Anda di halaman 1dari 4

Tahaduts Bi Ni’`mah

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Setiap hari seorang muslim mendapatkan kenikmatan silih berganti, baik


kenikmatan lahiriyah maupun batiniyah, diniyyah maupun dunyawiyyah. Kewajiban
seorang hamba ketika mendapatkan nikmat adalah bersyukur kepada
Allah Ta’ala.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan hakikat bersyukur dalam


kitab Madarijus Salikin dengan mengatakan,

. ‫ شهودا ومحبة‬: ‫ وعلى قلبه‬. ‫ ثناء واعترا فا‬: ‫وكذلك حقيقته في العبودية وهو ظهور أثر نعمة هللا على لسان عبده‬
‫ انقيادا وطاعة‬: ‫وعلى جوارحه‬

“Dan hakikat syukur dalam bentuk ibadah adalah nampaknya nikmat Allah pada
lisan hamba-Nya dalam bentuk memuji-Nya dan mengakui (nikmat tersebut dari-
Nya), pada hatinya dalam bentuk menyaksikan dan mencintai-Nya, dan pada
anggota tubuhnya dalam bentuk tunduk dan taat kepada-Nya”.

‫ وأن ال‬، ‫ وثناؤه عليه بها‬، ‫ واعترافه بنعمته‬، ‫ وحبه له‬، ‫والشكر مبني على خمس قواعد خضوع الشاكر للمشكور‬
‫يستعملها فيما يكره‬

“Syukur terbangun di atas lima dasar:

1. Tunduknya hamba kepada Dzat yang menganugerahkan nikmat kepadanya.


2. Mencintai-Nya
3. Mengakui nikmat itu dari-Nya
4. Memuji-Nya atas anugerah nikmat-Nya kepadanya.
5. Tidak menggunakannya untuk bermaksiat kepada-Nya” (Madarijus
Salikin 2/234).

Beliau juga berkata,

‫ وعليها يدور‬. ‫ فكالمه إليها يرجع‬، ‫وكل من تكلم في الشكر وحده‬

“Dan setiap orang yang berbicara khusus tentang syukur, maka pembicaraannya
kembali kepadanya (lima dasar syukur di atas) dan berkisar seputarnya” (Madarijus
Salikin 2/234).

Dari penjelasan di atas nampaklah, bahwa menyebutkan nikmat Allah hakikatnya


merupakan bagian dari bersyukur kepada Allah Ta’ala. Terkait dengan masalah
menyebutkan nikmat Allah, ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu:

Menyebutkan nikmat Allah merupakan Perintah Allah

Ketahuilah bahwa menyebutkan nikmat Allah yang didapatkan oleh seorang hamba
adalah perkara yang diperintahkan oleh Rabbuna ‘Azza wa Jalla. Allah Tabaraka
wa Ta’ala berfirman,
ْ ‫َوأ َ َّما بِنِ ْع َم ِة َربِكَ فَ َحد‬
‫ِث‬

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan”. (QS. Adh-
Dhuha: 11).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini mencakup nikmat agama maupun


ْ ‫}فَ َحد‬, yaitu pujilah Allah karena (limpahan nikmat tersebut) dan
nikmat dunia, {‫ِث‬
(bisa saja) suatu nikmat tertentu dikhususkan penyebutannya, jika memang ada
maslahat, namun jika tidak, maka sebutkan nikmat Allah secara umum, karena
menyebutkan nikmat Allah mendorong (seseorang) untuk mensyukurinya, dan
mengharuskan hati seorang hamba mencintai Dzat yang telah menganugerahkan
nikmat tersebut, karena sesungguhnya fitrah hati seorang hamba mencintai
kepada yang telah berbuat baik kepadanya” (Tafsir As-Sa’di :928).

Faidah:

1. Bahwa nikmat itu ada dua, yaitu nikmat diniyyah dan dunyawiyyah. Jadi
sebenarnya, sesorang bisa beribadah dan beramal shalih adalah sebuah
nikmat dan anugerah dari Allah. Dan kita diperintahkan untuk menyebutkan
nikmat tersebut, sebagaimana kita diperintahkan pula menyebutkan nikmat
Allah berupa harta benda dan kenikmatan duniawi sesuai dengan syariat.
2. Menyebutkan nikmat juga ada dua bentuk, yaitu:
1. Menyebutkan nikmat secara khusus (nikmat tertentu).
2. Menyebutkan nikmat secara umum.
3. Menyebutkan nikmat Allah yang khusus adalah suatu perkara yang tertuntut,
jika memang ada maslahat dan tidak ada ancaman bahaya, seperti hasad.
4. Menyebutkan nikmat Allah adalah pendorong seorang hamba bisa
bersyukur kepada-Nya, bahkan hakikatnya ia merupakan bentuk mensyukuri
nikmat itu sendiri.

Hal ini dikarenakan menyebutkan nikmat Allah berarti seorang hamba mengingat
dan mengakui bahwa nikmat itu adalah karunia Allah dan ia benar-benar
menyandarkan nikmat itu kepada Allah. Diapun menyadari bahwa Dia adalah
Tuhan Yang Maha Pemurah. Sehingga ia pun bersyukur kepada Rabb-Nya. Dari
Abi Nadhrah rahimahullah menuturkan, “Kaum muslimin (baca ulama) memandang
bahwa termasuk bagian mensyukuri nikmat adalah ia menyebutkan nikmat
tersebut” (Tafsir Ath-Thabari, 24/484). Bahkan -sebagaimana telah dijelaskan
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah di atas- bahwa menyebutkan nikmat Allah
hakikatnya merupakan bagian dari bersyukur kepada Allah Ta’ala itu sendiri.

Meninggalkan menyebut nikmat Allah dan suka menyebut musibah


merupakan bentuk kufur (ingkar) nikmat

Allah Ta’ala berfirman :

‫سانَ ِل َربِ ِه لَ َكنُود‬ ِ ْ ‫إِ َّن‬


َ ‫اْل ْن‬

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada


Tuhannya (QS. Al-‘Aadiyaat: 6).
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya 5/249 berkata,

‫ الكنود هو الذي يعد المصائب وينسى نعم هللا عليه‬: ‫قال الحسن‬

“Berkata Al-Hasan Al-Bashri: Al-Kanuud adalah orang yang menghitung-hitung


musibah dan melupakan nikmat Allah atas dirinya”.

Imam Ahli Tafsir, Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah menyebutkan,

‫ لربه لكفور‬:‫سانَ ِل َربِ ِه لَ َكنُود} قال‬


َ ‫ { ِإ َّن اْل ْن‬:‫عن ابن عباس‬

“Dari Ibnu ‘Abbas berkata, “{ ‫سانَ ِل َربِ ِه لَ َكنُود‬


َ ‫ } ِإ َّن اْل ْن‬Kepada Rabbnya benar-benar ingkar
(kufur nikmat)”.

Kapan seseorang diperintahkan menyebutkan nikmat Allah?

Berkata Al-Munawi rahimahullah,

“… ‫ وإال فالكتمان أولى‬، ‫”ما لم يترتب على التحدث بها ضرر كحسد‬

“Selama menyebutkan nikmat Allah tersebut tidak mengakibatkan bahaya, seperti


hasad (tidak mengapa menyebutkannya). Namun jika menimbulkan bahaya, maka
menyembunyikan nikmat adalah lebih utama”.

Dalam menyebutkan nikmat Allah perlu diperhatikan hal-hal berikut ini:

1. Di dalam menyebutkan nikmat Allah, hadirkan dalam hati niat melaksanakan


perintah Allah.
2. Sebutkan nikmat yang Anda dapatkan tersebut kepada orang atau sahabat
dekat Anda yang mencintai Anda karena Allah. Dan hindari
menyebutkannya kepada orang yang diduga kuat ada hasad/iri di hatinya
dan tidak suka jika nikmat tersebut Anda kabarkan kepadanya.
3. Ketika seseorang menyebutkan nikmat Allah secara khusus dikhawatirkan
orang lain hasad kepada dirinya, maka hendaknya beralih kepada
menyebutkan nikmat Allah secara umum, yaitu nikmat yang diperolehnya
dan diperoleh pula oleh orang lain, sehingga dengan demikian Anda tetap
bisa melaksanakan perintah Allah yang terdapat dalam surat Adh-Dhuha di
atas.
4. Dalam penerapan point yang ketiga di atas, butuh diperhatikan apakah ada
indikasi yang cukup yang menunjukkan kepada dampak munculnya hasad
atau tidak. Karena jika tidak ada indikasi yang cukup, maka hukum asalnya
seseorang husnudz dzan (berprasangka baik) kepada saudaranya muslim,
sembari menyerahkan urusan hati orang lain kepada Allah dan bertawakal
kepada-Nya.

Adapun selanjutnya, apakah ketika seorang muslim menyebutkan amal shalihnya


kepada saudaranya tidak dinilai sebagai perbuatan riya` (memamerkan amal
shaleh) atau ‘ujub (membanggakan amal shaleh)? Simaklah jawabannya di
artikel Perbedaan antara menyebutkan nikmat Allah (tahadduts bin ni’mah)
dengan membanggakannya (riya` dan ‘ujub ).
Referensi

1. Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim (jilid 2)


2. Tafsir Ibnu Katsir (jilid 5)
3. Tafsir Ath-Thabari (http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura100-
aya6.html#tabary)
4. Islamqa.info/ar/137984
5. Islamqa.info/ar/148158

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/24169-sudahkah-anda-melakukan-


tahadduts-bin-nimah.html

Anda mungkin juga menyukai