Apabila diteliti secara jujur, maka kita akan berkesimpulan bahwa pada tahun-
tahun pertama masuknya Islam ke Nusantara, yang terbesar sekali jasanya adalah
golongan sufi, bukan golongan lainnya. Para penduduk bersedia menukar
kepercayaannya dari animisme, dinamisme, hinduisme, ataupun budhaisme kepada Islam
karena tertarik dari cara, metode atau ajaran yang dibawakan oleh kaum sufi, sufi
merupakan orang yang ahli dan mengamalkan ajaran tasawuf.
Pada abad ke-18 ada seorang ulami Jawi yang berasal dari daerah Palembang,
yang terkenal sebagai penerjemah al-Ghazali di Nusantara, beliau bernama Syekh Abdul
Shamad al-Palimbani. Menurut Azra Syekh Abdus Shamad adalah penafsir paling
berwibawa dan kreatif dalam tasawuf al-Ghazali; para penuntut ilmu di Haramayn di
nilai belum sempurna ilmunya jika belum belajar pada Syekh Abdus Shamad. Pada
makalah ini akan dibahas mengenai biografi Syekh Abdus Shamad al-Palimbani,
1
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Ilmu Tasawuf (Yogyakarta: KALIMEDIA, 2016), h. 29-30.
perjalanan karir atau periode intelektualnya, karya-karyanya serta ajaran atau
pemikirannya.
Syaikh ‘Abd as-Shamad lahir pada tahun 1150 H bertepatan dengan 1737 M,
nama ayahnya Abdurrahman dan ibunya Masayu Syarifah seorang perempuan dari
lingkungan keraton (bangsawan) Palembang. Dari garis ayah beliau merupakan cucu dari
Syaikh Abdul Jalil al-Mahdani yang merupakan Mufti Kedah pada tahun 1710-1782 M,
asal Sanaa Yaman. Syaikh Abdul Jalil menikah dengan Raden Ranti anak ke-15 dari
Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya sendiri adalah anak laki-laki tertua dari Sultan
Muhammad Manshur, Sultan Palembang yang kedua (memerintah 1706-1714 M). Jadi,
dari jalur nenek perempuannya (Raden Ranti), Abdus Shamad adalah bagian dari kerabat
utama Keraton Palembang yang mempunyai garis nasab ke atas yang terhubung lurus
dengan Sultan.2
Syaikh Abdus Shamad menjalani masa kecilnya pada saat Kesultanan Palembang
berada di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1727-1756 M). Ini adalah
masa ketika Palembang dicatat telah berkembang menjadi pusat belajar Islam yang
penting di wilayah Melayu-Nusantara, yang mampu menarik ulama-ulama dari Jazirah
Arabia untuk datang, bermukim, mengajar, dan melakukan aktivitas keilmuan di sini, dan
yang pada gilirannya melahirkan sejumlah ulama penting dan produktif di zamannya,
yang secara bersama-sama berhasil membentuk sebuah tradisi keilmuan Islam yang akan
kita sebut sebagai “tradisi keilmuan Palimbani”.
Guru yang selalu dikenangnya dari masa didikan Palembang adalah Sayyid Hasan
bin Umar Idrus yang mempunyai makrifat pada pengetahuan akan Allah ta’ala, dengan
Sayyid Hasan beliau menuntut Ilmu-ilmu agama dan membaikkan tajwid membaca al-
Qur’an. Sayyid Hasan memperhatikan, mengawasi, dan berupaya membentuk pola
kesehariannya, didikan sang guru meninggalkan kesan sedemikian mendalam sehingga
Abdus Shamad berucap: “Tiada hasil bagiku akan berkat yang sempurna melainkan
daripada berkat beberapa perkataan yang ‘alim ini lagi ‘allaamah yang shalih lagi wara’.”
2
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2015), h.
13.
Selain belajar Qur’an dan ilmu-ilmu agama, dari jalur keluarganya Abdus Shamad
berhasil mewarisi tradisi silat beladiri keraton Palembang. Seni silat Palembang ini di
kemudian hari dikembangkan oleh cucunya Abdus Shamad di wilayah Pahang dan
Terengganu, sehingga mewujud menjadi seni silat Sekebun yang menempatkan Abdus
Shamad sebagai Maha Guru mereka yang pertama. Pangeran Purbaya (kakek ke atas dari
jalur nasabnya di Palembang) memang termashur sebagai “ahli pendidik ilmu silat dan
urusan peperangan.3
Di Mekkah, dia belajar ilmu-ilmu syariat pada sejumlah ulama terkemuka selama
dua puluh tahun. Di antara guru-guru Abdus Shamad pada periode ini, ada enam nama
yang disebut dalam Faydh al-Ihsani yaitu Muhammad Sa’id bin Muhammad Sunbul al-
3
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani… h. 19-25.
4
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana, 2006),
h. 106.
Syafi’i al-Makki, ‘Abd al-Ghani bin Muhammad al-Hilal, Abu al-Fawz Ibrahim bin
Muhammad Zamzami al-Ra’is al-Makki, Muhammad bin Sulayman al-Kurdi al-Syafi’i,
Sulayman bin Umar bin Manshur ‘Ujayli (yang mashur dengan Jamal al-din) dan
‘Atha’illah bin Ahmad al-Azhari al-Mashri al-Makki. Dari semua gurunya, Abdus
Shamad setiap kali berupaya untuk memperoleh kelebihan masing-masing.
Muhammad Sa’id bin Muhammad Sunbul adalah seorang ulama Fikih dan
Muhaddits terkemuka di zamannya. ‘Abd al-Ghani bin Muhammad al-Hilal adalah mufti
Mazhab Syafi’i di Mekkah selain sebagai Faqih, ia juga termashur karena ketekunan
ibadah, keahlian tahqiq, kezuhudan dan kearifannya. Abu al-Fawz Ibrahim adalah ulama
yang termashur karena menguasai berbagai pengetahuan agama, dan salah satu
keahliannya adalah Ilmu falak (astronomi).
Muhammad bin Sulayman al-Kurdi adalah mufti Mazhab Syafi’i di Madinah. Al-
Kurdi menulis beberapa kitab Fiqih yang penting, salah satu kitabnya yang terkenal di
negeri-negeri Melayu ialah Al-Hawasyi al-Madaniyah. Sulayman bin ‘Umar al-Ujayli
adalah seorang Mufassir besar lulusan Universitas al-Azhar, Mesir.’Atha’ Allah bin
Ahmad al-Makki adalah Muhaddits ternama, ia dihormati sebagai salah satu isnad yang
unggul, dan dipandang ahli di bidang susastra.
Syekh Abdus Shamad juga mempelajari sejumlah kitab fikih pada guru-guru
Mekkah asal Palembang yaitu Hasannuddin bin Ja’far al-Palimbani, Thalib bin Ja’far al-
Palimbani, dan Shalih bin Hasanuddin al-Palimbani. Ini berarti, selain mengikuti tradisi
fikih yang umumnya berkembang di Haramayn, Abdus Shamad juga menguasai tahap-
tahap pengkajian agama yang hidup di lingkungan komunitas Jawi asal Palembang di
kota suci ini.
5
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani… h. 25-33.
6
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII (Bandung: Mizan, 1998), h. 249.
talqin tarekat Syattariyah pada Ibrahim al-Kurkani dan juga mengikuti pembacaan ratib
Ahmad al-Qusyasyi.
Dalam Sayr al-Salikin Abdus Shamad menyebut tiga murid utama Syekh Semman
yang diizinkan mengajar tarekat Sammaniyah di madinah. Mereka adalah Shiddiq bin
Umar Khan, ‘Abd al-Rahman al-Maghribi, dan ‘Abd al-Ghani bin Abi Bakr al-Hindi.
Abdus Shamad diperintahkan untuk mengkaji beberapa kitab pada ‘Abd al-Rahman al-
Maghribi. Salah satu kitab tersebut, al-Nafahat al-Ilahiyah merupakan karya utama
Syekh Semman dan Abdus Shamad diberikan naskahnya oleh Syekh Semman sendiri.
Kitab lain yang dipelajarinya pada al-Maghribi ialah al-Tuhfat al-Mursalah karya al-
Burhanpuri, sebuah kitab yang sudah lama dikenal di Nusantara dan sering menimbulkan
kontroversi. Sebuah karya Syekh Semman yang lain Risalah Asrar al-‘Ibadah dipelajari
Abdus Shamad melalui syarahnya yang dikarang oleh ‘Abd al-Ghani al-Hindi yang
berjudul Fath al-Rahman.
Selain melalui para muridnya, Abdus Shamad tentu saja belajar langsung pada
Syekh Semman. Salah satunya ialah pengkajiannya mengenai wahdat al-wujuud, yang
dicatat dan ditulisnya secara teliti. Selesai ditulis, naskah itu diperiksa kembali oleh
Shiddiq bin Umar Khan yang lebih senior, yang kemudian memberikan judul Zaad al-
Muttaqiin fi Tawhiid Rabb al-‘aalamiin.
Abdus Shamad adalah murid yang aktif, Syekh Semman menyebut Abdus
Shamad dengan al-akh fi al-thariiqat al-‘arif billah al-Rabbaani mawlaanaa al-Syaikh
‘Abd al-Shamad al-Jawii al-Falimbanii. Sebuah ungkapan yang menunjukkan
penghargaan Syekh Semman atas capaian Abdus Shamad di jalan tarekat (ruhani).
3. Karir di Haramayn
Pada sisi lain, jika diamati semua karya tasawuf Abdus Shamad yang berbahasa
Jawi ditulisnya dalam periode ini (Periode Intelektual II). Di antara karya karya tersebut,
yang hingga kini beredar luas di wilayah Nusantara ialah dua buah Maha Karyanya,
Hidaayat al-Saalikiin fii Suluk Maslak al-Muttaqiin dan Sayr al-Saalikiin ilaa ‘Ibaadat
Rabb al-‘Aalamiin.8
Dengan jaringan murid dan keilmuan yang sangat luas, periode ini dapat kita lihat
sebagai puncak karir keilmuan Abdus Shamad. Selama periode III inilah kelihatannya
8
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani… h. 46-61.
9
Ridha Ahida, Tasawuf Kontemporer: Perspektif Fazlur Rahman (Yogyakarta: INTERPENA, 2009),
h. 108.
lahir banyak karya tasawufnya dalam bahasa Arab, termasuk Maha Karyanya yang selalu
disebutkan oleh sumber-sumber Arab tetapi nyaris tidak dikenal di dunia Melayu,
Fadhaa’il al-Ihyaa’ li al-Ghazali. Juga karya tasawufnya yang juga tidak kita kenal,
Sawaathi’ al-Anwaar.
10
Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani… h. 63-70.
Perjalanan berulang kali ke negeri-negeri Jawi tentu membuat Abdus Shamad
semakin mengerti masalah-masalah konkret yang dihadapi umat Muslim di Nusantara.
Selain itu menurut Azra, umumnya para ulama Jawi di Haramayn mendapat informasi
yang memadai mengenai perkembangan umat di sini karena kontak dan komunikasi
antara komunitas Jawi dengan negeri-negeri asal mereka dapat dipertahankan dengan
baik. Abdus Shamad, dalam hal terakhir ini, memberikan respons bukan hanya berwujud
tulisan tetapi juga melibatkan diri dalam perjuangan Jihad.
Abdus Shamad meminta izin Sultan Kedah untuk mengajak empat ratus orang
haji menyertai perjuangannya berjihad membantu Patani. Setelah Sultan Kedah menerima
permintaannya, Abdus Shamad bersama para haji, pergi berarak menuju Patani. Selama
perjalanan dia mendapat dukungan spontan dari tiga sampai empat ribu rakyat Patani.
Mereka mengambil kuasa atas sejumlah desa yang dilewatinya di Mardalong dan Ligor,
lalu melintasi semenanjung untuk menjangkau Songkhala, dan berhasil menaklukkan
benteng pertahanan Siam. Kemenangan ini sungguh mengejutkan, dan berada diluar
perkiraan Sultan Kedah sendiri. Setelah berhasil, Abdus Shamad pulang kembali ke
Arabia, karena pada tahun berikutnya (1206/1792) dia diketahui mengajar di Zabid
sebagaimana dilaporkan oleh al-Ahdal dalam al-Nafas al-Yamani.
Sebelum Abdus Shamad pergi ke Kedah, Abdul Qadir (Mufti Kedah 1804-1843)
mengirim surat kepadanya, meminta agar dia memberitakan kepada kaum Muslimin di
Haramayn bahwa umat Muslim di Kedah sedang berjihad mempertahankan agama dan
tanah air mereka terhadap pendudukan Siam. Perjuangan Muhammad Saad pada mulanya
berlangsung sukses. Mereka berhasil membuat kembali kota Kuala Kedah hingga sampai
ke Hatyai. Tetapi serangan balik besar-besaran oleh pasukan Siam membuat wilayah itu
terlepas kembali ke tangan Siam. Abdus Shamad diberitakan wafat sebagai syahid dalam
perlawanan di sekitar Hatyai.11
Selama kurun abad ke-18 dan 19, dari sini muncul ulama-ulama yang produktif
berkarya yang memberi kontribusi penting bagi lahirnya tradisi keilmuan di Palembang,
dan di Nusantara pada umumnya. Ulama-ulama Palembang dari masa ini berhasil
memelihara kesinambungan pengkajian yang berkembang di Aceh, tetapi juga diakui
mampu mengembangkan kecenderungan keilmuan sendiri yang khas. Terkait aspek
disiplin ilmu misalnya masih mencerminkan tekanan pada bidang tasawuf, seperti halnya
yang dilakukan Aceh. Hanya saja berbeda dengan Aceh yang untuk waktu yang lama
pernah mengembangkan jenis tasawuf falsafi dengan wahdatul wujud sebagai wacana
pokoknya, ulama-ulama Palembang sejak permulaan memilih tasawuf sunni yang
ortodoks, yang sangat menekankan keterpaduan tasawuf (sebagai ilmu bagi fungsi batin
manusia) dengan fikih (ilmu untuk sisi lahir), sebuah tradisi tasawuf yang rekonsiliatif
dan kini dikenal sebagai neo-sufisme.
Arti penting tradisi keilmuan palimbani dapat kita pahami dari sejumlah
karakteristik atau kualitas baru yang disumbangkannya pada khazanah intelektual
Muslim Melayu, yang berbeda atau belum muncul dalam tradisi keilmuan sebelumnya di
Aceh.
Karakteristik atau kualitas baru yang pertama kita jumpai dalam konteks tasawuf:
tradisi Palembang memperlihatkan pengaruh tasawuf Sunni al-Ghazali yang sangat kuat.
Karakteristik kedua ialah kemampuannya mengintegrasikan perspektif tasawuf falsafi Ibn
‘Arabi ke dalam kerangka tasawuf akhlaqi al-Ghazali. Karakteristik ketiga ialah upaya
dan keberhasilannya memperkenalkan kepada dunia Muslim Melayu wacana dan
khazanah fikih yang bercorak tasawuf.
Demikianlah, dengan karakteristik dan kualitas di atas, tidak berlebihan jika kita
simpulkan bahwa pada abad ke-18 dan 19 tradisi keilmuan Palimbani memberikan arah
dan kecenderungan baru dalam perkembangan peradaban Islam di dunia Melayu
Nusantara.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa semua karya tasawuf Abdus Shamad
yang berbahasa Jawi ditulisnya dalam periode ini (Periode Intelektual II). Di antara
karya-karya tersebut, yang hingga kini beredar luas di Wilayah Nusantara ialah dua buah
mahakaryanya, Hidâyat al-Sâlikîn fî Suluk Maslak al-Muttaqîn dan Sayr al-Sâlikîn ilâ
‘Ibâdat Rabb al-‘Ālamîn.
Sayr al-Sâlikîn adalah mahakarya tasawuf terbesar dalam bahasa Melayu. Kitab
ini terdiri atas empat jilid: jilid pertama dimulai penulisannya di Mekkah pada
1193/1779, sedangkan jilid keempat selesai ditulis di Zawiyah Sammaniyah di Thaif pada
1203/1789, kurang lebih 10 tahun masa penulisan kitab ini.
Dalam banyak hal, Sayr al-Sâlikîn merupakan penjabaran lebih lanjut dari ajaran-
ajaran yang ditulisnya dalam Hidâyat al-Sâlikîn. Menurut penelitian Moris, Sayr al-
Sâlikîn adalah terjemahan karya penting al-Ghazali, Mukhtasar Ihyâ’ ‘Ulūm al-Dîn,
sebuah ringkasan Ihya’ yang dibuat oleh al-Ghazali sendiri. Tetapi Sayr al-Sâlikîn lebih
dari sekedar terjemahan Mukhtasar Ihyâ’ ‘Ulūm al-Dîn. Seperti dalam Hidâyat al-
Sâlikîn, Abdus Shamad dalam Sayr al-Sâlikîn mengambil bahan-bahan tambahan dari
sangat banyak ulama tasawuf terkemuka.
Berikut ini beberapa ajaran yang terdapat dalam kitab Hidâyat al-Sâlikîn dan Sayr
al-Sâlikîn, yaitu:
Adapun kadar fardhu ‘Ain pada ilmu tasawuf yaitu mengetahui segala hal yang
akan menyelamatkan agar amal-amal yang ia kerjakan tidak menjadi rusak, seperti
mengetahui sesuatu yang dapat membatalkan pahala sholatnya, pahala puasanya dan
sebagainya.12
Level Mubtadi yakni orang yang permulaan menjalani ilmu thariqat, yang belum
suci hatinya itu dari maksiat batin, seperti orang yang belum suci hatinya itu dari riya,
ujub, kibr dan daripada ghadab dan barang sebagainya. Kitab-kitab tasawuf untuk level
mubtadi antara lain kitab karya Imam al-Ghazali seperti Bidayat al-Hidayah, Minhaj
al-‘Abidin, Arbain fi Ushuluddin.
Level Mutawasith yakni orang yang telah sampai suluknya itu kepada
pertengahan jalan ilmu thariqat yaitu orang yang telah dibukakan Allah dengan barakat
suluknya itu, dan dengan berkat ia membanyakkan aurad, dan dengan membanyakkan
zikir Allah itu akan hatinya dengan Nur Iman dengan ain taqwa. Kitab-kitab tasawuf
untuk level mutawasith ialah karya-karya Ibnu Athaillah as-Sakandari seperti (al-Hikam,
at-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, lathaif al-Minan). Fath ar-Rahman syarh Hikam karya
Syekh Zakariyya al-Anshari, Futuh al-Ghaib karya Syekh Abdul Qadir al-Jaelani.
Level Muntahi yakni orang yang telah sampai mengetahui ilmu hakikat yaitu
orang yang arifin yang mempunyai ruh yang telah dibukakan oleh Allah hati mereka akan
ilmu laduni dan dengan dia makrifah akan Allah ta’ala dengan ‘ainul yaqin dan haqqul
yaqin. Kitab-kitabnya antara lain: karya-karya Ibnu ‘Arabi (Fushusul Hikam, Futuhat al-
12
Abdus Shamad al-Palimbani, Hidâyat al-Sâlikîn (t.t: Dua Tib, t.th), h. 6-7.
Makkiyah), Abdul Karim al-Jilli (Insan Kamil), Imam al-Ghazali (Misykat al-Anwar) dan
juga karya-karya para sufi Nusantara seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-
Sumatrani.
c. 7 Tingkatan Nafsu
Nafsu Ammarah yaitu orang ini masih senang melakukan perbuatan yang dilarang
asalkan dirinya merasa senang dengan perbuatan itu. Orang yang berada pada nafsu ini
hendaknya sering berdzikir dengan menyebut La Ilaha Illa Allah ()ال اله اال هللا.
Nafsu Lawwamah yaitu masih mudah terjerumus dalam dosa, meskipun sudah
tahu baik dan buruk, sehingga merasa menyesal. Orang yang berada pada nafsu ini
hendaknya sering berdzikir dengan menyebut Allah Allah ()هللا هللا.
Nafsu Muthmainnah yaitu nafsu yang sudah stabil, tenang dan mantap dalam
kebaikan. Orang yang berada pada nafsu ini hendaknya sering berdzikir dengan
menyebut Haq Haq ()حق حق. Nafsu ini adalah permulaan bagi orang yang ‘Arifin.
Nafsu Radhiyah yaitu ridha terhadap segala keputusan Allah, dunia tidak lagi
dipandang penting, wara’, mencintai Allah, yang makruh seperti haram yang sunnah
seperti wajib. Orang yang berada pada nafsu ini hendaknya sering berdzikir dengan
menyebut Hayya Hayya ()حى حى.
Nafsu Mardhiyah yaitu dicintai Allah, khawasul khawas, tidak terbesit niat
keburukan, keikhlasan kebaikan demi Allah saja. Orang yang berada pada nafsu ini
hendaknya sering berdzikir dengan menyebut Qayyum Qayyum ()قيوم قيوم.
Nafsu Kamilah yaitu tingkatan para Nabi dan Rasul, manusia yang suci dan
sempurna, orang yang berada di tingkatan ini senantiasa terpelihara dari perbuatan tercela
dan Allah selalu mengawasi dan membimbingnya. Orang yang berada pada nafsu ini
hendaknya sering berdzikir dengan menyebut Qahhaar Qahhaar ()قه__ار قه__ار. Inilah
kesempurnaan orang yang ‘arif billah dan inilah martabat insan kamil.13
d. Martabat Tujuh
KESIMPULAN
Syekh Abdus Shamad al-Palimbani adalah seorang ulama yang sangat gigih
menuntut ilmu dan mengajarkannya. Beliau terkenal dengan penerjemah al-Ghazali di
Nusantara, diantara Maha Karya beliau yang sangat terkenal di Nusantara adalah kitab
Hidâyat al-Sâlikîn dan Sayr al-Sâlikîn. Hidâyat al-Sâlikîn merupakan terjemahan dari
kitab Bidayat al-Hidayah karya al-Ghazali, sedangkan Sayr al-Sâlikîn merupakan
terjemahan dari Mukhtasar Ihya ‘Ulumuddin karya al-Ghazali.
13
Abdus Shamad al-Palimbani, Sayr al-Sâlikîn juz 4 (t.t: Al-Haramayn, t.th), h. 265.