Memang benar jika dikatakan bahwa sebagian besar manusia itu adalah orang
yang tidak mau bersyukur atau tidak pandai berterima kasih. Bagaimana tidak,
ketika Alloh Ta’ala telah begitu banyak memberinya nikmat, baik yang sifatnya
dzohir maupun batin, hal itu tidak membuat mereka sadar dan tergerak untuk
semakin menambah ibadah mereka kepada Alloh. Meskipun bukan berarti Alloh
butuh terhadap ibadah tersebut sebagai balasan atas nikmat yang telah Alloh
berikan. Bahkan sebaliknya, kenikmatan itu justru membuat mereka semakin jauh
dari ibadah kepada Alloh Ta’ala. Lalu bagaimana sikap yang benar yang harus
dilakukan oleh seorang hamba?
Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku
niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah
kamu kufur terhadap (nikmat)-Ku.” (QS. 2: 152)
Di tempat lain Alloh juga berfirman yang artinya, “Mereka mengetahui nikmat-
nikmat Alloh, (tetapi) kemudian mereka meningkarinya dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang kafir.” (QS. 16: 83)
Dalam menafsirkan ayat ini, Mujahid berkata bahwa maksudnya adalah kata-kata
seseorang, ‘Ini adalah harta kekayaan yang diwariskan oleh nenek moyangku’.
Aun bin Abdulloh mengatakan, “Yakni kata mereka, ‘Kalau bukan karena fulan
tentu tidak akan menjadi begini’.” Dan menurut tafsiran Ibnu Qutaibah, “Mereka
mengatakan, ‘Ini berkat syafaat sesembahan-sesembahan kita’.” (Kitaabut Tauhid,
Syaikh Muhammad At-Tamimy)
Segala Nikmat yang Kita Terima adalah Murni Datangnya dari Alloh
Alloh berfirman yang artinya, “Dan tidak ada kenikmatan yang ada pada kalian
kecuali datangnya dari Alloh.” (QS. 16: 3). Syaikh Sholih Alusy-Syaikh
hafidzohulloh berkata, “Ini adalah dalil yang tegas dan jelas yang menunjukkan
bahwa nikmat apa saja itu adalah dari Alloh, karena lafadz ‘nikmat’ dalam ayat
ini datang dalam bentuk ‘nakiroh’ dan dalam konteks penafian. Sehingga ketika
lafadz ‘nikmat’ dalam ayat ini menunjukkan sesuatu yang umum (maksudnya
nikmat apa saja -ed), maka tidak bisa dikecualikan darinya suatu macam nikmat
tertentu itu datangnya selain dari Alloh. Maka nikmat apa saja, baik yang besar
maupun yang kecil, yang banyak maupun yang sedikit, itu semua datangnya dari
Alloh semata.
Syukur merupakan salah satu maqom (derajat) yang tinggi dari seorang hamba.
Rasa syukur itulah yang dapat membuat seorang hamba menjadi sadar dan
termotivasi untuk terus beribadah kepada Alloh. Seperti yang diceritakan dari
Nabi bahwasanya beliau sholat malam sampai bengkak kakinya. Ketika
ditanyakan kepada beliau, “Mengapa engkau melakukan ini wahai Rosululloh,
padahal sungguh Alloh telah mengampuni seluruh dosa-dosamu baik yang telah
lewat ataupun yang akan datang?” Maka Rosululloh menjawab, “Tidakkah aku
ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur?” (HR. Bukhori dan Muslim)
Sehingga ketika mengetahui ini, Iblis la’natulloh alaih, sebelum dia terusir ke
dunia, berjanji kepada Alloh ‘Azza wa Jalla untuk menggelincirkan manusia dan
akan menghalangi mereka untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur.
Alloh menceritakan perkataan Iblis ini, “Kemudian sungguh akan kami datangi
mereka (bani Adam) dari arah depan, arah belakang, samping kanan dan samping
kiri mereka, sehingga tidak akan Kau dapati kebanyakan di antara mereka yang
bersyukur.” (QS. 7: 17)
Dan terbuktilah apa yang dikatakan oleh iblis, sebagaimana yang difirmankan
oleh Alloh yang artinya, “Dan sedikit sekali golongan hamba-Ku yang mau
bersyukur.” (QS. 34: 13)
Termasuk bersyukur adalah kita menerima apa pun yang ada pada kita saat ini,
baik yang sedikit maupun yang banyak. Karena pada hakekatnya kenikmatan
yang kita terima itu tiada terkira banyaknya. Alloh berfirman yang artinya, “Dan
jika kamu menghitung-hitung nikmat Alloh, niscaya kamu tidak dapat
menghitungnya.” (QS. 16: 18)
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Lihatlah orang yang yang
ada di bawahmu dan janganlah kamu melihat orang yang ada di atasmu. Hal itu
akan lebih baik bagimu agar kamu tidak meremehkan nikmat Alloh yang yang
diberikan kepadamu.” (HR. Bukhori Muslim)
Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Syukur itu menurut asalnya adalah
adanya pengakuan akan nikmat yang telah Alloh berikan dengan cara tunduk
kepada-Nya, merasa hina di hadapan-Nya dan mencintai-Nya. Maka barangsiapa
yang tidak merasakan bahwa itu adalah suatu kenikmatan maka dia tidak akan
mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah nikmat namun dia tidak
mengetahui dari mana nikmat itu berasal, dia juga tidak akan mensyukurinya.
