AkidahAbout Akidah
FilsafatAbout Filsafat
UmumAbout Umum
Home
Daftar Isi
A. Pendahuluan
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim
seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang
tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena
pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang
pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus
seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai
dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-
Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.
B. Al-Ghazali
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di
Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal
benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia
berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-
Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam
Ghazali.[1]Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55
tahun.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani
(teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di
negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada
Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat
menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab
Syafii. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah lautan tak
bertepi....[2]
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Muaskar,[3]ia pergi ke
Muaskar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk.
Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan
ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091
M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali
kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari
para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari
keramaian.[4]
Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para
ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat.
Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau
musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara
musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali dengan permaisuri
raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun
yang sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati dibunuh
oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487
H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini dianggapnya banyak
memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang terkenal.[5] Dalam hal ini,
karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang
pada saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan
kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat
lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah
yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham Al-Muluk.[6]
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun
dalam dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan
Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang berjudul Fadhail Al-Bathiniyah wa Fadhail Al-
Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan
judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti masyarakat terhadap
pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah,
tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat
kekacauan.[7]
Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia
selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam
kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia singgahi dan
terobosan yang ia lakukan antara lain:
a. Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4 (empat) tahun.
b. Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun untuk
berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat
Tuhan dan beritikaf di mesjid Damaskus.
c. kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di mana para Nabi
sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.
d. tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib, terutama
ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat
kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.
e. Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak berangkat ke
Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah
merebut kekuasaanya dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah
Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah,
ia berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji,
kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
f. Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus untuk
mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham
sufi di tempat kelahirannya.[8]
2. Karya-Karya Al-Ghazali
Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk menulis kitab. Jumlah kitab
yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut
Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang berapa jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali seperti halnya yang
dilakukan oleh Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul Muallafat Al-
Ghazali.Dala buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya al-
Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri
atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab. Ketiga,
kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.[9]
Mengenai kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada zamannya, di antaranya
tentang tafsir al-Quran, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih, tasawuf, mantiq, falsafat, dan lainnya.
a. Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama)
Ini merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah
antara syam, Yerussalem, Hijaz dan Yus, dan yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafat, bukan saja
terkenal di kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia Barat dan luar Islam.
b. Tahafut al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).
Kedua kitab ini , yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal merupakan kitab yang memuat di
dalamnya tentang permasalahan adanya peperangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd), disebabkan
sikap al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu :
Dalam buku ini, juga menyepakti bahwa persoalan yang tiga hal dalam kitab Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz
min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ala Ghairi
Ahlihi, ia mengakui qadimnya alam.
h. Faishal At-Tafriq Baina Al-Islam Wa Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq),
j. Al-Mustadhhir,
n. Al-Basith (fiqh),
o. Al-Wasith (fiqh),
p. Al-Wajiz (fiqh),
v. Miyar Al-ilmi,
z. Mahku An-Nadhar,
a. Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah
mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam
soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika),
maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-
bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh
pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa
karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa
metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang
hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabiiyat) yang berkenaan dengan
akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di
bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali
sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam
bagian selanjutnya.
b. Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan
semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu
menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-
zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah
yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat
ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali
menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan
sebab hakiki dari segala kejadian.[11]
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas),
sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asyari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan
tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh,
kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan)
alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata.
Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu
tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim
menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[12]
c. Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya
Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika
Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi Ala Thaqah al-Basyariyah,
atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman Ala Thaqah al-Basyariyah. Maksudnya adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai
Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat
memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani
yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan
diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi.
Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syariat, hal ini nampak dalam isi ajaran
yang termuat dalam kitab Ihyanya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang
berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan
haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.[13]
Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia menentang
dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang
berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates,
Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam
menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu
alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syariat dan agama, tidak percaya
pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan
tipu daya yang dihiasi keindahan ...[14]
Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan
agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Quran dan al-Hadits. Apabila
memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan
ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya
IhyaUlum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-
pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan
beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan
menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan
filsafat disebut sebagai seorang filosof?.[15]
Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga)
golongan:
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.
Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan
tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya
Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari
berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof
sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan
keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang
menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bidat dan kafir. Kesalahan para filosof
tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian,
antara lain:
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini
diciptakan-Nya,
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai
mahiyah (hakikat),
10. Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),
11. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juziyyat,
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak
mempunyai tubuh,
19. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia,
20. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan
menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh. [16]
Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa menyebabkan seorang filosof
itu menjadi kafir, antara lain :
Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya
dengan qadimnya illat atas malulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan
dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan),
karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum
ada.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka
mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada
kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan
ajaran al-Quran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala
isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak
ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.[17]
Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan apa pun bagi Allah
menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan
wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi
Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi
Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama
kedudukannya, harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikata para filosof Muslim
menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau
dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.[18]
Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan
yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan
mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual. Prinsip Pertama adalah
Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu
yang ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk yang Dia
kehendaki.[19]
Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah perbedaan
penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari
tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah
sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini
disusun, mesti qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman.
Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu alam ini qidam
pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam,
yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya
berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya, interprestasi
ini sejalan dengan ilmu fisika modren.[20]
Menurut ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis pemisah yang tegas, energi dapat
berubah menjadi materi dan materi dapat berubah menjadi energi. Dengan kata lain, energi ialah materi yang
direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang dipadatkan.[21]
c. Tuhan tidak mengetahui yang juziyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di alam.
Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juziyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah
sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof
Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai
pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui
yang selain-Nya.
Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah
melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak
membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan
orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang
berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau
kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya
yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.[22]
Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Quran yang menyatakan bahwa Allah Maha
Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.
Dalil pertama:
Artinya: Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak
mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari
pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak
(pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).(Q.S. Yunus:
61)
Dalil kedua :
Artinya:Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah
mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat:
16).
Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan
Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil (partikular). Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah
ucapan seperti di bawah ini :
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang
bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-
dalil di atas, ini menunjukkan ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah tidak ada sebutir atom pun di
langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya. [23]
Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat
dikatakan juzi (parsial) dan kully (umum). Juzi adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi
hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu). Kully bersifat abstrak, hanya dapat
diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk
mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu
Allah bersifat juzi dan kully.[24]
Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani semata,
sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun
kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan
kepedihan hanya saat di dunia saja.
Kesesuaian suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani pula. Akan tetapi,
kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan. Dalam mengulas alasan-alasan, mereka
mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas badan dan
kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya
dan yang mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi
menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula. Jadi, arti kebangkitan adalah
bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan
hidupnya yang sudah tidak ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan
disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh)
manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan lagi
dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap. Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan
kepada badan, baik badan dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi,
yang dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting, sedangkan manusia disebut
karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya (badannya).[25]
Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad ketika
keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan telah
berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang
berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi,
jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang
panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya
akan ada sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang
suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga
menjadi kain.[26]
Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Quran dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Tentang kehidupan di
akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad
dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi
yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali,
bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang
mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian, menurutnya bertentangan dengan apa
yang diajarkan oleh al-Quran dan al-Hadits, karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan
dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :
... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa
badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang
akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat
jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat
spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman
yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka
nyatakan itu.[27]
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang mengatakan bahwa roh-roh
manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan
jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara, yakni berarti jiwa dikembalikan
pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh
manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya. Namun, hal
yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah
Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya menjadikan
setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan
sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi,
perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan
(jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.[28]
Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara mendalam, maka pertentangan
tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asyari, ia
aktif mengembangkan Asyarisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu
saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya
tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu
saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti
ada kebangkitan.[29]
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak
mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat sebuah
karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
agama. Di dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama.
Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian
untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan
Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syariat.
Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali
berpendapat bahwa :
ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam
bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu
khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir
dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk
mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa
kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang
tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka marifat adalah tujuan yang luhur bagi
tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan
dengan ajaran agama.[30]
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Quran (mutiara al-Quran) dan Mizan Al-Amal (timbangan amal), al-
Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :
2. Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai
(hushuli).
4. Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhuin (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang paling luas di bahas olehnya dalam
melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya,
yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.
Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran filsafat.
Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan
manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat menurutnya
lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali
banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran
tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang
dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih,
bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.[31]
C. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir Islam
yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang.
Al-Ghazali mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof yaitu; (1) Bahwa materi dapat
merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang
karena inilah esensi logos yang merupakan ruh (2) Menolak klaim bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas
mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah, dan (3) Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak
abadi,mulai dari yang abadi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), Surabaya: Terbit Terang, t.t
----------------, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh, Jakarta: Tinta Mas, 1960
----------------, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj.Abdullah bin Nuh, Jakarta: Tinta Mas, 1960
-----------------, lihat Muqaddimah kitab Tahafut Al-Falasifah, Tahkik Sulaiman Dunya, Kairo: Dar al-Maarif, 1928
Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
A. Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi, 1983
Rusyd, Ibnu, Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Sulaiman Dunya, Kairo: Dar al-Maarif, 1971
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009
[1] Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), (Surabaya: Terbit Terang, t.t), hal. Vii
[2] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 215
[3] Muaskar adalah suatu lapangan luas di dekat Kota Naishabur yang di dalamnya didirikan barak-barak militer oleh
Nizam al-Muluk.
[4] Ibid.
[5] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 40.
[6] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hal.148
[7] Ibid.
[9] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal.97
[10] H. A. Mustofa berpendapat, berdasarkan kutipan dari Kitab Al Munqids min Ad Dhalal al Ghazali, ia berpendapat
bahwa: ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan
alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada
ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca
indera, sedang metode untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi)
yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi
berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka marifat adalah
tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al-Ijtihad)
karena bertentangan dengan ajaran agama. Tulisan ini mempunyai maksud bahwa; al Ghazali memberikan jalan
kepada para pemikir baik filosof, teologi, dan para sufi di kala itu, agar kembali kepada ajaran agama yang kukuh.
Lihat, H. A. Mustofa., Filsafat Islam , hal.221
[11] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988), hal. 172.
[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 176
[13] M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.280.
[14] Al-Ghazali, lihat Muqaddimah kitab Tahafut Al-Falasifah, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Maarif, 1928),
hal.1
[15] H. A. Mustofa., Filsafat Islam , hal.215
[18] A. Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981),
hal. 29
[20] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesi, 1983) , hal. 89
[24] Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Maarif, 1971), hal. 700-703
[27] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh, (Jakarta: Tinta Mas, 1960), hlm. 129
[30] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj.Abdullah bin Nuh, ( Jakarta: Tinta Mas, 1960), hal. 205
Reply
Fauzan al-Farisi
7 June 2013 at 21:18
Artikel yang bagus. Saya mempunyai media berupa majalah yang terbit tiap bulan. Jika tidak
keberatan, saya minta izin untuk memasukkan artikel ini ke majalah saya..
