Anda di halaman 1dari 7

2.

Akhlak kepada Diri Sendiri

Akhlak terpuji terhadap diri sendiri adalah sebagai berikut.

a. Sabar
Sabar artinya teguh hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan ujian. Sabar
adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari
keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Sabar merupakan
salah satu ciri mendasar orang yang bertakwa. Sabar merupakan ikatan yang tidak mungkin
terpisah dari keimanan, ikatan sabar dengan iman bagaikan kepala dengn jasadnya. Orang
yang sabar tidak pernah mengeluh, tidak putus asa, tidak mudah marah, baik dalam keadaan
senang maupun susah.
Menurut Abu Thalib Al-Makky (w. 386/996), sabra adalah menahan diri dari dorongan
hawa nafsu demi menggapai keridaan Tuhannya dan menggantinya dengan bersungguh-
sungguh menjalani cobaan Allah terhadapnya. Sabar dapat didefiniskan pula dengan tahan
menderita dan menerima cobaan dengan rida hati serta menyerahkan diri kepada Allah setelah
berusaha. sabar disini tidak hanya bersabar terhadap ujian dan musibah, tetapi juga dalam hal
ketaatan kepada Allah, yakni menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Jadi sabar di sini adalah suatu kekuatan, daya positif yang mendorong jiwa untuk
menunaikan suatu kewajiban.Dan disamping itu pula bahwa sabar adalah suatu kekuatan yang
menghalangi seseorang untuk, melakukan kejahatan.
Sabar diperintahkan oleh Allah swt, sebagaimana firman-Nya :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Q.S Al-Baqarah ayat
153).
Barang siapa yang mampu mengalahkan hawa nafsu, maka ia layak digolongkan sebagai
orang-orang yang sabar. Akan tetapi apabila dirinya dikalahkan oleh hawa nafsunya dan tidak
bersabar untuk mengekangnya, maka ia termasuk golongan setan. Dan seorang bisa dikatakan
sabar apabila dalam kehidupannya selalu memandang ke arak kemajuan (positif thingking)
serta memperkuat sabarnya dengan iman dan meyakini kebenaran akan janji-janji Allah swt.
Sabar dalam kandungan Al-Ghazali merupakan tangga dan jalan yang dilintasi oleh orang-
orang yang hendak menuju Allah SWT. Sabar terbagi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
1) Sabar dari maksiat, artinya bersabar diri untuk tidak melakukan perbuatan yang
dilarang agama. Untuk itu sangat dibutuhkan kesabaran dan kekuatan dalam menahan
hawa nafsu.
Allah berfirman dalam surah Yusuf 12:53, yang artinya:
“Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya
nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S Yusuf
12:53).
2) Sabar karena taat kepada Allah, artinya sabar untuk tetap melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan senantiasa meningkatkan ketakwaan
kepada-Nya.
Allah berfirman dalam surah Al-Imran ayat 200, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dan tetaplah bersiap siaga (diperbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah
agar kamu beruntung.” (Q.S Al-Imran 3:200)
3) Sabar karena musiabah, artinya sabar ketika ditimpa ujian dan cobaan dari Allah.
Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada
orang-orang yang bersabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka berkata, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. (sesungguhnya kami milik Allah
dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan
rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(Q.S. Al-Baqarah 2:155-157).

Bentuk-bentuk atau Contoh Sikap Sabar


Sebagai muslim kita harus mengenali bentuk-bentuk perilaku sabar, agar kelak dapat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-sehari, di antaranya sebagai berikut :
a. Bersabar dalam hal belajar untuk meraih cita-cita dan harapan
b. Sabar ketika diejek oleh teman-teman, karena kesabaran akan membawa hasil yang
positif.
c. Tidak mudah emosi atau marah.
d. Tidak tergesa-gesa.
e. Menerima segala sesuatu dengan kepala dingin.
f. Tidak mudah menyalahkan orang lain.
g. Selalu berserah diri kepada Allah SWT.

Macam atau Tingkatan Sabar


1. Shiddiquun
Ialah orang-orang yang benar lahir dan batinnya. Yang termasuk tingkat ini ialah para:
Rasul, sahabat beliau, orang saleh, yaitu orang yang bersikap patut dan wajar menurut
Allah.
2. Muqarrabuun
Ialah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah swt dengan mengerjakan
semua yang diperintahkan atasnya. Tetapi, untuk menjadi Rasul pintunya sudah
tertutup dengan telah diutusnya Nabi Muhammad saw, karena beliau Rasul terakhir.
3. Mujahiduun
Ialah orang yang berjuang keras melawan hawa nafsunya, sehingga ia bagaikan orang
yang berperang. Manusia tingkat ini banyak dalam masyarakat.
4. Ghafiluun
Ialah orang yang telah banyak kali kalah dari menantang lawannya, karena akalnya
mudah dikalahkan, malahan mungkin ke puncaknya. Ia tidak mau tahu pada Allah swt
sedikitpun sehingga yang tinggal hanya syahadatnya saja.

