Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Pada sejarah tasawuf, perkembangan tasawuf melalui tiga tahapan. Periode


pertama, periode pembentukan dengan menonjolkan gerakan-gerakan zuhud sebagai
fenomena sosial. Periode kedua, pada abad ketiga dan keempat hijriah tasawuf kembali
menjalani babak baru, pada periode ini tasawuf mulai menemukan identitasnya. Tasawuf
mulai berkembang dan menjadi satu disiplin ilmu yang berbeda dengan fikih, tafsir,
hadis, dan kalam. Pada periode ini selain berbincang seputar akhlak dan mereka, mereka
mulai ramai membahas tentang hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antara
keduanya. Periode ketiga, pada abad keenam dan ketujuh hijriah tasawuf kembali
menemukan suatu bentuk pengalaman baru. Persentuhan tasawuf dengan filsafat berhasil
mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan istilah teosofi.1

Apabila diteliti secara jujur, maka kita akan berkesimpulan bahwa pada tahun-
tahun pertama masuknya Islam ke Nusantara, yang terbesar sekali jasanya adalah
golongan sufi, bukan golongan lainnya. Para penduduk bersedia menukar
kepercayaannya dari animisme, dinamisme, hinduisme, ataupun budhaisme kepada Islam
karena tertarik dari cara, metode atau ajaran yang dibawakan oleh kaum sufi, sufi
merupakan orang yang ahli dan mengamalkan ajaran tasawuf.

Seiring berkembangnya waktu, ajaran Islam menyebar ke seluruh pelosok daerah


di Nusantara, sarana-sarana pendidikan dibangun, seperti sekolah, pesantren, maupun
majelis taklim untuk masyarakat umum. Santri-santri yang berprestasipun dianjurkan
untuk melanjutkan pendidikannya ke Mekkah dan Madinah yang merupakan pusat
keilmuan Islam.

Pada abad ke-18 ada seorang ulami Jawi yang berasal dari daerah Palembang,
yang terkenal sebagai penerjemah al-Ghazali di Nusantara, beliau bernama Syekh Abdul
Shamad al-Palimbani. Menurut Azra Syekh Abdus Shamad adalah penafsir paling
berwibawa dan kreatif dalam tasawuf al-Ghazali; para penuntut ilmu di Haramayn di
nilai belum sempurna ilmunya jika belum belajar pada Syekh Abdus Shamad. Pada
makalah ini akan dibahas mengenai biografi Syekh Abdus Shamad al-Palimbani,

1
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Ilmu Tasawuf (Yogyakarta: KALIMEDIA, 2016), h. 29-30.
perjalanan karir atau periode intelektualnya, karya-karyanya serta ajaran atau
pemikirannya.

A. Biografi Syaikh ‘Abd as-Shamad al-Palimbani

Syaikh ‘Abd as-Shamad lahir pada tahun 1150 H bertepatan dengan 1737 M,
nama ayahnya Abdurrahman dan ibunya Masayu Syarifah seorang perempuan dari
lingkungan keraton (bangsawan) Palembang. Dari garis ayah beliau merupakan cucu dari
Syaikh Abdul Jalil al-Mahdani yang merupakan Mufti Kedah pada tahun 1710-1782 M,
asal Sanaa Yaman. Syaikh Abdul Jalil menikah dengan Raden Ranti anak ke-15 dari
Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya sendiri adalah anak laki-laki tertua dari Sultan
Muhammad Manshur, Sultan Palembang yang kedua (memerintah 1706-1714 M). Jadi,
dari jalur nenek perempuannya (Raden Ranti), Abdus Shamad adalah bagian dari kerabat
utama Keraton Palembang yang mempunyai garis nasab ke atas yang terhubung lurus
dengan Sultan.2

Syaikh Abdus Shamad menjalani masa kecilnya pada saat Kesultanan Palembang
berada di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1727-1756 M). Ini adalah
masa ketika Palembang dicatat telah berkembang menjadi pusat belajar Islam yang
penting di wilayah Melayu-Nusantara, yang mampu menarik ulama-ulama dari Jazirah
Arabia untuk datang, bermukim, mengajar, dan melakukan aktivitas keilmuan di sini, dan
yang pada gilirannya melahirkan sejumlah ulama penting dan produktif di zamannya,
yang secara bersama-sama berhasil membentuk sebuah tradisi keilmuan Islam yang akan
kita sebut sebagai “tradisi keilmuan Palimbani”.

Guru yang selalu dikenangnya dari masa didikan Palembang adalah Sayyid Hasan
bin Umar Idrus yang mempunyai makrifat pada pengetahuan akan Allah ta’ala, dengan
Sayyid Hasan beliau menuntut Ilmu-ilmu agama dan membaikkan tajwid membaca al-
Qur’an. Sayyid Hasan memperhatikan, mengawasi, dan berupaya membentuk pola
kesehariannya, didikan sang guru meninggalkan kesan sedemikian mendalam sehingga
Abdus Shamad berucap: “Tiada hasil bagiku akan berkat yang sempurna melainkan
daripada berkat beberapa perkataan yang ‘alim ini lagi ‘allaamah yang shalih lagi wara’.”
2
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2015), h.
13.
Selain belajar Qur’an dan ilmu-ilmu agama, dari jalur keluarganya Abdus Shamad
berhasil mewarisi tradisi silat beladiri keraton Palembang. Seni silat Palembang ini di
kemudian hari dikembangkan oleh cucunya Abdus Shamad di wilayah Pahang dan
Terengganu, sehingga mewujud menjadi seni silat Sekebun yang menempatkan Abdus
Shamad sebagai Maha Guru mereka yang pertama. Pangeran Purbaya (kakek ke atas dari
jalur nasabnya di Palembang) memang termashur sebagai “ahli pendidik ilmu silat dan
urusan peperangan.3

