Anda di halaman 1dari 5

Rahasia Syukur, Sabar, dan Istighfar

Kategori: Akhlaq dan Nasehat

11 Komentar // 10 April 2012

Dalam mukaddimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim mengulas tiga hal di atas dengan sangat
mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan
Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan:

1- Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah mengharuskannya untuk bersyukur.
Syukur memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba dianggap telah mewujudkan
hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih jauh dari ‘cukup’. Ketiga rukun tersebut adalah:

1. Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah.


2. Mengucapkannya dengan lisan.
3. Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang memberikannya.

Inilah rukun-rukun syukur yang mesti dipenuhi

2- Atau, boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba saat itu ialah bersabar.
Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal:

1. Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah.
2. Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah.
3. Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek pakaian, (atau
membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ terhadap
keputusan Allah.

Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba, namun
untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Kalaulah Allah mewajibkan sejumlah
peribadatan (yaitu hal-hal yang menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya Allah) saat kita dalam kondisi lapang;
maka Allah juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam kondisi sempit.

Banyak orang yang ringan untuk melakukan peribadatan tipe pertama, karena biasanya hal tersebut selaras
dengan keinginannya. Akan tetapi yang lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe kedua, yang sering kali
tidak selaras dengan keinginan yang bersangkutan.

Ibnul Qayyim lantas mencontohkan bahwa berwudhu di musim panas menggunakan air dingin; mempergauli
isteri cantik yang dicintai, memberi nafkah kepada anak-isteri saat banyak duit; adalah ibadah. Demikian pula
berwudhu dengan sempurna dengan air dingin di musim dingin dan menafkahi anak-isteri saat kondisi ekonomi
terjepit, juga termasuk ibadah; tapi nilainya begitu jauh antara ibadah tipe pertama dengan ibadah tipe kedua.
Yang kedua jauh lebih bernilai dibandingkan yang pertama, karena itulah ibadah yang sesungguhnya, yang
membuktikan penghambaan seorang hamba kepada Khaliqnya.

Oleh sebab itu, Allah berjanji akan mencukupi hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman Allah,

ُ‫َّللاُ بِ َكافٍ َع ْبدَه‬


‫ْس ه‬ َ ‫أَلَي‬
“Bukankah Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhan) hamba-Nya?” (QS. Az Zumar: 36).
Tingkat kecukupan tersebut tentulah berbanding lurus dengan tingkat penghambaan masing-masing hamba.
Makin tinggi ia memperbudak dirinya demi kesenangan Allah yang konsekuensinya harus mengorbankan
kesenangan pribadinya, maka makin tinggi pula kadar pencukupan yang Allah berikan kepadanya. Akibatnya,
sang hamba akan senantiasa dicukupi oleh Allah dan termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam
firman-Nya:

ً ‫ان َو َكفَى ِب َربِِّكَ َو ِك‬


‫يل‬ ٌ ‫ط‬َ ‫س ْل‬
ُ ‫ْس لَكَ َعلَ ْي ِه ْم‬
َ ‫ِإ هن ِعبَادِي لَي‬
“(Sesungguhnya, engkau (Iblis) tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, dan cukuplah Rabb-mu (Hai
Muhammad) sebagai wakil (penolong)” (QS. Al Isra’: 65).

Hamba-hamba yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba yang mendapatkan pencukupan dari Allah dalam
ayat sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar menghambakan dirinya kepada Allah, baik dalam kondisi
menyenangkan maupun menyusahkan. Inilah hamba-hamba yang terjaga dari gangguan syaithan, alias syaithan
tidak bisa menguasai mereka dan menyeret mereka kepada makarnya, kecuali saat hamba tersebut lengah saja.

Sebab bagaimana pun juga, setiap manusia tidak akan bebas 100% dari gangguan syaithan selama dia adalah
manusia. Ia pasti akan termakan bisikan syaithan suatu ketika. Namun bedanya, orang yang benar-benar
merealisasikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada Allah hanya akan terganggu oleh syaithan di saat dirinya
lengah saja, yakni saat dirinya tidak bisa menolak gangguan tersebut… saat itulah dia termakan hasutan
syaithan dan melakukan pelanggaran.

dengan demikian, ia akan beralih ke kondisi berikutnya:

3- Yaitu begitu ia melakukan dosa, segera lah ia memohon ampun (beristighfar) kepada Allah. Ini merupakan
solusi luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang bertakwa, ia akan selalu
terbayang oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan tadi justeru berdampak positif terhadapnya di kemudian
hari. Ibnul Qayyim lantas menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa
konon para salaf mengatakan: “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah;
dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu? Bila Allah
menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal
sebelumnya ia seorang yang shalih dan gemar beramal shalih). Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan
matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua
keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan
Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa
yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan
membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.

Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut.
Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan
membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa
yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.

Demikian kurang lebih penuturan beliau dalam mukaddimah kitab tadi, semoga kita terinspirasi dengan tulisan
yang bersahaja ini.

Penulis: Ustadz Sufyan Basweidan, MA


Artikel Muslim.Or.Id
Cara Mensyukuri Nikmat Allah
in Muhasabah Diri - 4 comments
Bersyukur kepada Allah pada hakikatnya adalah mengakui bahwasannya segala kenikmatan yang ada pada diri
kita dan semua makhluk ciptaanNya adalah berasal dari Allah Ta'ala. Dalam bahasa mudahnya bersyukur
adalah berterima kasih. Kita seringkali berterima kasih kepada sesama manusia, tetapi melupakan satu hal yang
justru harus kita lakukan yaitu mensyukuri nikmat Allah yang ada pada diri kita semuanya.

Arti syukur dalam harfiah bahasa adalah merupakan pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas
kebaikannya tersebut (Al Jauhari). Sedangkan pengertian bersyukur dalam agama bahwa syukur adalah
menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan
kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada
Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah"(Madarijus Salikin, 2/244). Ini
adalah pengertian syukur menurut Ibnul Qayyim. Dan 3 hal di atas adalah cara mensyukuri nikmat Allah atas
diri kita.

Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan atau tidak mau untuk menyadari atau bahkan mengingkari
bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah Ta’ala. Kita berlindung kepada Allah dari sifat kufur nikmat
ini aamiin. Bila kita pandai dalam mensyukuri nikmat Allah maka hal ini akan mendatangkan nikmat-nikmat
Allah lainnya.

Ada beberapa tanda-tanda orang yang bersyukur dan tanda tersebut adalah :

1. Mengakui, memahami, serta menyadari bahwa Allah-lah yang telah memberikan nikmat. Pengertiannya
di sini adalah bahwa segala nikmat pada dasarnya Allah yang memberikan kepada kita. Manusia adalah
juga merupakan perantara dari Pemberi Nikmat yang sesungguhnya yaitu Allah. Orang yang bersyukur
senantiasa menisbatkan setiap nikmat yang didapatnya kepada Allah Ta’ala, bukan kepada makhluk atau
pun lainnya.
2. Orang bersyukur akan menunjukkan dalam bentuk ketaatan kepada Allah. Jadi tanda mensyukuri nikmat
Allah adalah menggunakan nikmat tersebut dengan beribadah dan taat menjalankan ajaran agama.
Keanehan bila orang mengakui nikmat Allah, tetapi tidak mau menjalankan ajaran agama seperti halnya
sholat, enggan belajar agama dan sejenisnya.

Lalu bagaimana kita tanda bersyukur pada Allah ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Ada beberapa cara
mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada kita yaitu diantaranya dengan :

1. Mensyukuri nikmat Allah dengan melalui hati. Cara bersyukur kepada Allah dengan hati ini maksudnya
adalah dengan mengakui, mengimani dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan ini datangnya
hanya dari Allah SWT semata.
2. Mensyukuri nikmat Allah dengan melalui lisan kita. Caranya adalah dengan kita memperbanyak ucapan
alhamdulillah (segala puji milik Allah) wasysyukru lillah (dan segala bentuk syukur juga milik Allah).
3. Mensyukuri nikmat Allah dengan perbuatan kita. Yaitu perbuatan dalam bentuk ketaatan kita
menjalankan segala apa yang diperintah dan menjauhi segala apa yang dilarangNya. PerintahNya
termasuk segala hal yang yang berhubungan dalam rangka menunaikan perintah-perintah Allah, baik
perintah itu yang bersifat wajib, sunnah maupun mubah.

Anggapan kebanyakan orang, bersyukur kepada Allah hanya perlu dilakukan pada saat mendapatkan anugrah
besar atau terbebas dari masalah besar adalah hal yang merupakan suatu kekeliruan yang besar. Padahal jika
kita merenung sejenak, maka kita akan bisa menyadari bahwa kita semua ini dikelilingi oleh nikmat yang tidak
terbatas banyaknya. Dalam hitungan waktu ,setiap detik, setiap menit, dan seterusnya tercurah kenikmatan dari
Allah tak terhenti yang berupa hidup, kesehatan, kecerdasan, panca indra, udara yang dihirup.

Mudahnya adalah segala sesuatu yang memungkinkan orang untuk hidup telah diberikan oleh Allah. Sebagai
balasan semua itu, seseorang diharapkan untuk mengabdi kepada Allah sebagai rasa syukurnya. Orang-orang
yang tidak memperhatikan semua kenikmatan yang mereka terima, dengan demikian telah mengingkari nikmat
(kufur). Mereka baru mau bersyukur apabila semua kenikmatan telah direnggut darinya. Contoh mudahnya
adalah kesehatan yang tidak pernah diakui sebagai nikmat baru akan disadari dan syukuri setelah mendapatkan
sakit.

Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk senantisa mensukuri nikmat yang telah diberikanNya dan
menggunakan nikmat tersebut dalam rangka mencari keridhoan Allah yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan
kita.

Apabila direnungkan secara mendalam, ternyata memang banyak nikmat Allah yang telah kita terima dan gunakan
dalam hidup ini. Demikian banyaknya sehingga kita tidak mampu menghitungnya. Allah berfirman, ''Dan jika kamu
menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 16: 18).

Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat dengan menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan kehendak
pemberinya. Sedangkan kufur adalah menyembunyikan dan melupakan nikmat. Allah SWT berfirman, ''Dan
(ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'.'' (QS 14: 7).

Pada dasarnya, semua bentuk syukur ditujukan kepada Allah. Namun, bukan berarti kita tidak boleh bersyukur
kepada mereka yang menjadi perantara nikmat Allah. Ini bisa dipahami dari perintah Alah untuk bersyukur kepada
orang tua yang telah berjasa menjadi perantara kehadiran kita di dunia. Firman Allah SWT, ''Bersyukurlah kepada-
Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali.'' (QS 31: 14).

Perintah bersyukur kepada orang tua sebagai isyarat bersyukur kepada mereka yang berjasa dan menjadi
perantara nikmat Alloh. Orang yang tidak mampu bersyukur kepada sesama sebagai tanda ia tidak mampu pula
bersyukur kepada Alloh swt . Nabi bersabda, ''Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka ia tidak mensyukuri
Alloh.'' (HR Tirmidzi).

Manfaat syukur akan menguntungkan pelakunya. Allah tidak akan memperoleh keuntungan dengan syukur hamba-
Nya dan tidak akan rugi atau berkurang keagungan-Nya apabila hamba-Nya kufur. Allah berfirman, ''Dan siapa
yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan siapa yang ingkar, maka
sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.'' (QS 27: 40).

Ada beberapa cara mensyukuri nikmat Allah swt. Pertama, syukur dengan hati. Ini dilakukan dengan mengakui
sepenuh hati apa pun nikmat yang diperoleh bukan hanya karena kepintaran, keahlian, dan kerja keras kita, tetapi
karena anugerah dan pemberian Alloh Yang Maha Kuasa. Keyakinan ini membuat seseorang tidak merasa
keberatan betapa pun kecil dan sedikit nikmat Alloh yang diperolehnya.

Kedua, syukur dengan lisan. Yaitu, mengakui dengan ucapan bahwa semua nikmat berasal dari Alloh swt.
Pengakuan ini diikuti dengan memuji Alloh melalui ucapan alhamdulillah. Ucapan ini merupakan pengakuan bahwa
yang paling berhak menerima pujian adalah Allah.

Ketiga, syukur dengan perbuatan. Hal ini dengan menggunakan nikmat Alloh pada jalan dan perbuatan yang
diridhoi-Nya, yaitu dengan menjalankan syariat , menta'ati aturan Alloh dalam segala aspek kehidupan

Sikap syukur perlu menjadi kepribadian setiap Muslim. Sikap ini mengingatkan untuk berterima kasih kepada
pemberi nikmat (Alloh) dan perantara nikmat yang diperolehnya (manusia). Dengan syukur, ia akan rela dan puas
atas nikmat Allah yang diperolehnya dengan tetap meningkatkan usaha guna mendapat nikmat yang lebih baik.

Selain itu, bersyukur atas nikmat yang diberikan Alloh merupakan salah satu kewajiban seorang muslim. Seorang
hamba yang tidak pernah bersyukur kepada Alloh, alias kufur nikmat, adalah orang-orang sombong yang pantas
mendapat adzab Allah SWT.

Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk mengingat dan bersyukur atas nikmat-nikmatNya: “Karena itu,
ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu
mengingkari nikmatKu.” (QS al-Baqarah:152)

Ahli Tafsir, Ali Ash Shobuni menjelaskan bahwa yang dimaksud “Ingat kepada Alloh” itu adalah dengan Ibadah dan
Ta’at, maka Alloh akan ingat kepada kita, artinya memberikan pahala dan ampunan. Selanjutnya kita wajib
bersyukur atas nikmat Allah dan jangan mengingkarinya dengan berbuat dosa dan maksiat.

Telah diriwayatkan bahwa Nabi Musa as pernah bertanya kepada Tuhannya: ”Ya Robb, bagaimana saya bersyukur
kepada Engkau? Robbnya menjawab: ”Ingatlah Aku, dan janganlah kamu lupakan Aku. Jika kamu mengingat Aku
sungguh kamu telah bersyukur kepadaKu. Namun, jika kamu melupakan Aku, kamu telah mengingkari nikmatKu”.

Di zaman sekarang ini, betapa banyak orang merefleksikan rasa bersyukur, namun dengan cara-cara yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip syukur itu sendiri. Untuk itu, para ulama telah menggariskan tata cara
bersyukur yang benar, yakni dengan cara beribadah dan memupuk ketaatan kepada Allah swt dan meninggalkan
maksiat.

Alloh swt telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa orang-orang yang mau bersyukur atas nikmat yang
diberikanNya sangatlah sedikit. Kebanyakan manusia ingkar terhadap nikmat yang diberikan Alloh kepada
mereka. “Sesungguhnya Alloh benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas umat manusia, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mensyukurinya.” [QS Yunus: 60]

“Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut yang kamu berdoa
kepadaNya dengan berendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): ”Sesungguhnya jika Dia
menyelamatkan kami dari bencana ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.” Katakanlah: ”Alloh
menyelamatkan kamu daripada bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali
mempersekutukanNya.” (QS Al-An’aam: 63-64).

Ketika manusia ditimpa berbagai macam kesusahan mereka segara berdoa dan berjanji untuk bersyukur pada Allah
jika bencana itu dihindarkanNya. Akan tetapi, ketika Allah menghindarkan mereka dari bencana itu, mereka lupa
bersyukur bahkan kembali mempersekutukan Allah swt. Betapa banyak orang menangis, meratap, memelas dan
merengek-rengek meminta kepada Alloh swt agar dihindarkan dari kesusahan hidup; masalah pribadi, soal
pekerjaan, musibah, dsb. Akan tetapi, ketika Alloh menghindarkan mereka dari kesusahan mereka kembali lalai,
bermaksiat, bahkan menerapkan aturan-aturan selain aturan Allah. Bukankah hal ini termasuk telah menyekutukan
Allah swt? Wallahu a'lam

*) Penggiat At-Tafkir Institute Lampung

Anda mungkin juga menyukai