Anda di halaman 1dari 11

KETELADANAN PARA WALI ALLAH :

1.Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) Mengajarkan semangat berdakwah kepada rakyat
jelata dan mengajarkan keterampilan hidup (bercocok tanam)

2.Sunan Ampel (Raden Rahmat) mengajarkan Islam sebagai ajaran pekerti yang mulia
falsafah MOH LiMO

3.Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) mengajarkan sikap bijak dalam berdakwah denagn ikut
berkesenian bersama rakyat

4.Suanab Derajat memberikan keteladanan sikap2 terpuji dalam berdakwah.selain itu, Beliau
juga ikut berkesenian bersama rakyat

5.Sunan Kudus selain berdakwah, juga memperhatikan penggunaan teknologi (arsitektur)


yang ada, termasuk membangun Mesjid Menara Kudus

6.Sunan Giri mengajarkan semangat dakwah nya yang tinggi selain itu Beliau juga
menciptakan tembang islami untuk dolanan anak2

7.Sunan Kalijaga berdakwah menggunakan kesenian dan kebudayaan rakyat setempat, yaitu
melalui wayang kulit dan tembang suluk

8.Sunan Muria (Raden Umar said) juga menggunakan kesenian dan wayang sebagai sarana
berdakwah

9.Sunan Gunung jati (Syarif Hidayatullah) memberikan keteladanan yang baik dalam
bekerja.ia juga sering bermusyawarah dengan orang lain.
MENGANALISIS BIOGRAFI KEILMUAN ABDULLAH ABU SINGKIR

Nama lengkapnya ‘Abdur- Rauf bin ‘Ali Al Jawi Al Fansuri As Singkili atau sering kali
disebut Abdur Ra’uf As Singkel. Dia lahir pada 1024 Hijriyah atau 1615 Masehi di Singkil,
Aceh.

Ayahnya adalah Syaikh Ali Fansuri yang memiliki hubungan saudara dengan Hamzah
Fansuri, penyair dan ulama sufi ternama Melayu. Sang ayah pun merupakan ulama ternama
Aceh. Dari sang ayah lah, pendidikan agama As Singkel bermula.

As Singkel kemudian belajar ke Barus atau Fansur, sebuah kawasan di Sumatra Utara yang
menjadi pusat pembelajaran Islam bangsa Melayu dan Asia kala itu. Baru kemudian, pada
usia remaja ia menuntut ilmu di Banda Aceh. Beberapa sejarawan juga menyebut Syekh
sempat menjadi murid dari Hamzah Fansuri.

Di usia menginjak dewasa, As Singkel pergi m e n u n t u t ilmu ke Timur Tengah. Dari


Doha, k e m u d i a n ke Yaman, Jeddah, kemudian menetap lebih lama di Makkah dan
Madinah. Disebut kan, ia berguru pada 19 ulama di berbagai bidang ilmu agama ditambah
lagi 27 ulama yang berhubungan akrab dengannya.

Salah satu gurunya, yakni Ahmad Kusyasyi yang mengajarkan As Singkel mempelajari ilmu
tasawuf. Guru tersebut wafat saat As Singkel masih belajar padanya. Hingga kemudian,
Kusyasyi digantikan muridnya, Mula Ibrahim Kurani. Dari murid Kusyasyi inilah As Singkel
mendapat izin untuk mengajar dan mendirikan sekolah Islam di Aceh. Setelah 19 tahun
belajar di Haramain, ditambah mengantongi banyak izin dari ulama, As Singkel pun pulang
ke Aceh dan mulai mengajar.

Sejak 1661, As Singkel mengajar di Aceh. Muridnya luar biasa banyak jumlahnya, tak hanya
dari Melayu, tapi juga dari seluruh nusantara. Laman Melayu Online menggambarkan sosok
As Singkel sebagai mualim yang menaruh perhatian besar pada murid-muridnya. Setiap
karyanya selalu bertolak dari perhatiannya pada mereka. Dia sangat perhatian agar para
muridnya mendapat pemahaman Islam yang baik, teguh kesalihan, dan terhindar dari
kesalahan.
Tak lama setelah pulang dari Haramain, As-Singkel diangkat sebagai mufti atau qadi oleh
Sultan Aceh kala itu. Ia juga diangkat menjadi ulama besar bergelar Syekh Jamiah Ar
Rahman. Ia pun kemudian sibuk mengajar dan menjadi hakim Kesultanan Aceh. Sekitar 30
tahun, As Singkel bergelut dibidang tersebut, mengajar dan menjadi hakim.

Selama hidupnya, syekh sangat produktif menghasilkan karya. Salah satu karya
fenomenalnya, yakni di bidang tafsir. Tarjuman Al Mustafid merupakan karya tafsirnya yang
pertama di nusantara. Hingga kini, karya tersebut masih dapat ditemui. Tafsir tersebut juga
tak hanya dicetak dan diterbitkan di nusantara, melainkan juga di Istanbul Turki; Singapura;
Penang, Malaysia; Bombay, India; Afrika Selatan, serta kawasan Timur Tengah, seperti
Kairo dan Makkah.

Selain tafsir, masih banyak karyanya yang terkenal. Sedikitnya, 22 karya dia hasilkan di
bidang fikih, hadis, tauhid, hingga tasawuf. Tak hanya dalam bahasa Melayu, dia juga
menghasilkan karya dalam bahasa Arab. Di antara karyanya, selain tafsir, yakni Syarh
(penjelasan) Hadits Arba’in Imam An-Nawawi. Dia menulisnya atas permintaan Sultanah
Zakiyyatuddin. Kemudian, di bidang fikih, Mir’at al- Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat
al-Ahkam al-Syar’iyyah li Malik al- Wahhab yang ditulis atas permintaan Sultanah
Safiyatuddin. Selain itu, terdapat Mawa’iz Al Badi yang berisi nasihat tentang akhlak
Muslimin.

Kemudian, Daqaiq Al Hurf mengenai pengajaran tasawuf dan teologi serta Kifayat al-
Muhtajin ila Masyrah al- Muwahhidin al-Qailin bi Wahdatil Wujud berisi konsep wihdatul
wujud. Setelah kiprah yang banyak ia torehkan untuk perkembangan Is lam di nusantara, As
Singkel meng hembuskan napas terakhir di usia 73 tahun. Dia meninggal di Kuala Aceh pada
110 Hijriyah atau 1693 Masehi.
BIOGRAFI SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
KALIMANTAN SELATAN

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) merupakan seorang dai yang


termasyhur dari daerah tersebut.

Dia lahir pada awal abad ke-18 di wilayah yang sekarang bernama Martapura. Gelar di
belakang namanya menunjukkan daerah asal sang syekh, yakni Kesultanan Banjar.

Zaid Ahmad dalam The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy (2015) menuturkan


riwayat ulama besar ini. Masa kecil Muhammad Arsyad diisi dengan pendidikan agama
Islam dari keluarganya.

Mereka termasuk kalangan Alawiyyin yang silsilahnya merujuk hingga Rasulullah SAW.
Selain mengaji Alquran, Arsyad juga terkenal pandai membuat kaligrafi. Suatu hari, Sultan
Tahlilullah takjub akan lukisan-lukisan karyanya. Penguasa Banjar ini kemudian meminta
Arsyad untuk mengabdi pada istana. Saat itu, usianya belum genap tujuh tahun.

Kesultanan Banjar menjadi patron baginya menuntut ilmu dan berkesenian. Kala berusia 30
tahun, Arsyad menikah dengan Bajut, seorang perempuan lokal. Pasangan muda ini
dikaruniai seorang anak perempuan.

Sementara itu, keinginan Arsyad kian besar untuk belajar ke Tanah Suci. Sang istri pun
mendukungnya. Pihak istana kemudian membiayai Arsyad untuk naik haji pada 1739. Dia
memanfaatkan kesempatan ini tidak semata-mata melaksanakan rukun Islam kelima.

Usai berhaji, Arsyad bermukim 30 tahun lamanya di Haramain untuk menuntut ilmu.
Di Masjid al-Haram, dia belajar pada sejumlah guru besar. Mereka antara lain, Syekh Ahmad
bin Abdul Mun'im ad-Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az-Zabidi,
dan Syekh Hasan bin Ahmad al-Yamani.

