Anda di halaman 1dari 12

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IMAM AL GHOZALI

Makalah Mata Kuliah Filsafat Umum

Dosen Pengampu:

Drs. H. Taufik Sakni, M.Pd

Penyusun Makalah :

Ichwanul Mustakim

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH YPI LAHAT

TAHUN AKADEMIK 2023-2024 M


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Khazanah keilmuan Islam terus menerus muncul dengan berbagai
macam tema yang diangkat. Salah satunya adalah mengenal klasifikasi
ilmu yang selalu mendapat banyak perhatian baik di Barat maupun
dikalangan intelektual Islam. Diantara intelektual muslim yang sangat
masyhur adalah Al-Farabi, Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Ghazali, Ibnu
Sina dan yang lainnya. Mereka para ilmuwan muslim telah banyak
mencurahkan bakat dan kejeniusan intelektualnya dalam menjelaskan
terkait dengan ilmu pengetahuan. Filsafat memiliki peran penting sebagai
induk ilmu pengetahuan yang menghadirkan pemahaman tentang hakekat
ilmu secara komprehensif. Persepsi konsep ilmu oleh para filosof telah
dimulai dengan pemahaman tentang “yang ada” sebagai sesuatu yang
benar merevisi pemahaman filosof mengenai kebenaran ilmu, artinya ilmu
itu terbentuk karena adanya persepsi yang ada dan yang benar. Begitu juga
ilmu harus juga didukung oleh adanya kebenaran itu, kebenaran menurut
para filosof ada di mana-mana dalam dimensi pemahaman secara falsafi.
Al-Ghazali sebagai pemikir muslim yang sudah tidak asing lagi
dalam dunia filsafat yang masyhur, sebagai sosok yang meluruskan filsafat
termasuk juga di dalam pembicaraan tentang epistemologi. Berangkat dari
pembahasan di atas, telah diakui bahwa para filosof muslim mempunyai
kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan keilmuan baik di dunia
Barat maupun di dunia Timur. Dalam makalah ini penulis akan
menguraikan terkait bagaimana epistemologi pemikiran al-Ghazali.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana filsafat ilmu pengetahuan menurut pemikiran Al-Ghazali?
PEMBAHASAN

A. Biografi dan Pemikiran Al-Ghazali


1. Biografi Singkat dan Riwayat Intelektual Al-Ghazali
Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, dilahirkan pada tahun 450 H/1050
M. Julukan al-Ghazali diambil dari nama kota Ghazaleh di dekat kota
Thus di wilayah Khurasan. Ayahnya adalah seorang muslim yang
saleh sekalipun ia hanya bekerja sebagai penenun wol. Ayahnya
termasuk orang yang tekun mengikuti majelis para ulama dan pecinta
ilmu yang selalu berdoa agar putranya menjadi seorang ulama yang
pandai dan suka memberi nasihat. Ayahnya wafat ketika al-Ghazali
dan saudaranya yang masih kecil, sampai akhirnya mereka dititipkan
pada seorang teman ayahnya seorang sufi yang hidupnya sederhana.1
Berkat bantuan seorang sufi tersebut dan dengan sedikit harta yang
diwariskan orang tuanya, al-Ghazali dan saudaranya memasuki
madrasah tingkat dasar (madrasah ibtida’iyah). Guru mereka yang
utama adalah Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang kemudian disebut
juga Imam al-Haramain. Al-Nassaj lah yang pertama kali meletakkan
dasar-dasar pemikiran sufi bagi al-Ghazali. Pendidikan yang lebih
tinggi lagi ditempuh al-Ghazali di Jurjan ketika ia berusia di bawah 20
tahun. Kehausan al-Ghazali tentang ilmu terpenuhi setelah ia belajar di
madrasah Nizamiyah yang dipimpin oleh Imam Haramain Abu Ma’aly
al-Juwaini, seorang ulama Syafi’iyah yang mengikuti aliran
Asy’ariyah. Menurut para penulis riwayat hidupnya, sewaktu masih
belajar di Naisabur, al-Ghazali telah banyak menulis. Ia pun telah
menjadi guru di Sekolah Tinggi Nizamiyah ketika gurunya masih
hidup dan al-Juwaini sendiri kagum terhadap kepandaiannya. Setelah
gurunya wafat, pengembaraan intelektual al-ghazali dilanjutkan ke
daerah Ma’askar dan ia menetap disana selama beberapa tahun.

