Anda di halaman 1dari 5

Syukur di Kala Meraih Sukses

Di kala impian belum terwujud, kita selalu banyak memohon dan terus bersabar
menantinya. Namun di kala impian sukses tercapai, kadang kita malah lupa
daratan dan melupakan Yang Di Atas yang telah memberikan berbagai
kenikmatan. Oleh karenanya, apa kiat ketika kita telah mencapai hasil yang kita
idam-idamkan? Itulah yang sedikit akan kami kupas dalam tulisan sederhana 
ini.

Akui Setiap Nikmat Berasal dari-Nya

Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat. Nikmat
adalah segala apa yang diinginkan dan dicari-cari. Nikmat ini harus diakui
bahwa semuanya berasal dari Allah Ta’ala dan jangan berlaku angkuh dengan
menyatakan ini berasal dari usahanya semata atau ia memang pantas
mendapatkannya. Coba kita renungkan firman Allah Ta’ala,

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka
dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat: 49). Atau pada ayat
lainnya,

“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan


menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak
berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)

Inilah tabiat manusia, yang selalu tidak sabar jika ditimpa kebaikan atau
kejelekan. Ia akan selalu berdo’a pada Allah agar diberikan kekayaan, harta,
anak keturunan, dan hal dunia lainnya yang ia cari-cari. Dirinya tidak bisa
merasa puas dengan yang sedikit. Atau jika sudah diberi lebih pun, dirinya akan
selalu menambah lebih. Ketika ia ditimpa malapetaka (sakit dan kefakiran), ia
pun putus asa. Namun lihatlah bagaimana jika ia mendapatkan nikmat setelah
itu? Bagaimana jika ia diberi kekayaan dan kesehatan setelah itu? Ia pun lalai
dari bersyukur pada Allah, bahkan ia pun melampaui batas sampai menyatakan
semua rahmat (sehat dan kekayaan) itu didapat karena ia memang pantas
memperolehnya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,

“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia
ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: “Ini adalah hakku.”(QS. Fushshilat:
50)

Sifat orang beriman tentu saja jika ia diberi suatu nikmat dan kesuksesan yang
ia idam-idamkan, ia pun bersyukur pada Allah. Bahkan ia pun khawatir jangan-
jangan ini adalah istidroj(cobaan yang akan membuat ia semakin larut dalam
kemaksiatan yang ia terjang). Sedangkan jika hamba tersebut tertimpa musibah
pada harta dan anak keturunannya, ia pun bersabar dan berharap karunia Allah
agar lepas dari kesulitan serta ia tidak berputus asa.[1]

Ucapkanlah “Tahmid”

Inilah realisasi berikutnya dari syukur yaitu menampakkan nikmat tersebut


dengan ucapan tahmid (alhamdulillah) melalui lisan. Ini adalah sesuatu yang
diperintahkan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya


(dengan bersyukur).” (QS. Adh Dhuha: 11)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

“Membicarakan nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya


merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al Jaami’ no.
3014).

Lihat pula bagaimana impian Nabi Ibrahim tercapai ketika ia memperoleh anak
di usia senja. Ketika impian tersebut tercapai, beliau pun memperbanyak syukur
pada Allah sebagaimana do’a beliau ketika itu,

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku)
Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar
(memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39).

Para ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan dan
lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di pagi ini?”
Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah bagi Allah).”[2]

Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah


dengan tahmid (alhamdulillah) atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia
menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat maslahat dan bukan
karena ingin berbangga diri atau sombong. Jika ia malah melakukannya dengan
sombong, maka ini adalah suatu hal yang tercela.[3]

Memanfaatkan Nikmat dalam Amal Ketaatan

Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada dua hal di atas yaitu
mengakui nikmat tersebut pada Allah dalam hati dan menyebut-nyebutnya
dalam lisan, namun hendaklah ditambah dengan yang satu ini yaitu nikmat
tersebut hendaklah dimanfaatkan dalam ketaaatan pada Allah dan menjauhi
maksiat.

Contohnya adalah jika Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat
tersebut dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al Qur’an, jangan
sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di tengah-
tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga. Hendaklah nikmat
tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, jangan sampai
digunakan untuk mendengar lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika seseorang
diberi kesehatan badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga
shalat lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang
diperoleh oleh seorang hamba malah dimanfaatkan untuk maksiat, maka ini
bukan dinyatakan sebagai syukur.

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk
Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,

“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu
hanyalah musibah.”[4]

Mukhollad bin Al Husain mengatakan,

“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”[5]

Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur:


[1]  mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), [2] membicarakan
nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan [3] menggunakan nikmat
tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan).

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan,

“Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan
dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.”[6]

Merasa Puas dengan Rizki Yang Allah Beri

Karakter asal manusia adalah tidak puas dengan harta. Hal ini telah diisyaratkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai haditsnya. Ibnu Az
Zubair pernah berkhutab di Makkah, lalu ia mengatakan,

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia
masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua,
ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh
melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang
bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)

Inilah watak asal manusia. Sikap seorang hamba yang benar adalah selalu
bersyukur dengan nikmat dan rizki yang Allah beri walaupun itu sedikit. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu
mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash
Shohihah no. 667)

Dan juga mesti kita yakini bahwa rizki yang Allah beri tersebut adalah yang
terbaik bagi kita karena seandainya Allah melebihkan atau mengurangi dari
yang kita butuh, pasti kita akan melampaui batas dan bertindak kufur.
Allah Ta’alaberfirman,

“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah


mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa
yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui
(keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”(QS. Asy Syuraa: 27)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba


tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh, tentu mereka akan melampaui
batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada
mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang
maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang
terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang
Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi
mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[7]

Patut diingat pula bahwa nikmat itu adalah segala apa yang diinginkan
seseorang. Namun apakah nikmat dunia berupa harta dan lainnya adalah nikmat
yang hakiki? Para ulama katakan, tidak demikian. Nikmat hakiki adalah
kebahagiaan di negeri akhirat kelak. Tentu saja hal ini diperoleh dengan
beramal sholih di dunia. Sedangkan nikmat dunia yang kita rasakan saat ini
hanyalah nikmat sampingan semata. Semoga kita bisa benar-benar
merenungkan hal ini.[8]

Jadilah Hamba yang Rajin Bersyukur


Pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah apa pun itu. Karena keutamaan
orang yang bersyukur amat luar biasa. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS.
Ali Imron: 145)

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika


kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.”
(QS. Ibrahim: 7)

Ya Allah, anugerahkanlah kami sebagai hamba -Mu yang pandai bersyukur


pada-Mu dan selalu merasa cukup dengan segala apa yang engkau beri.

INAN APRIAN RAUF


Inan_aufklarung@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai