Anda di halaman 1dari 8

Imam Al Ghazali

Orientasi
Nama lengkapnya adalah Miuhammmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
Abu Hamid Al Ghazali. Al Ghazali di lahirkan pada tahun 450 M di Thus, suatu kota yang
terletak di Khurosan. Ia mendapat julukan Abu Hamid karena salah seorang putanya yang
meninggal sewaktu masih kecil, bernama Hamid. Ia terkenal dengan sebutan Al-Ghazzali
dan Al-Ghazali. Sebutan Al-Ghazzali didasarkan pada pekerjaan dan keahlian bapak dan
kakeknya yaitu menenun. Adapun sebutan Al-Ghazali didasarkan pada daerah Ghazalah di
Thusi, Khurasan, Persia (Iran), tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam
Al Mishbah Al Munir. Ada juga yang mengatakan penisbatan namanya ini kepada salah
seorang keturunan Al Ghazali yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin
Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah. Anaknya Situ Al
Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang
menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Al Ghazali adalah anak seorang pembuat kain dari bulu (wol), tetapi Al Ghazali tidak
diasuh oleh ayahnyanya sampai dewasa, dikarenakan sang ayah meninggal dunia. Ayahnya
wafat saat Al-Ghazali kira-kira berusia 6 tahun. Setelah ayahnya meninggal dunia, dia diasuh
oleh seorang ahli tasawuf.
Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru
karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan
beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam
terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih, filsafat,
dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas
oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad
ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di
Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik
menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana
menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib
Kanselor di sana.
Beliau telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan
Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami ilmu
pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya Ulumuddin yang
memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.
Al Ghazali sudah menulis beberapa kitab yang sangat memberikan sumbangsih bagi
kehidupan. Sebagai seorang filsuf, Al Ghazali banyak mengkritik pendapat-pendapat filsuf
yang dianggapnya rancu. Dia mengkritik para filsuf (al farabi dan ibnu sina) dalam bukunya
yang berjudul tahafut al falasifah, dalam memberikan jawaban terhadap kritik Al Ghazali ini,
ibnu rusyd menulis buku yang berjudul tahafut al tahafut. Di Damaskus Al Ghazali menulis

sebuah buku yang sangat familier dikalangan ummat Islam Indonesia, yaitu kitab ihya
ulumuddin. Kitab ini berisi ajaran tentang Adab, ibadah, tauhid, akidah dan tasawuf yang
sangat mendalam. Kitab ini merupakan hasil perenungan yang mendalam dari Imam Ghozali
tentang berbagai hal, khususnya tentang pensucian hati.
Selain itu, kitab-kitab yang telah ditulis oleh Imam Al Ghazali terhitung banyak sekali dan
jika dihitung kira-kira melebihi 200 buah. Namun, yang masih dikenal hingga kini hanya
kira-kira 50 buah saja. Di antaranya,
Teologi
1.

Al-Munqidh min adh-Dhalal

2.

Al-Iqtishad fi al-I`tiqad

3.

Al-Risalah al-Qudsiyyah

4.

Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din

5.

Mizan al-Amal

6.

Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah

Tasawuf
1.

Ihya Ulumuddin

2.

Kimiya as-Sa'adah

3.

Misykah al-Anwar

Filsafat
1.

Maqasid al-Falasifah

2.
Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu,
yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut
Fiqih
1.

Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul

Logika
1.

Mi`yar al-Ilm

2.

al-Qistas al-Mustaqim

3.

Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq

Al Ghazali sudah mulai belajar fikih sejak masih kecil, dia belajar fikih di negara
kelahirannya kepada Syeh Ahmad Bin Muhammad Arrasikani, kemudian belajar pada Imam
Abi Nasar Al Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka
ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada Imam Al Haromain. Sejak belajar bersama Imam
Al Haromain, ketajaman otak Al Ghazali sudah mulai terlihat, sehingga dengan mudah dapat
menguasai ilmu-ilmu yang menjadi ilmu pokok pada saat itu, seperti mantiq (logika), filsafat
dan fikih mazhab Syafii. Sehingga Imam Al Haromain menjulukinya dengan sebutan lautan
tak bertepi.
Setelah wafatnya imam Al Haromain, Imam Al Ghazali pergi ke Al Ashar untuk
bersilaturrahmi kepada menteri Nizam Al Muluk, seorang menteri dari pemeritahan dinasti
Saljuk. Di sana dia disambut dengan penuh penghormatan sebagai ulama dan ilmuan besar.
Ketika berkumpul dengan para ulama dan cendikiawan, mereka semua mengakui ketinggian
ilmu yang dimiliki oleh Al Ghazali. Al Ghazali dilantik menjadi seorang guru besar di sebuah
perguruan tinggi nizamiah yang terletak di kota Bagdad, pelantikan ini dilakukan oleh
menteri Nizham Al Muluk pada tahun 484 H/ 1091 M. Al Ghazali mengajar di perguruan
tinggi ini selama empat tahun.
Pengangkatannya ini terjadi saat Al-Ghazali berusia tiga puluhan tahun, didasarkan
atas reputasi ilmiahnya yang begitu hebat.
Di kota Bagdad, nama Al-Ghazali semakin populer. Ia banyak dikunjungi orang untuk
ditimba ilmunya, dan mereka mengagumi kuliah dan dialog-dialognya, sehingga reputasi dan
kharismanya mengalahkan para gubernur, para menteri, dan istana khilafah sendiri. Di sini
pula ia mulai berpolemik dengan golongan Talimiyah/Bathiniyah Ismailiyah dan kaum
filosof. Setelah meneliti filsafat dan menyusun kitab-kitab hasil penelitiannya ini, ia
mengalihkan perhatiannya pada Talimiyah untuk menemuka ilmu yaqini sekaligus
menjalankan tugas dari Khalifah untuk menyusun buku tentang hakikat mazhab mereka.
Prestasi dalam melikuidasi pemikiran kaum Bathini ini memperkokoh gelar Hujjat al-Islam.
Al-Ghazali memang Hujjat al-Islam.Ia membela Islam dalam menolak orang-orang
Nasrani, juga serangannya terhadap kaum Bathini dan kaum filosofi. Ia membentengi mazhab
al-Asyariyah, walaupun ia mengritik kajian teoritik yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin
dan sikap mereka yang berlebih-lebihan dalam berdebat dan bermusuhan.
Al ghazali adalah ilmuan yang tidak pernah puas dengan ilmu yang dimilikinya, ini
dapat dilihat dari sikapnnya yang slalu ingin menguasai segala bidang.Sebagai seorang filsuf,
Al Ghazali kerap kali meragukan semua macam pengetahuan, kecuali yang berrsifat indrawi
dan pengetahuan hakikat.Karna skeptis yang begitu tinggi, sampailah Al Ghazli pada titik
kulminasi terendah, yaitu meragukan semua macam ilmu, baik yang bersfat empiris, hakekat,
maupun indarawi. Sebagaimana yang ia tulis dalam ktab AlMugidz yaitu:
sikap skeptic yang menimpa diriku dan bertahan lama, telah berlangsung dengan suatu
keadaan, dimana diriku tidak mempercayai terhadap pengetahuan indrawi, bahkan keraguan
ini semakin mendalam, dengan perktaannya bagamana pengetahuan indrawi itu dapat
dterima. Sepeti halnya pengelihatan, sebagai indra yang terkuat. Ketika engkau melihat

bayangan disangkanya diam, tidak bergerak. Tetapi dengan eksperimen dan analisa, setelah
beberapa saat kau melihat bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan
perlahan-lahan sedikit demi sedikit, sehingga diketahui sebenarnya bayangan itu tidak kenal
diam, demikian pula jika kamu melihat bintang, maka dikira dia kecil sebesar uang dinar,
tetapi bukti sebenarnya bahwa bintang itu lebih besar dari bumi,
Demikianlah krisis yang menimpa Al Ghazali sampai-sampai tidak dapat memercayai
pengetahuan indrawi, pada pase selanjutnya, Al Ghazali bahkan tidak dapat meyakini
pengetahuan yang didapat dari akal.
Untuk mengobati hal ini, pada akhirnya Al Ghazali kemudin mendalami tasawuf, maka
datinglah Al Ghazali dan menmasukkan tsawuf dalam pangkuan islalm.Tetapi Al Ghazali
tidak masuk kedalam tasawuf inkarnasi dan pantheisme karna dia tetap yakin dengan hakekat
kebenaran ajaran Islam, oleh karna itu, buku-buku yang ditulisnya pun tidak keluar dari Al
Quran dan Assunnah.
Memang sebenarnya sukar untuk menyebutkan sikap Al Ghazali tersebut dengan tasawuf ,
dan boleh jadi nama yang tepat adalah subyektivismus (keperibadian), sebagaimana yang
disebutkan oleh J. Obermen, dalam bukunya der philosophischeund religious subyektivismus
ghazalia ( keperibadian filsafat dan agama pada al ghazali). Pengetahuan yang ada pada Al
Ghazali adalah berdasarkan pengetahuan yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air
yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, tidak pula dari argument-argumen ilmu
kalam dalam dunia Islam.

Pada tahun 288 H. Al Ghazali pergi ke Syam, setelah terlebih dahulu menunaikan
rukun iman yang ke lima (haji di tanah suci Makkah), Al Ghazali kemudian melanjutkan
perjalanannnya ke Damaskus (Siriya) disinilah Al Ghazali menetap untuk beberapa lama. Di
Damaskus Al Ghazali sering sekali beribadah di masjid Al Umawi sehingga pada saat ini,
masjid tersebut diubah namanya menjadi masjidAl Ghazali. Di sini juga Al Ghazali menulis
sebuah buku yang sangat pamilier dikalangan ummat islam Indonesia, yaitu kitab ihya ulumu
Addin.
Setelah tinggal di Damaskus selama sepuluh tahun Al Ghazali menyelesaikan
tulisannya kemudian kembali ke Bagdad, dia kemudian mengajarkan isi kitabnya di majlismajlis taklim. Karena mengetahui Al Ghazali sudah kembali ke Bagdad, Muhammad
penguasa pada saat itu meminta Al Ghazali untuk kembali ke Naisabur dan mengajar di
perguruan Nizamiyah. Dia mengajar di sana selama dua tahun, setelah itu dia pulang dan
kembali ke kampung halamannya di Thus. Al Ghazali kemudian mendirikan sebuah sekolah
untuk mendidik para pukaha dan mutahawwifin (orang yang ahli dalam bidang tasawuf). Di
kampung halamannya inilah Al Ghazali meninggal dunia, pada tahun 505 H/ 1111 M, pada
usia 55 tahun.

RIWAYAT PENDIDIKAN & KITAB KARYA

Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena
kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau
menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam
terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih, filsafat,
dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas
oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad
ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di
Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik
menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana
menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib
Kanselor di sana.
Beliau telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan Jerusalem
untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang
ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan
besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.
Al Ghazali sudah menulis beberapa kitab yang sangat memberikan sumbangsih bagi
kehidupan. Sebagai seorang filsuf, Al Ghazali banyak mengkritik pendapat-pendapat filsuf
yang dianggapnya rancu. Dia mengkritik para filsuf (al farabi dan ibnu sina) dalam bukunya
yang berjudul tahafut al falasifah, dalam memberikan jawaban terhadap kritik Al Ghazali ini,
ibnu rusyd menulis buku yang berjudul tahafut al tahafut. Di Damaskus Al Ghazali menulis
sebuah buku yang sangat familier dikalangan ummat Islam Indonesia, yaitu kitab ihya
ulumuddin. Kitab ini berisi ajaran tentang Adab, ibadah, tauhid, akidah dan tasawuf yang
sangat mendalam. Kitab ini merupakan hasil perenungan yang mendalam dari Imam Ghozali
tentang berbagai hal, khususnya tentang pensucian hati.
Selain itu, kitab-kitab yang telah ditulis oleh Imam Al Ghazali terhitung banyak sekali dan
jika dihitung kira-kira melebihi 200 buah. Namun, yang masih dikenal hingga kini hanya
kira-kira 50 buah saja. Di antaranya,
Teologi
1.