B. Periode Intelektual Syekh Abdul Shamad al-Palimbani


1. Menuntut Ilmu di Mekkah (Periode Intelektual I)

Sebelum berangkat ke Mekkah nampaknya Abdus Shamad juga telah


mempelajari kitab-kitab para sufi Aceh seperti Syekh Syamsuddin Sumatrani dan Syekh
Abdur Rauf al-Jawi al-Fansuri.4 Setelah mendapat pendidikan di Palembang, Abdus
Shamad pergi ke Mekkah dan meneruskan belajarnya di Haramayn. Tidak disebutkan
kapan Abdus Shamad berangkat ke Mekkah, namun diperkirakan dia sudah berada disana
ketika masih dalam usia dewasanya (balig) yang awal, sebelum 1750. Ayahnya
sebetulnya tidak berharap dia pergi pada jenjang umur semuda itu. Ayahnya
meminangkan dan menikahkannya dengan anak perempuan Wazir Sultan, Masayu Siti
Hawa.

Segera setelah tiba di Mekkah, Abdus Shamad memutuskan untuk hidup,


menuntut ilmu dan bermukim di sana. Dia tentu memasuki komunitas Jawi yang ada, dan
ini adalah langkah permulaan menuju karir keilmuannya yang kita tempatkan sebagai
“Periode Intelektual I”, dalam komunitas Jawi masa itu, seorang yang lebih dulu berada
di sana ialah Muhammad Arsyad al-Banjari, yang kemudian dicatat sebagai salah satu
sahabatnya yang terdekat.

Di Mekkah, dia belajar ilmu-ilmu syariat pada sejumlah ulama terkemuka selama
dua puluh tahun. Di antara guru-guru Abdus Shamad pada periode ini, ada enam nama
yang disebut dalam Faydh al-Ihsani yaitu Muhammad Sa’id bin Muhammad Sunbul al-

3
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani… h. 19-25.
4
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana, 2006),
h. 106.
Syafi’i al-Makki, ‘Abd al-Ghani bin Muhammad al-Hilal, Abu al-Fawz Ibrahim bin
Muhammad Zamzami al-Ra’is al-Makki, Muhammad bin Sulayman al-Kurdi al-Syafi’i,
Sulayman bin Umar bin Manshur ‘Ujayli (yang mashur dengan Jamal al-din) dan
‘Atha’illah bin Ahmad al-Azhari al-Mashri al-Makki. Dari semua gurunya, Abdus
Shamad setiap kali berupaya untuk memperoleh kelebihan masing-masing.

Muhammad Sa’id bin Muhammad Sunbul adalah seorang ulama Fikih dan
Muhaddits terkemuka di zamannya. ‘Abd al-Ghani bin Muhammad al-Hilal adalah mufti
Mazhab Syafi’i di Mekkah selain sebagai Faqih, ia juga termashur karena ketekunan
ibadah, keahlian tahqiq, kezuhudan dan kearifannya. Abu al-Fawz Ibrahim adalah ulama
yang termashur karena menguasai berbagai pengetahuan agama, dan salah satu
keahliannya adalah Ilmu falak (astronomi).

Muhammad bin Sulayman al-Kurdi adalah mufti Mazhab Syafi’i di Madinah. Al-
Kurdi menulis beberapa kitab Fiqih yang penting, salah satu kitabnya yang terkenal di
negeri-negeri Melayu ialah Al-Hawasyi al-Madaniyah. Sulayman bin ‘Umar al-Ujayli
adalah seorang Mufassir besar lulusan Universitas al-Azhar, Mesir.’Atha’ Allah bin
Ahmad al-Makki adalah Muhaddits ternama, ia dihormati sebagai salah satu isnad yang
unggul, dan dipandang ahli di bidang susastra.

Syekh Abdus Shamad juga mempelajari sejumlah kitab fikih pada guru-guru
Mekkah asal Palembang yaitu Hasannuddin bin Ja’far al-Palimbani, Thalib bin Ja’far al-
Palimbani, dan Shalih bin Hasanuddin al-Palimbani. Ini berarti, selain mengikuti tradisi
fikih yang umumnya berkembang di Haramayn, Abdus Shamad juga menguasai tahap-
tahap pengkajian agama yang hidup di lingkungan komunitas Jawi asal Palembang di
kota suci ini.

Dengan pengalaman pendidikan yang sedemikian mengesankan, karir Abdus


Shamad dalam ranah keilmuan berkembang cepat. Pada tahun 1767, ketika berumur 30
tahun, Abdus Shamad sedikitnya tercatat telah menghasilkan tiga karya tulis, yaitu :
Zahrat al-Murīd fi Bayān Kalimat al-Tawhīd, Risālah fi Bayān Asbāb Muharramā li al-
Nikāh dan Risālah Mi'raj. Selain aktif belajar dan mencari guru, pada periode ini ia juga
sudah menjadi guru. 5

Mengenai ulama-ulama yang menjadi guru Abdus Shamad, Azra telah


mencermati reputasi dan bidang-bidang keahlian sebagian dari mereka. Dari pencermatan
itu ia memastikan bahwa pendidikan yang dijalani Abdus Shamad sungguh tuntas. Dia
mempelajari semua ilmu-ilmu Islam seperti hadits, fiqh, syari’at, tafsir, kalam dan (nanti
pada periode berikutnya, periode Intelektual II) juga mempelajari tasawuf.6

2. Pendidikan Tasawuf di Madinah (Periode Intelektual II)

Setelah menjalani masa belajar yang mengutamakan ilmu-ilmu syariat yang


bersifat lahir, Abdus Shamad berpikir tentang “kebanyakan kitab ilmu hakikat yang
meliputi atas beberapa rahasia yang halus-halus”. Mendekati masa jadzbah ilahiyah
Abdus Shamad menemukan suatu pengalaman baru, dia merasa seperti diseru oleh “suara
hakikat yang sebenarnya: ... carilah kepada kami hamba orang yang berpaling daripada
kami, yang menjauh dengan dia kehendaknya, dan menjauh ia akan tempat ziarahnya, ...
hampirkan dirimu dengan hadhirat kami supaya engkau dapat pakaian kemuliaan dan
kemegahan.

Abdus Shamad mulai terpaut pada tasawuf. Dia memasuki “perhimpunan


penghulu orang yang sufi” yang sebelumnya sudah diikuti sahabatnya asal Palembang,
Dhiyauddin al-Palimbani. Buku tasawuf pertama yang ia pelajari ialah karya ‘Abd al-
Wahhab al-Sya’rani, Madarij al-Saalikiin ila Rusuum Thariiq al-‘Arifin sesudah itu ia
mendalami kitab al-Ghazali, Bidaayat al-Hidaayah dan Minhaaj al-‘Aabidiin yang
disebutnya sebagai “... dua kitab itu yang amat besar di dalam bicara ‘alam ilmu tarekat”.
Abdus Shamad menekuni kitab-kitab tasawuf itu pada siang hari secara terus-menerus,
dan pandangannya pun mulai berubah.

Kesungguhan menekuni tasawuf mendatangkan ilham padanya untuk berziarah ke


kota Madinah mencari guru Mursyid disana. Di Madinah Abdus Shamad mengambil

5
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani… h. 25-33.
6
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII (Bandung: Mizan, 1998), h. 249.
talqin tarekat Syattariyah pada Ibrahim al-Kurkani dan juga mengikuti pembacaan ratib
Ahmad al-Qusyasyi.

Abdus Shamad belum merasa menemukan guru Sufi yang dimaksudkannya.


Tetapi dia ingin segera kembali ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang, ketika singgah di
Jeddah, dia bertemu dengan Shiddiq bin Umar Khan yang sedang berdzikir di Mesjid,
waktu berdzikir bukan hanya mulutnya yang menyebut nama Allah; seluruh badannya
bergetar dengan nama-Nya seperti digerakkan oleh kekuatan ilahi. Shiddiq menceritakan
bahwa ia adalah murid Syaikh Samman dari Madinah dan menuturkan berbagai
keutamaan yang dimiliki oleh Syekh Samman.

Setelah berada kembali di Mekkah, dia membaca risalah mengenai Syekh


Semman dan sebuah kitab yang ditulisnya yang membuat desakan hatinya tidak lagi
tertahankan. Abdus Shamad pergi lagi ke Madinah menemui Syekh Semman dan
memutuskan berguru penuh padanya.

Dalam Sayr al-Salikin Abdus Shamad menyebut tiga murid utama Syekh Semman
yang diizinkan mengajar tarekat Sammaniyah di madinah. Mereka adalah Shiddiq bin
Umar Khan, ‘Abd al-Rahman al-Maghribi, dan ‘Abd al-Ghani bin Abi Bakr al-Hindi.
Abdus Shamad diperintahkan untuk mengkaji beberapa kitab pada ‘Abd al-Rahman al-
Maghribi. Salah satu kitab tersebut, al-Nafahat al-Ilahiyah merupakan karya utama
Syekh Semman dan Abdus Shamad diberikan naskahnya oleh Syekh Semman sendiri.
Kitab lain yang dipelajarinya pada al-Maghribi ialah al-Tuhfat al-Mursalah karya al-
Burhanpuri, sebuah kitab yang sudah lama dikenal di Nusantara dan sering menimbulkan
kontroversi. Sebuah karya Syekh Semman yang lain Risalah Asrar al-‘Ibadah dipelajari
Abdus Shamad melalui syarahnya yang dikarang oleh ‘Abd al-Ghani al-Hindi yang
berjudul Fath al-Rahman.

Selain melalui para muridnya, Abdus Shamad tentu saja belajar langsung pada
Syekh Semman. Salah satunya ialah pengkajiannya mengenai wahdat al-wujuud, yang
dicatat dan ditulisnya secara teliti. Selesai ditulis, naskah itu diperiksa kembali oleh
Shiddiq bin Umar Khan yang lebih senior, yang kemudian memberikan judul Zaad al-
Muttaqiin fi Tawhiid Rabb al-‘aalamiin.
Abdus Shamad adalah murid yang aktif, Syekh Semman menyebut Abdus
Shamad dengan al-akh fi al-thariiqat al-‘arif billah al-Rabbaani mawlaanaa al-Syaikh
‘Abd al-Shamad al-Jawii al-Falimbanii. Sebuah ungkapan yang menunjukkan
penghargaan Syekh Semman atas capaian Abdus Shamad di jalan tarekat (ruhani).

Abdus Shamad akhirnya ditunjuk menjadi Khalifah Syekh Semman di Negeri


Mekkah. Penunjukkan itu terjadi melalui proses dan tahap-tahap bimbingan Syekh
Semman yang kaya dengan pengalaman ruhani: melalui maqam Fanaa fi Syaikh, Fanaa
kepada Nabi Muhammad SAW, Fanaa kepada Haqq Subhanahu wa ta’ala dan sampai
pada Maqam Baqa billah. Beliau berguru kepada Syekh Semman diperkirakan
berlangsung selama tiga tahun.7

3. Karir di Haramayn

Telah dikemukakan, Abdus Shamad memutuskan bermukim di Mekkah seawal


dia tiba di Haramayn. Setelah belajar pada Syekh Semman, dia ditunjuk menjadi
khalifahnya juga untuk wilayah Mekkah. Tetapi bukan berarti dia tidak pernah pulang ke
Palembang atau pergi ke negeri-negeri Jawi yang lain. Dia pulang ke Palembang
berulang-ulang kali.

Sumber-sumber yang terhubung dengan al-Banjari, baik tradisi lisan maupun


tertulis, mencatat Abdus Shamad pulang ke Nusantara bersama-sama dengan al-Banjari
dan teman-teman dekatnya yang lain, yaitu Abdur Rahman al-Mishri al-Batawi, dan
Abdul Wahhab al-Bugisi. Abdus Shamad berpisah dengan al-Banjari semasa di Betawi,
ketika al-Banjari bersama al-Bugisi berangkat ke Banjar dan Abdus Shamad hendak
menuju Palembang pada akhir tahun 1772.

Di Palembang Abdus Shamad berhasil mengenalkan dan mengajarkan tarekat


Sammaniyah secara cukup luas, termasuk kepada lingkaran inti kesultanan. Hal itu
ditunjukkan oleh penghargaan Sultan yang tinggi pada tarekat ini. Menurut Shiddiq bin
Umar Khan, Sultan Palembang (melalui Muhyiddin bin Syihabuddin al-Jawi) pada tahun
1191/1777 mengirimkan bantuan untuk mendirikan zawiyah tarekat Sammaniyah di
Jeddah.
7
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani… h. 39-45.
Mengenai aktivitas dan karirnya dalam tasawuf, Faydh al-Ihsani memberi
gambaran yang cukup rinci. Setelah selesai mengikuti bimbingan Syekh Samman, Abdus
Shamad memperkaya khazanah tasawufnya secara berlanjut. Kitab-kitabnya dalam ilmu
lahir, baik ‘aqli maupun naqli. Dia pun sering berkhalwat, dan tiap-tiap tahun pegi
berziarah ke kubur sahabat Nabi ‘Abd Allah bin ‘Abbas di Thaif.

Terkait penyebarluasan tasawuf, melalui Abdus Shamad berkembang


pengambilan tarekat yang meluas di kebanyakan negeri. Ketika ia berkunjung dan
mengajar di Zabid (kota kecil di pesisir barat Yaman) misalnya disini ia aktif mengajar
dan berkarya salah satu muridnya yang terkenal adalah ‘Abd al-Rahman al-Ahdal
seorang mufti Zabid yang menulis kamus biografi al-Nafas al-Yamaanii.

Pada sisi lain, jika diamati semua karya tasawuf Abdus Shamad yang berbahasa
Jawi ditulisnya dalam periode ini (Periode Intelektual II). Di antara karya karya tersebut,
yang hingga kini beredar luas di wilayah Nusantara ialah dua buah Maha Karyanya,
Hidaayat al-Saalikiin fii Suluk Maslak al-Muttaqiin dan Sayr al-Saalikiin ilaa ‘Ibaadat
Rabb al-‘Aalamiin.8

4. Puncak Karir di Arabia dan Negeri Jawi (Periode Intelektual III)

Dalam kamus biografi al-Nafas al-Yamaanii, al-Ahdal menempatkan Abdus


Shamad dalam kategori ulama utama yang mengunjungi Zabid dan melewatkan
waktunya di sana terutama untuk mengajar. Ini menunjukkan suatu fase baru dalam karir
keilmuan Abdus Shamad, yang kita namakan “Periode Intelektual III”. Pada periode ini
Abdus Shamad meluaskan pengembangan tasawuf dan ilmu-ilmu Islam yang terkait
(mungkin tepatnya neo-sufisme) ke lingkungan ulama dan penuntut ilmu pada umumnya
di Arabia, dan mendapat penghargaan yang tinggi dari mereka. Dan periode ini
berlangsung sesudah dia menyelesaikan Sayr al-Saalikiin (1203/1789). Menurut Fazlur
Rahman Neo-Sufisme adalah tasawuf yang telah diperbaharui.9

Dengan jaringan murid dan keilmuan yang sangat luas, periode ini dapat kita lihat
sebagai puncak karir keilmuan Abdus Shamad. Selama periode III inilah kelihatannya
8
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani… h. 46-61.
9
Ridha Ahida, Tasawuf Kontemporer: Perspektif Fazlur Rahman (Yogyakarta: INTERPENA, 2009),
h. 108.
lahir banyak karya tasawufnya dalam bahasa Arab, termasuk Maha Karyanya yang selalu
disebutkan oleh sumber-sumber Arab tetapi nyaris tidak dikenal di dunia Melayu,
Fadhaa’il al-Ihyaa’ li al-Ghazali. Juga karya tasawufnya yang juga tidak kita kenal,
Sawaathi’ al-Anwaar.