b. Syukur
Syukur berasal dari bahasa Arab yang berarti berterima kasih. Menurut istilah, bersyukur
adalah berterima kasih kepada Allah atas karunia yang dianugerahkan kepada dirinya.
Apabila direnungkan secara mendalam, ternyata memang banyak nikmat Allah yang telah kita
terima dan gunakan dalam hidup ini. Demikian banyaknya sehingga kita tidak mampu
menghitungnya.
Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat dengan menggunakannya pada tempat dan
sesuai dengan kehendak pemberinya. Sedangkan kufur adalah menyembunyikan dan
melupakan nikmat.
Pada dasarnya, semua bentuk syukur ditujukan kepada Allah. Namun, bukan berarti kita
tidak boleh bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara nikmat Allah. Ini bisa dipahami
dari perintah Alah untuk bersyukur kepada orang tua yang telah berjasa menjadi perantara
kehadiran kita di dunia.
Perintah bersyukur kepada orang tua sebagai isyarat bersyukur kepada mereka yang
berjasa dan menjadi perantara nikmat Alloh. Orang yang tidak mampu bersyukur kepada
sesama sebagai tanda ia tidak mampu pula bersyukur kepada Alloh swt.
Manfaat syukur akan menguntungkan pelakunya. Allah tidak akan memperoleh
keuntungan dengan syukur hamba-Nya dan tidak akan rugi atau berkurang keagungan-Nya
apabila hamba-Nya kufur.
Dasar perintah bersyukur nikmat Allah adalah kewajiban setiap muslim dan muslimat.
Dalil-dalil yang mewajibkan bersyukur, diantaranya :
1. Allah berfirman dalam Al-quran yang artinya : “Dan (ingatlah juga), tatkal Tuhanmu
memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambahkan
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-
Ku sangat pedih”. (Q.S Ibrahim:7).
Apabila manusia mau mensyukuri akan nikmat Allah SWT., maka Allah akan menambah
nikmat-Nya, dan apabila manusia itu tidak mau berterima kasih kepada nikmat-Nya, maka
sesungguhnya Allah akan mencabut dan juga mengurangi nikmat dari manusia tersebut
sebagai hukuman atas kekufurannya.
2. Allah berfirman, ''Dan siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk
(kebaikan) dirinya sendiri dan siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku
Mahakaya lagi Mahamulia.'' (QS An-Naml: 40)
3. Nabi bersabda, ''Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka ia tidak mensyukuri Allah.''
(HR Tirmidzi).
4. Firman Allah SWT, ''Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu, hanya
kepada-Ku lah kamu kembali.'' (QS Luqman: 14).
5. Allah SWT berfirman, ''Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'.'' (QS Ibrahim: 7).
6. Allah berfirman, ''Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak
dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.'' (QS An-Nahl: 18).
Bentuk-bentuk Bersyukur
Sebagai muslim kita harus mengenali bentuk-bentuk perilaku syukur, agar kelak dapat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-sehari, di antaranya sebagai berikut :
a. Selalu mengucapkan “alhamdulillah” atau terima kasihsetiap kali menerima
menukmatan.
b. Menggunakan apa yang diberikan sesuai dengan kehendak pamberinya.
c. Menjaga dan merawat dengan baik apa yang telah diberikan.
d. Menyisihkan sebagian harta kita untuk diserahkan ke baitul mal.
e. Menyisihkan waktunya untuk membantu orang yang belum bisa membaca Al-Quran.
c. Menepati Janji
Tiada iman pada seseorang yang tidak menunaikan amanah, dan tiada agama pada
seseorang yang tidak menunaikan janji." Demikian hadis Rasulullah SAW, sebagaimana
diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Hibban.
Amanah adalah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun,
sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Secara syar'i,
amanah bermakna menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan.
Seperti makna dalam firman Allah SWT, surah an-Nisa ayat 58. Artinya: "Sesungguhnya
Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya, dan bila kalian
menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil."
Ayat di atas menegaskan, amanah tidak melulu menyangkut urusan material dan hal-hal
yang bersifat fisik. Janji, menunaikan hak Allah, memperlakukan sesama insan secara baik,
itu semua termasuk amanah. Para pemimpin juga memikul amanah yang sangat besar.
Terkait dengan pemimpin ini, Rasulullah SAW bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin
dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin
dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah
keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah
pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta
pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia
akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya."
Setiap insan pasti memikul amanah. Allah SWT berfirman dalam surah al-Ahzaab ayat
72. Terjemahannya, "Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung. Namun, mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah
amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi bodoh."
Dan jika manusia mulai banyak menyia-nyiakan amanah, kiamat akan segera datang.
Rasulullah bersabda, "Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat." Sahabat bertanya,
"Bagaimanakah ciri amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Jika
suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran." Demikian
hadis riwayat Bukhari.
Amanah besar yang dapat dirasakan oleh setiap pemimpin dari ayat di atas adalah
bagaimana melaksanakan berbagai kewajiban dan menunaikannya sebagaimana mestinya.
d. Benar/Jujur