Reply
Syafieh Yanti
6 July 2013 at 22:00
Salam Mas Fauzan. Tank's sebelumnya. pada dasarnya saya tidak keberatan, tapi mohon
dikirimi ke saya majalahnya yaa? karena itu buat angka kredit saya.
Reply
Anonymous
17 July 2013 at 13:42
salam.
Reply
rusmin min
6 August 2013 at 04:01
assalamu alaikum, ijin kopas mas bro..
Reply
reza ba'umar
13 August 2013 at 23:58
ajiib... Berarti ibn rusyd bertntangan ya sama imam al ghazaly ? Kalau ibnu sina al khindi ?
Reply
Anonymous
19 October 2013 at 15:13
ibnu sina alkhindo ibnu rusyd adalah filosof terdahulu khususnya alkindi
karena dia filosof arab yang pertama, belajar dr aristoteles tapi sedikit berbeda dengan aristoteles
Reply
iat solihat
30 October 2013 at 11:34
ada yang tau gx judul kitab karangan imam ghozali yang menerangkan tentang prediksi
cuaca???
Reply
Anonymous
10 November 2013 at 10:43
Reply
Anonymous
20 November 2013 at 18:51
1) Menurut para akhli di seluruh Dunia bahwa GRAVITASI BUMI EFEK DARI ROTASI BUMI.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala SALAH BESAR, bahwa Gravitasi Bumi TIDAK ADA
KAITANNYA DENGAN ROTASI BUMI. Sekalipun bumi berhenti berputar Gravitasi Bumi tetap
ada.
2) Bahkan kesalahan lainnya yaitu semua akhli sepakat bahwa panas di bagian Inti Matahari
mencapai 15 Juta Derajat Celcius.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala panas Inti Matahari SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN.
Beliau menambahkan:KALAU TIDAK PERCAYA SILAKAN BUKTIKAN SENDIRI.
3) Filsuf Sunda Mandalajati Niskala sangat logis menjelaskan kepada banyak pihak bahwa
MATAHARI ADALAH GUMPALAN BOLA AIR RAKSASA YANG BERADA PADA RUANG
HAMPA BERTEKANAN MINUS, SEHINGGA DI BAGIAN SELURUH SISI BOLA AIR RAKSASA
TERSEBUT IKATAN H2O PUTUS MENJADI GAS HIDROGEN DAN GAS OKSIGEN, YANG
SERTA MERTA AKAN TERBAKAR DISAAT TERJADI PEMUTUSAN IKATAN TERSEBUT. Suhu
kulit Matahari menjadi sangat panas karena Oksigen dan Hidrogen terbakar, tapi suhu Inti
Matahari TETAP SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN.
5) Menurut para akhli diseluruh Dunia bahwa Gravitasi ditimbulkan oleh adanya massa pada
suatu Zat.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala: GAYA GRAVITASI BUKAN DITIMBULKAN OLEH
ADANYA MASSA PADA SEBUAH ZAT ATAU BENDA.
Mandalajati Niskala menambahkan: Silahkan pada mikir & jangan terlalu doyan
mengkonmsumsi buku2 Barat.
6) Filsuf Sunda Mandalajati Niskala membuat pertanyaan di bawah ini cukup menantang bagi
orang-orang yang mau berpikir:
a) BAGAIMANA TERJADINYA GAYA GRAVITASI DI PLANET BUMI?
b) BAGAIMANA MENGHILANGKAN GAYA GRAVITASI DI PLANET BUMI?
c) BAGAIMANA MEMBUAT GAYA GRAVITASI DI PLANET LAIN YG TIDAK MEMILIKI GAYA
GRAVITASI?
7) Menurut para akhli diseluruh Dunia bahwa Matahari memiliki Gaya Gravitasi yang sangat
besar.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala Matahari tidak memiliki Gaya Gravitasi tapi memiliki
GAYA ANTI GRAVITASI.
8) Pernyataan yang paling menarik dari Filsuf Sunda Mandalajati Niskala yaitu:
SEMUA ORANG TERMASUK PARA AKHLI DI SELURUH DUNIA TIDAK ADA YANG TAHU
JUMLAH BINTANG & JUMLAH GALAKSI DI JAGAT RAYA, MAKA AKU BERI TAHU, SBB:
a) Jumlah Bintang di Alam Semesta adalah 1.000.000.000.000.000.000.000.000.000
b) Jumlah Galaksi di Alam Semesta adalah 80.000.000.000.000
c) Jumlah Bintang di setiap Galaksi adalah sekitar 13.000.000.000.000
9) Dll Hipotesis dari Filsuf Sunda Mandalajati Niskala YANG MENCENGANGKAN DUNIA.
Selamat berfilsafat
@Sandi Kaladia
Reply
Anonymous
24 March 2014 at 23:25
Reply
Anonymous
9 September 2014 at 20:01
Reply
Terimakasih Mas, artikel filsafatnya Imam Ghazali keren mas... tinggal kita yang belajar filsafat.
Reply
TheRipper
13 October 2014 at 14:16
sangat bermanfaat informasi nya pak.. saya jadi semakit semangat untuk mengetahui sejarah-
sejarah dahulu..