1
Harun nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang 2008), 41.
Kegiatan pokok yang dilakukannya sebelum terjun menjadi guru besar
di perguruan Nizamiyah adalah mengikuti pertemuan-pertemuan
ilmiyah yang dilakukan oleh wazir istana (perdana menteri) nizhamul
al-Mulk seorang negarawan bani Saljuk yang ketika itu adalah seorang
penguasa yang sebenarnya dalam pemerintahan Baghdad.
Melihat kehebatan al-Ghazali dalam menghadapi cendekiawan
pada saat itu, maka wazir istana sangat takjub dan kagum. Seketika itu
juga ia mengangkatnya menjadi seorang profesor di perguruan Tinggi
Nizamiyah. Hal ini tejadi pada tahun 1091 M yang mana pada saat itu
usianya memasuki umur 34 tahun. Pangkat dan jabatan guru besar
yang telah dicapainya tidak membuatnya surut dalam menuntut ilmu.
Ketika di Baghdad ini, al-Ghazali tertarik mempelajari ilmu filsafat
secara mendalam sehingga melahirkan kitab Maqashid al-Falasifah
setelah ia mengkaji kitab al-Farabi dan Ibnu Sina dan menguasainya.
Hal ini menunjukkan kedalaman pemahaman tentang filsafat,
pemahaman tersebut bukan semata ia mengakui ilmu tersebut,
melainkan ia ingin mendapatkan keterangan atas keraguan pikirannya
dan menenangkan goncangan di dalam batinnya.
Keraguan Al-Ghazali semakin memuncak sampai pada tingkat ia
meninggalkan Baghdad di tahun 487 H/1095 M dengan pendiriannya
meninggalkan segala apa yang ia raih mulai dari kehormatan,
kedudukan dan kemasyhuran. Langkah ini dipilih bukan tanpa adanya
pertimbangan melainkan dengan pertimbangan mengintropeksi dirinya
atas apa yang sudah di raih. Berangkat dari kebenaran ilmiyah itulah
al-Ghazali tetap yakin adanya kebenaran mutlak yang benar
diyakininya yang bersumber pada nurani untuk mendapatkan
keyakinan yang hakiki terkait ilmu yang mana kedudukan ilmu
sejatinya lebih tinggi dari kedudukan yang bersifat duniawi. Upaya
yang dilakukan untuk menuntut dan mencapai kehausan yang berasal
dari nurani itu dilakukannya melalui tahapan uzlah (zuhud) sebagai
maqam tasawuf. Kebenaran itu diyakininya sebagai kebenaran yang
mutlak berasal dari Allah swt. untuk itulah ia menempuh jalan sufi
(tasawuf) dan meninggalkan jabatan sebagai guru besar.
Kegandrungannya terhadap ilmu membuatnya nekat melakukan
perenungan di menara masjid Damaskus selama 2 tahun.
Pada waktu inilah al-Ghazali seakan diserang penyakit yang
memutus semua harapan dalam kehidupan. Namun setelah itu ia
berhasil melawan segala keraguan dan kegundahan jiwanya. Ia pun
melatih dirinya dengan riyadhoh (latihan ruhani). Islam sangat
membutuhkan sosok seperti al-Ghazali yang mempersiapkan dirinya
untuk melindungi keyakinan agamanya.
Di saat itulah fase ‘uzlah al-Ghazali terjadi dan merupakan salah
satu fase paling berpengaruh dan penting dalam kehidupannya. Fase
ini berjalan sekitar 11 tahun dimulai tahun 488 H sampai ia
memutuskan untuk kembali berdakwah pada tahun 499 H.2
Perenungan atau meditasi al-Ghazali berakhir pada tahun 1105 M
ketika ia menerima tawaran Fahrul Mulk putra Nizhamul Mulk
kembali mengajar di perguruan Tinggi Nizamiyah di Neisabur.
Kembalinya al-Ghazali berbeda dengan corak pemikiran terdahulu
yang lebih rasional. Untuk kali ini yang lebih dominan adalah corak
pemikiran sufistik. Tidak lama tinggal di Neisabur, ia kembali ke
tempat kelahirannya yakni Thus, mengasuh sebuah mejelis atau
semacam pengajian sufi. Berselang beberapa saat al-Ghazali pun wafat
di kota kelahirannya di pangkuan saudaranya Ahmad pada tanggal 14
Jumadil Akhir 1111 M dalam usia 55 tahun.
Jika dijabarkan dari penjelasan di atas, kehidupan dan
perkembangan intelektual al-Ghazali dalam proses mencari sebuah
kebenaran di bagi menjadi tiga fase:3
1. Fase pra-keraguan (sebelum ‘uzlah)
2
Muawwin Bihae Zamzamy dan Kawan-kawan, “Gerakan Da’wah Ishlah Imam Al-
Ghazali dan Pengaruhnya Dalam Sejarah Lahirnya Gerakan Shalahuddin Al-Ayyubi”, Komunika,
vol. 2, no. 2 (Februari, 2018): 97.
3
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Filsafat), terj. Achmad Maimun,
(Yogyakarta: FORUM, 2015), 50.
2. Fase terjadinya keraguan (masa ‘uzlah)
3. Fase mendapat petunjuk dan ketenangan (sesudah ‘uzlah)

Fase pertama adalah fase yang dapat dikesampingkan. Karena di


fase ini, al-Ghazali merupakan pelajar yang belum mencapai tahap
kematangan intelektual, yang baru mempersiapkan diri menjadi orang
yang independen meskipun al-Ghazali menceritakan tentang
keraguannya yang sejak awal muncul pada usia muda.

Fase kedua ini perlu dikesampingkan karena dipenuhi oleh


keraguan keras yang tidak meghasilkan apapun. Oleh karena itu yang
tinggal adalah fase keraguan ringan yang terjadi dalam rentang waktu
yang cukup lama. Ditengah-tengah fase inilah al-Ghazali menulis
karyanya dalam ilmu kalam, kritik terhadap filsafat dan aliran
batiniyyah.

Dalam hal sikap skeptisnya ini, al-Gazali hanya memiliki keraguan


terhadap mazhab dalam pengertian mazhab yang diyakininya sendiri
dan meminta petunjuk. Karena ia membahas tentang kebenaran agama
yang ia anut dan diturunkan oleh Allah swt. Jelas bahwa selama
menjadi seorang yang skeptis terhadap kebenaran pada fase ini, tidak
dibenarkan menjadikan karya al-Ghazali sebagai pedoman untuk
menggambarkan ide-idenya.

Fase ketiga merupakan fase di mana al-Ghazali telah mendapat


petunjuk pada pandangan sufistik. Fase ini adalah fase yang
memungkinkan untuk menjadikan karyanya sebagai rujukan guna
menggambarkan mazhab yang benar versi al-Ghazali. Namun tidak
semua karyanya bisa dijadikan rujukan karena pada fase ini al-Ghazali
juga hadir dengan karyanya dalam dua pengertian mazhab lain. al-
Ghazali memberikan penjelasan bahwa ia memiliki karya-karya
khusus yang memang untuk masyarakat umum dan juga karya yang
memang hanya untuk dirinya dan untuk orang-orang yang telah
memenuhi syarat yang sangat jarang dimiliki orang lain (kompeten).

Al-Ghazali bukan hanya populer di dunia Islam melainkan juga


dalam khazanah keilmuan Barat. Para penulis Barat mensejajarkan al-
Ghazali dengan filosof Kristen St. Agustinus seorang suci Kristen.
Bedanya ialah St. Agustinus tetap lengket dengan filsafat sampai akhir
hayatnya sementara al-Ghazali menempuh jalan sufi bagi pencarian
kebenarannya. Oleh beberapa tokoh filosof Barat kemudian pemikiran
dan ajaran al-Ghazali banyak diadopsi dan dibahasakan kembali dalam
istilah-istilah filsafat dalam sosok kebangkitan dunia Barat. Di dunia
Timur, al-Ghazali ditempatkan setelah Rasulullah saw sebagai
pembaharu (mujaddid) dan hujjatul Islam terutama daerah
berkembangnya faham ahlul sunnah wal jama’ah.
2. Karya-karya Al-Ghazali
Karya-karya Al-Ghazali meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan,
seperti ilmu kalam, ushul fiqh, tasawuf, mantiq, filsafat, dan lainnya.
Diantara karyanya yang paling monumental adalah:4
a. Ihya Ulum al-Din (sebuah kitab yang perpaduan dari beberapa
disiplin ilmu seperti fiqh, tasawuf, dan filsafat)
b. Maqashid al-Falasifat (berisikan tentan ringkasan ilmu filsafat,
ilmu mantiq, fisika dan ilmu kalam)
c. Tahafut al-Falasifah (tentang pertentangan yang ada dalam ajaran
filsafat, baik pada masa klasik sampai kontemporer)
d. Al-Munqidz min al-Dhalal (tentang sejarah kehidupannya yang
memuat perkembangan intelektual dan spiritual pribadinya)
e. Karya dibidang filsafat dan ilmu kalam (Mi’yar al-Ilmi, al-
Iqtashad fi al-I’tiqad, Mahku an-Nadhar fi al-Mantiq)
f. Karya dibidang ilmu agama (Jawahir al-Qur’an, Mizan Al-‘Amal,
Misylat al-Anwar, dan lainnya)

4
Ahmad Atabik, “Telaah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat”, Fikrah, Vol. 2, No. 1,
(Juni, 2014): 27.
3. Transformasi Pemikiran Al-Ghazali
Berbicara terkait perubahan dalam proses mencari sebuah
kebenaran yang dialami oleh al-Ghazali dari kecenderungan rasional
ke sufistik tidak serta merta al-Ghazali berganti karakter pemikiran,
namun membutuhkan sebuah proses yang cukup panjang. Bermula
dari keragu-raguan al-Ghazali atau skeptis terhadap ilmu yang sudah
dipelajarinya sebagaimana yang sudah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya. Kemudian ia melakukan ‘uzlah, riyadhah, dan mujahadah
yang mana berlangsung selama 10 tahun mulai kelihatan adanya
perubahan dari filosofis ke sufistik. Akan tetapi proses ini penuh
dengan ijtihad yang sangat ekstra untuk menjadi seorang yang luar
biasa, harus melewati rintangan yang kadang sering menghantui
pemikiran al-Ghazali.5
Dalam fase panjang uzlahnya, terjadi transformasi dalam diri al-
Ghazali pada minat spekulatifnya dan bahkan pandangan hidupnya.
Beliau tidak tertarik pada filsafat bahkan mencurahkan diri sepenuhnya
kepada tasawuf dan pembaharuan ajaran agama Islam ortodoks. Pada
pasca krisis psikologis dan pelariannya pada tasawuf akhirnya
menghasilkan karya yang banyak digunakan masyarakat dewasa ini
yakni ihya’ ulum al-Din.
Al-Ghazali adalah seorang filsuf dan juga sufi, sehingga dalam
kerangka keilmuannya secara umum dapat digambarkan bahwa al-
Ghazali berusaha mengkombinasikan antara filsafat dan juga tasawuf
dalam dunia pemikirannya. Akhirnya pemikirannya dikenal dengan
“tasawuf rasional”. Dengan kata lain bahwa tasawuf al-Ghazali dapat
dikatakan sebagai filsafat moral al-Ghazali, sehingga menjadi sebuah
bangunan pemikiran yang sangat kuat dalam filsafatnya yang juga
cenderung sufi.

5
Muhammad Endy Fadlullah dan Fathi Hidayah, “Transformasi Pemikiran Al-Ghazali
dari Kecenderungan Rasional Ke Sufistik”, Ar-Risalah, vol. 18, no. 2 (Oktober, 2020): 390.
Tasawuf menjadi lahan pemikiran bagi al-Ghazali meskipun semua
ilmu menurut al-Ghazali adalah baik, selama tidak bertentangan
dengan akal, agama, atau syariah. Landasan awal ia masuk dalam sekte
ini adalah adanya sebuah harapan bahwa ia akan menemukan
kebenaran yang sejati sebagaimana yang selama ini dicari dalam dunia
realitas ini.6

4. Pemikiran al-Ghazali
a. Filsafat Metafisika

Filsafat metafisika menjadi titik fokus Al-Ghazali selain tentang


logika, fisika dan matematika. Berbicara metafisika tidak bisa terlepas
dengan masalah ketuhanan (ilahiyyat). Dalam masalah ketuhanan, Al-
Ghazali banyak mengikuti dan membentengi aliran Asy’ariyah yang
mencoba menselaraskan akal dengan naql. 7 Ia berpendapat bahwa akal
harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia biasa mengetahui
dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain. Namun Al-Ghazali
menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naql yang bisa
melewati batasan ini. Meskipun demikian, argumentasi yang telah
dibangun oleh al-Asy’ari mengenai konsep ketuhanan (ilahiyyat) lebih
mendekati pada argumentasi yang bersifat filosof daripada agamis.
Oleh karena itu al-Ghazali kemudian mencoba jalan lain yang
dianggap lebih agamis, yaitu menempuh jalan tasawuf.

b. Wujud dan sifat Allah

Dalam perdebatan terkait sifat-sifat Allah, Al-Ghazali memegang


pendapat yang dianut oleh al-Asy’ari sehingga tidak menerima
pendapat kaum Hasywiyah maupun Muktazilah.8 Al-Ghazali
6
Muhammad Endy Fadlullah dan Fathi Hidayah, “Transformasi Pemikiran Al-Ghazali
dari Kecenderungan Rasional Ke Sufistik”, 393.
7
Ahmad Atabik, “Telaah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat”, 14.
8
Hasywiyah berpedoman teguh pada arti dari satu teks (ayat al-Qur’an dan Sunnah) agar
mereka tidak menghindarkan Allah dari berbagai sifat. Sebaliknya Muktazilah berlebih-lebihan
dalam menyucikan Allah sehingga harus menafikan sifat-sifat Allah.
menjelaskan bahwa Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Allah
menciptakan alam dengan kehendak dan kekuasaan-Nya karena
kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada, sedang ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu. Tentang wujud, Al-Ghazali berpendapat sama
dengan filosof lainnya tentang Tuhan merupakan prima kausa
(penyebab pertama). Esa tak terbilang, sama sekali tidak menyamai
makhluk-Nya, kekal dan tak akan fana. Wujud-Nya merupakan wujud
yang paling sempurna, Allah merupakan Dzat yang menciptakan
sesuatu yang tiada.

c. Iradah (kehendak) Allah

Alam merupakan suatu yang diciptakan, Al-Ghazali mengungkap


bahwa alam dunia itu berasal dari iradah Allah semata, tidak bisa
terjadi dengan sendirinya. Iradat Tuhan adalah mutlak, bebas dari
ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang
dapat ditangkap pada akal intelek manusia, terbatas dalam pengertian
ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa Tuhan merupakan
sebab hakiki dari segala kejadian.

Kesimpulan

Pemikiran al-Ghazali tentang filsafat ilmu dengan ketiga aspeknya,


ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara ontologis, al-Ghazali tidak
menghendaki adanya dikhotomi ilmu. pemisahan ilmu menjadi ilmu umum dan
ilmu agama sejatinya adalah tidak sejalan dengan hakikat ilmu itu sendiri. Bagi al-
Ghazali ilmu secara substansial adalah satu karena memang berasal dari yang Satu
yaitu Allah swt. Adapun ditinjau dari aspek epistemologi, kebenaran ilmiah
menurut al-Ghazali bisa diperoleh dengan menggunakan tiga buah instrumen,
yaitu panca indera, akal, dan hati. Sedangkan pada aspek aksiologi, ilmu harus
dikembangkan dengan tujuan bagi kemaslahatan manusia dan alam dengan
dilandaskan kepada nilai-nilai ibadah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam. Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Filsafat). terj. Achmad


Maimun. Yogyakarta: FORUM, 2015.
Atabik, Ahmad. “Telaah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat”. Fikrah. Vol. 2.
No. 1 (Juni, 2014): 27.
Bihae, Muawwin Zamzamy dan Kawan-kawan. “Gerakan Da’wah Ishlah Imam
Al-Ghazali dan Pengaruhnya Dalam Sejarah Lahirnya Gerakan
Shalahuddin Al-Ayyubi”. Komunika. vol. 2, no. 2 (Februari, 2018): 96.
Endy, Muhammad Fadlullah dan Fathi Hidayah. “Transformasi Pemikiran Al-
Ghazali dari Kecenderungan Rasional Ke Sufistik”. Ar-Risalah. vol. 18,
no. 2 (Oktober, 2020): 390.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang
2008.

Anda mungkin juga menyukai