Jujur adalah mengatakan sesuatu apa adanya. Jujur lawannya dusta. Ada pula yang
berpendapat bahwa jujur itu tengah-tengah antara menyembunyikan dan terus terang. Dengan
demikian, jujur berarti keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu
berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar atau jujur, tetapi kalau tidak,
maka dikatakan dusta.
Kejujuran dapat mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan kepada
surga. Seseorang yang biasa berlaku jujur maka ia disebut shiddiq (orang yang senantiasa
jujur). Sedangkan dusta mengantarkan kepada perilaku menyimpang (dzalim) dan perilaku
menyimpang mengantarkan kepada neraka. Sesungguhnya orang yang biasa berlaku dusta,
maka ia akan mendapat gelas pendusta. Oleh karena itu, jujur memiliki peranan penting dalam
kehidupan seseorang baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Kejujuran
merupakan kunci sukses dalam segala hal termasuk dalam bekerja.
Orang yang jujur akan mendapatkan hal-hal baik, jikalaupun dikemudian seseorang yang
jujur melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat
menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun
terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan.

Bentuk-bentuk Kejujuran

a. Kejujuran lisan (Shidqu Al - Lisan)


Kejujuran lisan yaitu memberitakan sesuatu sesuai dengan realita yang terjadi, kecuali
untuk kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at seperti dalam kondisi perang,
mendamaikan dua orang yang bersengketa atau menyenangkan istri, dan semisalnya.
b. Kejujuran niat dan kemauan (Shidqu An Niyyah Wa Al -Iradah)
Kejujuran niat dan kemauan adalah motivasi bagi setiap gerak dan langkah seseorang
dalam semua kondisi adalah dalam rangka menunaikan hukum Allah Ta’ala dan ingin
mencapai ridhaNya.
c. Kejujuran tekad dan amal Perbuatan
Jujur dalam tekad dan amal berarti melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan yang
diridhai oleh Allah Swt.
Keuntungan memiliki Sifat Jujur
a. Menentramkan hati
Rasulullah SAW bersabda: “Jujur itu merupakan ketentraman hati”.(HR.Muslim)
b. Membawa berkah
Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Dua orang yang jual beli itu boleh pilih-pilih
selama belum berpisah. Jika dua-duanya jujur dan terus terang, mereka akan diberkahi
dalam jual belinya. Dan jika dua-duanya bohong dan menyembunyikan, hilanglah berkah
jual beli mereka”.(HR.Bukhari).
c. Meraih kedudukan yang syahid
d. Mendapat keselamatan
e. Dipercaya orang
f. Tidak akan banyak mendapat masalah
g. Mudah untuk mendapatkan kepercayaan lagi dari berbagai kalangan

e. Al Wafa (Memenuhi Janji)


Dalam islam janji merupakan utang dan harus dibayar (ditepati). Selain sebagai
pandangan Al-Mawardi, janji merupakan salah satu kewaajiban seorang pemimpin, bahkan
menjadi tonggak berdirinya pemerintahan yang dipimpinya.
Menepati janji merupakan:
a. Kewajiban syar’i, baik terhadap sesama muslim maupun antara muslim dan non-
muslim.
b. Akhlak yang utama
c. Ciri tingginya peradaban
d. Sifat-sifat Mu’min dan Ulul-albab
e. Merupakan jenis kebajikan
f. Merupakan akhlak imaniyah
g. Akhlak para Nabi dan Rasul
h. Seruan agama yang Robbani
“Dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di
dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah
seorang Rasul dan nabi.” (QS. Maryam: 54). Sifat menepati janji ini menurun ke
Bangsa Arab.
Janji-janji yang sering dibuat oleh seseorang:
1. Janji kepada keluarga, (anak dan istri)
2. Janji kepada bawahan atau orang yang levelnya lebih rendah dari dirinya dalam suatu
unit pekerjaan, dsb.
3. Janji kepada teman sejawat/sebaya
4. Janji kepada rekanan bisinis
5. Janji kepada orang-orang tertentu sesuai profesi atau lingkungan masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai