak

abad ke-19 berada dalam cengkraman Mesir.

Pada usia 22 tahun, Syaikh Ahmad Surkati berniat belajar di

Mekkah. Yaitu tepat pada tahun 1314 H atau 1896 M. Tetapi, Syaikh

Ahmad Surkati tidak lama tinggal di Mekkah. Selanjutnya, dia


7

melanjutkan studi ke Madinah selama empat setengah tahun. Di sana

dia belajar secara mendalam berbagai ilmu agama Islam dan bahasa Arab.

- Di Makkah

Setelah menetap beberapa tahun di Madinah, ia melanjutkan

studinya ke Makkah. Menurut Hussein Badjerei, Syaikh Ahmad Surkati

datang ke Makkah pada usia 22 tahun. Kedatangan Syaikh Ahmad

Surkati ke Makkah adalah untuk memperdalam ilmunya, terutama ilmu

fiqih mazhab Syafi’i. Ia tinggal di Mekkah selama 11 tahun.

d. Karya-karya Syaikh Ahmad Surkati

Karya-karya itu, baik yang sudah diterbitkan dalam bahasa

aslinya (bahasa Arab), yang telah diterjemahkan, atau yang belum

sempat dicetak dan berbentuk tulisan tangan yang disimpan murid-

muridnya di Al-Irsyad, antaranya:

- Risalah surat al-Jawab (1915)

- Risalah Tawjih al-Qur’an ila Adab al-Qur’an (1917)

- Al- Wasiyyat al-Amiriyyah (1918)

- Al-Dhakhirah al-Islamiyah (1923)

- Al-Masail al-Thalath (1925)

- Zeedeleer Uit Den Qor’an (1932)


8

- Al-Khawatir al-Hisan (1941)

- Huqqus Zaujain

- Tafsir al-Fatihah

- Umahatul akhlaq Karya ini menjelaskan tentang akhlaq dan prinsip

prinsipnya.

Syaikh Ahmad Surkati juga punya peranan penting dalam perkembangan

Islam di Indonesia yang mencakup beberapa bidang diantaranya yaitu :

a. Bidang Pendidikan

Syaikh Ahmad Surkati adalah seseorang yang sangat peduli

dengan pendidikan. Umat Islam akan jauh tertinggal dengan kehidupan

yang semakin maju jika umat Islam tidak berpendidikan. Karena

kecintaannya dengan pendidikan dan niat tulusnya untuk memajukan

pendidikan, Syaikh Ahmad Surkati sangat senang ketika disuruh mengajar

di Indonesia.

Di Mekkah Syaikh Ahmad Surkati berguru kepada dua orang yang

tergolong sangat alim diantarannya, Syekh As’ad dan Syekh Abd al-

Rahman, al-Allamah Syekh Muhammad bin Yusuf al-Kayyah dan Syekh

Shu’ayb bin Musa al-Maghribi. Setelah menamatkan pelajaran dari

guru-gurunya dan memperoleh gelar al-Allamah pada 1326 H, Syaikh

Ahmad Surkati kemudian mendirikan Madrasah swasta di Mekkah dan

mendapat sambutan baik. Di samping ia mengajar di Madrasahnya, ia

juga mengajar di Masjid Haram.


9

Namun menjelang tahun ajaran ketiga, saat berkembang

pesatnya usaha- usaha untuk memajukan sekolah-sekolah itu, terjadi

perbedaan pendapat yang menyebabkan perselisihan antara Syaikh

Ahmad Surkati dan pengurus Jamiat Khair yang mengakibatkan Syaikh

Ahmad Surkati akhirnya mengundurkan diri dari perguruan Jamiat Khair

pada tanggal 15 Syawal 1332 H atau bertepatan dengan 6 September

1914 M. Sekeluarnya Syaikh Ahmad Surkati dari Jamiat Khair, ia

kemudian di minta oleh para pemuka masyarakat Arab Jakarta dari

golongan non- Alawi yaitu, Umar Manggusy untuk memimpin Madrasah

yang mereka dirikan.

Dari penjelasan di atas tergambar bahwa Syaikh Ahmad Surkati

terlahir sebagai manusia yang cerdas, terutama dalam menghasilkan

konsep-konsep bersifat aplikatif di kalangan umat Islam waktu itu.

konsep Syaikh Ahmad Surkati tersebut merupakan konsep ideal

sebuah institusi pendidikan. Bila hal diatas dapat diwujudkan

dengan baik maka institusi pendidikan akan lebih baik. Di sisi lain,

kualitas akan semakin baik dan terjamin.

Pendidik dan pembelajar dua hal yang tidak dapat

dipisahkan, karena keduanya merupakan satu kesatuan dalam dunia

pendidikan, ketika seseorang telah melaksanakan proses pembelajaran

maka ia dikatakan sebagai seorang pendidik. Begitu juga seseorang

tidak dapat dikatakan sebagai pendidik jika tidak pernah melakukan


10

aktivitas pembelajaran atau mendidik. Sehingga pembelajaran akan

hancur jika pendidik tidak memiliki keahlian atau tidak profesional.

Meskipun hanya dua kriteria, telah memenuhi dan layak

untuk menjadi seorang pendidik. Karena akhlak yang baik menjadi

modal dasar yang kuat bagi guru untuk menapaki jalan pendidian.

Dengan akhlak yang baik akan mempermudah guru berinteraksi dengan

siswanya. Sebaliknya guru yang tidak berakhlak pada dasarnya ia telah

menapaki jalan kegagalan dalam dunia pendidikan.

Metode yang digunakan oleh Syaikh Ahmad Surkati adalah

diskusi, praktek, ceramah, keteladanan. Syaikh Ahmad Surkati

mengatakan bahwa untuk mendapatkan pemahaman dan pengertian yang

luas dalam menafsirlkan Al-Qur’an seorang musafir hendaknya pertama,

menguasai berbagai ilmu, ilmu agama Islam maupun ilmu-ilmu umum

lainnya. Kedua, menggunakan pendekatan ma’thur yaitu memahami dan

menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan keterangan Al-Qur’an dan Hadits.

Ketiga, pendekatan tauhid.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Syaikh Ahmad

Surkati adalahpakar pendidikan berbagai bidang beberapa disiplin ilmu.

Hal ini dapat dilihat dari konsep-konsepnya yang lebih bersifat aplikatif

dan berdaya gunaQur’an dan Hadits. Dan juga sebagai jawaban serta

penjelasan dari berbagai bentuk pertanyaan yang diajukan kepadanya.

b. Bidang Sosial
11

Perubahan melalui pikiran-pikiran yang dilontarkan Syaikh

Ahmad Surkati ke tengah masyarakat Hadrami di Indonesia mengarah

pada dua hal. Pertama, tak lepas dari pendiriannya tentang kemanusiaan.

Kedua, peningkatan kualitas manusia melalui proses pendidikan.

Namun, apa yang dilakukan Syaikh Ahmad Surkati sesungguhnya

dilatar belakangi adanya pelapisan soial masyarakat Hadrami dimana

kaum Alawi yang dipercayai sebagai keturunan Ali-Fatimah (menantu

dan anak Rasulullah) dianggap mempunyai kemuliaan (tafadul)

tersendiri. Dengan kemuliaan itu mereka mendapatkan kedudukan

istimewa. Namun, bersamaan dengan keistimewaan itu, ada kebodohan

yang berkembang subur, yakni kaum Alawi memandang rendah para

ilmuwan non-Alawi. Bahkan, ada keyakinan bahwa orang sharif atau

sayyid berhubungan dengan masalah nasib dan keselamatan dunia

akhirat, yakni sebagai wali (wasilah) antara manusia dan Tuhan. Itu

sebabnya anggota masyarakat Hadrami golongan non-Alawi seperti

terbelenggu untuk menghamba pada golongan Alawi.

Didukung keadaan daerah semenanjung dan daerah pinggirannya

yang lebih stabil serta menjanjikan secara ekonomis, di adab 19 penduduk

Arab di Hindia Belanda terus bertambah. Faktor lain yang mendorong

pertambahan populasi itu adalah meningkatnya hubungan dagang sejak

dibukanya Terusan Suez Sebagaian imigran sayyid Hadrami tersebar

ke seluruh Arab Saudi, Mesir, India, Malaysia, dan Singapura. Di

Indonesia mereka menetap di Jakarta, Pekalongan,


12

c. Bidang Keagamaan

Usaha-usaha yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad Surkati bisa

dilihat pada pemikiran-pemikirannya dalam bidang agama, yaitu:

- Ijtihad dan Taqlid

Ijtihad adalah sebuah langkah yang sungguh-sungguh untuk

menggali sebuah hukum permasalahan dengan cara menafsirkan

ayat-ayat al-Qur’an.

- Sunnah dan Bid’ah

Sunnah adalah suatu amal perbuatan yang jika dilakukan mendapat

pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Sedangkan bid’ah menurut

para ulama adalah sebuah jalan yang diada-adakan menyerupai jalan yang

sayr’i yang diniatkan untuk ibadah dan bertaqarrub kepada Allah. Bid’ah

membuat seseorang meremehkan dan menggantungkan diri pada ajaran

bid’ah yang tidak pernah diterangkan oleh Allah Swt, maka dari itu bid’ah

harus diperangi.

- Menziarahi makam dan bertawasul kepada para Nabi dan wali

Sebenarnya menziarahi makam berhukum sunnah jika tujuannya

untuk mengingat akan terjadinya kematian atau akhirat. Yang tidak boleh

dilakukan adalah meraung-raung dan menangis ketika berziarah.

Sedangkan bertawasul adalah upaya untuk memperoleh syafa’at dari

Nabi. Menurut Syaikh Ahmad Surkati syafa’at bukanlah pembebasan diri


13

dari siksa, yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt berdasarkan perhitungan

amal yang diperbuat manusia ketika di dunia. Syafa’at hanyalah perihal

formalitas sebagai bentuk penghormatan saja.

Begitu juga pengaruh Syaikh Ahmad Surkati yang begitu luar biasa

terhadap tokoh – tokoh terkemuka pada lembaga – lembaga di bawah ini :

- Muhammadiyah

Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya

tak lepas dari pengaruh gagasan pemikiran dan amal perjuangan KH.

Ahmad Dahlan yang sewaktu kecil bernama Muhammad Darwis. Setelah

menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua

kalinya pada tahun 1903,85 KH. Ahmad Dahlan mulai menyemaikan

benih pembaruan di Indonesia dengan berbagai usaha yang dilakukannya.

Tekad mereka kemudian terbukti setelah terbentuk sebuah

organisasi Islam pembaharu yang bernama Muhammadiyah oleh KH.

Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tahun 1912. Dua tahun kemudian,

tepatnya pada tanggal 15 Syawal 1332 H atau bertepatan dengan tanggal 6

September 1914, berdirilah sebuah organisasi Islam yang sama dengan

sebelumnya, yaitu berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah yang berakidah

Ahlu Sunnahh wal jama’ah dan bermazhab Salafus Shaleh yaitu

Al-Irsyad Al- Islamiah.

KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah bertujuan untuk

menghidupkan kembali ajaran Islam yang murni dan asli. Usaha


14

pembaharuan yang beliau lakukan meliputi pemurnian ajaran Islam

dengan membersihkan praktek serta pengaruh yang bukan dari ajaran

Islam

Pemikiran-pemikran KH. Ahmad Dahlan tidak terlepas dari

sumbangsih pemikiran Syaikh Ahmad Surkati ketika mereka bertemu

dalam perjalanan ke Surabaya yang kemudian terjadi tukar pikiran antara

keduanya yang sama-sama pemikirannya memiliki pengaruh pemikiran

dari seorang tokoh Timur Tengah, yaitu Muhammad Abduh. Sehingga

menjadi salah satu latarbelakang KH. Ahmad Dahlan mendirikan

Muhammadiyah

- Organisasi Persatuan Islam (Persis)

Ternyata pengaruh dan hubungan baik Syaikh Ahmad Surkati tidak

hanya terjalin dengan Muhammadiyah saja, tetapi dengan Persis juga

meskipun tidak juga terjadi secara formal. Hal tersebut ditunjukkan

dengan perintah Syaikh Ahmad Surkati kepada Irsyadi untuk

bergabung dan berjuang bersama Persis. Persis juga sangat mendukung

pndangan-pandangan Syaikh Ahmad Surkati serta pertemuan Syaikh

Ahmad Surkati dengan Ahmad Hasan di Bandung.

- Al-Irsyad

Pada awal perkembangannya, Islam di Indonesia terutama di

pulau Jawa yag juga pusat Kerajaan Hindu-Jawa, mengalami tantangan

yang sungguh berat. Dimana pada umumnya keadaan masyarakat


15

sudah memiliki keyakinan yang mendarah daging dengan kebudayaan

Hindu yang kental. Akan tetapi perkembangan agama Islam di Indonesia

terutama di Jawa menjadi pesat diantaranya karena peran yang cerdik dan

kemampuan berdakwah yang handal dari tokoh-tokohnya pada jaman

yang terkenal dengan sebutan “Wali Sanga/Wali Sembilan”.

Gerakan al-Irsyad kemudian dengan cepat berkembang dari

Jakarta ke beberapa kota lain di pulau Jawa, didirikan dengan didasari

lima prinsip yaitu:

 Untuk meneguhkan doktrin persatuan dengan membersihkan shalat

dan do’a dari kontaminasa unsur politeisme.

 Untuk mewujudkan kesetaraan di antara kaum Muslim dan mencari

dalil yang sahih di al-Qur’an dan Sunnah, serta mengikuti jalan

yang salaf untuk semua solusi masalah agama yang diperdebatkan.

 Untuk memerangi taqlid a’ma (penerimaan membabi buta)

yang berkonflik dengan dalil aqli (sesuai akal) dan dalil naqli (sesuai

al-Qur’an dan Sunnah).

 Untuk mensiarkan pengetahuan alam sesuai Islam dan menyebarkan

kebudayaan Arab yang sesuai dengan ajaran Allah Swt.

 Mencoba untuk menciptakan pemahaman dua arah antara

Muslim Indonesia dan Arab.


16

2. Syaikh Yusuf Al Makassary

A. Kelahiran

Yusuf (nama kecil Syekh Yusuf) lahir di Makassar pada tahun 1626 M.