Al-Munqidh min adh-Dhalal

2.

Al-Iqtishad fi al-I`tiqad

3.

Al-Risalah al-Qudsiyyah

4.

Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din

5.

Mizan al-Amal

6.

Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah

Tasawuf
1.

Ihya Ulumuddin

2.

Kimiya as-Sa'adah

3.

Misykah al-Anwar

Filsafat
1.

Maqasid al-Falasifah

2.
Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu,
yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut
Fiqih
1.

Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul

Logika
1.

Mi`yar al-Ilm

2.

al-Qistas al-Mustaqim

3.

Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq

SUMBANGAN PADA DUNIA ISLAM

Al ghazali adalah ilmuan yang tidak pernah puas dengan ilmu yang dimilikinya, ini
dapat dilihat dari sikapnnya yang slalu ingin menguasai segala bidang.Sebagai seorang filsuf,
Al Ghazali kerap kali meragukan semua macam pengetahuan, kecuali yang berrsifat indrawi
dan pengetahuan hakikat.Karna skeptis yang begitu tinggi, sampailah Al Ghazli pada titik
kulminasi terendah, yaitu meragukan semua macam ilmu, baik yang bersfat empiris, hakekat,
maupun indarawi. Sebagaimana yang ia tulis dalam ktab AlMugidz yaitu:
sikap skeptic yang menimpa diriku dan bertahan lama, telah berlangsung dengan suatu
keadaan, dimana diriku tidak mempercayai terhadap pengetahuan indrawi, bahkan keraguan
ini semakin mendalam, dengan perktaannya bagamana pengetahuan indrawi itu dapat
dterima. Sepeti halnya pengelihatan, sebagai indra yang terkuat. Ketika engkau melihat
bayangan disangkanya diam, tidak bergerak. Tetapi dengan eksperimen dan analisa, setelah
beberapa saat kau melihat bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan
perlahan-lahan sedikit demi sedikit, sehingga diketahui sebenarnya bayangan itu tidak kenal
diam, demikian pula jika kamu melihat bintang, maka dikira dia kecil sebesar uang dinar,
tetapi bukti sebenarnya bahwa bintang itu lebih besar dari bumi,
Demikianlah krisis yang menimpa Al Ghazali sampai-sampai tidak dapat memercayai
pengetahuan indrawi, pada pase selanjutnya, Al Ghazali bahkan tidak dapat meyakini
pengetahuan yang didapat dari akal.

Untuk mengobati hal ini, pada akhirnya Al Ghazali kemudin mendalami tasawuf, maka
datinglah Al Ghazali dan menmasukkan tsawuf dalam pangkuan islalm.Tetapi Al Ghazali
tidak masuk kedalam tasawuf inkarnasi dan pantheisme karna dia tetap yakin dengan hakekat
kebenaran ajaran Islam, oleh karna itu, buku-buku yang ditulisnya pun tidak keluar dari Al
Quran dan Assunnah.
Memang sebenarnya sukar untuk menyebutkan sikap Al Ghazali tersebut dengan tasawuf ,
dan boleh jadi nama yang tepat adalah subyektivismus (keperibadian), sebagaimana yang
disebutkan oleh J. Obermen, dalam bukunya der philosophischeund religious subyektivismus
ghazalia ( keperibadian filsafat dan agama pada al ghazali). Pengetahuan yang ada pada Al
Ghazali adalah berdasarkan pengetahuan yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air
yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, tidak pula dari argument-argumen ilmu
kalam dalam dunia Islam.

PENDAPAT PENULIS (RANGKUMAN)


Seorang Imam Al Ghazali begitu sangat berpengaruh dalam aspek dunia filsafat Islam dan
dunia. Dalam filsafat ilmu Al-Ghazali terdapat sedikitnya tujuh prinsip penerapan ilmu, yaitu:
1) prinsip objektivitas-kontekstualitas (namun tetap mempertimbangkan konteks sesuai
tuntutan norma-norma etis-yuridis), 2) prinsip ilmu untuk amal dan kebahagiaan, 3) prinsip
prioritas, 4) prinsip proporsionalitas, 5) prinsip ikhlas, 6) prinsip tanggung jawab moral dan
profesional, dan 7) prinsip kerja sama ilmu dengan politik.
Bila dianalisis dari kelima aspek, yaitu orisinalitas, korespondensi, koherensikonsistensi dan karakteristik bentuk logika, implikasinya bagi perkembangan ilmu, dan
konsekuensinya bagi perkembangan praksis manusia, pemikiran Al-Ghazali layak dikatakan
sebagai filsafat.
Hakikat ilmu menurut Al-Ghazali adalah dihasilkannya salinan objek pada mental
subjek sebagaiman realitas objek itu sendiri, dinyatakan dalam bentuk proposisi berdasarkan
metode ilmiah tertentu untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia.
Ontologi ilmu filsafat Al-Ghazali mencakup dunia fisis, dunia proses mental, dunia metafisis,
dan realitas mutlak. Sumber ilmunya mencakup empiri sensual, penalaran rasional, dan
wahyu yang bukti kebenarannya berakar pada realitas empirik-rasional.
Epistemologi sistem Sembilan Tahap yang terdiri atas tiga fase, yaitu fase pra-penelitian
(penetapan prinsip-prinsip ilmiah), fase epistemologi I (penalaran rasional berdasarkan data
empirik-sensual atau teks wahyu), dan fase epistemologi II (penyingkapan) melalui latihan
dan perjuangan berupa pembersihan diri dari segala sifat dan akhlak tercela, pengisian diri
dengan dengan akhlak terpuji, termasuk dzkikir dan meditasi.

PENUTUP (KESIMPULAN DAN SARAN)

Sebuah kebanggaan kita sebagai muslim dapat memiliki tokoh sehebat Imam Al
Ghazali. Dedikasi serta sumbangsihnya dalam kemajuan ilmu filsafat dunia banyak
dihasilkan dari tangan dinginnya. Sosok Al Ghazali sangat patut kita jadikan sebagai
cerminan seorang muslim yang memiliki pemikiran maju dan kecerdasan dalam berpikir
positif.
Dari semuanya yang telah dihasilkan oleh Al Ghazali sebaiknya dapat kita terapkan
seperti berbagai metode ilmiah tertendu demi kemajuan dan kebahagiaan umat manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung,
Pustaka Setia
Madkour, Ibrahim. 1995. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz al-Sani.
Terjemahan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran dan Teori Filsafat Islam.
Jakarta: Bumi Aksara
Smith, Margareth. Al-Ghazali-The Miystic. 2000. Terjemahan oleh Amrouni dengan
judul Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali. Jakarta: Riora Cipta
Supriadi, Dedi.2009. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Bandung:
Pustaka Setia
Zar, Sirajuddin. 2010. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghazali
http://muslim.or.id/biografi/sejarah-hidup-imam-al-ghazali.1.html
http://islamlib.com/id/artikel/takfir-minimalis-al-ghazali/

Anda mungkin juga menyukai