Barangsiapa yang mengetahui itu adalah suatu nikmat dan mengetahui pula dari
mana nikmat itu berasal, namun dia mengingkarinya sebagaimana orang yang
mengingkari Alloh yang memberi nikmat, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang
mengetahui itu adalah suatu nikmat dan dari mana nikmat itu berasal,
mengakuinya dan tidak mengingkarinya, akan tetapi ia tidak tunduk kepada-Nya
dan tidak mencintai-Nya atau ridho kepada-Nya, maka ia tidak mensyukurinya.
Barangsiapa yang mengetahui itu adalah nikmat dan dari mana nikmat itu berasal,
mengakuinya, tunduk kepada yang memberi nikmat, mencintai-Nya dan
meridhoi-Nya, dan menggunakan dalam kecintaan dan ketaatan kepada-Nya,
maka inilah baru disebut sebagai orang yang bersyukur.”
Alloh berfirman yang artinya, “Dan (ingatlah juga) ketika Robb kalian
mengatakan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka ketahuilah
sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih’.” (QS. 14: 7). Dalam ayat yang mulia ini,
Alloh Azza wa Jalla memberikan janji kepada para hamba-Nya yang mau
bersyukur, sekaligus memberikan ancaman yang keras bagi mereka yang berani
untuk kufur kepada-Nya.
Bukti dari ancaman Alloh ini dapat kita lihat dari kisah-kisah orang di sekitar kita,
atau dari apa yang Alloh ceritakan langsung dalam ayat-Nya tentang kisah Qorun.
Alloh berfirman yang artinya, “Qorun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi
harta itu karena ilmu yang ada padaku’. Dan apakah ia tidak mengetahui,
bahwasannya Alloh sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang
lebih kuat darinya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu
ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka
keluarlah Qorun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang
yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Semoga kiranya kita mempunyai seperti
apa yang telah diberikan Qorun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai
keberuntungan yang besar. Maka Kami benamkan Qorun beserta rumahnya ke
dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya
terhadap adzab Alloh dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela
(dirinya).” (QS 28: 78-79 & 81). Wal iyyadzu billah… semoga Alloh menjadikan
kita termasuk ke dalam golongan hamba-Nya yang bersyukur. Amiin.
***
******************************
Diantara sifat orang beriman adalah ketika mendapat berbagai kenikmatan, dia
bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut yaitu Allah. Dia
ucapkan: “Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah” dan ucapan yang sejenisnya.
Memang arti syukur sendiri adalah memuji kepada Dzat yang telah memberikan
berbagai kenikmatan dan kebaikan.
Tapi cukupkah dengan hanya memuji melalui lisan semata?
Sebenarnya tidak cukup hanya dengan itu, karena betapa banyaknya orang yang
memuji Allah dengan lisan-lisan mereka ketika mendapatkan nikmat tetapi
bersamaan dengan itu tetap bergelimang dalam kemaksiatan.
Akan tetapi syukur itu mempunyai rukun-rukunnya yaitu tiga rukun. Dimana
syukurnya seorang hamba berporos pada tiga rukun tersebut –yang tidak akan
dinamakan syukur kecuali dengan terkumpul ketiga-tiganya- yaitu: pertama:
mengakui nikmat tersebut dengan batin (di dalam hati); kedua: membicarakannya
secara zhahir (yaitu lisan kita memuji Dzat yang telah memberikan nikmat dan
menyebut-nyebut nikmat tersebut); dan ketiga: meminta bantuan dengan nikmat
tersebut didalam melaksanakan ketaatan kepada Allah (artinya menggunakan
nikmat tersebut untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah).
Maka kesimpulannya, syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan.
Adapun tugasnya hati adalah pertama: mengakui nikmat tersebut semata-mata
datangnya dari Allah bukan dari yang lainnya walaupun sebabnya bisa jadi
melalui teman, jual beli atau yang lainnya akan tetapi semuanya itu hanyalah
sebab atau perantara dalam mendapatkan nikmat akan tetapi pada hahikatnya
yang memberinya hanyalah Allah semata; dan kedua: mencintai Dzat yang telah
memberikan nikmat tersebut demikian juga mencintai nikmat tersebut.
Adapun tugasnya lisan adalah memuji dan menyanjung Dzat yang telah
memberikan nikmat tersebut. Sementara tugasnya anggota badan adalah
menggunakan nikmat tersebut untuk mentaati Dzat yang kita syukuri (yaitu Allah
Ta’ala) dan menahan nikmat tersebut jangan sampai digunakan untuk
kemaksiatan kepada-Nya.
Dan Allah membagi manusia bahwasanya diantara mereka ada orang-orang yang
bersyukur dan ada pula yang kufur, maka sesuatu yang paling dibenci oleh Allah
adalah kekufuran dan pelakunya dan sebaliknya sesuatu yang paling dicintai oleh
Allah adalah rasa syukur dan pelakunya. Allah berfirman:
شاِكًرا َوِإّما َكُفوًرا
َ ل ِإّما
َ سِبي
ّ ِإّنا َهَدْيَناُه ال
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur
dan ada pula yang kafir.” (Al-Insaan:3)
Di dalam ayat tersebut Allah Ta’ala mengaitkan tambahan nikmat dengan syukur,
sementara tambahan nikmat dari-Nya tiada akhir/batasnya sebagaimana tidak ada
batasnya untuk mensyukuri-Nya, dan Allah menerangkan bahwasanya
kebanyakan balasan yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya itu tergantung
kehendak-Nya, seperti firman-Nya:
شاَء
َ ن
ْ ضِلِه ِإ
ْ ن َف
ْ ل ِم
ُّ ف ُيْغِنيُكُم ا
َ سْو
َ عْيَلًة َف
َ خْفُتْم
ِ ن
ْ َوِإ
“Dan jika kalian khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan
kekayaan kepada kalian dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki.”
(At-Taubah:28)
شاُء
َ ن َي
ْ عَلى َم
َ ل
ُّ ب ا
ُ َوَيُتو
“Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya.” (At-Taubah:15)
Dan ketika musuh Allah, Iblis, mengetahui betapa tingginya kedudukan syukur,
dan bahwasanya syukur itu termasuk dari seagung-agung kedudukan dan yang
paling tingginya, maka dia (Iblis) menjadikan tujuan (utamanya) adalah berusaha
memutuskan manusia dari syukur, lalu dia berkata:
ْشَماِئِلِهم
َ ن
ْع َ ن َأْيَماِنِهْم َو
ْع َ خْلِفِهْم َو
َ ن
ْ ن َأْيِديِهْم َوِم
ِ ن َبْي
ْ لِتَيّنُهْم ِم
َ ُثّم
ن
َ شاِكِري َ جُد َأْكَثَرُهْم
ِ ل َتَ َو
“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka,
dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur (ta`at).” (Al-A’raaf:17)
Dan telah tetap di dalam Ash-Shahiihain dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Bahwasanya beliau berdiri shalat malam sampai kedua telapak kakinya bengkak-
bengkak, maka dikatakan kepada beliau: Mengapa engkau melakukan ini dalam
keadaan Allah telah mengampuni seluruh dosa-dosamu yang dahulu maupun yang
akan datang? Maka beliau menjawab: “Apakah aku tidak boleh untuk menjadi
orang yang bersyukur?”
Dan telah tetap di dalam Musnad Al-Imam Ahmad bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz: “Demi Allah, aku benar-benar
mencintaimu, maka janganlah kamu lupa untuk mengatakan setelah selesai dari
setiap shalat fardhu:
َ عَباَدِت
ك ِ ن
ِسْح
ُ ك َو
َ شْكِر
ُ ك َو
َ عَلى ِذْكِر
َ ي
ْ عّن
ِ الّلُهّم َأ
“Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa ingat kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu
dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya.”
Dan Ibnu Abid Dunya telah menyebutkan dari ‘Ali bin Abi Thalib bahwasanya
dia berkata kepada seorang laki-laki dari daerah Hamdzaan: “Sesungguhnya
nikmat itu disambung dengan syukur sedangkan syukur itu sendiri berkaitan
dengan bertambahnya nikmat, dan keduanya bergandengan pada suatu masa,
maka tidak akan terputus tambahan nikmat dari Allah sampai terputusnya rasa
syukur dari seorang hamba.”
Berkata Syuraih: “Tidaklah seorang hamba ditimpa dengan suatu musibah kecuali
Allah memberikan kepadanya tiga kenikmatan: musibah itu tidak berkaitan
dengan agamanya; musibah itu tidak lebih besar daripada apa yang telah ada; dan
bahwasanya musibah itu mesti terjadi maka sungguh telah terjadi (sebagai ujian
baginya).”