Lontarak Syekh Yusuf menceritakan bahwa Yusuf lahir di Istana Tallo pada 3

Juli 1626 M/8 Syawal 1036 H, dari Puteri Gallarang Moncongloe di bawah

pengawasan raja Gowa. Menurut Da Costa dan Davis, orang tua Syekh Yusuf

termasuk kaum bangsawan. Ibunya memiliki hubungan darah dengan raja-raja

Gowa, sedangkan ayahnya masih kerabat Sultan Alauddin. Gelar “syekh”

diperoleh dari seorang mursyid tarekat yang membimbingnya, sesuai dengan

tradisi ahli tasawwuf.

Syekh Yusuf al-Makassary adalah buah perkawinan Abdullah bin Abi

Khayri al-Manjalawi dengan I Tubiani Sitti Aminah Daeng Kunjung, putri

pasangan Daenta Daeng Leyo’ dengan I Kerana Daeng Singara. Daenta Daeng

Leyo’ yang nama lengkapya I Hama (Ahmad) Daeng Leyo’ adalah salah

seorang pejabat Bate Salapang dalam kedudukannya sebagai Daenta Gallarrang

Moncong Lowe yang juga merangkap sebagai pejabat Kare Bira Ke IV.

I Tubiani Daeng Kunjung dipersunting oleh Abdullah bin Abi Khayri al-

Manjalawy atas bantuan Dampang Ko’mara (Suatu jabatan pemerintahan

setingkat Gallarrang di Gowa). Abdullah bin Abi Khayri al-Manjalawy sendiri

konon bersahabat dengan Hatib Abdul Makmur Dato’ ri Bandang, disamping

itu dikenal pula sebagai seorang sufi.


17

Yusuf kecil dipelihara dan dibesarkan di lingkungan istana bersama Sitti

Daeng Nisanga putri raja Gowa, dan bersama pula diajari mengaji beserta ilmu

tajwid oleh Daenta Sammeng, seorang perempuan salehah dan luas ilmunya.

Dalam Tuhfat al-Mursalah, karya Syekh Yusuf, tertulis nama al-Syekh

Yusuf al-Taj Abu al-Harkani al-Majalawi. Nama ini menunjukkan seorang

waliyullah yang mengetahui asal-usulnya, yaitu keturunan bangsawan Lili

negeri Majalawi Makassar. Dalam al-Naba fi I’rab La Ilaah illallah, tertulis

nama al-Syekh Yusuf bin Abdullah al-Jawi al-Makassari, yang menunjukkah

bahwa dia adalah wali sufi dari tanah Jawi dan Makassar. Gelar “Syekh”

diperoleh menurut tradisi tasawwuf setelah ia mendapat izin dari gurunya di

Damaskus yang bernama al-Syekh Abu al-Barokah Ayyub bin Ahmad bin

Ayyub al-Khalawaty al-Quraisy, karena Syekh Yusuf memiliki kemampuan

dan penguasaan dalam tarekat.

Syekh Yusuf al-Makassary belajar bahasa Arab, ilmu Fiqh, dan ilmu-

ilmu syariat lainnya pada padepokan Bontoala sebuah pondok pesantren yang

didirikan ketika Gowa menerima Islam sebagai agama kerajaan. Pondok ini

diasuh oleh Syekh Sayyid Ba’ Alwi bin Abdullah al-Allamah Thahir sejak

1634, seorang Arab Qurais dari Makkah yang kemudian menjadi menantu

Sultan Alauddin.

Syekh al-Haj Yusuf al-Makassary, kemudian melanjutkan belajar ilmu

hakiki pada dua orang ulama salaf pada waktu itu, yaitu: Lo’mok ri Antang,

dan Dato’ ri Panggentungang yang bernama Sri Naradireja bin Abdul Makmur,
18

putra Dato’ ri Bandang yang bertujuan untuk mencari ayahandanya di

Makassar, akan tetapi sang ayah telah wafat. Oleh raja, beliau dibujuk agar

dapat menetap dan melanjutkan da’wah islamiyah yang dilakukan oleh

ayahnya kala hidupnya.

Di Makassar Syekh Yusuf sejak kecil dibiasakan hidup menurut norm-

norma agama. Kebiasaan yang dianut oleh masyarakat Islam ketika itu,

termasuk Gowa dan Tallo misalnya kewajiban belajar al-Qur’an sampai

khatam. Setelah itu dilanjutkan dengan pelajaran bahasa Arab, tauhid, Fiqh dan

lain-lain. Tradisi itu juga dijalani oleh Syekh Yusuf. Gurunya, I Daeng ri

Tasammeng, melihat minat Syekh Yusuf pada ilmu tasawwuf, sehingga ia

meminta Syekh Yusuf untuk mendalam ilmu tasawwuf di luar Makassar.

Keinginan Syekh Yusuf al-Makassary untuk menimba ilmu disambut

baik oleh semua kalangan dengan harapan agar kelak butta Mangkasara’

memilki seorang figur ilmu Islam yang cendekia dan handal.

Saat sang guru menganggap pelajaran telah selesai, Syekh Yusuf diberi

pesan untuk melanjutkan perjalanannya menuntut ilmu ke Makkah. Kebetulan

pada saat itu kerajaan Gowa yang sedang berkembang membutuhkan seorang

ulama yang mumpuni. Oleh karena itu beberapa pembesar kerajaan

menganjurkan Syekh Yusuf untuk memperdalam ilmu ke negeri lain. Saat itu

Syekh Yusuf berusia 18 tahun.


19

Sebelum meninggalkan tanah kelahirannya, Syekh Yusuf al-Makassary

mempersunting Sitti Daeng Nisanga seperti pemberitaan Ince Nuruddin Daeng

Magassing dalam karyanya berjudul Riwaya’na Tuanta Salamaka Syekhu

Yusufu, th. 1933, namun tak ada tarikh yang menunjukkan kejadiannya.

B. Jejak Perjalanan Syekh Yusuf dalam menuntut ilmu

a) Banten

Syekh al-Haj Yusuf al-Makassary meninggalkan Makassar dengan

menumpang kapal Portugis yang bertolak di Galesong pada malam kamis,

tanggal 20 Oktober 1644 Masehi bertepatan dengan tanggal 18 Saban 1054

Hijriyah sesuai penanggalan Lontara Bilang Gowa-Tallo, pada masa

pemerintahan raja Gowa I Mannuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid.

Syekh Yusuf tiba di Banten pada masa Sultan Abu al-Mufakhir Mahmud

Abdul Qadir yang memerintah tahun 1596-1651. Semangat merantau dan

menuntut ilmu ini sepertinya dipengaruhi oleh hubungan antara Makassar dan

Banten-Aceh, sebagai kerajaan-kerajaan Islam, yang sama-sama berjuang

menghadapi Portugis-Belanda.

Setelah menuntut ilmu, Syekh Yusuf pulang ke Banten dan menjadi ulama

yang berpengaruh. Pada tahun 1660 M, Syekh Yusuf memimpin perang dan

berkali-kali berhasil melumpuhkan musuh, baik melalui strategi kekuatan laut

(melalui pelaut-pelaut ulung Banten) maupun kekuatan darat (pasukan gerilya

yang berani mati). Dibanten, Syekh Yusuf diterima dengan baik oleh Sultan
20

Abdul Qadir. Selain menjadi ulama, Syekh Yusuf juga menjadi kerabat

Kesultanan Banten.

b) Aceh

Syekh Yusuf tiba di Aceh pada masa pemerintahan Sultan Taj al-Alam

Safiatuddin Syah (1641-1675), putra Sultan Iskandar Muda. Di Aceh Syekh

Yusuf menemui seorang ulama terkemuka yang menjadi mufti kerajaan, yaitu

al-Syekh Nuruddin ar-Raniri. Dari al-Raniri, Syekh Yusuf belajar tasawwuf

dan tarekat dan memperoleh ijazah dam Tarekat Qadiriyah. Menurut Lubis,

Syekh Yusuf belajar kepada ar-Raniri bukan hanya di bidang agama saja,

melainkan juga filsafat kenegaraan. Ar-Raniri adalah pengarang kitab terkenal

Bustan al-Salatin (taman raja-raja), yaitu kitab yang mengulas tentang sistem

pemerintahan Islam.

c) Yaman, Hijaz, Syiria, dan Turki

Syekh al-Haj Yusuf al-Makassary meninggalkan Aceh menuju Yaman pada

tahun 1649, dan berkesempatan menemui seorang Syekh tariqat, yaitu Sayyid

Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi

al-Naqsabandi dan belajar tariqat Naqsabandiyah, kemudian melanjutkan

perjalanannya ke Zubaid (masih Yaman) menemui Syekh Maulana Sayyid Ali

dan belajar tariqat Baalawiyah.

Dari Yaman, Syeh Yusuf menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan berziarah ke

makam Nabi Muhammad di Madinah. Di Madinah, Yusuf bertemu dengan


21

seorang Syekh tarekat Syattariyah, yaitu Syekh Burhanuddin al-Mulla bin

Syekh Ibrahim ibnu al-Husain bin Syihab al-Din al-Kurdi al-Kurani al-Madani.

Syekh Yusuf kemudian menimba ilmu dari Syekh Ibrahim dan mendapat

Ijazah tarekat Syattariah.[24]

Merasa dahaga intelektual dan pengetahuannya belum terpenuhi, Syekh Yusuf

kemudian menuntut ilmu ke Syiria dan berguru pada Syekh Abul Barakat

Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi. Dari gurunya ini, Syekh

Yusuf memperoleh gelar “Tajul Khalwaty Hadiyatullah” yang artinya:

“mahkota khalwaty anugrah dari Allah.”

Selain itu, Syekh Yusuf juga berkesempatan mendatangi Istanbul (Turki).

Setelah kurang lebih 23 tahun mengembara, Syekh Yusuf kemudian kembali

ke tanah air pada tahun 1668 M.

C. Perjuangan Syekh Yusuf Melawan Belanda

Syekh Yusuf kembali ke tanah air tepat setelah terjadi perjanjian

Bongaya antara VOC Belanda dan Makassar, dan perlawanan raja Gowa tidak

lagi memiliki pengaruh yang berarti. Pada saat itu, Arung Palakka, Sultan

Bone, memilih berpihak pada VOC Belanda di bawah Spelman, dari pada

mendukung Sultan Hasanuddin dari Makassar.

Keadaan tersebut di atas menyebabkan masyarakat kembali pada

kebiasaan lamanya, yaitu menyabung ayam, minum tuak, dan berjudi. Syekh

Yusuf berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan menemui raja Gowa


22

saat itu, yaitu Sultan Amir Hamzah (1669-1674), yang masih memiliki

hubungan darah dengannya, untuk memberantas kemaksiatan. Namun raja

tidak memenuhi keinginan Syekh Yusuf. Kecewa atas sikap raja, Syekh Yusuf

memutuskan untuk meninggalkan Makassar menuju Banten dan berharap dapat

mengembangkan ajaran Islam di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.

Sebelum meninggalkan Makassar,, Syekh Yusuf telah menyiapkan beberapa

kader, termasuk Abdul Qadir Karaeng Majenneng dan Abdul Bashir Dharir,

agar tetap melanjutkan dakwahnya.

Berbeda dengan buku Djamaluddin Aziz yang menjelaskan bahwa Syekh

Yusuf tidak melanjutkan perjalanan ke Makassar pasca perjanjian Bongaya.

Syekh Yusuf memutuskan untuk menetap di Banten dan menyebarkan Islam di

sana. Sementara kedua kader Syekh Yusuf dijelaskan bahwa mereka datang ke

Banten untuk belajar kepada Syekh Yusuf karena Syekh Yusuf sendiri tidak

datang ke Makassar.

Di Banten, Syekh Yusuf diterima dengan senang hati oleh Sultan Ageng

Tirtayasa dan dinikahkan dengan putrinya sendiri yaitu ratu Aminah. Di

Banten, Syekh Yusuf menjadi ulama berpengaruh karena pengetahuannya yang

mendalam. Sultan Ageng Tirtayasa mengangkatnya menjadi qadli (hakim) dan

guru besar agama Islam serta guru besar tarekat sekaligus panglima perang.

Sejak 1660, pasukan yang dipimpin oleh Syekh Yusuf berkali-kali memukul

mundur pasukan Belanda.


23

Syekh Yusuf al-Makassary menjabat sebagai mufti selama 13 tahun yang

berakhir setelah tertangkapnya Sultan Banten akibat pertikaian Belanda yang

disulut oleh Sultan Haji, pendurhaka. Syekh Yusuf al-Makassary melanjutkan

peperangan dengan taktik perang gerilya bersama sang putra raja Pangeran

Purbaya dan Pangeran Kidul.

Mereka membawa bala tentara menelusuri lembah dan ngarai yang

terhampar antara Banten dan Cirebon guna mengacaukan pasukan musuh

sambil membangun serangan.

Pertengahan tahun 1683, Belanda mengadakan pengejaran secara teratur

untuk menangkap Syekh Yusuf dan putra Sultan Ageng Tirtayasa yang

memihak Syekh Yusuf, yaitu Pangeran Purbaya. Pengejaran itu berlangsung

secara terus menerus, hingga Syekh Yusuf di tangkap dan diasingkan ke

Tanjung Harapan atau Afrika Selatan hingga wafat.

D. Pemikiran Syekh Yusuf Al Makasary

Perjalanan Syekh Yusuf hingga mencapai puncak pendakian intelektual

dan spiritual yang tertinggi, tidak terlepas dari dorongan dan kesan guru-

gurunya yang sudah melihat Yusuf sebagai orang yang memiliki kemampuan

tinggi, sehingga para gurunya itu rela mengorbankan waktu dan tenaga demi

mengantarkan Yusuf menjadi calon ulama, sufi dan pemimpin yang kelak

disegani.
24

Diantara peran dan dorongan-dorongan para gurunya, ada yang

menghendaki agar Yusuf meninggalkan tanah kelahirannya, ada juga yang

memberikan rekomendasi belajar sekaligus mengorientasikan Yusuf kepada

tahapan yang lebih tinggi, bahkan ada yag mengawinkan keluarganya demi

mendapatkan kemauan Yusuf untuk belajar.

Namun demikian, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa selain guru-

guru yang ahli dalam keilmuan Islam, keberhasilan Syekh Yusuf dalam

menuntut ilmu ini amat didukung oleh semangatnya yang amat tinggi dalam

pencarian ilmu pengetahuan. Tanpa semangat yang tinggi dalam pencarian

ilmu pengetahuan, tidak mungkin seseorang dapat mencapai derajat yang

begitu tinggi dalam dunia intelektual, walaupun didukung oleh guru-guru yang

handal dan berkompeten.

a. Syariat

Syariat adalah jalan terang dan jalan baik yang dapat diikuti oleh

setiap orang. Syekh Yusuf memberikan makna filosofis dalam karyanya, al-

Nafhat al-Sailaniyya, bahwa syariat adalah kata-kata atau pemahaman Islam

(teaching of Islam). Makna yang paling mendasar, syariat adalah etika dan

moralitas yang bisa ditemukan pada semua agama. Syariat adalah tahapan

dimana gagasan tentang Tuhan berkesan pada manusia sebagai wibawa

yang merujuk pada rasa tunduk kepada Tuhan. Syariat adalah tahapan ketika

seseorang berpikir tentang sesuatu yang menyenangkan atau

mengecewakan. Diawali dengan mempelajari agama dai orang tuanya,


25

bahwa perbuatan baik akan membahagiakan dan kesombongan akan

mengecewakan.

Dzikir yang menjadi bagian dari tarekat berfungsi untuk menjaga

hubungan antara manusia dan Tuhan serta meneguhkan tujuan dalam diri.

Dzikir dalam hati merupakan sarana berkomunikasi dengan Tuhan.

Berkenaan dengan dzikir yang berlandaskan syariat, yaitu menjaga

tauhid dari unsur-unsur syirik, Syekh Yusuf menjelaskan tiga macam dzikir

dalam karyanya, al-Barakat al-Sailaniyyah, sebagai berikut:

1. Dzikir al-nafi wa ithbat, yang berupa laa ilaaha illallah.

2. Dzikir Mujarrad wal Jalala, yang berupa Allah Allah.

3. Dzikir al-Ishara wal Anfas, yang berupa Hu, Hu.

Dzikir yang pertama disebut dzikir lisan, yang kedua disebut dzikir

qalb, yang ketiga disebut dzikir sirr. Dzikir pertama disebut makanan lisan,

yang kedua disebut makanan hati, dan yang ketiga disebut makanan rahasia.

Syekh Yusuf membagi tingkatan dan tahapan orang-orang yang

melakukan dzikir ke dalam tiga bagian: tingkat dasar, tingkat menengah dan

tingkat tinggi.

Orang yang berdzikir dengan kalimat Laa Ilaah Illa Allah ada empat

macam: Mengucapkan dengan lisan dan hati, tetapi tidak percaya, maka

disebut munafik, mengucapkan dengan lisan hati disebut mukmin yang


26

umum, mengucapkan dengan hati saja disebut orang khusus, mengucapkan

dengan kesungguhan hati dan ia fana dari segala sesuatu selain Allah dan

hanya melihat Allah, disebut Khas al-Khas.

b. Tarekat.

Dalam al-Nafhat al-Sailaniyyah, Syekh Yusuf memaknai tarekat

sebagai hal atau kondisi diri untuk menghampiri Allah (The Way to The

God). Tarekat mengacu pada praktek atau laku sufisme.

Menurut Syekh Yusuf, jalan menuju Allah itu banyak,, sama

banyaknya dengan jiwa makhluk hidup. Jalan yang paling dekat ada tiga,

yaitu:

1) Jalan al-Akhyar (memperbanyak sembahyang, puasa, membaca al-

Qur’an, hadits, jihad).

2) Jalan ashab al-Mujahadat al-Shaqa, yaitu menyucikan hati.

3) Jalan ahli Dzikir, yaitu mencintai Tuhan lahir batin.

c. Hakikat

Menurut Syekh Yusuf, hakikat adalah hati, batin atau gnosis (my

heart). Hakikat mengacu pada makna terdalam dalam praktik dan bimbingan

yang dibangun dalam syariat dan tarekat. Hakikat adalah pengalaman

langsung dalam kondisi mistis dalam sufisme dan pengalaman langsung dari

kehadiran Tuhan dalam diri. Tanpa pengalaman ini, para murid hanya
27

mengikuti secara buta, berusaha meniru orang yang telah mencapai

tingkatan (maqam) hakikat.

Oleh karena itu, beberapa pernyataan di bawah ini sangat penting untuk

diperhatikan:

 Hati merupakan unsur utama dalam meraih hakikat, karena hati itu

ibarat bejana.

 Hati orang kafir adalah bejana terbalik yang tidak bia dimasuki satu

kebaikan pun.

 Hati orang munafik adalah bejana pecah yang apabila dituangkan

sesuatu dari atas akan merembes keluar dari bawah.

 Hati orang beriman adalah bejana yang baik dan seimbang sehingga

dapat menampung kebaikan yang dituangkan di atas hatinya.

d. Makrifat

Dalam al-Nafhat al-Sailaniyyah, Syekh Yusuf memaknai kata

makrifat sebagai rahasia atau hakikat (gnosis). Makrifat adalah kearifan

puncak atau pengetahuan tentang kebenaran spiritual. Makrifat adalah level

yang paling dalam dan tinggi dari pengetahuan batin dan melampaui

hakikat. Makrifat lebih dari sekedar pengalaman spiritual sesaat, dan

makrifat merujuk pada kondisi-kondisi keselarasan dengan Tuhan dan

kebenaran. Makrifat adalah pengetahuan tentang realitas yang dapat dicapai


28

oleh hanya sedikit orang. Makrifat merupakan tingkatan para nabi, rasul,

waliyullah, dan para bijak.

Makrifat Allah itu ada dua macam, bersifat umum dan bersifat khusus.

Makrifat pertama wajib dimiliki oleh setiap mukallaf, yakni mengakui

eksistensi-Nya dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan-Nya serta

mengakui segala sifat yang telah ditetapkan untuk diri-Nya. Makrifat kedua

adalah kondisi menyaksikan Allah.

Ahli makrifat adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk

menyaksikan zat, sifat, dan perbuatan-Nya, sedangkan orang alim adalah

orang yang dikaruniai pengetahuan melalui keyakinan, bukan dengan

penyaksian. Pendapat lain menyebutkan bahwa makrifat adalah suatu

keyakinan yang muncul setelah perjuangan ibadah. Berkaitan dengan

makrifat, qalbu atau jiwa menurut kaum sufi sebagai instrumen penting

karena dengan jiwa, salik dapat menghayati segala rahasia yang ada di alam

gaib, dan puncak penghayatannya adalah makrifat kepada Tuhan.

Untuk mencapai tingkat makrifat, Syekh Yusuf menyatakan dalam

Tahsil al-Inayat wal Hidayah:

Seorang hamba yang berakal jika ingin menjadi waliyullah, maka ia

harus banyak berdzikir kepada Allah. Seorang hamba yang berdzikir harus

tahu dan percaya pada ayat: Laisa Kamitslihi Syai‘, dan pada surat al-Ikhlas,
29

karena semua kepercayaan kepada Allah kembali pada ayat dan surat

tersebut.

Jika ingin berdzikir kepada Allah, pilihlah dzikir yang termulia, yaitu:

Laa Ilaaha Illa Allah. Dzikir itu sesungguhnya iman itu sendiri. Kemudian ia

harus menjalani lahirnya dan batinnya syari’at yang suci dengan memegang

teguh hakikat yang suci. Ia juga harus memberatkan akhirat dari pada dunia

dan mencintainya dengan cinta yang benar dan ikhlas.

Menurut Syekh Yusuf, tahap akhir pencarian kebenaran disebut

makrifat. Hamba yang telah mencapai makrifat, ia disebut waliyullah. Jika

telah mencapai derajat waliyullah, berarti ia telah mencapai derajat tertinggi

di bawah kenabian. Artinya, seseorang yang telah mencapai derajat wali

akan sepenuh hati mencintai Allah dan Nabi-Nya. Ia akan memegang teguh

syariat secara lahir dan batin serta tidak terlalu mencintai dunia. Apapun

yang dikerjakannya diniatkan ikhlas untuk mencapai keridhaan Allah.

E. Karya-Karya Syekh Yusuf

Adapun naskah atau karya-karya Syekh Yusuf adalah sebagai berikut:[52]

1. Al-Barakat al-Sailaniyyah Minal Futuhat al-Rabbaniyyah.

2. Bidayatul Mubtadi.

3. Al-Fawaih al-Yusufiyyah fii Bayan Tahqiq al-Suffiyyah.

4. Hasyiah fi Kitab al-Anbah fi I’rabi Laa ilaaha illallah.

5. Kifiyat al-Munji wal itsbat bi al-Hadits al-Qudsi.


30

6. Matalib Salikin.

7. Al-Nafhah al-Saylaniyyah.

8. Qurratul Ain.

9. Sirrul Asrar.

10. Surah.

11. Taj al-Asrar fi Tahqiq Masyarin al-Arifin.

12. Zubdat al-Asrar fi Tahqiq ba’dha Masyarib al-Akhyar.

13. Fathu Kayfiyyat al-Dzikr.

14. Daf’ul Bala.

15. Hadzihi fawaid azhimat al-Dzikr Laa ilaah illallah.

16. Muqaddimah al-Fawaid allati ma labudda minal aqaid.

17. Tahsilul Inayat wa al-Hidayat.

18. Ghayatul Ikhtisar wa Nihayat al-intizar.

19. Tuhfatul Amr fi Fadlilat ad-dzikr.

20. Tuhfat al-Abhar li Ahlil Asrar

21. Al-Washiyyat al-Munjiyyat an-mudahar al-Hijaib.

3. Syekh Mahfudz At Tarmasi

A. Biografi Syaekh Mahfudz At Tarmasi

Syaikh Mahfudz l Tarmasi adalah salah satu tokoh Islam Nusantara yang

sudah dikenal tentang keilmuannya. Ia memiliki nama lengkapnya

Muhammad Mahfudz bin ‘Abdillah bin ‘Abdul Manan bin Diponmenggoloal-

Tarmasi al-Jawi. Lahir di Tremas, Pacitan, Jawa Timur pada tanggal 12


31

Jumadil ‘Awal 1285 H., yang bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 1868 M.

Beliau wafat di Makkah pada awal bulan Rajab pada malam Senin tahun 1338

H dalam usia 53 tahun dan dimakamkan di Maqbaroh al-Ma’la.3 Saat beliau

dilahirkan dari ibundanya ayahnya sedang berada di Makkah menunaikan

ibadah haji dan menuntut ilmu disana, sebagaimana umumnya banyak ulama

Nusantara pada saat itu. Nisbat al Tarmasi pada namanya merupakan

penisbatan pada tempat asal kelahirannya yang berada di desa Tremas,

Arjosari, Pacitan, Jawa Timur.

Al Tarmasi adalah putra pertama dari Kyai Abdullah, adapun adik-adik

kandungnya seperti Kyai Dahlan, Nyai Tirib, Kyai Dimyati (ahli ilmu waris),

Kyai Muhammad Bakri (ahli Qiraah), Sulaiman Kamal, Muhammad Ibrahim ,

dan Kyai Abdurrazaq (ahli Thariqat dan Mursyid Thariqah yang mempunyai

pengikut di seluruh Jawa.

Keluarga al Tarmasi merupakan keturunan dari keluarga pesantren ,

yakni Pondok Tremas Pacitan Jawa Timur yang didirikan oleh Kyai Abdul

Manan selaku kakeknya. Mahfudz al Tarmasi diasuh oleh ayahnya Kyai

Abdullah di lingkungan pesantren yang senantiasa diperkenalkan dengan nilai-

nilai dan praktek keagamaan oleh ibu dan pamannya yakni Athaillah. Nuansa

kehidupan pesantren yang setiap waktunya selalu menghadirkan nuansa

keilmuan ternyata mampu mempengaruhi karakter dan kepribadian al Tramasi

akan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama yang

berhasil membawanya sebagai pelajar sekaligus pendidik. Bahkan Mahfudz al

Tarmasi pada usia 6 tahun di bawah bimbingan ibu dan pamannya berhasil
32

hafal Al Quran. Dalam usianya yang 6 tahun sudah diajak oleh ayahnya ke

kota Makkah pada tahun 1291 H/ 1874 M untuk memperkenalkan beberapa

kitab penting kepadanya. Setelah beberapa tahun di Makkah ia kembali

bersama ayahnya ke Nusantara. Atas asuhan ayahnya ini sehingga al Tarmasi

menganggap ayahnya lebih dari sekedar seorang ayah dan guru, tentang

ayahnya. Syaikh Mahfudz al Tarmasi menyebutnya sebagai murrabbi wa ruhhi

(pendidiku dan jiwaku).

B. Pendidikannya di Nusantara

Sejak belia, ia sudah mempelajari kitab-kitab kepada ayahnya.

Diantaranya adalah Kitab Syarh al Ghayah li Ibni Qasim al Ghuzza, al Manhaj

al Qawim, Fath al Muin, Fath al Wahab, Syarh Sarqawiy al Hikam dan Tafsir

hingga surat Yunus. Setelah kembali ke Nusantara bersama ayahnya tidak lama

kemudian pada tahun 1878 H al Tarmasi pindah ke Semarang dan berguru

kepada Kyai Soleh Darat belajar kitab Syarh al Hikam , Tafsir Jalalain, Syarh

al Mardini dan Wasilah al Thullab ( kitab yang membahas ilmu falak ).

Pada usia 23 tahun setelah belajar dari Pesantren Kyai Darat al Tarmasi

pergi ke Haramain yang kedua kalinya guna melanjutkan studinya di sana.

Adapun cara al Tarmasi mendapatkan pengetahuaanya begitu variatif,

terkadang beliau memusatkan perhatiannya pada materi yang diuraikan oleh

gurunya. Yang lebih sering beliau belajar dengan cara membaca kitab di depan

gurunya dan setelahnya menunggu dikoreksi dan komentar dari sang gurunya.

Beliau tergolong murid yang begitu dinamis dan antusias dalam belajar.
33

C. Rihlah Ilmiah di Haramain

Pada tahun 1308 H,al Tarmasi mulai mengadakan Rihlah Ilmiyahnya ke

Haramain yang kedua kalinya. Suasana keagamaan yang pernah dirasakannya

pada masa kecil membuat semangat tinggi al Tarmasi guna memperdalam

ilmu agama di sana. Di Makkah , belaiu banyak mendalami disiplin ilmu

agama, tidak hanya hadits yang kemudian menjadi spesialisasinya, akan tetapi

juga berbagai ilmu agama lainnya yakni dengan bukti dari karya yang

dihasilkannya, seperti ilmu qira’ah dan lain sebagainya.

Berdasarkan sejarah , sejak abad 16 hingga abad 20 dunia pendidikan di

Haramain dikenal dengan istilah Halaqah. Model settingan halaqah ini di

adakan di sekitar serambi Masjidil Haram dan masjid Nabawi di Madinah.

Selain itu ada istilah Ribath semacam pondokan dan juga kuttab yang berupa

madrasah kecil yang diselenggarakan di rumah-rumah pengajarnya. Di tempat

inilah al-Tarmasi banyak belajar dan mengkaji Alquran, Tafsir, hadits, fiqih,

ilmu bahasa arab dan keilmuan keislaman lainnya.

Tempat pengajian seperti inilah yang sering didatangi oleh al Tarmasi

untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama. Beliau sosok yang tekun dan

bersungguh-sungguh dalam belajar, atas kegigihannya ia berhasil mempelajari

dari seorang guru ternama yakni Syaikh Muhammad Syatha al Makki. Dan

beliau diangkat sebagai bagian dari keluarganya. Pada saatnya menjadikan

beliau posisi sosial keagamaan yang terhormat dan diberi kesempatan untuk

mengajar di Masjidil Haram.


34

Pada paruh akhir abad ke-19, sebagian ulama dari Nusantara Indonesia

yang yang secara kemampuan dan keilmuannya berkualitas di mata dunia

mendapat kesempatan seluas – luasnya untuk mengajarkan ilmunya di Masjidil

Haram. Setidaknya ada tujuh ulama Nusantara yang terkemuka, yakni Syaikh

Mahfudz al Tarmasi dari Jawa Timur, Syaikh al Bantani dari Jawa Barat,

Syaikh Ahmad Al Minangkabawi dari Sumatra Barat, Syaikh Muhtarom dari

Banyumas Jawa Tengah, Syaikh Bakir Banyumas Jawa Tengah, Syaikh

Asy’ari dari Bawean Jawa Timur, dan Syaikh Abdul Hamid dari Kudus Jawa

Tengah.

Pada awal abad 20-an Syaikh Mahfudz al Tarmasi menikah dengan

seorang putrid bernama Nyai Muslimah yang saat itu sedang menunaikan

ibadah haji. Hasil dari pernikahan dengan wanita berdarah Demak ini

dikaruniai dua orang anak perempuan dan satu anak laki-laki, namun

sayangnya takdir berkata lain yakni dua orang putrinya meninggal ketika

keduanya baru berusia 5 tahun, tinggal lah 1 orang putranya yang bernama

Muhammad sebagai pendiri pondok BUQ Betengan di Demak . Sejak

Rihlahnya yang kedua kalinya, beliau belajar dan mengajar di Makkah hingga

akhir hayatnya. Beberapa rekan seperjuangannya kembali ke Nusantara guna

mengamalkan ilmunya dan mendirikan pesantren seperti Kyai Dimyati (adik al

Tarmasi) dan Kyai Kholil Bangkalan dari Madura.

Adapun kebiasaan al Tarmasi yang menjadi perhatian murid-muridnya,

ketika beliausedang mengajar di Masjidil Haram ia selalu duduk di tempat

tertentu dan menghadap Ka’bah. Metode belajar dan mengajarnya yang sering
35

beliau gunakan dengan tiga metode . Pertama guru membaca kemudian guru

menjelaskan,. Kedua guru membaca murid menjelaskan. Ketiga, murid

membaca guru mengoreksi bacaannya dilanjutkan tanya jawab antara guru dan

murid.

D. Guru dan Muridnya Syaikh Mahfudz al Tarmasi

Pada masabeliau belajar di Nusantara maupun di Haramain, ia dikenal

murid yang sangat tekun oleh guru-gurunya. Guru-gurunya beliau adalah orang

ahli semua dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Seperti fiqih,

hadits, tafsir, ilmu bahasa arab, ilmu qira’at dan lain sebagainya. Diantara

guru-gurunya beliau seperti Kyai Abdullah, Kyai Shaleh Darat, Syaikh

Muhammad al Syarbini al Dimyati, Sayyid Abu Bakar bin Muhammad bin

Zainal Abidin Shatta al Makky, Syaikh Muhammad al Munsyawi, Syaikh

Umar bin Barakat al Syami, al Biqa’ily al Azy’ari al Makky al Syafi’i, Sayyid

Muhammad Amin bin Ahmad Ridwan al Madani dan lain sebagainya.

Adapun guru beliau yang banyak memberikan andil dalam

mengantarkan beliau menjadi seorang ulama Nusantara yang besar dan

dikenal dalam bidang hadits tidak lain adalah Sayyid Abu Bakar bin Sayyid

Muhammad Syatha. Abu Bakar mengangkat al Tarmaasi sebagai anak

angkatnya yang selalu dibimbing dengan keilmuan keagamaan sehingga

memberikan pengaruh besar atas keberhasilannya al Tarmasi mencapai gelar

ulama Nusantara berkelas Internasional. Kepadanya al Tarmasi mampu

menghatamkan Sahih Bukhari sebanyak empat kali. Selain itu gurunya yang
36

bernama Sayyid Husein al Habsyi dan Syaikh Muhammad Said al Hadrami

juga mempunyai andil besar dalam menjadikan al Tarmasi sebagai muhadis

yang hanya mampu menguaasai Shahih Bukhari saja, tetapi juga kutubussitah

lainnya, termasuk Syarh Alfiah al Suyuthi. Menurut Syaikh al Marsafi , al

Tarmasi berakhlak mulia , ramah tamah ketika berbicara, dan tidak mau

mencampuri urusan orang lain apabila tidak ada kaitannya. Didasari dengan

keilmuan yang matang dan berkepribadian mulia, mka tidaklah heran kalau

rumahnya beliau di Makkah tidak pernah sepi dari orang-orang yang ingin

belajar kepadanya.

Beliau juga memiliki murid-murid yang tidak kalah soleh dan alimnya,

mereka bukan saja berasal dari Nusantara melainkan dari berbagai benua

termasuk dari kalangan arab sendiri pada saat itu.9Diantara muridnya yang

berasal dari luar Nusantara adalah Syaikh Sa’adullah al Maimani ( mufti dari

Bombay India ), Syaikh Umar bin Hamdan (muhaddis dari Haramain), Al

Shihab Ahmad bin Abdullah ( muqri dari Syiria. Begitu juga nama murid-

muridnya yang berasal dari Nusantara yaitu Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Wahab

Hasbulloh (Jombang), Muhammad Bakir bin Nur (Yogyakarta), Kyai R.

Asnawi (Kudus), Muammar bin Kyai Badawi ( Lasem ), Ali bin Mahmud bin

Muhammad bin Arsyad Al Banjari , KH. Muhammad Dimyati dan lain

sebagainya.

E. Peranan Al Tarmasi
37

Peranan Al Tarmasi dalam pendidikan Islam dengan cara

mentransfer atau mengajarkan ilmunya kepada para santri yang berasal dari

Nusantara dengan tujuan agar supaya ilmunya bisa diamalkan dalam

rangka untuk menumbuhkan dan memajukan pendidikan Islam. Disamping

itu beliau juga menyumbangkan beberapa hasil karyanya yang sangat

bermanfaat bagi perkembangan dan peningkatan pendidikan Islam di

Nusantara khususnya. Al Tarmasi merupakan seorang penulis yang

produktif. Adapun hasil karya beliau yang sangat berarti baik di Nusantara

maupun di bagian dunia diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Bidang Fiqh dan Usul Fiqh

Kitabnya berjudul : al siqayah al Mardiyah fi Asma al Kutb al Fiqhiyyah

al syafi’iyah, Nail al Ma’mul bi Hasyiyah Ghayah al Wusul fi ilm al

Usul dan masih banyak yang lainnya.

2) Bidang Tafsir

Hasil karyanya Fath al Khabir bi Syarh Miftah al Tafsir

3) Bidang Hadits dan Ulumul Hadits

Kitabnya Manhaj Dzawi al Nadhar Syarh Mandhumah al Asar, al Khil’ah

al Fikriyyah bi Syarh al Minhah al Khairiyyah, al Minhah al Khairiyyah

fi Arba’in Hadisan min Ahadis Khair al Bariyyah, Shulashiat al Bukhari

dan lain sebagainya.

4) Bidang Fiqih

Beliau berpegang pada aliran Madzhab Imam Syafi’i . Namun jika

menengok pada masa belajar beliau para guru ilmu fiqihnya bukanlah
38

penganut madzhab tertentu melainkan dari berbagai madzhab. Tercatat

bahwa salah satu guru besar beliau adalah al Allamah al Sayyid Ahmad

al Zawawi al Maki al Maliki.

Al Tarmasi menyusun kitab Hasyiah al Tarmasi ‘ala al Manhaj al

Qawim sebuah karya bidang fiqih dalam madzhab Syafi’i. Kitab tersebut

terkenal dengan judul lengkapnya yaitu :

Manhal al ‘Amim bi Hasyiah al Manhaj al Qawim dan Mauhibat

Dzi al Fadhl ‘ala Syarh Muqaddimah Ba Fadhl. Kitab Hashiyah al

Tarmasi dicetak pertama kali pada tahun 1326 H oleh percetakan

Amirah Sharqiyyah di Mesir yang terdiri dari 4 jilid dan pembahasannya

hanya sampai bab al Udhiyah. Sedangkan cetakan terbaru diterbitkan

oleh percetakan Dar al Minhaj cabang Jeddah pada tahun 2011 yang

terdiri 7 jilid sejumlah 600 – 800 lembar.

Keunggulan dari kitab Hasyiah al Tarmasi dalam mengurai dan

mengomentari kitab al Manhaj al Qawim dari pada karya-karya yang

lainnya, hal ini dikemukakan oleh Dr. Muhammad Abdurrahman Al

Ahdal . Adapun keunggulan dari kitab tersebut adalah sebagai berikut :

1). Hasyiyah al Tarmasi merupakan kitab uraian al Manhaj al Qawim

terluas dan terteliti dari pada karya-karya yang lainnya.

2). Luasnya uraian dalam kitab Hasyiyah al Tarmasi ini merupakan

akibat dari kejelian Syaikh Mahfudz al Termas dalam mengurai dan

ketinggian ilmunya. Hasyiyah al tarmasi tidak sekedar menguraikan dari

sisi permaslahan fikihnya saja melainkan juga pembahasan terkait ilmu


39

bahasa dengan bermacam – macam cabangnya, ilmu hadits dari dirayah

hingga riwayatnya sampai dengan yang aslinnya.

4. KH. Ahmad Dahlan


A. .Biografi Ahmad Dahlan

Beliau dilahirkan di kauman (Yogyakarta) tahun 1868 dan meninggal

padatanggal 25 Pebruari 1923. Nama kecilnya Muhammad Darwis.

Ayahnyabernama. K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar

kratonYogyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah. Beliau berasal dari keluarga

yangdidaktis dan alim dalam ilmu agama. Sejak kecil beliau diasuh dan

dididiksebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar

membaca,menulis, mengaji AlQur‟an, dan kitab -kitab agama. Menjelang dewasa,

iamempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama‟ besar

pada waktu itu. Diantaranya , K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqih),

K.H.Mahfudzdan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis) ,Syekh Amin dan Sayyid

Bakri (Qiraat Al-Qur‟an). Dalam usia relatif muda, beliau telah mampu

menguasai beberapa disiplin ilmu keislaman.Setelah beliau lulus pendidikan dasar

di madrasah dalam bidang nahwu,fiqih dan tafsir di Yogyakarta, beliau pergi ke

makkah pada tahun 1890 untukmenuntut ilmu di sana selama satu tahun. Salah

satu

gurunyaadalahSyekh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903, beliau kembali ke makk

ah dan menetap disana selama dua tahun. Sepulang dari makkah beliau berganti

nama Haji AhmadDahlan. Kemudian beliau menikah dengan siti Waalidah putri

Kyai Penghulu HajiFadhil.


40

Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai

Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Mun

awwirKrapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya

denganNyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah.

Iapernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.2.

Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan Tentang Pendidikan Islam

Beliau mengatakan, uapaya strategis untuk menyelamatkan umat islamdari

berpikir statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melaluipendidikan.umat

islam dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yangtajan dalam

membaca dinamika kehidupan yang akan datang. Adapun kunci bagikemajuan

umat islam adalah kemabali pada Al-

Qur‟an dan hadits, mengarahkan umat islam pada pemahaman ajaran islam yang

komprehensif, dan menguasaiberbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Pendidikan islam hendaknya menjadi media dan

mampumengembangkanal-ruh dan al-akal.hal ini disebabkan di alam ini ada

duadimensi yaitu dimensi pisika dan metapisika. Manusia adalah integrasi dari

duadimensi yaitu dimensi ruh dan jasad. Maka aktivitas pendidikan harus

mampumengembangkan dimensi tersebut. Dan perlunya pengkajian ilmu

pengetahuansecara langsung sesuai prinsip-prinsip Al-Qur‟an dan Hadits.Ahmad

Dahlan
41

melihat bahwa problem epistemologi pendidikan islam tradisional

disebabkankarena ideologi ilmiahnya terbatas pada dimensi religius yang

membatasi padapengkajian kitab-kitab klasik, khususnya dalam madzhab syafi‟i.

Sikap ilmiah yang demikian mengakibatkan umat islam tidak mampu menganalisa

ilmupengetahuan secara kritis sehingga kurag mampu berkompetisi secara

preoduktifdan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian.Menurut ahmad

Dahlan pendidikan islam hendaknya diarahkan untukmembnetuk manusia muslim

yang berbudi pakerti luhur, alim dalam agama, luaspandangan dan paham masalah

ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang demikemajuan masyarakatnya. Untuk

mencapai tujuan ini, hendaknya pendidikanislam hendaknya mengakomodasi

berbagai ilmu pengetahuan, baik umummaupun agama, untuk mempertajam

intelektualitas dan memperkokohspiritualitas peserta didik. Upaya ini akan

terwujud jika proses pendidikan bersifatintegral dan epistemologi islam

hendaknya dijadikn landasan metodologis dalamkurikulum dan bentuk pendidikan

yang dilaksanakan. Menurut Ahmad Dahlan,Materi pendidikan adalah pengajaran

Al-Qur‟an dan hadits, membaca, menulis,berhitung, ilmu bumi, dan menggambar.

Sistem pemdidikan yang diapakai beliauadalah klasikal, beliau ingin

menggabungkan sistem pendidkan belanda dengansistem pendiidkan tradisional

secara integral.Materi Al-Qur‟an dan hadits yaitu ibadah, persmaan derajat, fungsi

perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah,

pembuktiankebenaran Al- Qur‟an dan hadits menurut akal,

kerjasama anatara agama-kebudayaan keamajuan peradaban, hukum kausalitas

perubahan,,nafsu dankehendak, demokratisasi, dan liberalisasi, kebebasan


42

berpikir, dinamikakehidupan dan peranannya, dan akhlak.Komitmen ahmad

dahlan terhadap pendidikan agama adalah sanagatkuat, untuk itu beliau masuk

orgnasisasi Budi Oetomo pada tahun 1909, untukmendapatkan peluang

mengajarkan pendidikan agama kepada para anggotanya.Komitmen terhadap

pendidikan selanjutnya menjadi salah satu ciri khasorganisasi yang didirikannya

pada tahun 1912 yaitu Muhammadiyah.

Pandangan ahmad dahlan dalam pendidikan juga dapat dilihat dalamkegiatan

pendidikan yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Dalam bidangpendidikan

muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkandengan sistem

pendidikan gubernemen. Disamping itu , Muhammadiyahmendirikan sekolah

yang agamis yaitu madrasah diniyah di minangkabau untukmemperbaiki

pengajian Al-Qur‟an yang tradisional. Pada tanggal 8 Desember 1921,

Muhammadiyah mendirikan pondok Muhammadiyah sebagai sekolahpendidikan

guru agama. Dalam sekolah tersebut pelajaran umum diberikan olehdua orang

guru dari sekolah pendidikan guru (kweekschool), sedangkan ahmaddahlan dan

beberapa orang lainnya memberikan pelajaran agama yang lebih

mendalam.Muhammadiyah berhasil melanjutkan model pembaruan

pendidikandikarenakan lingkungan sosial yang dihadapi adalah terbatas pada

pegawai,guru maupun pedagang. Kelompok ini banyak menguasai

perusahaanpercetakan yang secara ekonomis sangat penting di masyarakat. Oleh

karenaitu, muhammadiyah dengan model pendidikan barat ditambah

denganpendidikan agama, mendapatkan hasil yang baik dalam kalangan ini.

Diantarasekolah-sekolah yang tertua dan besar yaitu :a.Kweekschool


43

Muhammadiyah, di Yogyakartab.Mu‟allimin Muhammadiyah, di Solo,

Yogyakarta dan Jakarta, Zu‟ama/Za‟imat di Yogyakarta.

B. Sejarah lanjutan K.H A. Dahlan


Nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy. adalah anak keempat dari
tujuh bersaudara, putra dari K.H. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman dan Siti Aminah
binti almarhum K.H. Ibrahim. Ayahnya seorang khatib tetap Masjid Agung
Yogyakarta. K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, tahun 1869.
Nama K.H. Ahmad Dahlan, ia peroleh dari para Kiai setelah ia selesai
menunaikan ibadah haji.

Setelah ia kembali ke Kauman, ia berniat ingin mendirikan Persyarikatan


Muhammadiyah. Alasannya, karena ia merasa resah melihat keadaan umat Islam
waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang
bersifat mistik. Dari kondisi inilah hatinya tergerak untuk mengajak mereka
kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya menurut ajaran dari Al Quran dan
Hadis.

Tekadnya ini, ia amalkan dengan mendirikan Persyarikatan


Muhammadiyah. Organisasi ini, didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18
November 1912. Pendirian organisasi ini dipengaruhi oleh gerakan tadjin
(reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad bin
Abd Al-Wahab di Arab Saudi, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha di
Mesir dan lain-lain. Bertolak dari sini, salah satu tindakan nyata yang
dilakukannya adalah memperbaiki arah kiblat, yang awalnya lurus ke barat, tapi
kemudian dengan mengacu pada ilmu falak dibuat agak condong ke utara 22
44

derajat. Pembetulan arah kiblat ini dimulai dari Langgar Kidul milik K.H. Ahmad
Dahlan. Caranya dengan membuat garis shaf.

K.H. Ahmad Dahlan telah membawa pembaharuan dan membuka


kacamata modern Islam di Indonesia sesuai dengan panggilan dan tuntutan
zaman, bukan lagi secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an
dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca
ataupun melantunkan ayat Al Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna
yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan
amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan dalam Al Qur’an itu sendiri.
Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari
Islam dari kulitnya saja tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam
hanya menjadi suatu dogma yang mati.

Semenjak didirikanya organisasi muhammadiyah. Muhammadiyah banyak


bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Selain giat memberikan
pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, ia juga mendirikan berbagai sekolah.
Gerakan membangun pendidikan itu terus berkembang hingga saat ini.

Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan juga mereformasi sistem pendidikan


pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas antara jenjang dan metode yang
diajarkan lantaran mengutamakan hafalan dan tidak merespon ilmu pengetahuan
umum. Sehingga Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan
memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga
Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun
memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus
mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya,
beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik,
dan rumah yatim piatu.
45

Dalam perjuangannya ini, K.H Dahlan jatuh sakit, dan pada Jumat malam, 7
Rajab tahun 134 Hijriah, ia menghembuskan napas terakhirnya di hadapan
keluarganya. Kemudian ia dimakamkan di makam milik keluarganya di
Karangkajen, Yogyakarta.

Dalam perkembanganya hingga saat ini didalam tubuh organisasi


Muhammadiyah juga berdiri berbagai anak organisasi yang gerakanya
menyelaraskan dari gerakan Induknya antara lain : Aisiyah, Hizbul Wathan,
Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah,
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Tapak suci.

5. KH. A. Wahid Hasyim

A. Biografi

Wahid Hasyim yang akrab di sapa dengan Gus Wahid lahir pada

hari jumat legi, tanggal 5 Rabiul Awal 1333 H bertepatan dengan 1 juni 1914

di DesaTebuireng, Jombang Jawa Timur. Oleh ayahnya Hadratus Syeh K.H.

Hasyim Asy‟ari beliau diberi nama Muhammad Asy‟ari.

Lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Nggedang-Jombang, Jawa Timur,

Hasyim Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama, artinya kebangkitan ulama,

organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dia mendirikannya bersama Kyai Wahab

Chasbullah pada 31 Januari 1926 guna mempertahankan faham bermadzhab dan

membendung faham pembaharuan. Hasyim pernah belajar pada Syaikh Mahfudz

asal Termas, ulama Indonesia yang jadi pakar ilmu hadits pertama, di Mekah.

Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang

kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci. Lewat pesantren

inilah KH Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam


46

tradisional. Dia memperkenalkan pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren,

bahkan sejak 1926 ditambah dengan bahasa Belanda dan sejarah Indonesia.

Dalam buku Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,

Zamakhsyari Dhofier manggambarkan Hasyim Asy’ari sebagai sosok yang

menjaga tradisi pesantren.

Di masa Belanda, Hasyim bersikap nonkooperatif. Dia mengeluarkan banyak

fatwa yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Yang paling spektakuler

adalah fatwa jihad: “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang

melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10

November di Surabaya.

Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Dalam perjalanannya, NU larut dalam

politik praktis hingga akhirnya kembali ke khitah 1926.

Abad ke-19 adalah awal kemunculan ideologi pembaruan Islam yang

diserukan oleh Jamaludin Al-afghani dan Muhammad Abduh. Pembaruan Islam

yang tumbuh begitu pesat didukung pula dengan berdirinya sekolah-sekolah

pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib

(1915). Gaung Pemabaharuan Islam di Dunia ternyata terdengar oleh para jamaah

haji Indonesia, sehingga mereka juga perlu memikirkan keadaan dinegeri sendiri.

Diantaranya adalah :

6. Cak Nur (Nurcholis Madjid)

A. Konsep dan Keyakinan


47

Cak Nur atau biasa di sebut nurcholis madjid dianggap sebagai ikon

pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang

pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di

masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai

kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Cak Nur dikenal dengan konsep

pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman / ke-bhinneka-an keyakinan di

Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan

keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar.

Keyakinan tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang

lain, walaupun memeluk agama yang sama.

Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda, Cak

Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak

Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu

yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur

meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap

Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia

lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis. Manusia akan

bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa

yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan. Maka pahala ataupun dosa

akan menjadi imbalan atas apa yang secara yakin ia lakukan.

Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti

halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan

gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai


48

pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai sumber pluralisme

dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam

Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.

Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis

kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh

PresidenSoeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di

Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997.

Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk

menghindari gejolak politik yang lebih parah.

Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak

sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia.

Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis

(tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap

bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-

Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia

mengungkapkan gagasan "Islam Yes, Partai Islam No?" yang ditanggapi dengan

polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1960-an, sementara dalam waktu

yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang

mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini

tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk

membentuk partai yang berlabelkan agama.

Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wahid

Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan


49

kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan

khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim

sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal.

Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkatifitas.

Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada

Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping

sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal)

yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang

tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.

Untuk pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan

sumbangsih pemikirannya untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di

dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode

pengajarannya. Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan

pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal

di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut:

 Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya

 Menggambarkan cara mencapai tujuan itu

 Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan

dapat dicapai.

Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam khususnya di lingkungan pesantren lebih

berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan


50

duniawiyah (dunia). Dengan seperti itu, pesantren didominasi oleh mata ajaran

yang berkaitan dengan fiqh, tasawuf, ritual-ritual sakral dan sebagainya. Meski

tidak pernah mengenyam pedidikan modern, wawasan berfikir Wahid Hasyim

dikenal cukup luas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan

yang bersifat sosial dan pendidikan.

Berkembangnya pendidikan madrasah di Indonesia di awal abad ke-20,

merupakan wujud dari upaya yang dilakukan oleh cendikiawan muslim, termasuk

Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam (pesantren) dalam

beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Apa

yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah merupakan inovasi baru bagi kalangan

pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap tabu bagi kalangan

pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah

membuat pesantren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti

halnya memakai pantolan, dasi dan topi, dan dalam konteks luas pengetahuan

umum. Dalam metode pengajaran, sekembalinya dari Mekkah untuk belajar,

Wahid Hasyim mengusulkan perubahan metode pengajaran kepada ayahnya.

Usulan itu antara lain agar sistem bandongan diganti dengan sistem tutorial yang

sistematis, dengan tujuan untuk mengembangkan dalam kelas yang menggunakan

metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan menghafal

mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan

pertanyaan atau berdikusi.


51

Secara singkat, menurut Wahid Hasyim, metode bandongan akan

menciptakan kepastian dalam diri santri. Perubahan metode pengajaran diimbangi

pula dengan mendirikan perpustakaan. Hal ini merupakan kemajuan luar biasa

yang terjadi pada pesantren ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim

mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis. Dimana posisi

guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar.

B. Peranannya dalam Sosial, Kemasyarakatan dan Bernegara

Selain melakukan perubahan-perubahan tersebut Wahid Hasyim juga

menganjurkan kepada para santri untuk belajar dan aktif dalam berorganisasi.

Pada 1936 ia mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam). Pendirian organisasi ini

bertujuan untuk mengorganisasi para pemuda yang secara langsung ia sendiri

menjadi pemimpinnya. Usaha ikatan ini antara lain mendirikan taman baca. Pada

tahun 1938 Wahid Hasyim banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan-

kegiatan NU.B. Peranannya dalam Sosial, Kemasyarakatan dan Bernegara

Pada tahun ini Wahid Hasyim ditunjuk sebagai sekretaris pengurus

Ranting Tebuireng, lalu menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Kemmudian

untuk selanjutnya Wahid Hasyim dipilih sebagai anggota Pengurus Besar NU di

wilayah Surabaya. Dari sini karirnya terus meningkat sampai Ma’arif NU pada

tahun 1938. Setelah NU berubah menjadi partai politik, ia pun dipilih sebagai

ketua Biro Politik NU tahun 1950. Di kalangan pesantren, Nahdlatul Ulama

mencoba ikut memasuki trace baru bersama-sama organisasi sosial modern


52

lainnya, sepeti Muhammadiyah, NU juga membentuk sebuah federasi politik

bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) lebih banyak di dorong oleh rasa

bersalah umat Islam setelah melihat konsolidasi politik kaum nasionalis begitu

kuat. Pada tahun 1939, ketika MIAI mengadakan konferensi, Wahid Hasyim

terpilih sebagai ketua. Setahun kemudian ia mengundurkan diri.

Wahid Hasyim juga mempelopori berdirinya Badan Propaganda Islam

(BPI) yang anggota-anggotanya dikader untuk terampil dan mahir berpidato di

hadapan umum. Selain itu, Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di

kalangan umat Islam. Tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta

yang pengasuhnya ditangani oleh KH. A Kahar Mudzakir. Tahun berikutnya,

1945, Wahid Hasyim aktif dalam dunia politik dan memulai karir sebagai ketua II

Majelis Syura (Dewan Partai Masyumi). Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri.

Sedangkan ketua I dan ketua II masing-masing Ki Bagus Hadikusumo

dan Mr. Kasman Singodimejo. Pada tanggal 20 Desember 1949 KH. Abdul

Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam kabinet Hatta.

Sebelumnya, yaitu sebelum penyerahan kedaulatan, ia menjadi Menteri Negara.

Pada periode kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, Wahid Hasyim tetap

memegang jabatan Menteri Agama. Dalam kabinet pertama yang dibentuk

Presiden Soekarno pada September 1945, Wahid Hasyim ditunjuk menjadi

Menteri Negara.

7. Syekh Muhammad Jamil Jambek


53

Sebagai ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad

ke-20, serta sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil

Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek. Beliau

dilahirkan dari keluarga bangsawan dan juga merupakan keturunan penghulu.

Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan

ibunya berasal dari Sunda. Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang

kegiatan keagamaan di Sumatera Barat. Mengutip Ensiklopedia Islam, Syekh

Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali

memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban

(puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi

Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi

Muhammad dalam bahasa Melayu.

Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi

Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang

menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh

seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya

dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya, semua itu

dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya.

Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.

Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai

berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada

awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan

tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad


54

berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syekh Bayang

dan Haji Abbas yang membela tarekat.

Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul

Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang

Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku

itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India.

Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh

takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.

Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat

dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan

tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat

Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi

bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara,

menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.

Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam

terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut

menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau

tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa

pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Jambek mendirikan Majelis Islam Tinggi

(MIT) berpusat di Bukittinggi.


55

8. Abdul Karim Amrullah

Lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau,

Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879. Beliau dijuluki sebagai Haji Rasul dan

merupakan salah satu ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia.

Beliau juga merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern

pertama di Indonesia.

Abdul Karim Amrullah dilahirkan dari pasangan Syekh Muhammad

Amrullah dan Andung Tarawas. Ayahnya, yang juga dikenal sebagai Tuanku

Kisai, merupakan syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah. Bersama dengan Abdullah

Ahmad, Abdul Karim Amrullah menjadi orang Indonesia pertama yang

memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.

Pada tahun 1894, beliau dikirim oleh ayahnya ke Mekkah untuk menimba ilmu

dan berguru pada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang pada waktu itu

menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari

perjalanan ke Jawa, beliau mendirikan cabang Muhammadiyah di Minangkabau,

tepatnya di Sungai Batang, kampung halamannya. Salah satu putranya, yaitu

Hamka, nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dikenal banyak orang

sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Abdul

Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada usia 66 tahun.

9. KH. Hasyim Ashari

A. Biografi
56

Biasa disebut KH Hasyim Ashari beliau dilahirkan pada tanggal 10 April

1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa

Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau tutup usia

pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang.

KH Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah

organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asyari merupakan

putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan

seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH

Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan

ibunya, KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir

(Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan

dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari

memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai

pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-

santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan

kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke

pesantren lain.

Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo.

Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren

Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia

melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.


57

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai

Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15

tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren

Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di

Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di

Sidoarjo.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di

pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar

menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama

yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun–

Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri

kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu.

Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang

baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai

Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke

Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke

tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di

Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau,

Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim

Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid

Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi..
58

Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik

kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng.

Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan

pedagang yang sukses.

Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim

istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga

pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani

dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di

Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir,

pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870.

Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di

sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak)

sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng

dimulai.

Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan,

sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya

berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus

kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah

menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah

kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan

Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah,
59

(2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul

Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim

menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok

Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4

orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4)

Muhammad Ya’kub.

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH

Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya

memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid

Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai

Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan

mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru

pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang.

Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”

Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya.

“Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah

lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan

berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai

Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-

cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak

memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid


60

akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang

ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak.

Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal

yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah

Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri

NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh

sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia

pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat

kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal

mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’

menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk.

Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila

pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya

sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah

lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil

sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas.

KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul

Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama

terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20

Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa.

Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa

pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga


61

pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian

memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim

menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk

merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937,

tapi ditolaknya.

Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia

memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci).

Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah

muncul di mana-mana.

Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal

Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh

Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda)

menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri

kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942.

Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya

tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya,

ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal

perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya

perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak

segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang

penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada
62

tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran

di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga

tewas.Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim

dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat

piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut

dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan

cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk

memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.Akibatnya,

hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan

serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa

revolusi fisik Tahun 1940an.

Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada

Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure,

kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan

Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang

menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk

memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif

Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan

kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei.

Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul

07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan

kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).


63

Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah

pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.

Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib

disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara

berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan

akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak

yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan,

Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari

tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.

Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di

Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga

Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus

mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim

dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain

itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan

Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama

Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil

Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan

Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa

(Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para
64

ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris

tersebut.

Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya,

meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang

bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari

kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan

gabungan NICA dan Inggris.

Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan

Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang

10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama

Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).

Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat

Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua

Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir

penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal

dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan

gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa

meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh

At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama

asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba

ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau.


65

Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri

Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad

Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di

Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan

pembaharuan pemikiran Islam.

Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi

proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar

Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari

Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di

Mekkah.

Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama

mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan

praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.

Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga,

mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan

kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam.

Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi

kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat

memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial,

politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat

Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab

dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.


66

Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia

berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke

Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH

Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah.

Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide

Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh

agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.

Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud

yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari

pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab.

Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti

buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari

ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat,

Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu

salah dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan

tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab

yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan

yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut

kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.


67

Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di

Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai

kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi

bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting,

mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian

membentuk Komite Hijaz.

Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas

menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas

restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi

Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada

1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan

perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam

A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya.

Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang

pernah ada di Indonesia. Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa

Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan

martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908

muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional.

Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga

muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya


68

Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar

tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran).

Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum

Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok

studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki

cabang di beberapa kota.

Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab

Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga

murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama

terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan,

sosial, dan politik.

Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan

madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana

menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak

diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan

modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun

PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren

yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan

madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu.

Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al

Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami
69

(Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan

tersebut.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta

rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim

bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai

Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi

Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai

penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan.

Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai

dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren

pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil

menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

B. Pendirian Nahdlatul Ulama (NU)

Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan

sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih

besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya,

meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.

Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim

sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil

bin Abdul Latif, Bangkalan.


70

Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa

yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya

yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah

Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di

Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan

surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat

tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah

agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus

berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai

Hasyim masih menunggu kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda

As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai

Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan

tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah

menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju

Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi

selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia

memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh

melepasnya juga harus Kyai”.

Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”Kyai Kholil juga

meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah

As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin
71

mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika

ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang

dinanti-nantinya melalui salat istikharah.

Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal

dunia terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M,

organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang

artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama.

Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia,

bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam

terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan

Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek

tarekat.

Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan

kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal

dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji

serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan

kehidupan modern.

Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola

pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat

Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan

Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.


72

Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi

Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide

Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi

menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya,

umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa

mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab.

Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para

Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi

”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul

Ulama’ ini. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk

Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid

Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942)

10. Syekh Nawai Al - Bantani

A. Sketsa Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Ali

Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Nawawi Al-

Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten

Serang, Banten pada tahun 1230 H/1813 M. Beliau wafat pada usia 84 tahun,

tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M di tempat kediamannya terakhir,

kampung Syi’ib Ali, Mekah. Jenazahnya dikuburkan di pemakaman Ma’la,

Mekah berdekatan dengan makam Ibn Hajar dan Siti Asma bin abu Bakar Siddiq.

Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan
73

menjelaskan tentang Manhaj at-Tholibinnya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin

Hasan bin Husain bin Muhammad bin Ammah bin Hujam an-Nawawi. Setiap

tahunnya, pada minggu terakhir bulan Syawal, acara haul diselenggarakan di

daerahnya, Tanara, Banten Jawa Barat oleh sebagian besar masyarakat.[2]

Sejak kecil Syekh Nawawi telah mendapat pendidikan Agama dari orang

tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, Fikih, dan ilmu

tafsir. Selain itu ia belajar pada Kiai Sahal di daerah Banten dan Kiai Yusuf di

Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan

bermukim di sana selama 3 tahun. Di Mekah, ia belajar pada beberapa orang

syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi,

Dimyati, dan Syekh Ahmad Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah

bimbingan Syekh Muhammad Khatib al-Hambali. Sekitar tahun 1248 H/1831 M

ia kembali ke Indonesia. Di tempat kelahirannya, ia membina pesantren

peninggalan orang tuanya. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia

kembali ke Mekah setelah 3 tahun berada di Tanara dan meneruskan belajar di

sana. Sejak keberangkatannya yang kedua kalinya ini, Syekh Nawawi tidak

pernah kembali ke Indonesia. Menurut catatan sejarah, di Mekah ia berupaya

mendalami ilmu-ilmu agama dari para gurunya, seperti Syekh Muhammad Khatib

Sambas, Syekh Abdul gani Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni, dan Syekh Abdul

Hamid Dagastani.[3]

Sebagai seorang alim yang dalam ilmunya, tinggi akhlak dan

kepribadiannya, ikhlas dalam mengajar dan mendakwahkan Islam, tentu hasil


74

didikannya pun akan melahirkan para ulama besar. Seperti yang dikutip oleh

Fahmi, di antara ulama besar di Indonesia yang menjadi muridnya antara lain:

1) KH. Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur.

2) KH. Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.

3) K.H. Ilyas, Serang Banten, Jawa Barat.

4) KH. Tubagus Muhammad Asnawi, Caringin, Jawa Barat.[4]

Syekh Nawawi melalui karya-karyanya sangat dikenal di kalangan masyarakat

muslim, terutama di dunia pesantren Jawa. Dalam bidang keilmuan, ia dikenal

ahli di bidang Teologi Islam, Fikih, akhlak/tasawuf, bahasa dan kesusastraan Arab

serta tarikh (kelahiran/kehidupan Nabi Muhammad SAW). sedang di bidang

kependidikan Islam nyaris luput dari pengamatan, padahal banyak percikan-

percikan pemikiran kependidikan dalam banyak karyanya di berbagai disiplin

ilmu seperti tafsir, hadits, dan akhlak/tasawuf. Oleh karena itu, upaya rekonstruksi

dan mensistemastisasi pemikirannya secara konseptual menjadi sesuatu yang

sangat berharga bagi dunia keilmuan Islam.

Di antara karya-karyanya adalah:

1) Bidang Ilmu Kalam; diantaranya ialah Kitab Fath al-Majid, Tijan al-Darari,

Kasyifah al Safa’, Al Nahjah al-Jadidah, Nur al-Zulam, dll.

2) Bidang Fiqh; Al Tausyeh, Sulam al Munajat, Nihayal al-Zain, Mirqah Al-

Su’ud Al-Tasdiq, Suluk Al-Jadah, Fath Al-Mujib, dll.

3) Bidang Akhlak/Tasawuf; perilaku sufinya nampak dalam kezuhudan daan

ketawaduannya. Tarekat yang diikutinya adalah tarekat Qadiriah, karena beliau

sangat erat hubungannya dengan Kyai abdul Karim bin Bukhori bin Ali yanaag
75

dikenal dengan tokoh tarekat Al-Qadiriah di Mekkah dan sama-sama berasal

Tanara Banten. Tulisannya di bidang ini antara lain, Qami’ al Tugyan al

Manzumah Syu’b al-Iman, Maraqi al-Ubudiyah, Salalim al-Fudala’, dll.

4) Bidang Tarikh; Al-Ibrir Ad-Dani, Bugyah al-‘Awam, Fath Samad, dll.

5) Bidang bahasa dan kesusteraan Arab; Fath Gafir Al-Khotihiyah ‘ala Al

Kawakib Al-Jaliyah fi Nazm Al-Juruwmiyah, Lubaal-Bayan, dll.

6) Bidang Tafssir dan Hadits. Beliau menulis tafsir Murah atau Al-Munir yang

terdiri dari dua jilid dan tanqih al-Qaul dalam bidang hadits.

Sebenarnya masih banyak lagi buah karyanya, baik yang sudah diterbitkan

maupun yang tidak diterbitkan dan seuruhnya berjumlah lebih dari 115 buah.

B. Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani

1. Ide-ide sentral pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani

Islam tidak memandang manusia sebagai makhluk yang kosong dari daya-

daya dan potensi seperti halnya konsep tabularasa seperti yang dikemukakan

oleh John Locke (1623-1704), karena itu pendekatan yang totalitas terhadap

semua dana atau potensi yang telah dimiliki manusia.Manusia mempunyai

keterbatasan-keterbatasan sesuai dengan sifat kemanusiaannya dan dibatasi

kebebasannya dengan sunnatullah yang pasti. Karena adanya keterbatasan itu,

maka ilmu pengetahuan yang ditemukannya pun bersifat relatif dan nisbi. Untuk

itu manusia tetap berada di dalam lingkungan Tauhid Uluhiyah,

Tauhid Rububiyah, dan Tauhid al-Asma wa al-Sifah Sehingga manusia dalam

pemikiran pendidikan Islam bersifat teosentris.[7]


76

Keberhasilan dalam menata kebudayaan termasuk pendidikan Islam

merupakan perpaduan antara kehendak dan kemauan bebas manusia, hereditas,

dan pengaruh dunia luar terhadap peserta didik. Tentu tiga faktor ini merupakan

antroposentris yakni hasil dari akal budi manusia sesuai dengan sunnatullah yang

diketahui dan diarahkan untuk mencapai kesejahteraan dunia. Dalam pandangan

Islam, pola pemikiran seperti ini tidaklah cukup, karena mengingat keterbatasan-

keterbatasan manusia. Untuk itu mau tak mau kita harus bersandar kepada Yang

Maha Pengatur Jagad Raya dan segala sunnatullah-Nya. Potensi-potensi fisiologis

dan psikologis manusia tidaklah cukup jika hanya mengandalkan perjanjian

primordial dengan Tuhan. Potensi-potensi itu harus dikembangkan melalui

pedidikan. Karena tanpa ilmu maka manusia tidak akan mampu mengemban

amanah khalifah dan melaksanakan ubbudiyah yang merupakan tanggung jawab

manusia untuk menunaikannya.[8]

2. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan Islam menurut Nawawi merupakan refleksi dari fungsi

hamba dan khalifah. Hakekat pendidikan itu sediri ialah ibadah sebagai sarana

reformasi sosial. Tujuan itu ialah (1) memperoleh ridha Allah dan kebahagiaan

akhirat; (2) menyingkirkan kebodohan dari diri sendiri dan dari orang lain; (3)

memajukan dan mengabadikan Islam dengan ilmu; (4) mensyukuri nikmat Allah

berupa pemberian akal dan badan sehat. Sebaliknya jangan sampai tujuan

pendidikan itu agar seseorang menjadi kiblat orang banyak atau memperoleh

keuntungan dunia semata, serta jangan pula untuk mendapat kehormatan di mata
77

penguasa atau orang lain. Kata syukur dalam konsep Nawawi, mencakup segi

kognitif/keilmuan (mengetahui bahwa nikmat yang diterimanya itu semata-mata

berasal dari Allah), segi afektif (merasa senang memperoleh nikmat itu ) dan segi

psikomotorik dan spiritual (menggunakan nikmat itu sesuai dengan rida Allah).