Reply
Anonymous
29 October 2014 at 05:01
Reply
imam hanafi
24 December 2014 at 04:39
Reply
imam muslim
26 February 2015 at 16:18
Reply
makasih infonya
Reply
Rahman Wangsyah
2 July 2015 at 01:51
makasih infonya.
jangan lupa kunjungi
About
Reply
Elfizon Anwar
19 July 2015 at 07:14
Islam ya ISLAM, Filsafat Islam ya tidak ada karena wilayah filsafat adalah bagian terkecil dari
ajaran Islam itu sendiri
http://yahya-ibrahim.blogspot.com/2014/09/islam-dan-filsafat.htm
Reply
Reply
My Family
3 November 2015 at 02:27
Reply
Uda Hendra
22 January 2016 at 02:57
Assalamualaikum wr wb... Terimakasih mas Info nya.. artikelnya bagus dan kami tunggu artikel
berikutnya mengenai filosofi...
Reply
Anonymous
31 January 2016 at 17:31
Reply
Nadia Chuba
30 March 2016 at 09:06
Seorang filosof boleh saja menemukan wujud Tuhan,namun mereka selamanya tdk pernah tahu
cara beribadah dan mendekatkan dirinya kpd Tuhan sesuai perintah Tuhan sebagaimana yg
diajarkan Rasul. Sehingga wujud Tuhan yang ditemukan para filosof hanyalah kehampaan dan
hawa nafsu dari akalnya yang merasionalkan wujud Tuhan.
Reply
eko saputra
19 August 2016 at 10:24
Cari TiketPesawat Online Super Cepat dan murah??
http://selltiket.com
Booking di SELLTIKET.COM aja!!!
CEPAT,.TEPAT,.DAN HARGA TERJANGKAU!!!
Reply
Inibola Bola
3 September 2016 at 11:47
Poker Online
SBOBET ONLINE
IBCBET ONLINE
ASIAPOKER77
Agenbola1388 merupakan Agen Bola Terpercaya yang sangat terpercaya Dan Demi
Kenyamanan Para Bettor Kami Menyiapkan Berbagai Bonus.
KLIK DAFTAR
Reply
Tedi Wahyudin
19 October 2016 at 16:42
Post a Comment
February 2016
December 2014
[03] PERISTIWA PERANG SALIB DAN INVASI MONGOL PADA MASA ABBASIYAH
November 2014
May 2014
March 2014
February 2014
January 2014
September 2013
[30] METODOLOGI STUDI ISLAM: MANUSIA DAN AGAMA
[23] METODOLOGI STUDI ISLAM
[22] PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM SEBUAH KENISCAYAAN
[21] SILABUS MATA KULIAH PMDI
July 2013
June 2013
May 2013
April 2013
March 2013
February 2013
January 2013
[08] About Me
ABOUT ME
SYAFIEH YANTI
View my complete profile
CHAT WITH ME
POPULAR POST
BERITA HOT
BLOG TEMAN
IPTEK
Epistemologi
Kajian Keislaman
Kumpulan emak2 Blogger
Studi Islam
Sejarah Muslim India
FOLLOWERS
https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/metodologi-studi-islam/tokoh-tokoh-filsafat-
Skip to content
Home
Mengenai Saya
Kontak Saya
Buku Tamu
Kumpulan Makalah
Galeri
Kumpulan Lirik Lagu Barat
Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya
Makalah disusun oleh: Agus Setiawan & Armawan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bersama tentang pembahasan kami ini bertema Tokoh-
tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya. Tentu hal ini sangat menarik untuk kita bahas
dan pengupas dengan seksama guna menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang
filsafat, terutama filsafat Islam. Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir
dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal.
Sedangkan filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan,
kenabian, manusia dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran
yang logis dan sistematis serta dasar-dasar atau pokok-pokok pemikirannya
dikemukakan oleh para filosof Islam.
BAB II
A. Al-Kindi
1. Sejarah Hidup
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Yakub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu
Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asyas ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan suatu
nama kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang
menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang
terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk
memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan terhormat.
Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-
Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima khalifah
Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Mamun, Al-Mutasim, Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa
dan teologi Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas,
yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun
mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran jika ia dapat
menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik
meteorologi,, optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya
terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama
yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai
pantas menyandang gelar Faiasuf al-Arab ( filosof berkebangsaan Arab).
2. Filsafat atau Pemikirannya
a. Talfiq
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat
adalah pengetahuan yang benar ( knowledge of truth). Al-Quran yang membawa
argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan
dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan
berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam
diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan
kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu
mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi
Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama
ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah
mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping
itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan,
tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk
berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus
menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, tidak ada
yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri.
Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan
dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran,
sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka
orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang
memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi beragama.
Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak
mendewa-dewakan akal.
b. Jiwa
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna
dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan
sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual,
ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu
dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan
saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari
badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa
yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang
pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa
adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya
membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan
jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah
kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya
jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari
alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu,
daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun
keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan
oleh Tuhan.
3. Moral
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan
bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk
diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para
ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang
memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam
negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam kesesakkan jiwa
filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan
hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk
meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syariat kurang
menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau
moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
B. Al-Farabi
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh.
Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr.
Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada tahun
330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdan,
sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama
istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana
dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf
Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang
filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga
filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan
mengupas sistem filsafatnya.
2. Pemikirannya
a) Pemaduan Filsafat
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan
Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea,
karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau
sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang
berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan
interpretasi batini, yakni dengan menggunakan tawil bila menjumpai pertentangan
pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam
rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui
adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak
lebih dari tiga kemungkinan:
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu
kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara
memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari
kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada
hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab tawil filosofis. Dengan demikian,
filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak
berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran
Islam mutlak kebenarannya.
b) Jiwa
Adapun jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus.
Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak
berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad
merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi
yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia
disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari
alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad
siap menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana.
Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat
melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
c) Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia
tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara al-
Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi
oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala,
tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi
tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah
(otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja
otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat
penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan
bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah
secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang
intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang
dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan,
ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam
hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati,
kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani
dan kefasihan berbicara.
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau
terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara
seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang
pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat
dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
C. Ibnu Sina
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia
dilahirkan didesa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai
kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu
menghafal Al-Quran, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika
karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah
banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat
dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.
2. Pemikirannya
a) Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam
empat kelompok: mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat
penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru
sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang
demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka
mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini
dan akan datang. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak
mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak
praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman
daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki
imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia
mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi
pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui
keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni
dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian
kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi
percaya tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar atau haus,
imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman.
Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi,
menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan
dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.
b) Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan
keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai
tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal,
lalu akal akan menerima marifah dari al-faal. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa
manusia tidak berbeda lapangan marifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai
marifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan
dengan akal faal.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia
tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya,
tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak
kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena
manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar
tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal faal.
D. Al-Razi
1. Sejarah lahir
Nama lengkap al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi.
Dalam wacana keilmuan barat, beliau dikenal dengan sebutan Razhes. Ia dilahirkan di
Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhoges, dekat Teheran, Republik Islam
Iran pada tanggal 1 Syaban 251 H/865 M. Perlu diingat bahwasanya tempat yang ia
tinggali yakni Iran ,yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, merupakan
tempat dimana terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan terutama kebudayaan
Yunani dan Persia. Dengan suasana seperti lingkungan seperti ini mendorong bakat Al-
Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggil al-razi, yakni Abu Hatim Al-Razi dan
Najmun Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Razi dengan yang lainnya,
perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya
(gelarnya).
Beliau pernah menjadi tukang intan pada mudanya, penukar uang, dan pemain kecapi.
Lalu beliau memusatkan perhatiannya pada ilmu kimia dan meninggalkannya akibat
eksperimen-eksperimen yang dilakukannya yang menyebabkan mata terserang
penyakit. Setelah itu, beliau mendalami ilmu kedokterang dan filsafat yang ada pada
masa itu.
Ayahnya berharap Al-razi menjadi seorang pedagang besar, maka dari itu ayahnya
membekali Al-razi ilmu-ilmu perdagangan. Akan tetapi, Al-Razi lebih memilih kepada
bidang intelektual ketimbang dengan perdagangan karena menurutnya bidang
intelektual merupakan perkara yang lebih besar ketimbang urusan dengan materi
belaka.
Karena ketekunannya dalam bidang kedoteran dan filsafat, Al-Razi menjadi terkenal
sebagai dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, oleh karena tiu
dia sering memberi pengobata cuma-Cuma kepada orang miskin. Dan karena
reputasinya dalam kedokteran, dia pernah mejabat sebagai kepala rumah sakit Rayy
pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia berpindak ke
Baghdad dan memimpin rumah saki di sana pada masa pemerintahan Khlifah Al-
Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian id
berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada tanggal
5 Syaban 313 H/ 27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.
2. Karyanya
Mengenai karyanya, tentu berkaitan dengan siapa dia belajar, dan siapa yang
mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya. Menurut Al-Nadim, beliau belajar filsafat
kepada Al-Bakhli yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Ia sangat rajin dalam
menulis dan membaca, mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya secara
berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Ia menolak akan untuk di obati
dengan mengatakan bahwa pengobatan untuknya itu sia-sia karena tak sebentar lagi dia
akan meninggal.
Tak heran jika karya-karyanya sangat banyak sekali bahkan dia menuliskan pada salah
satu kitabnya, bahwasanya dia menulis tidak kurang sari 200 karya tulis dalam berbagai
ilmu pengetahuan. Karya-karyanya yang meliputi:
1. Ilmu Falak,
2. Matematika,
3. Bidang kimia, yang terkenal dengan Kitab As-rar
4. 4. Bidang kedoteran, yang terkenal dengan al-mansuri Liber al-Almansoris
5. 5. Bidang Medis, yang terkenal dengan kitab Al-Hawi,
6. 6. Mengenai penyakit cacar dan pencegahannya, yakni Kitab al-Judar wa al-Hasbah
Sebagian dari karyanya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasail
Falsafiyyat dan buku-buku yang lainnya seperti Thib al-Ruhani, al-Sirah al-
Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran
dibanding dengan sebagai filosof.
3. Filsafatnya
Lima Kekal ( Al-Qadiim )
Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami sebagai pemakal
memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya sangat banyak, akan
tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada pemikirannya mengenai 5 hal yang
kekal.
5 hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Taala (Allah Taala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa
universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang
absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya
pada yang hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak
hidup dan pasifitu materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang
dan waktu.
Al-Baary Taala (Allah Taala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang
menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan ala
mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa
universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi
kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula al-Uula (materi
pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa
dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia juga kekal
karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.
Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena materi ini
menempati ruang, maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal.
Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua kategori, yakni ruang pertikular
yang terbatas dab terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya, dan ruang
universal yang tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut) padad dua
kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang
bergerak atau yang mengalir (jauhar yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur.
Waktu mahsur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet,
perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal.
Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya
waktu yang terbatas.
E. Ibnu Miskawaih
1. Sejarah lahir
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Yakub
ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat di
asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M. Dari buku yang kami
dapatkan, tidak ada penjelasan yang sangat rinci mengungkapkan biograpinya. Namun,
ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, bahwa ibnu miskawaih belajar sejarah
terutamaTaarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil Al-Qadhi dan belajar
filsafat kepada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya aristoteles.
Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut syiah. Hal ini didasarkan pada
pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir syiah pada masa pemerintahan Bani
Buwaihi ( 320 448 M ). Dan ketika sultan Ahmad Adhud Al-Daulah menjabat sebagai
kepala pemerintahan, ibnu Miskawaih menduduki jabatan yang penting, seperti
pengangkatannya sebagaiKhazin, penjaga perpustakaan Negara dan bendarahara
negara.
2. Karyanya
Dalam karyanya dalam disiplin ilmu meliputi kedokteran, sejarah dan filsafat. Akan
tetapi, dia lebih terkenal sebagai seorang filosof akhlak, ( al-falsafat al-amaliyat )
ketimbang dengan seorang filosof ketuhanan ( al-falsafat al-nazhariyyat al-Illahiyat ).
Dalam buku The History of the Muslim Philoshopy disebutkan bahwa karya tulisannya
itu; Al-Fauz al-Akbar, al-Fauz al-Asghar, Tajaarib al-Umaan ( sebuah sejarah tentang
banjir besar yana ditulis pada tahun 369 H/ 979 M), Uns al-Fariid ( yakni koleksi
anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah ), Tartiib al-Saadat ( isinya ahlak dan
politik ), al-Mustaufa ( isinya syair-syair pilihan ), al-Jaami, al-Siyaab, On the Simple
Drugs ( tentang kedokteran ), On the composition of the Bajats ( tentang kedokteran ),
Kitaab al-Ashribah ( tentang minuman ), Tahziib al-Akhlak ( tentang akhlak ),
Risaalat fi al-Lazza wa al-Aalam fil jauhar al-Nafs, ajwibaat wa Asilat fi al-Nafs wa
al-Aql, Al-Jawaab fi Al-Masaail al-Salas, Risaalat fi Jawaab fi Sual Ali ibnu
Muhammad Abuu Hayyan al-Shufii fi HAqiiqat al-Aql, dan Tharathat al-Nafs.
3. Akhlak
Ibnu miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang moralis berpendapat bahwa
akhlak adalah suatu sikap atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa
berpikir dan sama sekali tidak ada pertimbangan. Dengan kata lain, ahklak adalah
tindakan yang tidak ada sama sekali pertentangan dalam dirinya untuk melakukan
sesuatu. Menurut kami, ungkapan beliau mengenai hal ini sama dengan perkataan plato
yang mengatakan bahwasanya cinta adalah gerak jiwa yang kosong.
Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni; unsur watak
naluriah dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan latihan ( riyadhoh ). Serta dia
berpandangan bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang mana apabila ketigak daya ini
beserta sifat-sifatnya selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat yakni adil.
Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan daya keinginan.
Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini antara lain
adalah; sifat hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah
ini lahir dari ilmu. Rasa berani merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana sifat
berani ini timbul dari sifat hilm ( mawas diri ). Sedangkan sifat utama bagi jiwa
keinginan adalah sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir dati iffah (
memelihara kehormatan diri ).
Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani, dan murah
yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifati keempat akan timbul darinya,
yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan
zalim.
F. Ibnu Rusyd
1. Sejarah kelahirannya
Nama asli dari Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu
Muhammad ibnu Rusyd, beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/ 1126
M, 15 tahun setelah kematiannya imam ghazali. Di dunia barat dia lebih terkenal
dengan sebutan Averros, sedang di dunia islam sendiri lebih terkenal dengan nama ibnu
Rusyd. Ibnu Rusyd adalah keturunan keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh
keilmuwan, sedang ayah dan kakeknya adalah mantan hakim di andalus. Pada tahun
565 H/ 1169 M dia diangkat menjadi seorang hakim di Seville dan Cordova. Dan pada
tahun 1173 ia menjadi ketua mahkamah agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.
Salah satu faktor yang membuatnya menjadi seorang ilmuwan adalah karena dia
tumbuh dan hidup dalam keluarga yang Ghirah-nya besar sekali dalam bidang
keilmuwan. Akan tetapi yang menjadi faktor utamanya karena ketajamannya dalam
berpikir serta kejeniusan otaknya. Dengan semua faktor-faktor di atas, tidaklah heran
apabila dia menjadi seorang ilmuwan Muslim yang terkemuka.
Hal yang sangat mengagumkan dari ibnu Rusyd adalah semenjak dia sudah mulai
berakal ( masa baligh ) hampir semua hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan
membaca. Tak pernah dia melewatkan waktunya selain untuk berpikir dan membaca,
kecuali pada malam ayahnya meninggal dan ketika malam pernikahannya. Dengan
keadaan seperti ini, membuat pemikirannya semakin tajam dan kuat dari waktu ke
waktu.
Kehidupannya sebagai seorang hakim tidaklah mulus, ibnu Rusd pernah mengalami
akan tuduhan pahit, yang pada dasarnya hanya untuk keperluan mobilisasi menghadapi
pemberontakkan Kristen Spanyol, dia di tuduh kafir, lalu dia di adili dan sebagai
hukumannya dia di buang ke Lucena, dekat Cordova. Tidak hanya itu saja, semua
jabatannya sebagai hakim mahkamah agung dicopot serta semua bukunya di bakar,
kecuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni ( sains ), seperti kedokteran,
matematika dan astronomi.
Setahun lamanya ibnu Rusyd mengalami masa yang sangat getir itu, dan pada tahun
1197 M, khlifah mencabut hukumannya dan mengembalikkan semua pangkat yang
pernah dia pegang sebelumnya. Ibnu Rusyd meninggal 10 desember 1198 M/ 9 Shafar
595 H di marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun
menurut perhitungan tahun Hijriyah.
2. Karyanya
Tulisan ibnu Rusyd yang dapat kita dapati pada sekarang ini antara lain; Fashl al-
Maqaal fi maa bain al-Hikmat wa al-Syariah min al-Ittishaal, buku ini berisikan
korelasi antara agama dan filsafat. Al-Kasyfan Manaahij al-Sdillah fi Aqaaid al-Millat,
sedang buku ini berisikan tentang kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan
sufi. Tahaafut al-Tahaafut, kitab ini berisikan tentang kritikan terhadap imam ghazali
yang kitabnya berjudul Tahaafut al-Falaasifah. Sedangkan karnyanya dalam bidah
fiqih yaitu buku yang berjudul Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid.
3. Hukum Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan
Mukjizat
Berikut ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap imam ghazali mengenai sebab-
akibat yang memang merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan;
Penutupan
Dari apa yang kami tuliskan dalam makalah ini, sebebenarnya terdapat keterbatasan,
yakni tidak semua para filosof muslim kami bahas dalam makalah ini, terutama lagi
tidak semua pula pendangan-pandangan para filosof yang kami tuliskan pada makalah
ini, hanya beberapa saja yang kami anggap mereka terkenal dalam bidang keilmuan
yang kami tuliskan. Masih banyak lagi filosof muslim yang tidak kami tuliskan, seperti
ibnu thufail, ibnu bajjah, ikhwan al-shafa dan lain sebagainya.
Dapat disimpulkan, dari lahirnya para tokoh di atas tadi yang menjadi sebab adanya
karya-karya mereka yang banyak, merupakan hal yang membanggakan bagi khazanah
keilmuan islam. Sayangnya saja, karya-karya mereka yang banyak itu tidak kita temui
secara keseluruhan pada saat ini, karena terjadinya keadaan-keadaan yang menyulitkan
para filosof, seperti halnya kejadian yang menimpa ibnu rusyd yang karya-karyanya di
bakar.
Tapi, bukan berarti kita tidak dapat mempelajari karya-karya mereka yang tersisa saat
ini, kita juga dapat mempelajari karya-karya filosof yang lahir setelah mereka dan
dengan sebab ini pula banyak karya-karya baru yang mereka tuliskan sehingga kita
sebagai orang muslim tidak kehilangan akan khazanah keilmuan berkat jerih payah
mereka.
Semoga dengan apa yang kami tuliskan ini bermanfaat, setidaknya menambah
pengetahuan mengenai filosof muslim dan pemikirannya meski sedikit yang kami
cantumkan pada makalah kami. Semoga dapat membantu bagi yang membutuhkan.
Amiin.
Daftar Pustaka
Muhammad Yusuf Musa, falsafat al-Ahklaq fi al-Islam, kairo: Dar al-Araf, 1945
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., filsafat islam, filosof dan filsafatnya, jakarta: rajawali
pers, 2004
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta, Paramadina, 1997
Nasution Hasyimsyah, filsafat islam, jakarta, Gaya media Pratama, 1998.
[1] Al-Isra; 17 ; 77
Share this:
Facebook97
1. adrirahmat says:
February 4, 2014 at 3:55 am
saya punya pertanyaan dari senior saya yang sampai sekarang tidak bisa sy
jawab,barang kali kakak hisa bantu
apakah nalar dam hati itu sama?kalau sama apa faktor persamaannya dan kalau
berbeda apa faktor uang membedakan
Reply
o Ahman91 says:
March 20, 2014 at 4:08 am
mnurut saya, nalar itu berupa hasil olahan akal yng menghasilkan suatu pemikiran,
sedangkan hati itu sesuatu yang dirasa oleh bathin yng menghsilkan intuisi. antum psti
sdah tw perbedaannya. .thanks. .
Reply
febriyan says:
December 13, 2014 at 4:26 pm
Kalau nalar hasil olahan dari akal, akal pasti punya proses atau tahapan untuk bisa
mengolah. Lalu proses atau tahapannya itu apa ya ?
2. Syarif says:
February 22, 2014 at 10:24 am
o Ahman91 says:
March 20, 2014 at 4:01 am
3. dinda says:
April 15, 2014 at 9:45 am
o Ahman91 says:
April 25, 2014 at 12:37 am
thanks you . .
Reply
4. akhyfaisal says:
April 18, 2014 at 11:51 pm
terimaksih atas bantauan anda, sehinga dengan bahan ini bisa membantu saye,,, saye
cofi ini bhan ea..thank you ? for your assistance, so that the material can you help
me .
Reply
o Ahman91 says:
April 25, 2014 at 12:36 am
ok, welcome. .
Reply
o Ahman91 says:
April 25, 2014 at 12:36 am
ok, welcome. .
Reply
o Ahman91 says:
June 13, 2014 at 7:01 am
welcome bro,
Reply
keren
Reply
o Ahman91 says:
June 13, 2014 at 6:59 am
makasih yah
Reply
o Ahman91 says:
July 1, 2014 at 3:31 am
mksih
Reply
6. Andieki says:
June 13, 2014 at 5:03 pm
o Ahman91 says:
July 1, 2014 at 3:30 am
klo loe mw ikut pemahaman biasa mah, akal itu tggl di kepala, itu kata orang sih, tapi
klo mnurut gw mah akal itu tak terlihat bro, gmn ia bisa menempatkan sesuatu tmpt.
Reply
o Ahman91 says:
March 9, 2015 at 9:04 am
8. qudroh72 says:
December 25, 2014 at 7:26 am
Wq
Thanks
Reply
o Ahman91 says:
March 9, 2015 at 9:01 am
sama2
Reply
9. zayswa says:
April 3, 2015 at 4:55 am
o Ahman91 says:
April 6, 2015 at 9:43 am
silahkan aj gan
Reply
putra says:
April 8, 2015 at 1:31 pm
Saya mau nanya Apa perbedaan filsafat islam dengan filsafat barat ?
Ahman91 says:
April 13, 2015 at 1:51 am
Ahman91 says:
May 16, 2015 at 1:27 am
o Ahman91 says:
May 16, 2015 at 1:27 am
o Ahman91 says:
September 19, 2015 at 5:24 am
alhmdulillah, amiin. .
Reply
o Ahman91 says:
September 19, 2015 at 5:24 am
silahkan. .
Reply
13. Hendra 93 says:
November 1, 2015 at 7:29 am
o Ahman says:
November 1, 2015 at 1:56 pm
ok bro
Reply
Leave a Reply
Profil Saya
about.me/Ahman
Ahman Tanjoeng
MASA
Kalender
Widget Animasi
Archives
Archives
Recent Posts
Perjuangan dan Doa
Cemburu
Dulu, dan Masa Depan.
Harapan
Nikah,Kaya Dulu.
Kategori
Kategori
Favorit Links
Bayt al-Hikmah Institute
Download Buku-buku Islami
Nahdlatul Ulama
Pesantren Al-Qur'an Babussalam
Republika
Sadra Digital Library
Saptuari Sugiharto
STFI Sadra
The Islamic College
Ikuti
Welcome to My Life
SELAMILAH LAUTAN ILMU YANG TAK TERBATAS
Follow
http://mozaikzaman.blogspot.co.id/2010/06/apakah-itu-jabariyah-
qadariyah.htmlMozaik ZamanBlog biasa berisi artikel-artikel spiritual yang
mendorong peningkatan kesadaran dan hubungan baik sesama manusia dan semua makhluk tanpa
membeda-bedakan ras, agama, kepercayaan, suku, gender.
Copyright 2016 Mozaik Zaman | Powered byBlogger
Design by Anders Norn
Blogger Theme by NewBloggerThemes.com
No comments
Related Posts:
Popular Posts
Apakah Itu Jabariyah, Qadariyah, Mutazilah dan Asyariyah?
Adalah masalah kehendak bebas atau tidak bebas adalah satu masalah yang telah lama
diperdebatkan yang dalam dunia Muslim diperbincangkan ole...
Apakah Theosofi Itu
Hikmah adalah barang milik Mumin. oleh karena itu dimanapun dia
menemukannya, maka dialah yang paling berhak memilikinya. Hadits Bagi And...
Tolonglah Dirimu Sendiri
Tulisan ini diilhami dari buku Iman Al Ghazali yang berjudul Surat-surat Imam Al
Ghazali kepada Para Ulama, Penguasa dan Pejabat dimana da...
Apakah Manusia Itu Bebas Berkehendak dan Berbuat?
Apakah manusia itu bebas dalam bertindak ataukah tidak? Itulah satu masalah yang
sejak lama diperbincangkan oleh orang-orang sudah mulai ber...
Theosofi Adalah Tasauf / Hikmah Illahi
Theosofi adalah Hikmah Illahi atau Kearifan Illahiah yang pada awalnya
diperkenalkan kepada Bangsa Barat. Tetapi kini bangsa Timur yang meru...
Pandangan Waskita Mengenai Kesehatan dan Penyakit
Anjuran yang mengatakan bahwa bila ingin mendapatkan kebahagiaan dan
keselamatan maka orang harus berpengetahuan adalah cocok dengan ajaran ...
Transliterasi Arab - Latin Surat Yasin (Bacaan Latin Surat Yasin)
Inilah transliterasi Arab - Latin Surat Yasin 1 - 83 : 1. Yaa siin 2. Wal Qur'aanil
hakiimi 3. Innaka laminal mursaliina 4. 'Alaa si...
Spiritualitas Menyikapi Emosi : Semakin Lama Ujian Semakin Berat
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai keadaan-keadaan yang
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, dimana sebagian besar pertanyaan-...
Manfaat Peningkatan Kesadaran
Dalam panggung sejarah dunia telah bermunculan dan juga tenggelamnya bermacam-
macam peradaban, sistem paham agama, aliran, perhimpunan, kep...
Theosofi : Pengetahuan yang Dibutuhkan
Apabila Anda sering mengadakan perjalanan, maka Anda akan benar-benar
menyadari bahwa banyak sekali masalah-masalah kemanusiaan, yang nampak...
Mengenai Saya
stargoldman
Blog Archives
2014 (19)
2010 (11)
o Juli (2)
o Juni (3)
Apakah Theosofi Itu
Apakah Itu Jabariyah, Qadariyah, Mutazilah dan Asy...
Tolonglah Dirimu Sendiri
o Mei (6)
Diberdayakan oleh Blogger.