Kemudian, Syekh Salim bin Abdullah al-Bashri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, dan Syekh
Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawy. Ada pula Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syekh
Abis as-Sandy, Syekh Abdul Wahab at-Thantawy, dan Syekh Abdullah Mirghani.
Biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Kalimantan Selatan

Biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari © Nama Syekh Muhammad Arsyad al-


Banjari hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski
putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812
M silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan.
Karya-karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak
mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia
menjulukinya sebagai Matahari Islam Nusantara. Matahari itu terus memberikan
pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan
Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung
halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam
pesantren) bernama Dalam Pagar.
Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret
Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka,
Jakarta. Mulanya lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar
pemberian Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad al-
Banjari menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat
rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri.

Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok
daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah
diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana
belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah
Islam di Kalimatan masa itu.

Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat
keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama
beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif
dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad
juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil.
Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini
menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.

Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode.
Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni
keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik dan tutur kata sehari-hari
yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan
pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan
pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat,
sahabat maupun handai taulan, sedangkan metode bil kitabah menggunakan bakatnya di
bidang tulis menulis.

Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah
yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad tutup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun.
Karya-karyanya antara lain, Sabil al-Muhtadin, Tuhfat ar-Raghibiin, al-Qaul al-Mukhtashar,
disamping kitab ushuluddin, tasawuf, nikah, faraidh dan kitab Hasyiyah Fath al-Jawad.
Karyanya paling monumental adalah kitab Sabil al-Muhtadin yang kemasyhurannya tidak
sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei dan
Pattani (Thailand Selatan).

Anak Cerdas dari Lok Gabang


Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-
kampung yang ada di wilayahnya. Tiba di Kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat
lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad
Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil
itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.

Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak
sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun
menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan
keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan,
Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.

Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang salehah. Ketika
Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di
Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan
berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.

Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama
besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M.

Memperdalam Ilmu Agama


Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh
Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan
al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Hasani al-Madani.
Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu qiraat. Ia
bahkan mengarang kitab qiraat 14 yang bersumber dari Imam asy-Syatibi. Uniknya, setiap
juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.

Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari belajar bersama tiga ulama Indonesia lainnya: Syekh Abdus Shomad al-Palembani
(Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman Mesri (Betawi). Mereka
berempat dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah Jawi yang sama-sama menuntut ilmu
di al-Haramain asy-Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi
menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung
halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia
menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut
kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat
Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.

Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di
Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tahmidullah, menyambut
kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai
seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan
Banjar.

Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam
bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk
sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan
mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah.

Lebih dari 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya,
sebelum maut menjemputnya. Beliau meninggal pada tahun 1812 M dalam usia 105 tahun.
Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai
dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak
bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan
Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km
dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan (panggilan lain anak cerdas kelahiran
Lok Gabang) ini dikebumikan.

Kitab Sabil Al-Muhtadin


Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya
kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa
Arab.

Kitab-kitab yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia
cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal Timur Tengah,
ulama Nusantara maupun para ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi tentang
keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.
Dari berbagai kitab fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li at-
Tafaqquh fi Amr ad-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih
alim dalam urusan agama).

Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam
bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad
mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab
Nihayah al-Muhtaj karya Imam ar-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Imam Zakaria al-
Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib asy-Syarbini, kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Syekh
Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Mir’atu ath-Thullab oleh Syekh Abdurrauf as-Sinkili dan kitab
Shirath al-Mustaqim karya Syekh Nurruddin ar-Raniri.

Selain itu, ada alasan utama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini.
Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar
(Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat
Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah
satunya adalah kitab Shirath al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin ar-Raniri.

Kitab Shirath al-Mustaqim ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa
bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar
untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-
Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar.

Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari


menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah
dan diselesaikan pada 1195/1781 M.

Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan madzhab Syafi’i
dan telah diterbitkan oleh Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini
terdiri atas dua jilid.

Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah-
masalah fikih, antara lain ibadah shalat, zakat, puasa dan haji. Kitab ini lebih banyak
menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu,
kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di
wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu.

Fikih Kontekstual
Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan
Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul “Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil
al-Muhtadin” menyatakan: “Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali
pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang.
Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau
tentang zakat.”

Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat
(mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat
progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu. Syekh Arsyad al-Banjari
menyatakan: “Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin maupun
pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan
orang hidup. Misalnya, umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu
sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan
zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.”

Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk
masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang disebutkan
di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yang
sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara
umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan
diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada
mustahik yang lain. Inilah tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan
tidak bisa berdagang.

Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah
melampaui zamannya. “Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan
umum (mashlahat al-‘ammah), dimana zakat tidak sekedar dimaknai sebagai pemberian
karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak
hanya terputar di kalangan orang kaya semata”, ujar Kailani.

“Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi
keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat
lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di
Eropa, dimana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yang belum memperoleh
pekerjaan layak”, tambahnya.

Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-
Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Masudi mengenai zakat yang
ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh
Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi
kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer.

Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di
Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh ulama-
ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang terlontar
melampaui zamannya.

Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi
umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya,
seperti Brunei Darussalam, Malaysia hingga Thailand.

“Sudah saatnya kita membuang sikap apriori terhadap tradisi klasik, terutama karya-karya
ulama Nusantara sebagai ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan problem kekinian. Dari
contoh gagasan Syekh Arsyad di atas, menyadarkan kita betapa banyak kekayaan gagasan
Islam Nusantara yang bisa dikembangkan kembali untuk konteks keindonesiaan sekarang”,
kata Kailani.
Hal ini sejalan dengan gagasan dan pemikiran yang dilakukan oleh Departemen Agama yang
kini tengah mentahqiq karya-karya ulama Nusantara. Tujuannya, agar umat Islam Indonesia
mengenal dengan baik ulama-ulama Nusantara dan karya-karyanya.
MENYIMPULKAN SEJARAH BERDIRINYA DINASTI BANI ABBASIYAH

Daulah Bani Abassiyah berdiri setelah berhasil mengalahkan Banu Umayah pada
pemberontakan Abassiyah tahun 750 M.

Pemberontakan ini disebabkan oleh diskriminasi orang non-Arab oleh Bani Umayyah dan
hancurnya wibawa Bani Umayyah setelah perang saudara sesama Bani Umayyah antara
Marwan II bin Muhammad dengan Ibrahim bin Walid

Pendiri Daulah Banu Abassiyah adalah Abul Abbas As-Saffah (khalifah pertama), Abu Jafar
Al-Mansur (saudara As-Saffah dan khalifah kedua), yang dibantu oleh Abu Muslim Al-
Khurasani (panglima peran asal Iran)

Pada tahun 740an, kekhalifahan Bani Umayah mengalami krisis yang sangat serius. Pada
masa ini khalifah Walid II bin Yazid yang dikenal suka berfoya-foya ditumbangkan oleh
saudara sepupunya, Yazid III bin Walid. Namun Yazid III kemudian meninggal tak lama
setelahnya karena sakit. Saudara Yazid III, Ibrahim bin Walid menggantikannya, namun dia
ditumbangkan oleh kerabatnya, Marwan II bin Muhammad.

Perang saudara antara sesama Bani Umayyah ini menghancurkan wibawa Bani Umayah.
Akibatnya banyak pemberontakan muncul di berbagai provinsi.

Faktor lain penyebab munculnya pemberontakan ini adalah diskriminasi terhadap kamu
Mawali. Mawali adalah golongan pada masa dinasti Umayyah yang terdiri dari orang-orang
non-Arab yang baru masuk Islam.

Diskriminasi pada masa dinasti Umayyah yang dialami mawali antara lain adalah tidak bisa
memegang jabatan tinggi, dipandang rendah secara sosial dan harus membayar jizyah meski
sudah Islam. Kekecewaan mereka ini merupakan salah satu faktor mereka mendukung
pemberontakan Bani Abassiyah.

Daulah Bani Umayyah juga melemah akibat perseteruan antara kelompok Yaman (suku-suku
Arab Selatan) melawan kelompok Qays (suku-suku Arab utara), memperebutkan kekuasaan
dan pengaruh di pemerintahan khalifah.

Pemberontakan Abassiyah pertama diluncurkan oleh pemimpin Bani Abbasiyah, Abu Abbas
al Shafah, saudaranya Abu Jafar al Mansur dan panglima perang keturunan Iran,  Abu
Muslim al Khurasani.

Pemberontakan ini berhasil mengalahkan pasukan Umayyah di pertempuran sungai Zab, pada
16 Januari 750.

Setelah menang, Bani Abassiyah menggantikan Bani Umayyah. Abu Jafar Al Mansur
menjadi khalifah kedua setelah meninggalnya Al Saffah, dan kemudian memindahkan
ibukota ke kota Baghdad.

Anda mungkin juga menyukai