Implikasi dari tujuan ini, maka Nawawi memandang ilmu sebagai sesuatu yang

dicari untuk tujuan keilmuan itu sendiri (ilmu untuk ilmu), dan reformasi sosial

(ilmu untuk kemajuan dan peradaban). Bahkan dia mengatakan, barang siapa

belajar ilmu, kemudian dia tidak meyampaikan kepada orang lain yang

membutuhkan maka ia akan bersekutu dalam dosa orang-orang bodoh.

3. Prinsip-prinsip aktivitas Pendidikan Islam.

Pendidikan Islam yang lebih dikenal dengan pendidikan agama, bertujuan

menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri anak sehingga prinsip keIslaman akan

menyatu dan akhirnya menjadi jiwa dalam setiap perilaku anak. Namun usaha ini

bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini berkaitannya dengan adanya tantangan

yang dimaksud adalah bagaimana memahami simbol-simbol dalam pendidikan

Islam dan menangkap makna hakiki di baliknya dengan ilmu.

Hakikat pendidikan dan pengajaran dalam Islam menurut Nawawi

mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Pendidikan mencakup transfer of

knowledge, transfer of value, transfer of methodology, dan transformasi.

Pendidikan mencakup jasmani (praktik/amal), intelektual, mental/spiritual dan

berjalan sepanjang hidup dan integral.


78

Sifat-sifat pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam

termasuk Syekh Nawawi Al-Bantani sangat ketat. Hal ini karena peranan guru

dalam Islam tidak sekedar alih ilmu, nilai dan metode, tetapi juga transformasi

(membentuk kepribadian peserta didik). Di samping itu diyakini bahwa para

pendidik menempati ulama sebagai pewaris para nabi sehingga pendidik harus

dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya. Menurut Syekh Nawawi tujuan

memperoleh ilmu (tujuan pendidikan) ialah mardatillah dan memperoleh

kehidupan ukhrawiyah, memberantas kebodohan, memajukan Islam, melestarikan

Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta sebagai perwujudan dari rasa syukur

karena diberi akal dan tubuh yang sehat. Kewajiban bersyukur mencakup aspek

keilmuan (ranah kognitif), aspek rasa senang (ranah afektif), dan menggunakan

nikmat Tuhan sesuai dengan permintaan pemberi nikmat yakni Allah (ranah

psikomotor dan spiritual).

Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut memerlukan pemikiran

tentang muatan pendidikan Islam. Dari berbagai pernyataan Syekh Nawawi, hal

utama yang diberikan dalam proses pendidikan adalah masalah ilmu-ilmu

keagamaan yang wajib personal. Sedangkan yang paling utama dari kewajiban

personal itu ialah iman tauhid.

Kurikulum pendidikan Islam yang tidak didasarkan pada tauhid akan

melahirkan manusia yang serba tergantung kepada makhluk, dan akan melahirkan

manusia-manusia yang menyimpan tuhan-tuhan kecil selain Allah serta

melahirkan musyrik-musyrik kecil pula. Dalam kurikulum pendidikan Islam,

Syekh Nawawi menekankan ilmu muqaddimaatkarena ilmu-ilmu keagamaan itu


79

berbahasa Arab dan peserta didik berkewajiban mempelajarinya. Pada masa

sekarang ini bahasa sangat dipentingkan dalam kurikulum pendidikan Islam.

Bahkan kelemahan-kelemahan sekolah-sekolah keagamaan sekarang ini ialah

kelemahan penguasaan bahasa.

Menurut Syekh Nawawi, dilihat dari kepentingannya ilmu itu dibagi

menjadi dua; (a) ilmu Fardhu ‘aain yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh semua

orang muslim, meliputi ilmu agama; ilmu yang bersumber dari kitab suci Allah

dan Sunnah Rasullah SAW, dan (b) Ilmu Fardhu Kifayah yaitu ilmu yang bisa

dipelajari oleh setiap orang muslim. Ilmu ini meliputi ilmu yang dimanfaatkan

untuk memudahkan urusan hidup duniawi; misalnya ilmu Maatematika, ilmu

kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan ilmu industri. Maka dari itu, setelah

sesorang selesai mempelajari ilmu-ilmu fardu ‘ain, sebaiknya ia gunakan sisa

waktu yang ada untuk belajar ilmu-ilmu fardu kifayah.

4. Etika pendidik dan peserta didik

Pendidik di lembaga pendidikan sekolah disebut dengan guru, baaik guru

taman kanak-kanak, sekolah menengah, kyai di pondok pesantren, dan lain

sebagainya. Tugas guru tidak hanya menerima amanat orang tua untuk mendidik,

melainkan juga mau menerima dari setiap orang yang memerlukan bantuan untuk

mendidiknya.

Menurut Nawawi pendidik derajatnya disamakan dengan ulama’ yang

sangat dihargai kedudukannya oleh Allah SWT. Ia juga mengatakan Ulama’

adalah orang yang mempunyai ilmu dan mengamalkannya (guru), mereka menjadi
80

penerang bagi kehidupan manusia disetiap zamannya dan sesungguhnya amal

sedikit yang disertai dengan ilmu itu akan lebih bermanfaat dari pada amal banyak

dengan tanpa ilmu.

Sedangkan menurut al Ghazali guru adalah profesi yang terhormat yang

merupakan kepandaian yang tinggi tingkatnnya. Hal tersebut menurutnya

didasarkan dua dalil yaitu naqli dan aqli. Berdasarkan dalil naqli, pada suatu ada

dua majelis di masjid, majelis pertama adalah majelis do’a sedangkan majelis

kedua adalah majelis ilmi. Nabi lalu ikut bergabung dengan kelompok yang

kedua, dengan komentarnyaa terhadap dua mejelis, bahwa majelis pertama adalah

majelis do’a jika Allah mengabulkan, Allah memberi, dan jika Allah tidak

mengabulkannya, maka Allah akan menolaknya. Adapun terhadap majelis yang

kedua, nabi berkomentar bahwa majelis yang kedua adalah majelis tempat

mengajari manusi dan “sesungguhnya aku diutus untuk menjdi guru”.

Berdasarkan dalil aqli, bahwa nilai suatu kepandaian itu diukur menurut nilai

tempatnya.

Etika pendidik terhadap ilmu pengetahuan seperti yang dikutip

Maragustam dalam kitab al’Ilm wa adab al ‘alim wa al muta’alim di antaranya

adalah:

1) Bertujuan mengajarkan ilmunya semata-mata karena Allah.

2) Berakhlak terpuji sebagaimana disyariatkan oleh agama dan menganjurkannya

kepada peserta didiknya.

3) Berhati-hati terhadap sifat dengki, riya, ujub, dan menghina manusia.

4) Tidak memandang hina terhadap ilmu.


81

5) Menyajikan mata pelajaran secara jelas dimulai dari yang mudah, yang

konkrit yang dapat ditangkap oleh akal pikiran peserta didik, baru kemudian

secara bertahap dibawa kepada yang lebih sulit dan abstrak.

6) Dalam penyampaian materi, pendidik harus melihat keadaan peserta didiknya

terutama dalam hal kemampuan dan tipologinya.

7) Menggunakan metode mengajar sesuai dengan keadaan peserta didiknya.

8) Guru dalam menyampaikan materi tidak menambah pelajaran sebelum

pelajaran yang terdahulu dipahami peserta didiknya karena hal itu akan membuat

peserta didik menjadi malas.

Peserta didik sebagai makhluk educandum dan educandus menurut Syekh

Nawawi sangat memperhatikan lingkungan kebudayaan termasuk pendidikan dan

sosialnya. Kehidupan peserta didik berada dalam suatu kontrak sosial. Eksistensi

peserta didik berada dalam interdependensi baik secara sosial maupun lingkungan

kebudayaan. Pengaruh lingkungan luar terhadap peserta didik sangat signifikan.

Untuk itu Syekh Nawawi membuat etika peserta didik, agar lebih selektif dalam

memilih lingkungan sosial dan teman dalam pergaulan. Berhubungan dengan hal

itu maka para ahli pendidikan Muslim dituntut membentuk peserta didik

mempunyai peer group yang kondusif di tempat pembelajarannya, mengingat dari

sini ia akan banyak menyerap pelajaran dan mendapatkan rangsangan kognitif,

afektif, dan psikomotorik yang positif.

Sedangkan etika peserta didik terhadap ilmu menurut Syekh Nawawi di

antaranya:
82

1) Membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran dan dosa untuk menerima ilmu,

memeliharanya dan mendapatkan hasilnya.

2) Selalu mencari ridha gurunya sekalipun berbeda pendapat dengannya, tidak

boleh mengumpat atau memfitnahnya, dan tidak boleh mencari-cari kesalahannya

secara sembunyi-sembunyi.

3) Ia seharusnya tamak dalam belajar, disiplin dalam seluruh waktunya, malam,

siang, berada di tempat dan waktu musyafir.

4) Bersabar atas perilaku guru dan kejahatan akhlaknya.

5) Memperhatikan kesahehan pelajaran yang ia dapatkan secara benar dan

meyakinkan dari gurunya.

5. Metode pengajaran

Menurut Nawawi pendidik untuk memilih metode pengajaran yang tepat

dalam mendidik peserta didik harus disesuaikan dengan tuntutan agama, yaitu

seorang pendidik harus mengusahakan agar pelajaran yang diberikannya mudah

diterima. Pendekatan ini tidak cukup dengan bersikap lemah lembut saja, akan

tetapi pendidik harus pula mimikirkan metode pengajaran yang cocok digunakan

untuk peserta didik, seperti memilih waktu yang tepat, materi yang cocok,

pendekatan yang baik, efektifitas penggunaan metode dan sebagainya. Dia

menggambarkan ilmu syari’at itu dengan perahu, ilmu tariqah dengan laut, dan

ilmu haqiqah dengan mutiara. Mutiara itu tidak bisa diperoleh kecuali dilautan

dan peserta didik tidak bisa sampai di tengah laut tanpa menggunakan perahu.

Haqiqahnya ilmu seperti mutiara yanag berada dalam lautan dan fungsi pendidik
83

diibaratkan seperti perahu. Peserta didik tidak mungkin sampai bisa meraih

mutiara tersebut kecuali dengan menggunakan alat, yaitu perahu untuk

mengantarkan peserta didik agar sampai ditengah laut. Nawawi juga mengatakan

yang dikutip oleh yahya bahwa sebagian ulama’ menggambarkan tiga perkara

tersebut (syari’at, thariqah, haqiqah) dengan buah kelapa. Syariat itu seperti kulit

luar kelapa, thariqah santan, dan haqiqah itu seperti minyak dalam santan. Minyak

tidak dapat dihasilkan kecuali sesusah memeras santan dan santan tidak akan

ditemukan kecuali dengan membelah kulit kelapa.

Dari gambaraan di atas dapat disimpulkan bahwa intinya metode

ituberfungsi untuk mengantarkan peserta didik pada suatu tujuan kepada obyek

sasaran yang diingkan.

C. Implikasi Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi di Era Globalisasi

Dilihat dari berbagai ide-ide dasar Syekh Nawawi tentang pendidikan

Islam nampaknya tokoh ini dapat diklasifikasikan lebih berat kecenderungannya

pada Aliran Religius Konservatif, dibanding dengan aliran Religius Rasional dan

Aliran Pragmatis Instrumental. Syekh Nawawi dalam menggambarkan ide-ide

dasar pendidikan, kecenderungan nuansa agamisnya lebih dominan sehingga

aspek lain menjadi kurang dominan. Penafsiran realitas berpangkal pada agama,

maka pendidikan pun dijadikannya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-

tujuan keagamaan.

Sebagai implikasi dari pandangan Syekh Nawawi tersebut tentu terdapat

dampak positif edukatif dan juga terdapat dampak negatif edukatifnya. Dampak
84

edukatif positifnya adalah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam

pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral.

Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan

menilainya sebagai wujud tanggung jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas

mengajar dan belajar tidak sekadar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan tugas-

tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan kewajiban

agama. Tanggung jawab dan kewajiban agama sebagai titik sentral baik dalam

kontruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Atau dengan kata

lain jika tuntutan tidak sejalan dengan tuntutan keagamaan, maka yang harus

didahulukan ialah tuntutan keagamaan.

Menurut Ridha yang dikutip oleh Maragustam, bahwa aliran religius

konservatif ini membawa implikasi pendidikan yang negatif. Kata al-’ilm dalam

al-Qur’an dan hadits bersifat mutlak tanpa batas menjadi

bersifat muqayyad (terbatas) pada ilmu tentang Tuhan menurut sebagian besar ahli

pemdidik muslim saat itu; adanya kecenderungan pendakian spiritual yang

mendorong pemikiran pendidikan Islam konservatif ke arah pengabaian urusan

dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh

dinikmati dan bisa dikerjakan; dan keterpakuan para ahli pendidikan muslim pada

anggapan ilmu sebagai tujuan akhir. Oleh karena pengabaian urusan dunia, maka

ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan dikuasai oleh non muslim. Padahal penguasaan

dunia sebagai sarana pendakian kebahagiaan di akhirat.

Ide-ide Syekh Nawawi tentang etika pendidik dan peserta didik dan etika

bersama terdapat implikasi bahwa tokoh ini melihat peserta didik masih
85

memerlukan tuntunan dan bimbingan. Peserta didik belum bisa lepas dari

pendidik, ia tetap dalam bimbingan dan pengawasan pendidik. Peserta didik

merupakan orang yang belum dewasa, namun memiliki potensi yang luar biasa.

Untuk itu pendidik berperan besar untuk mengaktualisasikannya. Menurut

Abdullah yang dikutip oleh Maragustam, sangat boleh jadi implikasi dan

konsekuensi etika ini sangat besar pengaruhnya dalam menumpulkan daya

kreativitas, etos kerja, dan etos ilmu secara bersama-sama. Paling tidak manusia

tidak bisa lagi otonom dihadapan sang guru/pendidik. Setiap tindakan harus

dikonsultasikan kepada sang guru.

Dari berbagai keterangan Syekh Nawawi tentang kurikulum pengajaran,

terdapat implikasi bahwa memandang pengetahuan itu berdasarkan dari sudut

pandang aplikatif dari norma-norma agama bukan dari sudut substansi ilmu

tersebut. Dengan kata lain dasar atau hal yang esensial didahulukan kemudian

disusul dengan materi lain. Mendahulukan matan kitab dari pada syarh dalam

pendidikan. Mendahulukan kewajiban personal kemudian disusul dengan

kewajiban komunal dan sunnah komunal.

Ide-ide sentral pendidikan yang digagasnya tetap relevan untuk di

aktulalisasikan dalam masyarakat Indonesia yang religius dan mutimulkural.

Diantaranya prinsip-prinsip pendidikan yang mengacu pada aktualisasi

teoantroposentrisme. Sifat dasar manusia dan proses dasar perkembangannya

ialah fitrah tauhid-dualis-interaktif berpengaruh dalam proses pemebelajaran.

Dana pendidikan yang dibebankan kepada orang-orang mampu di kalangan umat


86

Islam termasuk prinsip yang dapat direfleksikan dalam dunia pendidikan sekarang

ini.

11. Syekh Kholil Al - Bangkalan

Syekh Kholil al-Bangkalani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul

Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif

adalah Kiai Hamim, putra dari Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiai

Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman Basyeiban. Sayyid

Sulaiman inilah yang merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati dari pihak ibu.[4]

Pada usia 24 tahun, Syekh Kholil menikahi Nyai Asyik, putri Lodra Putih.

Syekh Kholil dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya. Mbah Kholil kecil

memiliki keistimewaan yang haus akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu.

Bahkan ia sudah hafal dengan baik 1002 bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik sejak

usia muda.

Setelah dididik, orang tua Mbah Kholil kecil kemudian mengirimnya ke berbagai

pesantren untuk menimba ilmu. Mengawali pengembaraannya, Mbah Kholil muda

belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa

Timur. Dari Langitan ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan.

Kemudian ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren

ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Pondok Pesantren

Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi

ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surat Yasin.


87

Sewaktu menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti

Matan Alfiyah Ibnu Malik. Disamping itu ia juga merupakan seorang Hafidz Al-

Quran dan mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira'at Sab'ah.

Saat usianya mencapai 24 tahun setelah menikah, Mbah Kholil memutuskan

untuk pergi ke Makkah. Utuk ongkos pelayaran bisa ia tutupi dari hasil

tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama

pelayaran, konon Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukannya bukan dalam

rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah

agar perjalanannya selamat.

Karya-karyanya :

1. Al-Matnus Syarif

Sesuai namanya, kitab Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif ini

merupakan kitab matan (inti) yang berbicara mengenai fundamen dasar

hukum Islam (ilmu fiqih). Yang menarik dari kitab setebal 52 halaman ini, adalah

bukan hanya karena kemasyhuran penulisnya, melainkan kitab ini telah

menampilkan landscape keilmuan yang selama ini terkesan rumit, menjadi

demikian lugas dan mudah difahami.

Syekh Kholil pernah berguru kepada beberapa ulama, di antaranya :

1. K.H. Abdul Lathif (Ayahnya)

2. K.H. Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban

3. K.H. Nur Hasan di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan

4. Syekh Nawawi al-Bantani di Mekkah


88

5. Syekh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi

6. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan di Mekkah

7. Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki di Mekkah

8. Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani di Makkah

Berikut merupakan murid-murid dari Syekh Kholil :

1. K.H. Muhammad Hasan Sepuh - pendiri Pesantren Zainul Hasan

Genggong, Probolinggo

2. K.H. Hasyim Asy’ari - pendiri Nahdlatul 'Ulama, pendiri Pondok

Pesantren Tebuireng, Jombang

3. K.H. Abdul Wahab Hasbullah - pengasuh Pondok Pesantren Tambak

Beras, Jombang

4. K.H. Bisri Syansuri - pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang

5. K.H. Manaf Abdul Karim - pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri

6. K.H. Ma'sum - Lasem, Rembang

7. K.H. Munawir - pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir

Krapyak, Yogyakarta

8. K.H. Bisri Mustofa - pendiri Pondok Pesantren Raudlatut

Thalibin, Rembang

9. K.H. Nawawi - pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan

10. K.H. Ahmad Shiddiq - pengasuh Pondok Pesantren Ash-

Shiddiqiyah, Jember
89

11. K.H. As'ad Syamsul Arifin - pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah

Syafi'iyah, Asembagus, Situbondo

12. K.H. Abdul Majjid - Batabata, Pamekasan

13. K.H. Toha - pendiri Pondok Pesantren Batabata, Pamekasan

14. K.H. Abi Sujak - pendiri Pondok Pesantren Astatinggi, Kebunagung,

Sumenep

15. K.H. Usymuni - pendiri Pondok Pesantren Pandian, Sumenep

16. K.H. Zaini Mun'im - Paiton, Probolinggo

17. K.H. Khozin - Buduran, Sidoarjo

18. K.H. Abdullah Mubarok - pendiri Pondok Pesantren

Suryalaya, Tasikmalaya

19. K.H. Mustofa - pendiri Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan

20. K.H. Asy'ari - pendiri Pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari,

Bondowoso

21. K.H. Sayyid Ali Bafaqih - pendiri Pondok Pesantren Loloan Barat, Bali

22. K.H. Ali Wafa - Tempurejo, Jember

23. K.H. Munajad - Kertosono, Nganjuk

24. K.H. Abdul Fatah - pendiri Pondok Pesantren Al-Fattah, Tulungagung

25. K.H. Zainul Abidin - Kraksaan, Probolinggo

26. K.H. Zainuddin - Nganjuk

27. K.H. Abdul Hadi - Lamongan

28. K.H. Zainur Rasyid - Kironggo, Bondowoso

29. K.H. Karimullah - pendiri Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso


90

30. K.H. Muhammad Thohir Jamaluddin - pendiri Pondok Pesantren Sumber

Gayam, Madura

31. K.H. Hasan Mustofa - Garut

32. K.H. Raden Fakih Maskumambang - Gresik

33. Ir. Soekarno - Presiden Republik Indonesia pertama, menurut penuturan

K.H. As'ad Samsul Arifin, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid

Syekh Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Syekh Kholil

memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunya.

12. K.H. Abdurahman wahid ( Gusdur )

Konsep pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam

1. Pengertian dan Konsep Pendidikan Islam

Pendidikan Islam merupakan sistem yang diselenggarakan atau didirikan dengan

hasrat dan niat dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya. Tujuan

dikembangkannya Islam adalah untuk mendidik budi pekerti. Oleh karenanya,

pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam yang

menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Konsep dan gagasan K.H Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam secara

jelas terlihat pada gagasannya tentnag pembaruan pesantren. Menurutnya, semua

aspek pendidikan pesantren, mulai dai visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen

dan kepemimpinannya harus diperbaiki dan disesuaikan dengan perkembangan

zaman era globalisasi. Meski demikian, menurut Gus Dur, pesantren juga harus
91

mempertahankan identitas dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam

arti tidak larut sepenuhnya dengan modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang

dipandang manfaat positif untuk perkembangan.

Gus Dur pada sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya

mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat,

Terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan

fleksibelitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja

dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial budaya, bahkan politik

dan ideologi negara, sekalipun.

Konsep pendidikan Gus Dur ini adalah konsep pendidikan yang didasarkan pada

keyakinan religius dan bertujuan untuk membimbing atau menghantarkan peserta

didik menjadi manusia yang utuh, mandiri dan bebas dari belenggu penindasan.

Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara

pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh

pemikiran Barat modern. Sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam

konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Artinya, sistem pendidikan

Islam merupakan sebuah perpaduan antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran

Barat modern, dengan tidak melupakam esensi ajaran Islam.

2. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang

mutlak adanya. Hal itu karena pendidikan Islam adalah wahana untuk

pemerdekaan dan pembebasan manusia untuk menemukan jati diri yang


92

sesungguhnya, sehingga akan tampak karakteristik dari pola-pola yang

dikembangkan oleh pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam secara filosofis

bertujuan sesuai dengan hakikat pencitaan manusia, yaitu untuk menjadi hamba

dan mengabdi kepada Allah Swt.

Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan

manusia menuju aktif (pendewasaan), baik secara akal, mental, maupun moral,

untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba

dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan

demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri

peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.

3. Kurikulum Pembelajaran

Sistem pembelajaran yang diharapkan menjadi tawaran pemikiran alternatif dan

inovatif tidak harus bersifat doktrinal yang kadang kala tidak sesuai dengan

potensi peserta didik, sehingga akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap

problem yang dihadapi. Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H. Abdurrahman

Wahid, diantaranya:

1. Orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan

psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan

karakter peserta didik pembekalan ketrampilan, agar setelah lulus mereka tidak

mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekedar

mengandalkan aspek-aspek kognitif (pengetahuan).


93

2. Dalam proses mengajar, guru harus mengembangkan pola student oriented

sehingga membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan

inovatif pada diri peserta didik.

3. Guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya.

Tidak hanya mereduksi batas pengajaran saja. artinya, proses pembelajaran

peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan

siswa bukan hanya transfer of knowledge, melainkan pembelajaran harus

mengikuti transfer of value and skill dan pembentukan karakter (character

building).

Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan Islam perspektif Gus Dur, haruslah sesuai

dengan kondisi zaman, bahwa pendekatan yang harus dilakukan bersifat

demokratis dan dialogis antara murid dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri,

pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu

bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut

diharmonisasikan dengan konteks zaman yang ada disekitarnya.

4. Metode pembelajaran

Salah satu metode pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur, yaitu pendidikan

Islam haruslah beragam, mengingat penduduk bangsa Indonesia yang majemuk

secara geografis. Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur haruslah

mempunyai metode yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan-

kepentingan rakyat Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam.

Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran di

pesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan
94

juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem

pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak

didik.

5. Konsep pendidik

Menurut Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik

dan corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern. Guru

juga harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya.

6. Konsep peserta didik

Peserta didik dituntut untuk selalu berfikir kritis terhadap problem yang terjadi

disekitarnya dan selalu bertanya tentang berbagai hal sepanjang hayatnya guna

menghadapi suatu problem yang dihadapi. Selain itu, peserta didik juga

diharapkan dapat mengikuti pembelajaran secara aktif dan kreatif, karena

penekanan Gus Dur pada proses pendidikan adalah pada aspek afektif dan

psikomotorik.

7. Evaluasi Pembelajaran

Gus dur menilai, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan

yang berorientasi proses (process oriented) yaitu, proses lebih penting daripada

hasil. Pendidikan harus berjalan diatas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh

karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas),

seperti mengejar gelar atau title dikalangan praktisi pendidikan dan pendidik.
95

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian masing – masing tokoh pendidikan sejumlah

sepuluh orang yang tersebut di muka, maka bisa diambil

kesimpulan bahwa :

1. Peranan tokoh nusantara dalam Pendidikan Islam di Indonesia

yakni mengedepankan nilai ilmu dan perjuangan yang

dibuktikan dengan adanya embrio lembaga pendidikan,

manajemen pendidikan, metode pendidikan, menghasilkan

karya-karya yang bernilai tinggi serta mengadakan pembaharuan

– pembaharuan di sepanjang masa.

2. Para tokoh pendidikan di nusantara gigih mengembangkan

keilmuannya dengan cara belajar kepada sejumlah guru baik

dalam maupun luar Indonesia, senantiasa menulis tentang

keilmuan, mempelajari banyak keilmuan dalam rangka untuk

menghasilkan karya yang bermutu sesuai perkembangan, dan

menghargai serta menghormati adanya perbedaan .


96

3. Langkah para tokoh pendidikan yang efektif bisa kita contoh

dengan cara kita selalu membuka diri terhadap perkembngan

ilmu, mengamalkan ilmu, dan mengutamakan toleransi

keilmuan.

B. Saran

Makalah yang ditulis ini masih merupakan bagian terkecil

dari biografi para tokoh , hal ini tentunya jauh dari kesempurnaan.

Maka dari itu penulis membuka diri untuk senantiasa menerima

kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan makalah

mendatang.
97

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1994. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan


Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.


http://sharingmahasiswa.blogspot.co.id/2013/08/tokoh-pembaharuan-islam-di-
indonesia.html

https://www.biografiku.com/2012/10/biografi-kh-hasyim-ashari-pendiri.html
http://muhammadiyahstudies.blogspot.co.id/2009/12/biografi-singkat-1869-1923-
kh-ahmad.html

Abdullah Mardad Abu al-Khair.1986.Al Mukhtasar Min Kitab Nasyr al Nur wa


al-Zahr Fi Tarajum Affadhil Makkah.(Jeddah:Alam al-Ma’rifah).

Kahalah,Umar Ridha.1993. Mu’jam al-Muallifin Tarajum Mushannifi al-Kutub al


Arabiyah.(Beirut:Muassasah ar-Risalah).

Abu Bakar bin Ahmad bin Husein bin Muhammad bin Husein.1997. Al Dalil al
Musyir. (Makkah:al-Maktabah al-Makiyah).
98

Abdullah bin Abdurrahman al-Mu’allimi.2000.’Alam al-Makkiyin Min Qorn at-


Tasi’lla al-Qorn al Robi’ Asyar al Hijri. (Makkah: Muassasah al Furqon
Li at Turast al-Islami).

Mahmudz, Muhammad at Tarmasi.2011.Hasyiah at Tarmasi (Jeddah:Dar


alMinhaj)

Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles: Pelacakan logika Aristoteles


dalam Qiyas Ushul Fiqih,(Yogyakarta:Safiria,2004)

Muhammad Roy Purwanto.”Akulturasi Budaya Islam dan Jawa pada Tradisi


Ruwatan di Kalangan Muslim Yogyakarta.”dalam jurnal Istiqro,
vol.7,(2018)

Anda mungkin juga menyukai