Dosen Pengampu:
Penyusun Makalah :
Ichwanul Mustakim
A. Latar Belakang
Khazanah keilmuan Islam terus menerus muncul dengan berbagai
macam tema yang diangkat. Salah satunya adalah mengenal klasifikasi
ilmu yang selalu mendapat banyak perhatian baik di Barat maupun
dikalangan intelektual Islam. Diantara intelektual muslim yang sangat
masyhur adalah Al-Farabi, Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Ghazali, Ibnu
Sina dan yang lainnya. Mereka para ilmuwan muslim telah banyak
mencurahkan bakat dan kejeniusan intelektualnya dalam menjelaskan
terkait dengan ilmu pengetahuan. Filsafat memiliki peran penting sebagai
induk ilmu pengetahuan yang menghadirkan pemahaman tentang hakekat
ilmu secara komprehensif. Persepsi konsep ilmu oleh para filosof telah
dimulai dengan pemahaman tentang “yang ada” sebagai sesuatu yang
benar merevisi pemahaman filosof mengenai kebenaran ilmu, artinya ilmu
itu terbentuk karena adanya persepsi yang ada dan yang benar. Begitu juga
ilmu harus juga didukung oleh adanya kebenaran itu, kebenaran menurut
para filosof ada di mana-mana dalam dimensi pemahaman secara falsafi.
Al-Ghazali sebagai pemikir muslim yang sudah tidak asing lagi
dalam dunia filsafat yang masyhur, sebagai sosok yang meluruskan filsafat
termasuk juga di dalam pembicaraan tentang epistemologi. Berangkat dari
pembahasan di atas, telah diakui bahwa para filosof muslim mempunyai
kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan keilmuan baik di dunia
Barat maupun di dunia Timur. Dalam makalah ini penulis akan
menguraikan terkait bagaimana epistemologi pemikiran al-Ghazali.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana filsafat ilmu pengetahuan menurut pemikiran Al-Ghazali?
PEMBAHASAN
1
Harun nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang 2008), 41.
Kegiatan pokok yang dilakukannya sebelum terjun menjadi guru besar
di perguruan Nizamiyah adalah mengikuti pertemuan-pertemuan
ilmiyah yang dilakukan oleh wazir istana (perdana menteri) nizhamul
al-Mulk seorang negarawan bani Saljuk yang ketika itu adalah seorang
penguasa yang sebenarnya dalam pemerintahan Baghdad.
Melihat kehebatan al-Ghazali dalam menghadapi cendekiawan
pada saat itu, maka wazir istana sangat takjub dan kagum. Seketika itu
juga ia mengangkatnya menjadi seorang profesor di perguruan Tinggi
Nizamiyah. Hal ini tejadi pada tahun 1091 M yang mana pada saat itu
usianya memasuki umur 34 tahun. Pangkat dan jabatan guru besar
yang telah dicapainya tidak membuatnya surut dalam menuntut ilmu.
Ketika di Baghdad ini, al-Ghazali tertarik mempelajari ilmu filsafat
secara mendalam sehingga melahirkan kitab Maqashid al-Falasifah
setelah ia mengkaji kitab al-Farabi dan Ibnu Sina dan menguasainya.
Hal ini menunjukkan kedalaman pemahaman tentang filsafat,
pemahaman tersebut bukan semata ia mengakui ilmu tersebut,
melainkan ia ingin mendapatkan keterangan atas keraguan pikirannya
dan menenangkan goncangan di dalam batinnya.
Keraguan Al-Ghazali semakin memuncak sampai pada tingkat ia
meninggalkan Baghdad di tahun 487 H/1095 M dengan pendiriannya
meninggalkan segala apa yang ia raih mulai dari kehormatan,
kedudukan dan kemasyhuran. Langkah ini dipilih bukan tanpa adanya
pertimbangan melainkan dengan pertimbangan mengintropeksi dirinya
atas apa yang sudah di raih. Berangkat dari kebenaran ilmiyah itulah
al-Ghazali tetap yakin adanya kebenaran mutlak yang benar
diyakininya yang bersumber pada nurani untuk mendapatkan
keyakinan yang hakiki terkait ilmu yang mana kedudukan ilmu
sejatinya lebih tinggi dari kedudukan yang bersifat duniawi. Upaya
yang dilakukan untuk menuntut dan mencapai kehausan yang berasal
dari nurani itu dilakukannya melalui tahapan uzlah (zuhud) sebagai
maqam tasawuf. Kebenaran itu diyakininya sebagai kebenaran yang
mutlak berasal dari Allah swt. untuk itulah ia menempuh jalan sufi
(tasawuf) dan meninggalkan jabatan sebagai guru besar.
Kegandrungannya terhadap ilmu membuatnya nekat melakukan
perenungan di menara masjid Damaskus selama 2 tahun.
Pada waktu inilah al-Ghazali seakan diserang penyakit yang
memutus semua harapan dalam kehidupan. Namun setelah itu ia
berhasil melawan segala keraguan dan kegundahan jiwanya. Ia pun
melatih dirinya dengan riyadhoh (latihan ruhani). Islam sangat
membutuhkan sosok seperti al-Ghazali yang mempersiapkan dirinya
untuk melindungi keyakinan agamanya.
Di saat itulah fase ‘uzlah al-Ghazali terjadi dan merupakan salah
satu fase paling berpengaruh dan penting dalam kehidupannya. Fase
ini berjalan sekitar 11 tahun dimulai tahun 488 H sampai ia
memutuskan untuk kembali berdakwah pada tahun 499 H.2
Perenungan atau meditasi al-Ghazali berakhir pada tahun 1105 M
ketika ia menerima tawaran Fahrul Mulk putra Nizhamul Mulk
kembali mengajar di perguruan Tinggi Nizamiyah di Neisabur.
Kembalinya al-Ghazali berbeda dengan corak pemikiran terdahulu
yang lebih rasional. Untuk kali ini yang lebih dominan adalah corak
pemikiran sufistik. Tidak lama tinggal di Neisabur, ia kembali ke
tempat kelahirannya yakni Thus, mengasuh sebuah mejelis atau
semacam pengajian sufi. Berselang beberapa saat al-Ghazali pun wafat
di kota kelahirannya di pangkuan saudaranya Ahmad pada tanggal 14
Jumadil Akhir 1111 M dalam usia 55 tahun.
Jika dijabarkan dari penjelasan di atas, kehidupan dan
perkembangan intelektual al-Ghazali dalam proses mencari sebuah
kebenaran di bagi menjadi tiga fase:3
1. Fase pra-keraguan (sebelum ‘uzlah)
2
Muawwin Bihae Zamzamy dan Kawan-kawan, “Gerakan Da’wah Ishlah Imam Al-
Ghazali dan Pengaruhnya Dalam Sejarah Lahirnya Gerakan Shalahuddin Al-Ayyubi”, Komunika,
vol. 2, no. 2 (Februari, 2018): 97.
3
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Filsafat), terj. Achmad Maimun,
(Yogyakarta: FORUM, 2015), 50.
2. Fase terjadinya keraguan (masa ‘uzlah)
3. Fase mendapat petunjuk dan ketenangan (sesudah ‘uzlah)
4
Ahmad Atabik, “Telaah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat”, Fikrah, Vol. 2, No. 1,
(Juni, 2014): 27.
3. Transformasi Pemikiran Al-Ghazali
Berbicara terkait perubahan dalam proses mencari sebuah
kebenaran yang dialami oleh al-Ghazali dari kecenderungan rasional
ke sufistik tidak serta merta al-Ghazali berganti karakter pemikiran,
namun membutuhkan sebuah proses yang cukup panjang. Bermula
dari keragu-raguan al-Ghazali atau skeptis terhadap ilmu yang sudah
dipelajarinya sebagaimana yang sudah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya. Kemudian ia melakukan ‘uzlah, riyadhah, dan mujahadah
yang mana berlangsung selama 10 tahun mulai kelihatan adanya
perubahan dari filosofis ke sufistik. Akan tetapi proses ini penuh
dengan ijtihad yang sangat ekstra untuk menjadi seorang yang luar
biasa, harus melewati rintangan yang kadang sering menghantui
pemikiran al-Ghazali.5
Dalam fase panjang uzlahnya, terjadi transformasi dalam diri al-
Ghazali pada minat spekulatifnya dan bahkan pandangan hidupnya.
Beliau tidak tertarik pada filsafat bahkan mencurahkan diri sepenuhnya
kepada tasawuf dan pembaharuan ajaran agama Islam ortodoks. Pada
pasca krisis psikologis dan pelariannya pada tasawuf akhirnya
menghasilkan karya yang banyak digunakan masyarakat dewasa ini
yakni ihya’ ulum al-Din.
Al-Ghazali adalah seorang filsuf dan juga sufi, sehingga dalam
kerangka keilmuannya secara umum dapat digambarkan bahwa al-
Ghazali berusaha mengkombinasikan antara filsafat dan juga tasawuf
dalam dunia pemikirannya. Akhirnya pemikirannya dikenal dengan
“tasawuf rasional”. Dengan kata lain bahwa tasawuf al-Ghazali dapat
dikatakan sebagai filsafat moral al-Ghazali, sehingga menjadi sebuah
bangunan pemikiran yang sangat kuat dalam filsafatnya yang juga
cenderung sufi.
5
Muhammad Endy Fadlullah dan Fathi Hidayah, “Transformasi Pemikiran Al-Ghazali
dari Kecenderungan Rasional Ke Sufistik”, Ar-Risalah, vol. 18, no. 2 (Oktober, 2020): 390.
Tasawuf menjadi lahan pemikiran bagi al-Ghazali meskipun semua
ilmu menurut al-Ghazali adalah baik, selama tidak bertentangan
dengan akal, agama, atau syariah. Landasan awal ia masuk dalam sekte
ini adalah adanya sebuah harapan bahwa ia akan menemukan
kebenaran yang sejati sebagaimana yang selama ini dicari dalam dunia
realitas ini.6
4. Pemikiran al-Ghazali
a. Filsafat Metafisika
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA