Anda di halaman 1dari 10

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

“Pandangan Imam Al-Ghazali Terhadap Pendidikan Islam”

A. Pendahuluan
Studi tentang kebudayaan islam yang berkaitan dengan pemikiran islam klasik memperoleh
perhatian yang cukup besar bagi kalangan akademisi pada dekade terakhir. Buku-buku yang ditulis
pada bidang ini nampak semakin banyak, baik yang merupakan karya sendiri yang merupakan hasil
dari penelitian mendalam maupun yang merupakan hasil dari terjemahan buku-buku klasik, baik yang
berbahasa arab maupun bahasa inggris.
Banyak karya-karya tokoh ilmuwan muslim yang dipakai sebagai referensi oleh ilmuwan
Eropa sampai hampir tujuh abad. Salah satu pemikiran era islam klasik yang banyak dikaji oleh para
peneliti adalah pemikiran Imam al-Ghazali. Namun, kebanyakan studi tentang al-Ghazali lebih
menekankan pada sosok beliau sebagai seorang teolog, filosof, sufi, dan faqih, sehingga beliau lebih
sering dikenal sebagai ahli dalam bidang kelimuan tersebut. Padahal, pandangan al-Ghazali dalam
bidang pendidikan islam yang tertuang dari karya-karyanya seperti, Ihya’ ’Ulumuddin, Ayyuha al-
Walad dan sebagainya, memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi tokoh-tokoh pendidikan
setelahnya.
Pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan islam ini menjadi warisan khazanah
intelektual yang tak kalah penting dengan bidang lain yang digelutinya. Lalu, apa saja pemikiran Sang
hujjah al-Islam (bukti kebenaran islam) dalam pendidikan islam. Makalah ini mencoba mengungkap
pandangan-pandangan, pemikiran dan konsep pendidikan islam menurut Zayn al-Din, Imam al-
Ghazali.

B. Sejarah Singkat Kehidupan Al-Ghazali


Sejarah merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah umat, bangsa, negara, maupun individu.
Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu sendiri. Melalui sejarah, manusia
dapat mengambil banyak pelajaran dari proses kehidupan suatu umat, bangsa atau individu.[1]
Sebelum menelusuri lebih jauh tentang gagasan dan pemikiran al-Ghazali dalam dunia pendidikan,
perlu mengenal sejarah hidup beliau.

1. Riwayat Hidup Al-Ghazali


Dalam buku yang ditulis sendiri oleh al-Ghazali,[2] dijelaskan bahwa nama lengkapnya
adalah, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi. Ia lahir dikota
Thus, yang merupakan kota kedua setelah Naysabur yang terletak di wilayah Khurasan, pada tahun
450 H atau 1058 M. ayahnya adalah seorang sufi yang sangat wara’[3] yang hanya makan dari usaha
tangannya sendiri. Kerjanya adalah memintal wool dan menjualnya sendiri. Ia meninggal sewaktu
anaknya itu masih kecil dan sebelum meninggal ia menitipkan anaknya pada seorang sufi lain untuk
mendapat bimbingan dan pendidikan.[4]
Al-Ghazali mempunyai seorang saudara yang bernama Ahmad. ketika ayahnya meninggal,
sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak ini dididik dan disekolahkan,
dan setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari
ilmu semampu-mampunya.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan dan
penggandrung mencari kebenaran, maka tidaklah mengherankan jika sejak masa kanak-kanak ia telah
belajar dengan sejumlah guru dari kota kelahirannya. Masa kecilnya dimulai dengan belajar Fiqh[5]
pada ulama terkenal yang bernama Ahmad Ibn Muhammad Ar-Razakani di Thus kemudian belajar
kepada Abu Nashr al-Ismaili di Jurjan dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.[6]
Sebagai gambaran kecintaannya akan ilmu pengetahuan, dikisahkan pada suatu hari dalam
perjalanan pulangnya ke Thus, beliau dan teman-temannya dihadang oleh sekawanan pembegal yang
kemudian merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas al-Ghazali
yang berisi buku-buku yang ia senangi, kemudian ia meminta dengan penuh iba pada kawanan
pembegal itu agar sudi kiranya mengembalikan tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagai
macam ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya. Kawanan itupun merasa iba dan kasihan
padanya sehingga mengembalikan tas itu. Dan setelah peristiwa itu, ia menjadi semakin rajin
mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan
beliau selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu tempat khusus yang aman.[7]
Setelah belajar di Thus, ia lalu melanjutkan belajar di Naysabur, tempat dimana ia menjadi
murid Al-Juwaini Imam Al-Haramain hingga gurunya itu wafat.[8]Dari beliau, dia belajar Ilmu
Kalam, Ushul Fiqh dan Ilmu Pengetahuan Agama lainnya.[9]Pada periode ini, ia berusaha dengan
sungguh-sungguh sehingga dapat menamatkan pelajarannya dengan singkat. Gurunya membanggakan
dan mempercayakan kedudukannya padanya. Ia membimbing murid-murid mewakili gurunya sambil
menulis buku.[10]Dengan kecerdasan dan kemauan belajarnya yang luar biasa serta kemampuannya
dalam mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih, Al-Juwaini kemudian
memberikan predikat bahrun mughriq (laut yang dalam nan menenggelamkan).[11]
Dari Naysabur, pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar[12]untuk
bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan perdana menteri Sultan Bani Saljuk.[13]Dengan
semakin mencuatnya nama al-Ghazali, Nidzam al-Mulk kemudian memerintahkannya pergi ke
Bagdad untuk mengajar di Al-Madrasah An-Nidzamiyyah, dimana semua orang mengagumi
pandangan-pandangannya yang pada akhirnya ia menjadi Imam bagi penduduk Irak setelah
sebelumnya menjadi Imam di Khurasan. Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama, disisi
lain pada saat ini ia mengalami fase skeptisisme[14] yang membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian
meninggalkan Bagdad dengan segala kedudukan dan fasilitas kemewahan yang diberikan padanya
untuk menyibukkan dirinya dengan ketakwaan.[15]
Perjalanannya kemudian berlanjut menuju Damaskus dimana ia banyak menghabiskan
waktunya untuk berkhalwah, beribadah dan beri’tikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul Maqdis
untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke Naysabur atas desakan Fakhrul
Mulk, anak Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar.[16]Hanya saja, ia menjadi guru besar dalam
bidang studi lain, tidak seperti dahulu lagi. Selama periode mengajarnya yang kedua ini, ia juga
menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama.[17]
Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Bagdad, Syam dan Naysaburi, Pada tahun 500
H/1107 M, al-Ghazali kemudian kembali kekampung halamannya, banyak bertafakkur, menanamkan
ketakutan dalam kalbu sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada madrasah yang ia dirikan
disebelah rumahnya untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat bagi para sufi. Dan pada hari senin,
14 jumadal akhirah 505 H/18 desember 1111 M, Imam al-Ghazali berpulang ke rahmatullah ditanah
kelahirannya, Thus dalam usia 55 tahun.[18]

2. Karya-karya Al-Ghazali
Imam al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir besar yang sangat produktif dalam
menulis. Jumlah kitab dan risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum disepakati secara definitif
oleh para penulis sejarahnya. Hingga ada yang mengatakan bahwa ia memiliki 999 buah tulisan, ini
memang sulit dipercaya, tapi siapapun yang mengenal dirinya dan keluasan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya, kemungkinan ia akan percaya.
Muhammad bin Al-Hasan din ‘Abdullah Al-Husaini Al-Wasithi dalam Ath-Thabaqat
Al-‘Aliyyah fi Manaqib Al-Syafi’iyyah menyebutkan bahwa karya al-Ghazali berjumlah 98 karangan.
As-Subki dalam Thabaqat Al-Syafi’iyyah menyebutkan sebanyak 58 karangan. Thasy Kubra Zadeh
dalam Miftah Al-Sa’adah wa Mishbah Al-Siyadah menyebutkan bahwa karyanya mencapai 80 buah.
[19]
Kitab-kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali meliputi berbagai macam bidang keilmuan,
seperti al-Qur’an, akidah, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqh, tasawwuf, mantiq, falsafah, kebatinan dan lain
sebagainya. Abdurrahman Badawi dalam bukunya Mualafat Al-Ghazali (Kairo, 1961), membagi kitab
yang berkaitan dengan al-Ghazali kedalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat
dipastikan merupakan karangan al-Ghazali sendiri sebanyak 72 kitab. Kedua, kelompok kitab yang
diragukan sebagai karyanya sebanyak 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dipastikan bukan
karyanya terdiri atas 31 kitab.[20]
Dari sekian banyak kitab yang menjadi karya Imam al-Ghazali, beberapa diantaranya yang
banyak dibaca dan dijadikan rujukan, bahkan diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa asing adalah:
1. Ihya’ ‘Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama)
2. Tahafut al-Falasifah (Keruntuhan para filosof)
3. Al-Munqidz min al-Dholal (Penyelamat dari kesesatan)
4. Ayyuhaal-Walad (Wahai anak)
5. Bidayah al-Hidayah
6. Fayshal al-Tafriqah bayna Al-Islam al-Zandaqah
7. Al-Wajiz
Inilah sejumlah kecil dari sekian banyak karya besar seorang ulama besar yang bergelar
Hujjah al-Islam yang tidak mungkin disebut secara keseluruhan. Maka tidaklah mengherankan, karena
keluasan dan keragaman ilmu pengetahuan yang dimilikinya itulah, ia kemudian diberi gelar sebagai
Zayn al-Din (Hiasan Agama).

C. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam


Untuk mengetahui pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan, lebih dahulu kita harus
mengetahui dan memahami pandangan al-Ghazali yang berkenaan ilmu pengetahuan dengan berbagai
aspeknya, antara lain tujuan pendidikan, kurikulum, metode, pendidik dan murid.
Pendidikan, yang kata itu dilekatkan pada kata islam didefinisikan secara berbeda-beda oleh
orang yang berbeda-beda sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Tetapi semua pendapat itu
bertemu dalam satu pandangan, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa
mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup
secara efektif dan efisien.[21] Selain mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi untuk
memelihara identitas masyarakat, pendidikan juga bertugas mengembangkan potensi manusia untuk
dirinya sendiri dan masyarakatnya.[22]
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, al-Ghazali memulai pandangannya dengan nada provokatif
tentang keutamaan bagi mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dengan mengutip al-Qur’an surat al-
Mujadilah ayat 11, yang artinya:

ٍ ‫يَرْ فَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِع ْل َم د ََر َجا‬
‫ت َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬
Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (QS. Al-Mujadilah:11)[23]
Provokasi ini kemudian dilanjutkannya dengan hadis Nabi yang bernada majaz metaforik
yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tentang keutamaan ilmuwan atas orang awam, pernyataan
tersebut adalah:
Li al-‘ulama’ darajah fauqo al-mu’minina bisab’i mi’ah darajah ma bayna al-darajataini
masirah khamsah mi’ah ‘am.
Artinya: “Para orang-orang yang berilmu memiliki derajat diatas orang-orang mukmin sebanyak tujuh
ratus derajat, jarak di antara dua derajat tersebut adalah perjalanan lima ratus tahun”.
Konsep pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung bersifat empirisme, hal ini
disebabkan karena ia sangat menekankan pada pengaruh pendidikan terhadap anak didik.
Menurutnya, pendidikan seorang anak sangat tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Lebih
lanjut, dapat dikatakan bahwa dalam peranannya, pendidikan sangat menentukan kehidupan suatu
bangsa dan pemikirannya.
Dengan melihat dan memahami beberapa karyanya yang berkaitan dengan pendidikan, dapat
dikatakan bahwa al-Ghazali adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak
membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia islam
maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun. Dapat dikatakan pula, bahwa ia adalah
penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih), dimana pendidikanlah yang bisa mewarnai
seorang anak yang bagai kertas putih tersebut dengan hal-hal yang benar. Hal tersebut tercermin
dalam salah satu kitabnya, Ihya’ ’Ulumuddin yang mengatakan bahwa seorang anak ketika lahir
masih dalam keadaan fitrah (suci).

1. Tujuan Pendidikan
Menurut Nizar,[24] al-Ghazali menjadikan transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan
merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ila Allah.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.
Intinya, pendidikan menurut al-Ghazali bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
sebagaimana tujuan penciptaan manusia yang termaktub dalam QS. Al-Dzariyat: 56.[25] Tujuan
pendidikan ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) Tujuan mempelajari ilmu
pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah
SWT; (2) Tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan akhlaq al-karimah; (3) Tujuan
pendidikan islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[26]
Perumusan ketiga tujuan pendidikan tersebut dapat menjadikan program pendidikan yang
dijalankan bersinergi dengan tujuan penciptaan manusia dimuka bumi ini, yaitu untuk beribadah pada
Allah sehingga pada gilirannya mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri dengan Allah
SWT.
Menurut Nata,[27]pendidikan islam itu secara umum mempunyai corak spesifik yaitu adanya
cap agama dan etika yang terlihat nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, tetapi tanpa
mengabaikan masalah keduniawian. Dan al-Ghazali pada prinsipnya sejalan dengan trend-trend
keagamaan semacam ini, namun disatu sisi ia tetap memberikan ruang yang cukup dalam sistem
pendidikan bagi perkembangan duniawi, dengan catatan bahwa masalah-masalah dunia hanya
dimaksudkan sebagai jalan untuk menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan
kekal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghazali
adalah memanfaatkan pengetahuan yang ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan
itu sendiri yang dengannya dapat menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan melestarikan
kehidupan manusia dan alam sekitarnya, juga sekaligus sebagai sebuah aplikasi dari tugas penciptaan
manusia di muka bumi. Pemanfaatan pengetahuan itu semata-mata adalah bertujuan untuk ta’abbud
kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam.

2. Kurikulum
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak
didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya.[28]
[28][28] Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya dalam
membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu: (1) Ilmu yang tercela yang tidak pantas
dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan lain sebagainya. (2) Ilmu yang terpuji yang
pantas untuk dipelajari (al-mahmud) yang meliputi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu
yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari. (3) Ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan
tercela jika mempelajarinya secara mendalam, seperti ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.
Menurut Nata,[29] yang dimaksud dari kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai
berikut: Pertama, ilmu-ilmu tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu
yang tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa mudharat bagi
orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir misalnya dapat memisahkan
persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara
ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan
(hisab), dan ilmu nujum berdasarkan istidlaly[30][30][30]. Tapi beliau masih memberi toleransi
dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum untuk mengetahui letak kiblat.
Kedua, ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat
kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian,
yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat
pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan paham apa yang harus ditinggalkan dan apa yang
harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan
untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain. Menurutnya, jika
tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah seluruhnya, tetapi jika telah ada seseorang yang
menguasainya dan dapat mempraktekkannya maka tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika
mempelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya
kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa pada kekafiran,
seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena menurut tabiatnya tidak semua
orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia berpendapat bahwa orang yang mempelajari ilmu
tersebut bagai anak kecil yang masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang
bermacam-macam yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada
muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya
dengan kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang
pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu
kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya,
karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan
di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan berdasarkan
pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini menjadi wajar dengan melihat latar belakang
kehidupan beliau sebagai seorang sufi.

3. Metode
Menurut al-Ghazali metode perolehan ilmu dapat dibagi berdasarkan jenis ilmu itu sendiri,
yaitu ilmu kasbi dan ilmu ladunni. (1) Ilmu kasbi dapat diperoleh melalui metode atau cara berfikir
sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan,
penelitian, percobaan dan penemuan, yang mana memperolehnya dapat menggunakan pendekatan
ta’lim insani. (2) Ilmu ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses
perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam
qalbu, yang mana memperolehnya adalah menggunakan pendekatan ta’lim rabbani.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan behavioristik dalam pendidikan yang
dijalankan. Hal ini terlihat dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru
mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan, bentuk apresiasi gaya al-
Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan
reward dan punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali
menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya. Disamping itu,
ia juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus
memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia.
Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan
penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri.[31] Dengan
ungkapan seperti ini tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru. Lebih lanjut
dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara
dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian, faktor keteladanan merupakan metode
pengajaran yang utama dan sangat penting dalam pandangannya.[32]
Menurut al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata sebagai suatu proses yang dengannya guru
menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu masing-masing guru dan
murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling
mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama
mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir dapat mengolah dirinya dengan
tambahan pengetahuan yang didapatkannya.

4. Pendidik
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing,
meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia
juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini
tercermin dalam tulisannya: “Sebaik-baik ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan.
Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum
yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang
menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran,
maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan
tugasnya.”[33]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah
seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin
dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat.
Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria khusus, yaitu:
1. Memperlakukan murid dengan penuh kasih sayang.
2. Meneladani Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah.
3. Memberikan peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada Allah SWT.
4. Memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik, halus tanpa cacian,
makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan murid didepan umum.
5. Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian lain yang bukan
keahlian dan spesialisasinya.
6. Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan memperlakukannya sesuai
dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
7. Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan perbedaan usianya.
8. Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya merealisasikannya sedemikian
rupa.[34]

5. Murid
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-
Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah
untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan
kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (islam).[35] Untuk
itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali, murid memiliki etika dan tugas yang sangat banyak, yang dapat
disusun dalam tujuh bagian, yaitu:
1. Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2. Mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya
terikat pada ilmu.
3. Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak terpuji kepada guru,
bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4. Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.
5. Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia dapat mengetahui hakikatnya.
6. Mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
7. Hendaklah tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya dengan sesuatu yang akan
mengantarkannya kepada Allah SWT. [36]
D. Kesimpulan
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thu>si An-Naysa>buri> atau yang
lebih dikenal dengan al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang lahir dikota Thus, Khurasan pada
tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya adalah seorang sufi yang bekerja sebagai pemintal wool, ia
meninggal sewaktu al-Ghazali masih kecil. Al-Ghazali mulai belajar di kota kelahirannya Thus, lalu
kemudian melanjutkannya di Naysabur pada ulama terkenal, Al-Juwaini Imam Al-Haramain.
Kehidupannya kemudian banyak diisi dengan kegiatan mengajar diberbagai kota mulai dari Baghdad,
Damaskus, Syam hingga kembali kekampung halamannya di Thus, tempat dimana ia wafat pada
tahun 505 H/1111 M.
Imam al-Ghazali adalah seorang pemikir besar yang sangat produktif dalam menulis. Jumlah
kitab dan risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum disepakati secara definitif oleh para
penulis sejarahnya. banyak kitabnya yang dibaca dan dijadikan rujukan, bahkan diterjemahkan
kedalam bahasa-bahasa asing, seperti Ih}ya’ ‘Ulumuddin, Tahafut al-Falasifah, Ayyuha al-Walad
dan lain sebagainya.
Menurut al-Ghazali, pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
begitupun pemanfaatannya mestilah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah SWT. Beliau membagi
ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji dan ilmu terpuji
dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam. Lebih lanjut, al-
Ghazali memakai pendekatan behavioristik dalam metode pendidikannya dan mengelaborasinya
dengan pendekatan humanistik. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas seorang
pendidik dan murid. Menurutnya, pendidik dan murid haruslah menjaga etika dan tugas-tugas
mulianya agar dapat mengantarkannya pada kedekatakan Allah SWT sesuai dengan tujuan
penciptaannya dimuka bumi ini.

E. Saran
Kami menyadari bahwa makalah kami jauh dari sempurna. Oleh karena itu, untuk perbaikan makalah
ini kami minta masukan dan kritikan yang membangun dari kelompok lain. Trim’s

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Al-Ghazali. Mutiara Ih}ya’ ’Ulumuddin: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam.
Cet. XV. Diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan, 2003.
Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1998.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Naladana, 2004.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat
Pers, 2002.
Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Qur’an.
Cet. V. Jakarta: Penamadani, 2008.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005.
Syukur, Fatah NC. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
[1]Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), 3.
[2]Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam
(Bandung: Mizan, 2003), 9.
[3]Patuh dan taat kepada Allah, lihat Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1616.
[4]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989), 97.
[5]Al-Ghazali, Mutiara (Bandung: Mizan, 2003), 9
[6]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 82
[7]Ibid.
[8]M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung: Mizan, 2002), 28.
[9]Nata, Pemikiran Para Tokoh, 83.
[10]Al-Ghazali, Mutiara Ihya’, 9.
[11] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), 87.
[12]Muaskar adalah suatu lapangan besar luas disebelah Kota Naysabur dimana didirikan barak-barak
militer oleh Nidzam al-Mulk. Disini al-Ghazali diterima dengan penuh kehormatan karena
kemampuannya dalam mendebat para ulama setempat dalam Munazharah. Lihat Daudy, Kuliah
Filsafat, 97.
[13]Nata, Pemikiran Para Tokoh, 83.
[14] Abdullah, Antara Al-Ghazali, 29.
[15]Al-Ghazali, Mutiara Ihya’, 10.
[16]Daudy, Kuliah Filsafat, 98.
[17]Nata, Pemikiran Para Tokoh, 84.
[18]Daudy, Kuliah Filsafat, 99.
[19]Al-Ghazali, Mutiara Ihya’, 11.
[20]Daudy, Kuliah Filsafat, 99.
[21]Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1998), 3.
[22]Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-
Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2008), 152.
[23]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Naladana, 2004), 793.
[24] Nizar, Filsafat Pendidikan, 87.
[25]Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005), 83.
[26]Nizar, Filsafat Pendidikan, 87.
[27]Nata, Pemikiran Para Tokoh, 86.
[28]Suwito, Sejarah, 84.
[29]Nata, Pemikiran Para Tokoh, 89-92.
[30]Yaitu semacam astrology dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Ilmu ini menurut al-
Ghazali tercela menurut syara’, karena dapat menyebabkan manusia menjadi ragu pada Allah, lalu
menjadi kafir.
[31]Al-Ghazali, Mutiara Ihya’, 35.
[32]Nata, Pemikiran Para Tokoh, 95.
[33]Al-Ghazali, Mutiara Ih}ya’, 35.
[34]Nata, Pemikiran Para Tokoh, 96-99.
[35]Nizar, Filsafat Pendidikan, 89.
[36]Al-Ghazali, Mutiara Ihya’, 32-35.

Anda mungkin juga menyukai