Anda di halaman 1dari 14

(Alhamdulillahirobbil ‘aalamiin. Wal’aaqibatu lilmuttaqiin.

Walaa ‘udwaana illaa


‘aladzdzoolimiin. Washsholaatu wassalaamu ‘alaa asyrofil ambiyaai walmursaliin.
Sayyidina wamaulaanaa Muhammadin. Wa’alaa aalihii washohbihii ajma’iin. Ammaa
ba’du.)

Dewan juri yang arif dan bijaksana yang saya hormati


Bapak dan Ibu guru pembimbing yang saya mulyakan
Teman-temanku yang berbahagia

Hadirin Rohimakumulloh.

Tiada untaian kata yang paling indah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan
yang berbahagia ini, selain untaian kata puja kepada dzat yang Maha Kuasa, puji ke
hadirat Ilahi Robbi, serta syukur kepada Allah yang Maha Ghofur yang telah
melimpahkan curahan nikmat dan karuniaNya kepada kita, laksana curahan hujan yang
turun ke bumi teramat banyak dan tak kan sanggup kita menghitungnya. “Waing
ta’udduu ni’matallaahi laa tuhsuuhaa”.

Sholawat dan salam marilah kita curahkan kepada junjungan kita, Revolusioner
Islam sedunia, pendobrak kebathilan, penghancur kemunkaran, pembawa rahmat seluruh
alam, yaitu baginda alam, habiibana wanabiyyanaa wamaulaanaa Muhammad SAW.

Hadirin Rohimakumulloh,

Sebelum menyampaikan pidato ini, izinkanlah saya untuk memperkenalkan diri.


Karena ada pepatah bilang tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Nama
saya …………., saya berasal dari …………..(asal sekolah), kelas …..

Hadirin Rohimakumulloh,

Pada kesempatan yang berbahagia


ini, izinkanlah saya untuk menyampaikan pidato dengan judul “Mensyukuri Nikmat
Allah Swt”

Hadirin Rohimakumulloh,

Berbicara tentang nikmat Allah, paling tidak ada 2 perkara yang harus kita ketahui
sebagai hamba Allah Swt.
Yang pertama, siapa yang memberikan nikmat? Ada yang tahu?
Yang memberi nikmat tentu saja adalah Allah Swt. Allah-lah yang berkuasa untuk
menambahkan atau mengurangkan nikmat yang ada pada diri manusia. Jika Allah
berkehendak untuk menambahnya, maka tidak akan ada seorang pun yang dapat
menolaknya. Begitupun sebaliknya. Jika Allah berkehendak untuk mencabut nikmat yang
ada pada manusia, maka tidak akan ada seorangpun yang mampu mempertahankannya.
Mengapa demikian? Karena Iradatullah fauqo irodah, kehendak Allah di atas segala
kehendak. Man proposes, God disposes, manusia hanyalah bisa berencana, namun
keputusannya terletak pada keputusan Allah Swt.

Hadirin Rohimakumulloh.

Lalu yang kedua, yaitu sikap orang yang menerima nikmat Allah Swt.
Sikap manusia dalam menerima nikmat Allah tidak lah sama. Ada orang yang
menerima nikmat Allah namun dia tidak ingat siapa yang memberi nikmat tersebut. Dia
tidak sadar bahwa yang memberi nikmat itu adalah Allah Swt. Padahal motor yang
dipakainya made in Amerika Serikat, mobilnya mewah mengkilat, rumahnya bertingkat
empat, emasnya 24 karat, di giginya ada jemuran berkawat, mau apa pun tinggal
menyuruh bodyguard. Tapi sayang seribu kali sayang, mereka tidak pernah ingat akan
akhirat. Betul apa betul?

            Sebaliknya, ada pula orang yang ketika menerima nikmat dari Allah Swt ia ingat
siapa yang memberi nikmat kepadanya, sehingga ia senantiasa mengucapkan kalimah-
kalimah baik dan ucapan rasa syukur. Selain itu, ia senantiasa mengucapkan lapaz
pujian Alhamdulillahi robbil ‘alamiin. Orang yang seperti ini pasti akan ditambah
nikmatnya oleh Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Ibrahim ayat 7
yang berbunyi:

Yang artinya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat
pedih

            Hadirin Rohimakumuloh.

Dari uraian di atas, dapat lah kita tarik kesimpulan.


Pertama, marilah kita mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita dengan
jalan mentaati segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Yang kedua, berdasarkan surat Ibrahim ayat 7, manusia akan ditambah nikmatnya jika ia
bersyukur. Namun sebaliknya,ia akan mendapatkan azab, jika ia tidak pandai bersyukur
kepada Allah Swt.

Hadirin Rohimakumulloh,
Demikianlah pidato yang dapat saya sampaikan. Jalan-jalan ke Pulau Bintan, tidak
lupa membeli topi. Mohon maaf atas segala kekhilafan, lain waktu kita berjumpa lagi.

Billahi taufiq walhidaayah. Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.


Kajian Tafsir: Cara Mensyukuri Nikmat yang Tak Terbatas Sunnatullah Senin, 9 Agustus 2021 |
15:45 WIB BAGIKAN: Membahas nikmat yang Allah swt berikan, sama halnya membahas
sesuatu yang tidak akan pernah selesai. Sebab Allah sendiri selalu mencurahkan nikmat
terhadap hamba-Nya. Karena begitu banyak nikmat yang diberikan, maka tidak bisa dihitung
jumlah dan bentuknya. Manusia hanya bisa menerima, menjalankan, mensyukuri, atau ada pula
yang mengingkari. Dalam Al-Qur’an ditegaskan: :‫ (النحل‬.‫هللا َلغَ فُو ٌر َرحِي ٌم‬ َ َّ‫ ِإن‬،‫هللا اَل ُتحْ صُوها‬
ِ ‫َوِإنْ َت ُعدُّوا نِعْ َم َة‬
)18 Artinya, “Jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu
menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surat
an-Nahl ayat 18). Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan, ketidakmampuan manusia menghitung
nikmat yang diterimanya disebabkan semua manfaat dan kenyamanan yang dinikmati oleh
tubuhnya, yang digunakan untuk menarik manfaat dan menolak keburukan, nikmat yang Allah
ciptakan di muka bumi kemudian menjadikan manusia merasa senang, nyaman dan tentram,
demikian pula setiap hal yang menjadikan seseorang terhindar dari maksiat, semua itu adalah
nikmat. Semua manfaat yang ada di muka bumi atau yang menjadi media untuk meraihnya,
sejatinya adalah nikmat. Sebab, dengan adanya manfaat atau media kemanfaatan tersebut
seseorang menjadi lebih semangat melakukan ketaatan dan mendekat diri kepada-Nya. Imam
َ ‫ َف َث َبتَ َأنَّ َجم‬Artinya, “Maka dipastikan, semua
ar-Razi mengatakan: ‫ِيع َم ْخلُو َقا ِت ِه ُسب َْحا َن ُه ِن َع ٌم َعلَى ْال َع ِبي ِد‬
ciptaan Allah subhanâhu wa ta’âlâ adalah nikmat bagi hamba-Nya.” (Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr
Mafâtîhul Ghaib, [Beirut, Dârul Ihyâ’-it Turâtsi, 1998], juz III, halaman 474). Sementara Syekh al-
Khazin mengatakan, jika dilihat dari segi jenis, maka nikmat terbagi menjadi beberapa bagian. Di
antaranya nikmat dunia dan nikmat agama, seperti nikmat Islam dan iman. Ada nikmat yang
tampak dan bisa dirasakan (dhâhir), ada nikmat yang tidak nampak (bâthin), ada nikmat suatu
manfaat, da nada pula nikmat seseorang dijauhkan dari maksiat dan keburukan. Masing-masing
jika dirinci akan menjadi sangat banyak. Misalnya, dalam nikmat yang tampak dan bisa
dirasakan, manusia oleh Allah diberikan nikmat kesehatan badan dan kesejahteraan. Manusia
diberi penglihatan yang baik tanpa cacat, dan diberi akal sempurna, diberi pendengaran yang
dengannya bisa memahami suatu ucapan, bacaan dan lainnya. Nikmat kekuatan tangan, nikmat
kemampuan berjalan menggunakan dua kaki, dan lainnya. (‘Alauddin ‘Ali bin Muhammad bin
Ibrahim al-Baghdadi al-Khazin, Tafsîrul Khâzin, [Beirut, Dârul Fikr: 1992], juz IV, halaman 84).
Melihat penjelasan Syekh al-Khazin di atas, sangat wajar jika manusia tidak mampu menghitung
semua nikmat yang mereka terima. Sebab, menghitung satu jenis nikmat yang di dalamnya
terdapat ratusan cabang-cabang nikmat yang lain, manusia tidak akan mampu. Apalagi jika
menghitungnya dengan detail, tentu lebih tidak mampu. Syekh Nawawi Banten memiliki
pandangan berbeda perihal ayat di atas, menurutnya, yang dimaksud tidak mampu menghitung
pada ayat di atas, adalah menghitung secara sempurna, bukan tidak bisa menghitung secara
menyeluruh. Sebab, manusia tidak mengetahui semua nikmat-nikmat yang Allah berikan
kepadanya, mereka hanya mengetahui sebagiannya saja. Akibatnya, dengan ketidaktahuan ini,
manusai tidak bisa mensyukuri nikmat secara sempurna. Hal ini juga memberikan warning
bahwa akal yang dimiliki manusia hanya memiliki kapasitas yang sangat terbatas ketika harus
memuat dan menghitung semua nikmat Allah yang sangat banyak. Cukup sebagai contoh dan
pelajaran bahwa akal manusia sangat terbatas bila dibandingkan dengan nikmat Allah yang
sangat luas adalah ketika manusia sedang sakit. Ia akan merasa bingung dan selalu berharap
kesembuhan. Namun ia tidak mengetahui ada di bagian mana inti penyakit dan bagian mana
pula yang harus diobati. Sementara itu Allah mengatur kondisinya dengan cara-Nya yang sangat
sempurna. Manusia tidak mengetahui di bagian mana yang Allah sembuhkan, dan bagaimana
pula cara mengobatinya. Setelah itu oleh Allah ia disembuhkan dari penyakit tersebut bahkan
penyakitnya dihilangkan. Yang semestinya dijadikan pelajaran dan renungan adalah, saat Allah
menyembuhkan manusia dari penyakit, ia sering tidak menyadari atas nikmat yang Allah berikan
saat itu. Pikirnya, yang penting sudah sembuh, tanpa berpikir bagaimana cara Allah
menyembuhkannya. (Nawawi al-Bantani, Marahu Labidin li Kasyfi Ma’ânil Qur’ânil Majîd,
[Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1999], juz I, halaman 589). Cara Mensyukuri Nikmat yang Tak
Terbatas Sudah jelas bahwa semua nikmat yang Allah berikan sangat banyak, sangat rinci, dan
begitu luas tidak mampu manusia hitung dengan detail pula. Lantas bagaimana cara
mensyukurinya? Mensyukuri semua nikmat yang diberikan oleh Allah adalah bagian yang sangat
penting untuk dilakukan manusia, baik mensyukuri nikmat secara global atau dengan detail.
Bersyukur adalah bagian dari manifestasi keimanan kepada Allah Sang Maha Pemberi, serta
sebagai bukti ketaatan pada perintah-Nya. Dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan manusia
untuk bersyukur atas nikmat yang telah diberikan dan melarang mengingkarinya: ‫َف ْاذ ُكرُونِي َأ ْذ ُكرْ ُك ْم‬
)152 :‫ (البقرة‬.‫ُون‬ ِ ‫ َوا ْش ُكرُوا لِي َواَل َت ْكفُر‬Artinya, “Maka ingatlah kalian kepada-Ku, Aku pun akan ingat
kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengufuri-Ku.” (QS Al-Baqarah:
152). Sayyid Muhammad Ali Thanthawi mengatakan, meski nikmat yang Allah berikan tidak
terhitung jumlahnya dan manusia tidak mampu menghitungnya, bukan kemudian
menghilangkan kewajibannya untuk bersyukur. Syekh Thanthawi mengatakan: ،‫َو َما دَ ا َم اَأْل ْم ُر َك َذل َِك‬
‫اع َة‬َ ‫الط‬ َّ ‫ َوَأ ْخلِص ُْوا َل ُه ْال ِع َبا َد َة َو‬،‫ َفا ْش ُكر ُْوهُ َعلَ ْي َها َما اسْ َت َطعْ ُت ْم‬  Artinya, “Selama keadaan seperti itu (tidak mampu
menghitung semua nikmat), maka syukurilah nikmat (yang diterima) semampunya, serta
ikhlaskan ibadah dan ketaatan kepada-Nya.” (Sayyid Thanthawi, Tafsîrul Wasîth, [Beirut, Dârul
Fikr: 2014], halaman 2509). Menurut Syekh Thanthawi, ketidakmampuan seseorang menghitung
semua nikmat yang diterimanya, baik nikmat dunia, berupa rejeki yang cukup dan keluarga
dalam kondisi sehat; nikmat agama, seperti nikmat Islam dan iman; nikmat yang tampak dan
bisa dirasakan; nikmat yang tidak nampak; nikmat berupa manfaat dan nikmat dijauhkan dari
maksiat dan keburukan; tidak kemudian menjadi penyebab gugurnya perintah untuk bersyukur
kepada Allah swt. Manusia tetap terkena tuntutan untuk bersyukur, sesuai kemampuannya.
Sementara menurut Syekh Nawawi Banten, cara bersyukur harus dilakukan dengan mensyukuri
semua nikmat yang diterimanya, baik secara terperinci maupun global. Masalah kemudian ada
beberapa nikmat yang luput untuk disyukuri, maka Allah Yang Maha Pengampun. Syekh Nawawi
menjelaskan: ‫ ِإنَّ هللاَ لَغَ فُو ٌر لِل َّت ْقصِ ي ِْر الصَّاد ِِر َع ْن ُك ْم‬،‫صلِ َها َومُجْ َملِ َها‬ ِّ ‫ْق ِإلَى ال ُّش ْك ِر َأنْ َي ْش ُك َر هللاَ َعلَى َج ِمي ِْع ن َِع ِم ِه ُم َف‬ َّ ‫ُث َّم‬
ُ ‫الط ِري‬
‫ش ْك ِر ِن َع ِم ِه‬ُ ‫ فِي ْالقِ َي ِام ِب‬Artinya, “Kemudian cara bersyukur yaitu dengan bersyukur kepada Allah atas
semua nikmat-Nya; baik secara detail maupun secara global. Sungguh Allah Maha Pengampun
atas kelalaian yang muncul dari kalian semua dalam melakukan syukur atas nikmat-nikmat-Nya.”
(Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd, juz I, halaman 590). Syekh Abu Muhammad al-Husaini bin
Mas’ud al-Baghawi, ulama yang memiliki julukan Muhyis Sunnah, memiliki penafsiran berbeda
dengan dua penafsiran di atas. Jika dua pendapat yang telah disebutkan lebih menekankan pada
ungkapan syukur, maka tidak dengan pendapat Al-Baghawi. Beliau mengatakan, bahwa yang
terpenting dalam melakukan syukur bukan tentang ungkapannya, namun lebih pada aplikasinya.
Al-Baghawi mengatakan: ُ‫صاه‬ َ ‫هللا َف َق ْد َش َك َرهُ َو َمنْ َع‬
َ ‫اع‬َ ‫ َفِإنَّ َمنْ َأ َط‬،ِ‫الطا َع ِة َواَل َت ْكفُر ُْونِي ِب ْال َمعْ صِ َية‬
َّ ‫َيعْ نِي َوا ْش ُكرُوا لِي ِب‬
ُ‫ َف َق ْد َك َف َره‬Artinya, “Yang dimaksud (ayat syukur), adalah: ‘Bersyukurlah kepada-Ku dengan
melakukan ketaatan, dan janganlah kalian ingkar kepada-Ku dengan maksiat’. Karena sungguh
orang yang taat kepada Allah maka ia sudah bersykur, dan orang yang bermaksiaat kepada-Nya
maka ia telah ingkar.” (Al-Baghawi, Tafsîrul Baghawi, [Dâruth Thayyibah, 1997], juz I, halaman
168). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa cara bersyukur kepada Allah atas nikmat
yang tak terbatas bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan memuji Allah swt atas
segala nikmat yang diberikan kepada manusia, baik nikmat Islam dan iman, sehat rohani dan
jasamani, nikmat memiliki anggota tubuh yang sempurna dan lainnya. Kedua, dengan cara
menggunakan anggota badan untuk melakukan ketaatan kepada Allah swt. Sebab, dengan
melakukan ketaatan artinya seseorang sudah bersyukur dengan segala nikmat yang diterimanya.
Wallâhu a’lam bisshawâb. 

Sumber: https://islam.nu.or.id/tafsir/kajian-tafsir-cara-mensyukuri-nikmat-yang-tak-terbatas-
5CIO2

Bersyukur Itu Kunci Kesuksesan: Tafsir Ayat Syukur Nadirsyah Hosen Ahad, 19 Mei 2019 | 08:00
WIB BAGIKAN: ‫ َوِإ ْذ َتَأ َّذ َن َر ُّب ُك ْم لَِئنْ َش َكرْ ُت ْم َأَل ِزيدَ َّن ُك ْم ۖ َولَِئنْ َك َفرْ ُت ْم ِإنَّ َع َذ ِابي لَ َشدِي ٌد‬Dan (ingatlah juga) tatkala
Tuhan kalian memaklumatkan, "Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.” (QS Ibrahim ayat 7) Bangsa Yahudi adalah kaum yang paling banyak mendapat
nikmat dari Allah namun mereka jugalah kaum yang paling tidak pandai bersyukur. Ayat di atas
turun dalam konteks dialog antara Nabi Musa dan bangsa Yahudi. Allah menceritakan tentang
Nabi Musa ketika ia mengingatkan kaumnya kepada hari-hari Allah yang mereka alami dan
nikmat-nikmat-Nya yang dilimpahkan kepada mereka. Yaitu ketika Allah menyelamatkan mereka
dari cengkeraman Fir'aun dan para pengikutnya, serta dari siksaan dan penghinaan yang mereka
alami. Fir'aun menyembelih anak laki-laki mereka yang dijumpainya, dan membiarkan hidup
anak-anak perempuan mereka, lalu Allah menyelamatkan mereka dari semuanya itu. Hal
tersebut merupakan nikmat yang paling besar. Tetapi sayang, bangsa Yahudi melupakan semua
nikmat yang Allah berikan. Mereka menjadi bangsa yang kufur nikmat. Maka Allah ingatkan Nabi
Muhammad dan umat beliau untuk pandai-pandai bersyukur. Jangan meniru kesalahan bangsa
Yahudi. Inilah konteks surat Ibrahim ayat 7 di atas. Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menyodorkan
kisah nyata sebagai implementasi ayat di atas: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم مَرَّ ِب ِه سَاِئ ٌل‬ َ ِ ‫ َأنَّ َرسُو َل هَّللا‬:ِ‫َوفِي ْالمُسْ َند‬
َ‫ َفَأ َم َر ل ُه‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ‫هَّللا‬
َ ِ ‫ُول‬ َ َ ‫َأ‬ َ ‫ ث َّم مَرَّ ِب ِه‬،‫ َف َت َس َّخطها َولَ ْم َي ْق َب ْل َها‬،‫َفَأعْ َطاهُ َت ْم َر ًة‬
ِ ‫ َت ْم َرةٌ مِنْ َرس‬:‫ َف َق ِبل َها َو َقا َل‬،‫آخ ُر َف عْ طاهُ ِإيَّا َها‬ ُ
‫ َأ ْو َك َما َقا َل‬،‫ِين دِرْ َهمًا‬ َ ‫" ِبَأرْ َبع‬Diriwayatkan oleh Imam Ahmad al-Musnad ada seorang pengemis yang
diberi sebutir kurma oleh Nabi, namun pengemis tersebut menolak karena merasa pemberian
itu hanya sebutir biji kurma. Datang pengemis lain, Nabi berikan sebutir biji kurma. Terdengar
ucapan terima kasih dan rasa syukur mendapat pemberian dari Nabi meski hanya sebutir kurma.
Mendengar rasa syukur pengemis kedua ini, maka Nabi tambahkan 40 dirham untuknya." Orang
yang bersyukur adalah orang yang tahu berterima kasih. Bukan sekedar banyak atau sedikitnya
rejeki yang kita peroleh, tapi renungkan sejenak: yang memberi kita rejeki itu adalah Sang Maha
Agung. Ini saja sudah pantas membuat kita bersyukur karena sedikit atau banyak kita masih
diperhatikan dan diberi rejeki oleh Allah swt. Alhamdulillah. 1. Orang yang bersyukur akan jauh
lebih produktif.  Kenapa? Karena mereka tahu memanfaatkan resources dan peluang yang ada.
Orang yang selalu mengeluh akan menghabiskan waktunya menyesali diri. Berlama-lama dalam
nestapa membuat kita tidak siap menangkap peluang berikutnya. Orang yang bersyukur akan
memanfaatkan apa yang dimiliki saat ini, sekecil apapun itu, sebagai bekal untuk terus maju. 2.
Orang yang bersyukur itu lebih bahagia dan optimis Sementara orang yang pesimis akan sibuk
meratapi kegagalan dan nyinyir akan kesuksesan orang lain, orang yang pandai bersyukur
emosinya akan lebih stabil, sigap mencari solusi, melokalisir persoalan bukan melebarkannya
kemana-mana, dan taktis mengatur strategi. Dengan segala keterbatasannya, orang yang
bersyukur akan membuat skala prioritas. Siapapun tidak akan suka dengan orang yang selalu
mengeluh, dan kalau dia punya problem seolah hanya dia satu-satunya di dunia orang yang
punya masalah, dan semua orang harus memperhatikan masalahnya. Orang seperti ini tidak
akan produktif berkarya, dan tidak akan bertambah nikmat dari Allah. Ayat di atas itu sangat
nyata dan membumi. Dalam bahasa Arab, kata "syukur" berarti membuka dan menampakkan,
dan lawan katanya adalah "kufur" yang bermakna menutup dan menyembunyikan. Ini artinya
hakikat syukur adalah menampakkan nikmat dengan cara menggunakannya pada tempatnya
dan sesuai dengan yang dikehendakinya oleh pemberinya, juga dengan cara menyebut-nyebut
pemberinya dengan baik. Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa setiap nikmat yang
dianugerahkan Allah itu semua menuntut perenungan untuk apa ia dianugerahkan-Nya. Lalu
menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Dengan demikian,
orang yang kufur terhadap nikmat Allah bukan saja tidak mengakui berbagai kenikmatan yang
Allah berikan tapi cenderung untuk menutupi dan menyembunyikannya. Itulah sebabnya Allah
menegaskan, ‫ِي ال َّش ُكو ُر‬ َ ‫" َو َقلِي ٌل مِنْ عِ َباد‬Dan sedikit di antara hamba-hambaKu yang bersyukur" (QS
Saba:13) dan di ayat lain Allah berfirman, ‫ُون‬ َ ‫اس اَل َي ْش ُكر‬ ٰ
ِ ‫اس َولَكِنَّ َأ ْك َث َر ال َّن‬ِ ‫ك مِنْ َفضْ ِل هَّللا ِ َعلَ ْي َنا َو َعلَى ال َّن‬ َ ِ‫ٰ َذل‬
"Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya);
tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur" (QS Yusuf: 38). Naudzubillahi min dzalik. 3.
Bersyukur itu manfaatnya akan kembali kepada kita. Al-Qur’an sudah memberi sinyal yang
teramat jelas: ‫ة َأ ِن ا ْش ُكرْ هَّلِل ِ ۚ َو َمنْ َي ْش ُكرْ َفِإ َّن َما َي ْش ُك ُر لِ َن ْفسِ ِه ۖ َو َمنْ َك َف َر َفِإنَّ هَّللا َ َغنِيٌّ َحمِي ٌد‬Tَ ‫ان ْالح ِْك َم‬ َ ‫" َولَ َق ْد آ َت ْي َنا لُ ْق َم‬Dan
sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah.
Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya
sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji".  (QS Luqman: 12) Dalam Hadits Qudsi diriwayatkan oleh Abu Dzar al-Ghifari (Sahih
Muslim, Hadits No. 2577) « ‫ َما َزا َد‬،‫ب َرج ٍُل َوا ِح ٍد ِم ْن ُك ْم‬ ِ ‫َيا عِ َبادِي لَ ْو َأنَّ َأوَّ لَ ُك ْم َوآخ َِر ُك ْم َوِإ ْن َس ُك ْم َو ِج َّن ُك ْم َكا ُنوا َعلَى َأ ْت َقى َق ْل‬
‫ك فِي م ُْلكِي َش ْيًئ ا‬ َ ِ‫ َذل‬، Hai hamba-hamba-Ku, seandainya orang-orang yang pertama dari kalian dan
yang terakhir dari kalangan umat manusia dan jin semuanya memiliki kalbu seperti kalbu
seseorang di antara kalian yang paling bertakwa, tiadalah hal tersebut menambahkan sesuatu
dalam kerajaan-Ku barang sedikit pun ‫ب َرج ٍُل‬ ِ ‫َيا عِ َبادِي لَ ْو َأنَّ َأ َّولَ ُك ْم َوآخ َِر ُك ْم َوِإ ْن َس ُك ْم َو ِج َّن ُك ْم َكا ُنوا َعلَى َأ ْف َج ِر َق ْل‬
‫ك فِي م ُْلكِي َش ْيًئ ا‬ َ ِ‫ص َذل‬ َ ‫ َما َن َق‬،‫وا ِح ٍد ِم ْن ُك ْم‬،
َ Hai hamba-hamba-Ku, seandainya orang-orang yang pertama
dari kalian dan yang terakhir dari kalangan umat manusia dan jin semuanya memiliki kalbu
seperti kalbu seseorang di antara kalian yang paling durhaka, hal tersebut tidaklah mengurangi
sesuatu pun dalam kerajaan-Ku barang sedikit pun. ‫َيا عِ َبادِي َل ْو َأنَّ َأوَّ لَ ُك ْم َوآخ َِر ُك ْم َوِإ ْن َس ُك ْم َو ِج َّن ُك ْم َقامُوا فِي‬
‫ط ِإ َذا ُأ ْد ِخ َل ْال َبحْ ر‬ ُ ‫ك مِنْ م ُْلكِي َش ْيًئ ا ِإاَّل َك َما َي ْنقُصُ الم ِْخ َي‬
َ ِ‫ص َذل‬َ ‫ َما َن َق‬،ُ‫ان َمسْ َألَ َته‬ ٍ ‫ْت ُك َّل ِإ ْن َس‬ ُ ‫ َفَأعْ َطي‬،‫ َف َسَألُونِي‬،ٍ‫صعِي ٍد َوا ِحد‬ َ » Hai
hamba-hamba-Ku, seandainya orang-orang pertama dari kalian dan yang terakhir dari kalangan
umat manusia dan jin semuanya berdiri di suatu lapangan, kemudian mereka meminta kepada-
Ku, lalu Aku memberi kepada setiap orang apa yang dimintanya, tiadalah hal itu mengurangi
kerajaan-Ku barang sedikit pun, melainkan sebagaimana berkurangnya laut bila dimasukkan
sebuah jarum ke dalamnya. Perbendaharaan Allah amat luas. Bersyukur pada pemberianNya itu
tidak akan menambah sesuatupun di sisiNya, tapi justru akan menambah rahmatNya untuk kita.
Kita yang membutuhkan syukur, bukan Allah Swt. Allah berfirman dalam QS al-Baqarah: 152
ِ ‫“ َف ْاذ ُكرُونِي َأ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكرُوا لِي َواَل َت ْكفُر‬Ingatlah kepadaKu, niscaya Aku ingat kepadamu,
‫ُون‬
bersyukurlah kepada-Ku, dan jangan kufur (dari nikmat-Ku).” Ayat ini begitu padat-bergizi
menggabungkan tiga konsep sekaligus: dzikir, syukur dan kufur. Mengingat Allah (berdzikir) akan
membawa kita kepada rasa syukur, sebaliknya orang yang lalai dari mengingat Allah, di mana
setiap punya masalah dia menjadi kufur nikmat. Dia jadi lupa akan berbagai nikmat yang sudah
Allah berikan sebelumnya. Konsep syukur yang begitu dahsyat di atas, sayangnya begitu tiba di
tengah-tengah kita menjadi dipalingkan maknanya. “Syukurin loe!” walhasil kata “syukur”
berubah menjadi negatif, seolah bersyukur itu sama dengan mengejek kegagalan orang lain. Kita
seolah mensyukuri kegagalan orang lain. Mungkin ini sebabnya kita sulit menjadi bangsa yang
maju karena kita keliru menerapkan makna syukur. Kita diperintah oleh Tuhan untuk
menyebarkan nikmat yang kita peroleh sebagai tanda syukur (QS. al-Duha: 11). Dengan
menyebarkannya, maka kita telah berbagi kebahagiaan dan energi positif ini akan menular
kepada orang lain. Tahadduts bin ni'mah ini berbeda dengan ujub, kesombongan diri atau
sekadar pamer, karena niat dan tujuannya berbeda sama sekali. Apalagi, bersyukur itu tidak
harus menunggu nikmat yang ‘ruaarr biasa’ (seperti kalau kita mau pamer atau
menyombongkan diri). Apa yang kita raih, sekecil apapun, patut disyukuri, dan diceritakan
(dengan penuh rasa syukur). Do not underestimate what you already have (Jangan meremehkan
apa yang anda miliki). Dalam bahasa agama, alhamdulillah 'ala kulli hal (Puji Tuhan dalam segala
kondisi) Tapi, alih-alih menebar energi positif, mengapa kita jutsru sering mendapati reaksi
negatif dari mereka yang menerima berita baik tentang kita? Inilah penyakit kronis SMS (Senang
Melihat orang lain Susah dan Susah Melihat orang lain Senang) yang harus kita lawan. Mau
diartikulasikan sedemikian rupa dan mau ditutupi dengan kata-kata bersayap sekalipun, orang
lain bisa merasakan kok, bagaimana reaksi negatif yang kita lontarkan. Jadi, apa jalan keluarnya?
Sederhana saja. Rasul mengingatkan, "Perumpamaan kalian dalam hal kasih sayang itu bagaikan
satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan, maka sekujur badan akan
merasakan panas dan demam" (HR Muslim). Mafhum mukhalafahnya ialah kalau ada anggota
tubuh yang senang, maka sekujur tubuh juga seharusnya senang! Karena itu, saran saya, kalau
ada kawan yang dapat kenikmatan atau dapat rezeki, maka kita pun sebaiknya segera ikut
bersujud syukur. Cara praktis ini bukan saja akan memadamkan penyakit hati, seperti iri hati dan
dengki terhadap rezeki orang lain, tapi juga menebarkan energi positif. “Ente yang dapat rezeki,
ane bakalan ikut sujud syukur berterima kasih pada Tuhan yang telah memberi ente kenikmatan
tersebut. Ente bertahadduts bin ni'mah, ane bersujud syukur. Sekarang, rasakan ademnya hati
kita semua. Subhanallah!” Imam al-Ghazali juga memgingatkan kita semua bahwa cara
bersyukur kepada Allah itu lewat hati, dengan lisan dan dengan amal perbuatan. Mari kita
memaafkan kesalahan hari kemarin, bersyukur pada apa yang diraih hari ini, dan berdoa untuk
masa depan yang lebih baik. Itulah cara menitipi hidup menujuNya.

Sumber: https://islam.nu.or.id/tafsir/bersyukur-itu-kunci-kesuksesan-tafsir-ayat-syukur-mP4Ir

Syukur sebagai Wujud Bertauhid Rabu, 20 Januari 2016 | 01:00 WIB BAGIKAN: Khotbah I ،ِ‫اَ ْل َحمْ ُد هلل‬
َ ‫ اَ ْش َه ُد َأنْ الَ ِالَ َه ِاالَّ هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي‬.‫ َو َو َعدَ ل ِْل ُم َت َم ِّس ِكي َْن ِب ِه َو َي ْن َه ْو َن ْال َف َسادَ َم َكا ًنا َعلِ ًّيا‬،‫هلل الَّذِىْ َج َع َل ااْل ِسْ اَل َم َط ِر ْي ًقا َس ِو ًّيا‬
‫ك‬ ِ ‫اَ ْل َحمْ ُد‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
َ ‫ اَللَّ ُه َّم َف‬.‫ص ِب ًّيا‬
‫ص ِّل‬ َ ‫ار ِم ِك َبارً ا َو‬ ِ ‫ َو ْش َه ُد نَّ َسيِّدَ َنا َحم ًَّدا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُ ُه ْال ُم َّتصِ فُ ِب ْال َم َك‬.‫ َو حْ َسنُ َن ِد ًّيا‬T‫ َش َهادَ َة َمنْ ه َُو َخ ْي ٌر َّم َقا ًما‬،ُ‫لَه‬
‫ َأمَّا‬،‫م َولَ ْم َي ْف َعلُ ْوا َش ْيًئ ا َف ِر ًّيا‬Tْ ‫صحْ ِب ِه الَّ ِذي َْن يُحْ سِ ُن ْو َن ِإسْ الَ َم ُه‬َ ‫ َو َعلَى آلِ ِه َو‬،‫ان َرس ُْوالً َن ِب ًّيا‬ َ ‫صا ِدقَ ْال َوعْ ِد َو َك‬َ ‫ان‬ َ ‫َو َسلِّ ْم َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َك‬
،‫هللا الرَّ حْ َم ِن الرَّ ِحي ِْم‬ ِ ‫ ِبسْ ِم‬: ‫ َقا َل هللاُ َت َعالَى‬.‫از ال ُم َّتقُ ْو َن‬ ْ َ ‫ َف َق ْد َف‬،ِ‫ ا ُ ْوصِ ْينِيْ َنفسِ ىْ َوِإيَّا ُك ْم ِب َتق َوى هللا‬،ُ‫م هللا‬Tُ ‫َبعْ ُد َف َيا َأ ُّي َها ْال َحاضِ ر ُْو َن َر ِح َم ُك‬
ْ ْ
‫هللا َح َّق ُت َقا ِت ِه َوالَ َتم ُْو ُتنَّ ِإالَّ َواَ ْن ُت ْم مُسْ ِلم ُْو َن‬َ ‫ َيا اَ ُّي َها الَّ ِذي َْن آ َم ُن ْوا ا َّتقُ ْوا‬Dalam kesempatan yang baik ini marilah kita
tanamkan tekad yang kuat untuk mengisi hari-hari kita demi meningkatkan iman dan taqwa
kepada Allah subhanahu wata’ala sebagai wujud rasa syukur kita atas kehidupan yang telah
dianugerahkan-Nya kepada kita. Dengan iman dan taqwa sebagai rasa syukur kita wujudkan
kehidupan yang damai, makmur dan sentosa dengan penuh kesadaran akan jabatan kita
khalifah di muka bumi yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak di hari
pengadilan. Hadirin jama’ah shalat Jum’at yang semoga dirahmati Allah, Suatu ketika Sulaiman
‘alaihisalam  bersama tentara-tentara pengawalnya yang terdiri dari manusia dan jin
mengadakan perjalanan jauh. Di tengah jalan ia bertemu dengan sekelompok semut yang
sedang bekerja mengangkut makanan ke sarangnya. Seekor semut berseru kepada kawanannya:
َ ‫“ َيا َأ ُّي َها ال َّن ْم ُل ْاد ُخلُوا َم َسا ِك َن ُك ْم اَل َيحْ طِ َم َّن ُك ْم ُسلَ ْي َمانُ َو ُج ُنو ُدهُ َو ُه ْم اَل َي ْش ُعر‬Wahai sekalian semut, masuklah ke
‫ُون‬
dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya sedangkan
mereka tidak menyadari” (QS. Al-Naml: 18) Sulaiman yang dianugerahi Allah kemampuan
mengerti bahasa para binatang di antara kelebihan-kelebihannya yang lain hanya tersenyum
demi mendengar perkataan seekor semut itu. Sulaiman pun langsung memanjatkan doa: ِّ‫َرب‬
‫ِين‬
َ ‫ك الصَّالِح‬ َ ‫ك فِي عِ َبا ِد‬ َ ‫ضاهُ َوَأ ْدخ ِْلنِي ِب َرحْ َم ِت‬ َ ْ‫صالِحً ا َتر‬ َ ‫ك الَّتِي َأ ْن َعمْتَ َعلَيَّ َو َعلَ ٰى َوالِدَيَّ َوَأنْ َأعْ َم َل‬ َ ‫“ َأ ْو ِزعْ نِي َأنْ َأ ْش ُك َر نِعْ َم َت‬Ya
Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku ilham agar tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku berbuat kebaikan yang
Engkau ridhai masukkan aku dengan kasih-sayang-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu
yang shalih”. (QS. AL-Naml: 19) Sungguh luar biasa sikap yang ditunjukkan oleh Sulaiman,
seorang yang memiliki kekuasaan yang besar dan harta kekayaan yang berlimpah, dikawal oleh
pasukan besar manusia dan jin, berkemampuan mengerti dan berbahasa bahasa binatang, yang
terpatri dalam kalbunya dan terucap dari mulutnya adalah rasa syukur atas anugerah yang
dicurahkan Allah kepadanya. Kebanyakan manusia seringkali lupa bersyukur tatkala ia
mendapatkan sedikit saja kenikmatan apalagi banyak. Berbeda dengan Nabi Sulaiman, yang
karena sikap kerendahan hatinya pantas ditunjuk oleh Allah sebagai nabi yang harus kita
teladani perbuatan dan tingkah lakunya, justru tak lupa bersyukur atas seluruh kenikmatan yang
diperolehnya kepada Allah. Syukur adalah seutama-utama tingkah laku. Jika kita membaca Al-
Qur`an, membuka lembaran pertamanya, akan kita temukan bahwa kitab suci pun memulai
segala pengetahuannya dengan ungkapan rasa syukur kepada Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang dengan ungkapan alhamdu li Allahi Rabbi-l-‘alamin (segala puji bagi Allah
Tuhan semesta alam). Syukur adalah hikmah, atau sebagaimana diartikan para failasuf dengan
“pengetahuan sejati”, pengetahuan sejati pertama yang diterima oleh Lukman al-Hakim. Allah
subhanahu wata’ala menceritakan: َّ‫ة َأ ِن ا ْش ُكرْ هَّلِل ِ َو َمنْ َي ْش ُكرْ َفِإ َّن َما َي ْش ُك ُر لِ َن ْفسِ ِه َو َمنْ َك َف َر َفِإن‬Tَ ‫ان ْال ِح ْك َم‬ َ ‫َولَ َق ْد آ َت ْي َنا لُ ْق َم‬
ٌ‫“ هَّللا َ غَ نِيٌّ َحمِيد‬Dia sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu ‘bersyukurlah kepada
Allah dan barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji”. (QS.
Luqman: 12). Mengapa syukur menjadi tingkah laku utama? Karena nikmat Allah sudah begitu
besar dan begitu banyak terlimpah kepada kita semua. Rasanya begitu malu jika kita masih
meminta-minta kepada Allah, padahal sudah begitu banyak yang Ia curahkan. Kita terlalu
banyak meminta tapi sedikit sekali bersyukur. Seharusnya kita banyak bersyukur tapi juga
banyak meminta, karena Allah justru akan marah jika kita tidak meminta kepada-Nya. Ini
menandakan bahwa sebanyak apapun kita meminta nikmat Allah tidak jua habis dikuras. Allah
sendiri menggambarkan dengan cara yang sangat cantik sekali seberapa banyak nikmat yang
dapat Ia limpahkan kepada sekalian makhluk-Nya. Allah berfirman: ‫ت َربِّي‬ ِ ‫ان ْال َبحْ ُر مِدَ ًادا لِّ َكلِ َما‬
َ ‫قُل لَّ ْو َك‬
ْ َ ‫ْئ‬ َ ُ َ َ َ ‫َأ‬ َ ْ َ َ
‫“ لنفِدَ ال َبحْ ُر ق ْب َل ن تنف َد كلِ َمات َربِّي َول ْو ِج نا ِبمِثلِ ِه َمد ًَدا‬Katakanlah wahai Muhammad, seandainya air laut
dijadikan tinta untuk menghitung  kalimah atau nikmat Tuhanku maka habislah lautan itu
sebelum nikmat-nikmat selesai dicatat, bahkan jika seandainya Allah mendatangkan lagi jumlah
lautan yang sama”. (QS. Al-Kahf: 109). Nikmat Allah begitu banyak, bahkan kehidupan hari ini
adalah sebagian dari nikmat Allah subhanahu wata’ala. Dengan diberikan kehidupan kita masih
diberi kesempatan oleh Allah untuk membuktikan diri sebagai orang-orang yang pantas
mendapat ridha Allah dan memasuki surga-Nya. Ingatlah bahwa orang-orang yang telah
meninggal berharap diberikan lagi kehidupan agar diberikan lagi kesempatan beribadah dan
beramal, karena jika maut sudah menjemput kesempatan berbuat kebaikan sudah musnah dan
harapan hidup di akhirat dengan keadaan berbahagia telah pupus. Nikmat Allah begitu banyak,
bahkan nafas dan detak jantung yang bekerja saat ini adalah sebagian nikmat Allah subhanahu
wata’ala. Banyangkanlah, jika kita menderita sesak napas saja, sudah begitu menderitanya kita,
apalagi jika nafas ini dicabut oleh Allah, atau bayangkanlah jika detak jantung ini terlalu cepat
atau terlalu lambat, sudah begitu sakitnya terasa oleh kita, apalagi jika jantung sudah tak lagi
bekerja memompa darah ke seluruh tubuh. Ingatlah, karena  itu, untuk selalu bersyukur. Wajar
kiranya Rasulullah dan para ulama mengajarkan kita untuk memulai hari dengan ungkapan rasa
syukur, melalui doa sederhana yang diajarkan guru-guru agama sejak kita masih kecil: ‫هلل الَّذِى‬ ِ ِ ‫اَ ْل َح ْم ُد‬
‫شو ُر‬ ُ ‫“ َأحْ َيا َنا َبعْ َد َما َأ َما َت َنا َوِإلَ ْي ِه ال ُّن‬Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah
mematikan kami dan kepada-Nya-lah tempat kembali”. Hadirin rahimakumullah, Lalu apakah
syukur itu? Syukur jelas bukanlah sekadar hamdalah yang diucapkan dengan sangat fashih,
tetapi ia lebih berupa pengakuan sungguh-sungguh bahwa semua rejeki dan anugerah yang
menghadirkan perasaan nikmat dalam jiwa kita tidak didapat dengan usaha kita sendiri,
melainkan berasal hanya dari Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, orang yang bersyukur
akan terpatri dalam hatinya bahwa “semua kenikmatan, pengetahuan, kemampuan, kekuasaan,
dan harta yang kumiliki ini karena kehendak dan perbuatan Allah subhanahu wata’ala, bukan
karena kehendak dan perbuatan usahaku sendiri.” Dengan pengakuan ini maka orang yang
bersyukur akan menempatkan Allah sebagai sumber kenikmatan yang didapatnya. Kemudian
kita memahami bahwa Allah adalah sumber kebaikan yang kita ketahui dari nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Maka dari itu, orang yang bersyukur akan memanfaatkan semua pengetahuan,
kemampuan, kekuasaan, harta dan segala kenikmatan lainnya untuk kebaikan. Dengan berbuat
kebaikan menggunakan rejeki dari Allah itu, orang yang bersyukur akan menciptakan kehidupan
yang baik, kemakmuran masyarakat pun lahir, ketenteraman tercipta, stabilitas terpelihara dan
peradaban yang maju pun akan menghampiri hidupnya dan bangsanya. Inilah yang dimaksud
hikmah Allah yang diberikan kepada Luqman: “dan barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya
dia bersyukur untuk dirinya sendiri” Orang yang tidak bersyukur disebut oleh Allah dengan kufr
atau dijabarkan lagi oleh ulama dengan sebutan kufr ni’mah. Kata kufrjuga berarti ingkar
terhadap Allah. Orang yang ingkar disebut dengan kafir. Karena itu, orang yang tidak bersyukur
berarti mengingkari bahwa pengetahuan, kemampuan, kekuasaan, harta dan segala kenikmatan
lain yang diperolehnya berasal dari Allah. Dalam hatinya ia merasa bahwa nikmat yang
didapatnya berasal dari usaha dirinya sendiri. Dengan ini maka orang yang tidak bersyukur
disamakan Allah dengan orang yang ingkar terhadap Allah, atau disebut dengan orang kafir. Di
sini kita mengetahui bahwa ternyata sebutan kafir tidak hanya disematkan kepada orang yang
bukan Islam yang ingkar terhadap Allah dan hari akhir serta tak beramal saleh, tetapi juga
dikenakan kepada orang muslim yang tidak bersyukur. Dengan demikian, rasa syukur
mengandung unsur ketauhidan karena ia berhubungan dengan pengakuan akan kemahakuasaan
Allah subhanahu wata’ala. Rasa syukur juga mengandung unsur ajaran akhlak dalam Islam,
sebab ia berhubungan dengan perbuatan baik yang dilakukan orang bersyukur, yang jika
dilakukan akan mendatangkan kebaikan dan kenikmatan yang lebih banyak lagi dan sebaliknya
jika nikmat dipergunakan untuk perbuatan buruk dan jahat akan mendatangkan keburukan dan
kejahatan yang lebih besar lagi. Inilah nampaknya makna yang terkandung dalam firman Allah:
‫“ َوِإ ْذ َتَأ َّذ َن َر ُّب ُك ْم لَِئنْ َش َكرْ ُت ْم َأَل ِزي َد َّن ُك ْم ۖ َولَِئنْ َك َفرْ ُت ْم ِإنَّ َع َذ ِابي لَ َشدِي ٌد‬Jika Engkau bersyukur atas nikmat-nikmat-Ku
maka akan kutambahkan nikmat-nikmat itu, tetapi jika Engkau kufr (ingkar tidak mengakui
bahwa itu semua dari-Ku) maka azab-Ku sangatlah pedih” (QS. Ibrahim:7) Mari kita budayakan
kebiasaan untuk selalu bersyukur kepada Allah. Semoga kita semua digolongkan oleh Allah
termasuk dalam golongan hamba-hamba-Nya yang shalih sebagai mana doa Nabi Sulaiman
‘alaihissalam tadi. Khotbah II ُ‫ َواَ ْش َه ُد اَنْ الَ ِالَ َه ِاالَّ هللاُ َوهللاُ َوحْ َده‬.ِ‫لى َت ْوفِ ْيقِ ِه َواِمْ ِت َنا ِنه‬ َ ‫لى اِحْ َسا ِن ِه َوال ُّش ْك ُر لَ ُه َع‬ َ ‫هلل َع‬ ِ ‫اَ ْل َحمْ ُد‬
‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد ِو َعلَى اَلِ ِه َواَصْ َح ِاب ِه َو َسلِّ ْم‬ َ ‫ الل ُه َّم‬.ِ‫ِلى ِرضْ َوا ِنه‬ َ ‫ْك لَ ُه َواَ ْش َه ُد اَنَّ َسيِّدَ َنا م َُح َّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُ ُه ال َّداعِ ى ا‬ َ ‫الَ َش ِري‬
‫واهللا ِف ْي َما اَ َم َر َوا ْن َته ُْوا َعمَّا َن َهى َواعْ لَم ُْوا اَنَّ هللاّ اَ َم َر ُك ْم ِبا َ ْم ٍر َب َدَأ ِف ْي ِه ِب َن ْفسِ ِه َو َثـ َنى ِب َمآل ِئ َك ِت ِه‬ َ ُ ‫ق‬ ‫ت‬َّ ‫ا‬
ِ ُ‫اس‬ َّ
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫ه‬ َ ُّ‫ي‬ َ ‫ا‬ َ ‫ا‬‫ي‬ َ
‫ف‬ ُ
‫د‬ ْ‫ع‬ ‫ب‬
َ ‫َّا‬‫م‬ ‫ا‬ ً‫ْر‬‫ي‬ ‫ِث‬ ‫ك‬ ‫َتسْ ِل ْيمًا‬
‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا‬ ِّ
َ ‫ الل ُه َّم‬.‫صل ْوا َعلَ ْي ِه َو َسلم ُْوا َتسْ لِ ْيمًا‬ ُّ َّ
َ ‫لى ال َّن ِبى يآ اَ ُّي َها ال ِذي َْن آ َم ُن ْوا‬ َ ‫صل ْو َن َع‬ ُّ َ ‫ِبقُ ْدسِ ِه َو َقا َل َتعاَلَى اِنَّ هللاَ َو َمآل ِئ َك َت ُه ُي‬
‫ض اللّ ُه َّم َع ِن ْال ُخلَ َفا ِء الرَّ اشِ ِدي َْن‬ َ ْ‫ك َومَآلِئ َك ِة ْال ُم َقرَّ ِبي َْن َوار‬ َ ِ‫يآِئك َو ُر ُسل‬ َ ‫آل َس ِّيدِنا َ م َُح َّم ٍد َو َعلَى اَ ْن ِب‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ْم َو َعلَى‬ َ ‫م َُح َّم ٍد‬
‫ِك‬َ ‫ض َعنا َم َع ُه ْم ِب َرحْ َمت‬ َّ َ ْ‫ْن َوار‬ َ
ِ ‫ان ِالى َي ْو ِم ال ِّدي‬ َ َّ َ َّ
ٍ ‫روعُث َمان َو َعلِى َو َعنْ َبقِ َّي ِة الص ََّحا َب ِة َوالت ِاب ِعي َْن َوت ِابعِي الت ِاب ِعي َْن ل ُه ْم ِباِحْ َس‬ ْ َ ‫اَ ِبى َب ْك ٍر َو ُع َم‬
‫ت الل ُه َّم اَعِ َّز ْاالِسْ الَ َم َو ْالمُسْ لِ ِمي َْن‬ ِ ‫مْوا‬ َ َ‫ت اَالَحْ يآ ُء ِم ْن ُه ْم َو ْاال‬ Tِ ‫ت َو ْالمُسْ لِ ِمي َْن َو ْالمُسْ لِ َما‬ ِ ‫اغفِرْ ل ِْلمُْؤ ِم ِني َْن َو ْالمُْؤ ِم َنا‬ ْ ‫َيا اَرْ َح َم الرَّ ا ِح ِمي َْن اَلل ُه َّم‬
‫ْن َواعْ ِل‬ ِّ َ ْ َ َ
ِ ‫ص َر الدي َْن َواخذ ْل َمنْ خذ َل المُسْ لِ ِمي َْن َو َدمِّرْ اعْ َدا َءالدي‬ ُ ْ ِّ َ ْ
َ ‫ادَك الم َُوحِّ ِد َّية َوانصُرْ َمنْ ن‬ َ ْ َ ‫ك َو ْال ُم ْش ِر ِكي َْن َوانصُرْ عِ َب‬
ْ َ ْ‫َوَأ ِذ َّل ال ِّشر‬
َ َ
‫الزالَ ِز َل َو ْالم َِح َن َوس ُْو َء ْالفِ ْت َن ِة َو ْالم َِح َن َما ظ َه َر ِم ْن َها َو َما َبط َن َعنْ َبلَ ِد َنا‬ َّ ‫ الل ُه َّم ْاد َفعْ َع َّنا ْال َبالَ َء َو ْا َلو َبا َء َو‬.‫ْن‬ ِ ‫ك ِالَى َي ْو َم ال ِّدي‬ َ ‫َكلِ َما ِت‬
.‫ار‬ ِ َّ
‫ن‬ ‫ال‬ ‫اب‬
َ َ َ
‫ذ‬ ‫ع‬ ‫ا‬ َ
‫ن‬ ‫ق‬
ِ ‫و‬ ً
‫ة‬ َ
‫ن‬
َ َ َ َ‫س‬‫ح‬ ‫ة‬
ِ ‫ِر‬ ‫خ‬ ‫آل‬ ْ
‫ا‬ ‫ِى‬ ‫ف‬‫و‬ ً
‫ة‬
َ َ َ َ َ
‫ن‬ ‫س‬ ‫ح‬ ‫ا‬‫ي‬ ْ
‫ن‬ ‫د‬ ُّ ‫ال‬ ‫ِى‬ ‫ف‬ َ ‫ا‬‫ِن‬ ‫ت‬ ‫آ‬ ‫ا‬ َ
‫ن‬ ‫ب‬
َّ ‫ر‬ .
َ َ ‫ْن‬‫ي‬ ‫م‬ِ َ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫لع‬ َ ْ
‫ا‬ َّ‫ب‬ ‫ر‬ َ َ ‫ا‬ ‫ي‬ ً
‫َّة‬ ‫م‬ ‫عآ‬ ‫ْن‬َ ‫ي‬ ‫م‬
ِ ‫ل‬
ِ ْ‫ُس‬ ‫م‬ ‫ل‬‫ا‬ْ ‫دَان‬
ِ ْ
‫ُل‬ ‫ب‬ ‫ل‬ ْ
‫ا‬ ‫اِئر‬ِ َ َ ‫س‬ ‫و‬ ً
‫َّة‬ ‫ص‬ ‫خآ‬ ‫َّا‬‫ي‬ ِ‫ِا ْندُو ِنيْس‬
ُ ْ ْ ْ ‫ْأ‬ ْ ُ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ
‫بى‬ َ ْ‫ان َوِإيْتآ ِء ذِى القر‬ ِ ‫هللا ! اِنَّ هللاَ َي ُم ُر َنا ِبال َع ْد ِل َواالِحْ َس‬ ِ َ‫ عِ َباد‬.‫لخاسِ ِري َْن‬ َ ‫َر َّب َنا ظل ْم َنا اَنف َس َن َاواِنْ ل ْم َتغفِرْ ل َنا َو َترْ َحمْ َنا ل َنك ْو َننَّ م َِن ا‬
ْ‫هللا اَ ْك َبر‬ ِ ‫لى ن َِع ِم ِه َي ِز ْد ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر‬ َ ‫هللا ْال َعظِ ْي َم َي ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكر ُْوهُ َع‬ َ ‫ُوا‬ ‫ر‬ ُ
‫ك‬ ْ
‫اذ‬ ‫و‬ َ ‫ِظ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َت َذ َّكر ُْو َن‬ ُ ‫ء َو ْال ُم ْن َكر َو ْال َب ْغي َيع‬Tِ ‫َو َي ْن َهى َع ِن ْال َفحْ شآ‬
ِ

Sumber: https://islam.nu.or.id/khutbah/syukur-sebagai-wujud-bertauhid-SWbja

3 Cara Bersyukur atas Nikmat


Allah
 Syaifullah

 Selasa, 14 September 2021 | 23:45 WIB


3 cara dapat dilakukan manusia sebagai bukti syukur atas nikmat Allah SWT. (Foto:
NOJ/IndoPostitive)

Dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 18 disebutkan bahwa manusia tidak akan mampu
menghitung nikmat Allah. Karenanya, tugas yang harus dilakukan seorang hamba adalah
bersyukur. 
 
Hanya saja, bagaimana aturan yang dibenarkan agama sebagai wujud terima kasih atas segala
kurnia yang diterima? 

 
Ketahuilah bersyukur kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ sesungguhnya tidak cukup kalau
hanya mengucapkan ‘alhamdulillah’. 
 
Dari sejumlah keterangan yang didapat dari berbagai literatur, setidaknya ada tiga cara
mengungkapkan syukur sebagai berikut:  
 
1. Melalui Lisan 
Mengapresiasi syukur lewat lisan yakni dengan ucapan ‘alhamdulillah” adalah hal minimal
yang harus dilakukan. Aktivitas lain adalah berkata yang baik-baik. 
 
Orang yang bersyukur kepada Allah akan selalu menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang
tidak baik. Mereka akan selalu berhati-hati dan berusaha untuk tidak mengatakan sesuatu
yang membuat orang lain tersakiti hatinya. 
 
Orang yang bersyukur tidak berkeberatan untuk meminta maaf atas kesalahannya sendiri
kepada orang lain sebagaimana mereka juga tidak berkeberatan memaafkan kesalahan orang
lain. 
 
Kepada Allah SWT, mereka senantiasa bersegera memohon ampunan kepada-Nya. Dan hal
ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam surat Ali Imran, ayat 133:

ْ ‫ارع‬
  ‫ة ِّمن َّربِّ ُك ْم‬Kٍ ‫ُوا ِإلَى َم ْغفِ َر‬ ِ ‫و َس‬ 
َ
 
Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu 
 
Memohon ampun, baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia memang tidak
perlu ditunda-tunda. Lebih cepat tentu lebih baik. Betapa banyak kerugian yang timbul akibat
macetnya hubungan atau silaturrahim antarsesama saudara, kawan dan relasi, gara-gara
persoalan maaf-memaafkan belum terselesaikan.  
 
2. Melalui Hati 
Dalam aktivitas hati ini, bagaimana mengelola hati menjadi hal sangat penting. Aktivitas hati
terkait dengan syukur bisa diwujudkan dalam bentuk perasaan senang, ikhlas dan rela dengan
apa sudah yang ada. 
Orang-orang bersyukur tentu lebih mudah mencapai bahagia dalam hidupnya terlepas apakah
mereka termasuk orang sukses atau belum sukses. Syukur tidak mensyaratkan sukses dalam
hidup ini sebab kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada manusia takkan pernah bisa
dihitung. 
 
Manusia takkan pernah mampu menghitung seluruh kenikmatan yang telah diberikan Allah
SWT kepada setiap hamba-Nya. Allah dalam surat Ar-Rahman, ayat 13, bertanya kepada
manusia:

ِ َ‫فَبَِأيِّ آالء َربِّ ُك َما تُ َك ِّذب‬ 


 ‫ان‬
 
Artinya: Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? 
 
Ayat tersebut diulang berkali-kali dalam ayat-ayat berikutnya dalam surat yang sama, yakni
Ar-Rahman. Dan pengulangan ini tentu bukan tanpa maksud. Allah menantang kepada
manusia untuk jujur dalam membaca dang menghitung kenikmatan yang telah Dia berikan.
Bagaimana bisa bisa bernapas, melihat dan mendengar, serta bagaimana bisa merasakan
dengan panca indera kita? 
 
Dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu saja kita sudah tidak mampu menghitung berapa
kenikmatan yang terlibat di dalamnya. Maka barangsiapa tidak bersyukur kepada Allah,
sesungguhnya dia telah kufur atau mengingkari kenikmatan-kenikmatan yang telah
diterimanya dari Allah  SWT. 
 
Orang-orang yang bersyukur kepada Allah tentu memiliki jiwa yang ikhlas dalam melakukan
dan menerima sesuatu. Mereka yang bersyukur tentu tidak suka berkeluh kesah atas aneka
kekurangan atau hal-hal tidak menyenangkannya. 
 
Kalangan yang bersyukur tentu lebih sabar daripada mereka yang tidak bersyukur. Memang
untuk bisa bersyukur kita perlu kesabaran. Untuk bersabar kita perlu keikhlasan. Dengan kata
lain, syukur, sabar dan ikhlas sesungguhnya saling berkaitan. 
 
Maka dalam ilmu tasawuf, syukur adalah suatu maqam atau tingkatan yang sangat tinggi
yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang telah berhasil mencapai kompetensi tinggi dalam
hal spiritualitas. 
 
Dari sinilah kemudian muncul konsep kecerdasan spiritual.  Kecerdasan ini hanya bisa
dicapai melalui latihan-latihan yang sering disebut dengan riyadhah. Hal ini berbeda dengan
kecerdasan intelektual yang bisa diterima seseorang  secara genetis tanpa melalui latihan-
latihan tertentu.  
 
3. Melalui Fisik  
Aktivitas fisik atau perbuatan nyata terkait dengan syukur  bisa diwujudkan dalam berbagai
bentuk, baik melibatkan orang lain atau hanya melibatkan diri sendiri. Yang terkait dengan
orang lain misalnya seperti berbagi rezeki, ilmu pengetahuan, kegembiraan dan sebagainya.   

Anda mungkin juga menyukai