Abdus Shamad berkunjung ke Zabid sembilan tahun setelah al-Ahdal menjadi


Mufti. Al-Ahdal menggambarkan figur Abdus Shamad sebagai generasi ulama masa
tersebut yang sangat terpelajar, yang terkenal saleh dan memiliki pemahaman Islam yang
sungguh mendalam, dan di rahmati Allah. Dia diberitakan sebagai ulama yang produktif
berkarya dan menguasai bidang ilmu yang berbagai. Ketika itu Abdus Shamad sudah
sekian lama menekuni tasawuf dan memusatkan kesibukannya untuk menulis buku-buku
tentang Ihya’ ‘Uluum al-Diin sebagai bahan pengkajian dan pendidikan. Dia menyeru
semua orang untuk menekuni Ihya’, menyelami makna pentingnya dan memperbanyak
perenungan tentang keutamaan dan faidah-faidahnya. Atau setidak-tidaknya agar dapat
menemukan aib dan kelemahan pada diri sendiri, dan berupaya mengurangi dan
melenyapkannya.10

5. Negeri Jawi dan Pengabdian

Abdus Shamad diketahui datang ke Palembang untuk mengantar anak


perempuannya Ruqayyah berdiam di lingkungan sanak kerabat mereka di sini. Dia juga
datang untuk menikahkan Ruqayyah dengan Kiagus Muhammad Zen bin Syamsuddin
(cucu ulama besar Palembang Faqih Jalaluddin, w. 1161/1748) yang pernah belajar dan
dibimbing oleh Abdus Shamad di Haramayn. Dalam setiap kepulangannya Abdus
Shamad selalu mengunjungi murid-muridnya atau mengumpulkan mereka secara
bersama-sama, dan diminta oleh mereka untuk mengajar.

Abdus Shamad juga diketahui berkali-kali menemui dan mengajar murid-


muridnya di wilayah tersebut dan di Patani. Abdus Shamad juga mempunyai istri yang
berasal dari Patani, dan dari pernikahan itu dia mendapatkan anak laki-laki yang diberi
nama sama dengan ayahnya, Abdur Rahman.

10
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani… h. 63-70.
Perjalanan berulang kali ke negeri-negeri Jawi tentu membuat Abdus Shamad
semakin mengerti masalah-masalah konkret yang dihadapi umat Muslim di Nusantara.
Selain itu menurut Azra, umumnya para ulama Jawi di Haramayn mendapat informasi
yang memadai mengenai perkembangan umat di sini karena kontak dan komunikasi
antara komunitas Jawi dengan negeri-negeri asal mereka dapat dipertahankan dengan
baik. Abdus Shamad, dalam hal terakhir ini, memberikan respons bukan hanya berwujud
tulisan tetapi juga melibatkan diri dalam perjuangan Jihad.

Abdus Shamad meminta izin Sultan Kedah untuk mengajak empat ratus orang
haji menyertai perjuangannya berjihad membantu Patani. Setelah Sultan Kedah menerima
permintaannya, Abdus Shamad bersama para haji, pergi berarak menuju Patani. Selama
perjalanan dia mendapat dukungan spontan dari tiga sampai empat ribu rakyat Patani.
Mereka mengambil kuasa atas sejumlah desa yang dilewatinya di Mardalong dan Ligor,
lalu melintasi semenanjung untuk menjangkau Songkhala, dan berhasil menaklukkan
benteng pertahanan Siam. Kemenangan ini sungguh mengejutkan, dan berada diluar
perkiraan Sultan Kedah sendiri. Setelah berhasil, Abdus Shamad pulang kembali ke
Arabia, karena pada tahun berikutnya (1206/1792) dia diketahui mengajar di Zabid
sebagaimana dilaporkan oleh al-Ahdal dalam al-Nafas al-Yamani.

Selepas berjuang di Kedah/Patani pada tahun 1205/1791 dan mengajar di Zabid


pada tahun 1206/1792. Pada tahun 1244/1830 Tunku Muhammad Saad (saudara sepupu
Sultan Kedah) bermufakat dengan Abdus Shamad (yang datang dari Makkah menemui
mufti Kedah, yaitu pamannya Abdul Qadir bin Abdul Jalil), Dato’ Kemajaya Pulau
Lengkawi dan para Hulubalang untuk membuat angkatan yang kuat bagi merebut
kembali kota Kuala Kedah yang sebelumnya telah jatuh ke dalam kuasa Siam.

Sebelum Abdus Shamad pergi ke Kedah, Abdul Qadir (Mufti Kedah 1804-1843)
mengirim surat kepadanya, meminta agar dia memberitakan kepada kaum Muslimin di
Haramayn bahwa umat Muslim di Kedah sedang berjihad mempertahankan agama dan
tanah air mereka terhadap pendudukan Siam. Perjuangan Muhammad Saad pada mulanya
berlangsung sukses. Mereka berhasil membuat kembali kota Kuala Kedah hingga sampai
ke Hatyai. Tetapi serangan balik besar-besaran oleh pasukan Siam membuat wilayah itu
terlepas kembali ke tangan Siam. Abdus Shamad diberitakan wafat sebagai syahid dalam
perlawanan di sekitar Hatyai.11

C. Karya-karya Syekh Abdus Shamad al-Palimbani serta Pemikirannya


1. Karya-karya Syekh Abdus Shamad al-Palimbani

Berikut ini karya-karya Syekh Abdul Shamad al-Palimbani, yaitu :

1. Zahrat al-Murīd fī Bayān Kalimat al-Tawhīd.


2. Risālah fī Bayān Asbāb Muharramā li al-Nikāh, wa Ma Yudzkar Ma'ah min
Dhabth al-Radhā' wa Gayrih.
3. Risālah Mi'raj.
4. Zād al-Muttaqīn fī Tawhīd Rabb al-'Alamīn.
5. Dua pucuk surat Abdus Shamad yang ditulis dalam bahasa Arab, ditujukan
kepada Sultan Mataram Hamengkubuwana I dan Prabu Singasari.
6. Surat Abdus Shamad yang ditujukan kepada Pangeran Paku Negara
(Mangkunegara).
7. Tuhfat al-Rāghibīn fī Bayān Haqiqāt Imān al-Mu'minīn wa Mā Yufsiduhu fi
Riddat al-Murtaddīn.
8. Nashīhat al-Muslimīn wa Tadzkirat al-Mu'minīn fī Fadhāil al-Jihād wa
Karāmat al-Mujāhidīn fī Sabīl Allāh.
9. Al-'Urwat al-Wutsqā wa Silsilat al-Waliyy al-Atqā.
10. Al-'Urwat al-Wutsqā.
11. Al-Risālah fī Kayfiyat al-Ratīb Laylat al-Jumu'ah.
12. Hidāyat al-Sālikīn fī Sulūk Maslak al-Muttaqīn.
13. Risālah fī Bayān Hukm al-Syar'i wa Bayān Hukm man Yukhālifuhu fi al-
I'tiqad aw fi al-Hukm aw fi al-'Amal.
14. Sayr al-Sālikīn ilā 'Ibādat Rabb al-'Ālamīn.
15. Nashīhat al-Muslimīn wa Tadzkirat al-Mu'minīn fī Fadhl al-Mujāhidīn fī Sabīl
Allāh wa Ahkām al-Jihād fī Sabīl Allāh Rabb al-'Ālamīn.
16. Rātib al-Syaykh Abdus samad al-Falimbānī.
17. Mulhaq fi Bayān al-Fawā'id al-Nāfi'ah fī Jihād fi Sabīl Allāh.
11
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani… h. 71-77.
18. 'Ilm Tashawwuf.
19. Al-Mulakhkhash al-Tuhbat al-Mafdhāt min al-Rahmat al-Mahdāt 'Alayhi al-
Shalāt wa al-Salām min Allāh.
20. Anīs al-Muttaqīn.
21. Kitab al-Bay'i.
22. Wahdat al-Wujud.
23. Sawāthi' al-Anwār.
24. Irsyād Afdhal al-Jihād.
25. Risālah fī al-Awrād wa al-Adzkār.
26. Puisi Kemenangan Kedah.
27. Fadhā'il al-Ihyā' li al-Gazālī.

2. Karakteristik Tradisi Keilmuan al-Palimbani

Selama kurun abad ke-18 dan 19, dari sini muncul ulama-ulama yang produktif
berkarya yang memberi kontribusi penting bagi lahirnya tradisi keilmuan di Palembang,
dan di Nusantara pada umumnya. Ulama-ulama Palembang dari masa ini berhasil
memelihara kesinambungan pengkajian yang berkembang di Aceh, tetapi juga diakui
mampu mengembangkan kecenderungan keilmuan sendiri yang khas. Terkait aspek
disiplin ilmu misalnya masih mencerminkan tekanan pada bidang tasawuf, seperti halnya
yang dilakukan Aceh. Hanya saja berbeda dengan Aceh yang untuk waktu yang lama
pernah mengembangkan jenis tasawuf falsafi dengan wahdatul wujud sebagai wacana
pokoknya, ulama-ulama Palembang sejak permulaan memilih tasawuf sunni yang
ortodoks, yang sangat menekankan keterpaduan tasawuf (sebagai ilmu bagi fungsi batin
manusia) dengan fikih (ilmu untuk sisi lahir), sebuah tradisi tasawuf yang rekonsiliatif
dan kini dikenal sebagai neo-sufisme.

Arti penting tradisi keilmuan palimbani dapat kita pahami dari sejumlah
karakteristik atau kualitas baru yang disumbangkannya pada khazanah intelektual
Muslim Melayu, yang berbeda atau belum muncul dalam tradisi keilmuan sebelumnya di
Aceh.
Karakteristik atau kualitas baru yang pertama kita jumpai dalam konteks tasawuf:
tradisi Palembang memperlihatkan pengaruh tasawuf Sunni al-Ghazali yang sangat kuat.
Karakteristik kedua ialah kemampuannya mengintegrasikan perspektif tasawuf falsafi Ibn
‘Arabi ke dalam kerangka tasawuf akhlaqi al-Ghazali. Karakteristik ketiga ialah upaya
dan keberhasilannya memperkenalkan kepada dunia Muslim Melayu wacana dan
khazanah fikih yang bercorak tasawuf.

Karakteristik keempat ialah keterbukaannya terhadap tradisi dan khazanah


intelektual yang berbagai. Karakteristik yang kelima ialah tasawuf dengan semangat
aktivisme social yang sangat kuat. Karakteristik keenam atau yang terakhir ialah bahwa
tarekat Sammaniyah dalam bingkai palimbani berhasil menggerakkan aktivisme
intelektual ulama-ulama pengamalnya.

Demikianlah, dengan karakteristik dan kualitas di atas, tidak berlebihan jika kita
simpulkan bahwa pada abad ke-18 dan 19 tradisi keilmuan Palimbani memberikan arah
dan kecenderungan baru dalam perkembangan peradaban Islam di dunia Melayu
Nusantara.

3. Hidâyat al-Sâlikîn dan Sayr al-Sâlikîn

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa semua karya tasawuf Abdus Shamad
yang berbahasa Jawi ditulisnya dalam periode ini (Periode Intelektual II). Di antara
karya-karya tersebut, yang hingga kini beredar luas di Wilayah Nusantara ialah dua buah
mahakaryanya, Hidâyat al-Sâlikîn fî Suluk Maslak al-Muttaqîn dan Sayr al-Sâlikîn ilâ
‘Ibâdat Rabb al-‘Ālamîn.

Hidâyat al-Sâlikîn di tulis Abdus Shamad di Mekkah, dan diselesaikannya pada


1192/1778. Hidâyat al-Sâlikîn membicarakan tentang aturan-aturan syariat yang
ditafsirkan secara sufistik. Kitab ini adalah terjemahan karya al-Ghazali Bidâyat al-
Hidâyah, satu dari tiga buku tasawuf paling awal yang dipelajari oleh Abdus Shamad.
Namun selain menerjemahkan Abdus Shamad juga menambahkan topik pembahasan
yang bermanfaat yang tidak diambil dari Bidâyat al-Hidâyah, sehingga menurut
Azyumardi Azra kitab Hidâyat al-Sâlikîn ini lebih tepat disebut sebagai adaptasi dari
Bidâyat al-Hidâyah.
Abdus Shamad tentu saja tetap berpegang pada Bidâyat al-Hidâyah, tetapi pada
saat yang sama ia mengambil beberapa bahan dari karya al-Ghazali yang lain, seperti
Ihya’ ‘Ulūm al-Dîn, Minhâj al-‘Abidîn dan al-Arba’în fî ‘Ushūl al-Dîn. Tak kalah
pentingnya, dia membuat sejumlah acuan pada karya tokoh-tokoh terkemuka, seperti
Yawâqit al-Jawâhir dari al-Sya’rani, al-Durr al-Tsâmin dari ‘Abd Allah al-‘Aydrus,
Bustân al-‘Ārifîn dari al-Qusyasyi, dan al-Nafahat al-Ilâhiyyah dari Syekh Semman.

Sayr al-Sâlikîn adalah mahakarya tasawuf terbesar dalam bahasa Melayu. Kitab
ini terdiri atas empat jilid: jilid pertama dimulai penulisannya di Mekkah pada
1193/1779, sedangkan jilid keempat selesai ditulis di Zawiyah Sammaniyah di Thaif pada
1203/1789, kurang lebih 10 tahun masa penulisan kitab ini.

Dalam banyak hal, Sayr al-Sâlikîn merupakan penjabaran lebih lanjut dari ajaran-
ajaran yang ditulisnya dalam Hidâyat al-Sâlikîn. Menurut penelitian Moris, Sayr al-
Sâlikîn adalah terjemahan karya penting al-Ghazali, Mukhtasar Ihyâ’ ‘Ulūm al-Dîn,
sebuah ringkasan Ihya’ yang dibuat oleh al-Ghazali sendiri. Tetapi Sayr al-Sâlikîn lebih
dari sekedar terjemahan Mukhtasar Ihyâ’ ‘Ulūm al-Dîn. Seperti dalam Hidâyat al-
Sâlikîn, Abdus Shamad dalam Sayr al-Sâlikîn mengambil bahan-bahan tambahan dari
sangat banyak ulama tasawuf terkemuka.

Abdus Shamad juga membuat acuan pada karya pendahulunya di Wilayah


Melayu-Nusantara, seperti al-Sinkili dan bahkan Syamsuddin Sumatrani yang dianggap
sebagian orang sebagai ulama yang menyimpang. Dengan bahan-bahan tambahan itu
Sayr al-Sâlikîn menunjukkan kedalaman pemahaman Abdus Shamad terhadap ajaran-
ajaran tasawuf al-Ghazali, sekaligus berbagai sisi kreativitas dan kemampuan adaptifnya
yang tinggi agar ajaran-ajaran tasawuf itu sungguh-sungguh berguna bagi masyarakat
Muslim di negeri-negeri Melayu yang sebelumnya didominasi oleh perspektif Ibn ‘Arabi.

4. Ajaran dalam Kitab Hidâyat al-Sâlikîn dan Sayr al-Sâlikîn

Berikut ini beberapa ajaran yang terdapat dalam kitab Hidâyat al-Sâlikîn dan Sayr
al-Sâlikîn, yaitu:

a. Tentang Ilmu Fardhu ‘Ain dalam tasawuf


Segala ilmu yang dituntut akan dia fardhu ‘ain itu tiga perkara: Pertama, Ilmu
Tauhid dinamakan akan dia Ilmu Ushuluddin. Kedua, Ilmu Syara’ yang dinamakan akan
dia Ilmu Fiqh. Ketiga, Ilmu Batin dinamakan akan dia Ilmu Tasawuf.

Adapun kadar fardhu ‘Ain pada ilmu tasawuf yaitu mengetahui segala hal yang
akan menyelamatkan agar amal-amal yang ia kerjakan tidak menjadi rusak, seperti
mengetahui sesuatu yang dapat membatalkan pahala sholatnya, pahala puasanya dan
sebagainya.12

b. Tingkatan Pengkaji Tasawuf

Syekh Abdus Shamad al-Palimbani dalam kitabnya Sayr al-Sâlikîn membagi


menjadi tiga tingkatan atau level orang yang belajar tasawuf. Ada level Mubtadi, level
Mutawassith dan level Muntahi.

Level Mubtadi yakni orang yang permulaan menjalani ilmu thariqat, yang belum
suci hatinya itu dari maksiat batin, seperti orang yang belum suci hatinya itu dari riya,
ujub, kibr dan daripada ghadab dan barang sebagainya. Kitab-kitab tasawuf untuk level
mubtadi antara lain kitab karya Imam al-Ghazali seperti Bidayat al-Hidayah, Minhaj
al-‘Abidin, Arbain fi Ushuluddin.

Level Mutawasith yakni orang yang telah sampai suluknya itu kepada
pertengahan jalan ilmu thariqat yaitu orang yang telah dibukakan Allah dengan barakat
suluknya itu, dan dengan berkat ia membanyakkan aurad, dan dengan membanyakkan
zikir Allah itu akan hatinya dengan Nur Iman dengan ain taqwa. Kitab-kitab tasawuf
untuk level mutawasith ialah karya-karya Ibnu Athaillah as-Sakandari seperti (al-Hikam,
at-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, lathaif al-Minan). Fath ar-Rahman syarh Hikam karya
Syekh Zakariyya al-Anshari, Futuh al-Ghaib karya Syekh Abdul Qadir al-Jaelani.

Level Muntahi yakni orang yang telah sampai mengetahui ilmu hakikat yaitu
orang yang arifin yang mempunyai ruh yang telah dibukakan oleh Allah hati mereka akan
ilmu laduni dan dengan dia makrifah akan Allah ta’ala dengan ‘ainul yaqin dan haqqul
yaqin. Kitab-kitabnya antara lain: karya-karya Ibnu ‘Arabi (Fushusul Hikam, Futuhat al-

12
Abdus Shamad al-Palimbani, Hidâyat al-Sâlikîn (t.t: Dua Tib, t.th), h. 6-7.
Makkiyah), Abdul Karim al-Jilli (Insan Kamil), Imam al-Ghazali (Misykat al-Anwar) dan
juga karya-karya para sufi Nusantara seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-
Sumatrani.

c. 7 Tingkatan Nafsu

Nafsu Ammarah yaitu orang ini masih senang melakukan perbuatan yang dilarang
asalkan dirinya merasa senang dengan perbuatan itu. Orang yang berada pada nafsu ini
hendaknya sering berdzikir dengan menyebut La Ilaha Illa Allah (‫)ال اله اال هللا‬.

Nafsu Lawwamah yaitu masih mudah terjerumus dalam dosa, meskipun sudah
tahu baik dan buruk, sehingga merasa menyesal. Orang yang berada pada nafsu ini
hendaknya sering berdzikir dengan menyebut Allah Allah (‫)هللا هللا‬.

Nafsu Mulhamah yaitu memenangkan pertarungan nafsu, memilih kebaikan,


namun kadang masih rindu kepada kenikmatan nafsu. Orang yang berada pada nafsu ini
hendaknya sering berdzikir dengan menyebut Hu Hu (‫)هو هو‬.

Nafsu Muthmainnah yaitu nafsu yang sudah stabil, tenang dan mantap dalam
kebaikan. Orang yang berada pada nafsu ini hendaknya sering berdzikir dengan
menyebut Haq Haq (‫)حق حق‬. Nafsu ini adalah permulaan bagi orang yang ‘Arifin.

Nafsu Radhiyah yaitu ridha terhadap segala keputusan Allah, dunia tidak lagi
dipandang penting, wara’, mencintai Allah, yang makruh seperti haram yang sunnah
seperti wajib. Orang yang berada pada nafsu ini hendaknya sering berdzikir dengan
menyebut Hayya Hayya (‫)حى حى‬.

Nafsu Mardhiyah yaitu dicintai Allah, khawasul khawas, tidak terbesit niat
keburukan, keikhlasan kebaikan demi Allah saja. Orang yang berada pada nafsu ini
hendaknya sering berdzikir dengan menyebut Qayyum Qayyum (‫)قيوم قيوم‬.

Nafsu Kamilah yaitu tingkatan para Nabi dan Rasul, manusia yang suci dan
sempurna, orang yang berada di tingkatan ini senantiasa terpelihara dari perbuatan tercela
dan Allah selalu mengawasi dan membimbingnya. Orang yang berada pada nafsu ini
hendaknya sering berdzikir dengan menyebut Qahhaar Qahhaar (‫)قه__ار قه__ار‬. Inilah
kesempurnaan orang yang ‘arif billah dan inilah martabat insan kamil.13

d. Martabat Tujuh

KESIMPULAN

Syekh Abdus Shamad al-Palimbani adalah seorang ulama yang sangat gigih
menuntut ilmu dan mengajarkannya. Beliau terkenal dengan penerjemah al-Ghazali di
Nusantara, diantara Maha Karya beliau yang sangat terkenal di Nusantara adalah kitab
Hidâyat al-Sâlikîn dan Sayr al-Sâlikîn. Hidâyat al-Sâlikîn merupakan terjemahan dari
kitab Bidayat al-Hidayah karya al-Ghazali, sedangkan Sayr al-Sâlikîn merupakan
terjemahan dari Mukhtasar Ihya ‘Ulumuddin karya al-Ghazali.

Syekh Abdus Shamad al-Palimbani juga dikenal akan kegigihannya dalam


berjihad melawan penjajah, beliau tidak hanya aktif dalam membuat karya-karya kitab
yang berbicara tentang jihad, tetapi beliau juga ikut berjihad melawan penjajah, beliau
juga kerap kali mengirim surat kepada para raja atau sultan di Nusantara perihal seruan
dalam berjihad melawan penjajah.

13
Abdus Shamad al-Palimbani, Sayr al-Sâlikîn juz 4 (t.t: Al-Haramayn, t.th), h. 265.

Anda mungkin juga menyukai