Dan berkata Yunus bin ‘Ubaid: Seseorang berkata kepada Abu Ghanimah:
“Bagaimana keadaanmu di pagi hari? Dia berkata: “Aku berada di pagi hari
diantara dua nikmat yang aku tidak tahu mana dari keduanya yang lebih utama:
dosa-dosa yang ada padaku telah Allah tutupi maka tidak ada seorangpun yang
mampu mencelaku; dan rasa cinta yang Allah berikan kepada hati-hati para
hamba yang amalku sendiri tidak bisa mencapainya.”
Sufyan menerangkan ayat:
َ ل َيْعَلُمو
ن َ ث
ُ حْي
َ ن
ْ جُهْم ِم
ُ سَتْدِر
ْ سَن
َ
“Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan)
dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Al-Qalam:44)
“Mereka diberikan berbagai nikmat tetapi mereka terhalang dari bersyukur.” Dan
berkata yang lainnya: “Setiap kali mereka terjatuh ke dalam perbuatan dosa maka
beritahukan akan nikmat (yang telah Allah berikan kepada mereka).”
Berkata seseorang kepada Abu Hazim: “Bagaimana bentuk syukurnya kedua mata
ya Abu Hazim?” Maka dia menjawab: “Jika engkau melihat kebaikan, engkau
mengumumkannya (memberitahukan kepada yang lainnya) dan sebaliknya jika
engkau melihat kejelekan, engkau menyembunyikannya.” Laki-laki tadi bertanya
lagi: “Bagaimana syukurnya kedua telinga?” Beliau menjawab: “Jika engkau
mendengar kebaikan maka engkau menjaganya dan jika engkau mendengar
kejelekan, engkau menolaknya.” Dia bertanya lagi: “Bagaimana syukurnya kedua
tangan?” Beliau menjawab: “Janganlah engkau mengambil apa-apa yang bukan
milik keduanya dan janganlah engkau tahan hak untuk Allah apa yang ada pada
keduanya.” Dia bertanya lagi: “Bagaimana syukurnya perut?” Beliau menjawab:
“Jadikanlah makanan dibawahnya dan ilmu di atasnya.” Dia bertanya lagi:
“Bagaimana syukurnya kemaluan?” Beliau menjawab dengan membacakan ayat:
ْجِهْم أْو َما َمَلَكت ِ عَلى َأْزَوا
َ ل ّ ( ِإ5)نَ ظو
ُ حاِف
َ جِهْمِ ن ُهْم ِلُفُرو َ َواّلِذي
ك ُهُمَ ك َفُأوَلِئ
َ ن اْبَتَغى َوَراَء َذِل
ِ ( َفَم6)ن
َ غْيُر َمُلوِمي
َ َأْيَماُنُهْم َفِإّنُهْم
7)ن َ )اْلَعاُدو
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-
orang yang melampaui batas.” (Al-Mukminuun:5-7)
Dia bertanya lagi: “Bagaimana syukurnya kedua kaki?” Beliau menjawab: “Jika
engkau mengetahui suatu mayat yang engkau iri kepadanya (karena ketika
hidupnya melakukan ketaatan kepada Allah), maka pergunakan keduanya
sebagaimana dia amalkan.
Dan sebagian ‘ulama telah menulis surat kepada salah seorang saudaranya:
“Ammaa ba’d, sungguh kami telah berada di pagi hari dengan nikmat-nikmat dari
Allah yang tidak dapat dihitung bersamaan banyaknya maksiat yang telah kami
lakukan, maka kami tidak tahu mana diantara keduanya yang kami bisa
bersyukur, apakah keindahan (yaitu kebaikan-kebaikan) yang telah dimudahkan
bagi kita ataukah kejelekan-kejekan yang telah ditutupi?!
Subhaanallah, seorang muslim tidak boleh sekejap pun untuk melupakan syukur
kepada Allah. Mengapa? Tidakkah kita sadari betapa banyak nikmat yang telah
Allah berikan kepada kita dalam keadaan kita sering terjatuh kepada kemaksiatan
akan tetapi Allah tutupi aib-aib kita.
Untuk itu bersegeralah kembali dan taubat kepada-Nya serta kita minta kepada-
Nya agar menjadikan kita sebagai orang-orang yang pandai bersyukur. Wallaahul
Muwaffiq.
Disadur dari Tazkiyatun Nufuus, karya Ibnu Rajab, Ibnul Qayyim dan Abu
Hamid dengan beberapa perubahan.
(Dikutip dari Bulletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-9 Tahun ke-3 / 28 Januari
2005 M / 17 Dzul Hijjah 1425 H . Judul asli Mampukah Kita Bersyukur?.
Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah